Suamiku Jadul
Sesion tiga part 17
Lima belas orang warga desa tiba-tiba sakit perut di pagi hari itu, sudah ada yang sadar dan mengembalikan kursi sekolah mengaji kami. Halaman sekolah tiba-tiba ramai, banyak Ibu-ibu datang memohon supaya suami mereka disembuhkan.
"Tolong, Bu, saya lagi hamil, suami saya sakit perut, tolong, Bu," kata seorang ibu sambil memegang perutnya yang buncit.
"Tolong anak saya, Bu, cuma dia tulang punggung keluarga, tolong," kata seorang ibu tua.
"Tolong suami saya, anakku empat ini kecil-kecil," kata Ibu yang lain.
Aku jadi panik dan bingung, sementara Bang Parlindungan tidak kelihatan.
"Baaaang!" panggilku kemudian.
Bang Parlindungan muncul dari dalam rumah, sesaat kuperhatikan wajah Bang Parlin, dia justru angkat bahu.
"Bang, bagaimana ini?" tanyaku.
"Tapi adek maunya begini," kata Bang Parlin.
"Tapi kan, ini kok banyak," kata
Suamiku JadulSesion 3 part 18"Bukan karena mencuri, Dek, mereka keracunan miras oplosan," kata Bang Parlin ketika lagi- lagi aku merasa bersalah, akulah yang mendesak Bang Parlin mempergunakan ilmunya."Apa iya, Bang, adek merasa bersalah sekali," kataku sedih."Iya, Dek, buktinya sudah enam orang yang pulang dengan sehat, kita sudah memaafkan, seharusnya memang mereka sudah sehat," kata Bang Parlin lagi. Saat itu kami lagi makan siang bersama.Tok, tok, tok."Assalamu'alaikum," terdengar suara ketukan di pintu diiringi salam dari seseorang."Waalaikumsalam," aku dan Bang Parlin menjawab salam hampir bersamaan.Aku segera berjalan dan membuka pintu, ternyata yang datang seorang anak perempuan masih berpakaian sekolah putih abu-abu. Aku kenal anak ini, dia Putri, anak tertua Pak Kosim."Ada apa ya, Putri?" tanyaku seraya mempersilahkan masuk."Papaku, Bu, tolong pap
Suamiku JadulSessions 3 part 19Aku kembali diwawancarai reporter televisi masih seputar meninggalnya dua orang warga desa karena keracunan miras oplosan. Aku katakan apa adanya tidak kuceritakan istri mantan kepala desa yang mencampur minuman orang pakai racun serangga."Mamak ada di TV, mamak masuk TV," teriak Butet seraya berlari masuk rumah. Ternyata dia baru dari warung sebelah, yang punya warung tunjukkan di TV ada aku lagi diwawancarai."Mamakku jago, masuk TV," kata Butet lagi seraya menghidupkan TV kami."Ah, sudah habis," kata Butet, dia kelihatan kecewa.Aku dan Bang Parlin hanya senyum-senyum melihat tingkah Butet tersebut. Dia terus menonton TV, katanya menunggu mamaknya muncul di TV lalu dia rekam pakai HP-nya."Assalamu'alaikum," ada suara salam di pintu, reflek aku melihat ke pintu, ternyata mantan kepala desa yang datang, dia sepertinya sudah sehat."Bang Parlin," kata
Suamiku JadulSessions 3 part 20Kami kembali jadi milyarder, luar biasanya uang lima milyar itu diantar abangku dan pengacara itu dalam bentuk tunai. Jadilah uang satu tas besar diberikan pada kami. Bang Parlindungan tampak biasa saja, padahal aku sudah keringatan melihat uang tersebut."Hitung dulu, Bang Parlin," kata pengacara tersebut."Sudah, aku percaya pada kalian," kata Bang Parlin seraya menerima uang tersebut."Tasnya bonus saja," kata pengacara itu seraya tertawa.Aku baru tahu, ternyata lima bulan mereka mengerjakan kasus kami, sempat adu kuat beking, adu argumen, bahkan pengacara itu pernah disogok satu milyar asal diam, tapi dia yakin akan menang, sehingga dia kerahkan semua kekuatan. Dalam lima bulan, mereka hanya mengerjakan kasus kami.Abangku juga mendadak kaya, dia bagi juga uangnya untuk saudara kami yang tinggal di desa. Setelah mereka pulang, proses pengalihan lahan Pak Kosim pun dil
Desa Sawit Nauli makin maju, satu-satunya desa di kabupaten ini yang dipimpin seorang perempuan. Warga desa yang mayoritas petani makin damai dan makin sejahtera. Pembangunan di desa pun merata, kini sudah ada WC umum di setiap sudut desa. Dulu masalah WC ini sering jadi penghalang jika orang luar desa datang. Sekolah mengaji Bang Parlin pun makin jaya. Kini sudah ada tiga ruangan. Gurunya tetap anak angkat Bang Parlin. Keseharian Bang Parlindungan tidak berubah, dia tetap seperti dulu, masih mengangon sapi, padahal saat ini, dia adalah orang terkaya di desa. Aku tahu karena pajaknya bumi dan bangunan milik kami paling besar untuk seluruh desa. “Mak, Niyet hamil,” lapor Ucok ketika mereka pulang dari kebun sore itu. Aku masih terkejut jika anakku menyebut nama Niyet, menyesal juga kenapa nama sapi kami harus Niyet. Padahal di desa ini tak ada yang tahu itu nama panggilanku, paling hanya kakak dan suami yang tahu. “Hamil?” tanyaku seraya melirik Bang Parlin. “Iya, Dek, senang kali
Masa paceklik melanda desa yang aku pimpin. Sawit nyaris tidak laku. Pabrik kelapa sawit yang ada tidak bisa menampung hasil panen yang melimpah.“Bagaimana sih pemerintah ini, Bu Kades, masa ekspor gak boleh?” kata seorang warga, warga tersebut pemilik kebun sawit yang cukup luas. Saat itu dia datang protes ke kantor desa.“Maaf, Pak, saya tidak tahu tentang itu,” jawabku kemudian.“Begitu jawaban pejabat, hanya tidak tahu?”“Saya hanya kepala desa, Pak, tidak punya kuasa menentukan harga sawit,” kataku sedikit kesal.“Kepala desa juga pemerintah kan? Untuk apa kami pilih Ibu jika tidak bisa memperjuangkan hak kami,” katanya lagi.Aku tahu beliau ini kesal dengan harga sawit yang turun gila-gilaan, tapi dia protes salah tempat, aku memang perwakilan pemerint
Warga desa mulai ada kesibukan baru, lidi sawit dibersihkan dan dikumpul. Bang Parlin berani menampung tiga ribu perkilo, jauh lebih besar dari harga buah sawit itu sendiri. Baru tiga hari, rumah kami sudah penuh dengan lidi. Aku mulai resah dan bingung. Untuk diapakan Bang Parlin lidi sebanyak ini?“Bang, sudah ada penampung lidinya?” tanyaku pada Bang Parlin di suatu malam. Setelah anak-anak tidur memang waktu berkualitas kami, kami akan bicara membahas apa saja.“Sudah, Dek, tapi mereka tak bisa jemput, katanya terlalu jauh.” Jawab Bang Parlin.“Emang di mana, Bang?”“Di Belawan, Dek, lidi ini barang ekspor, India dan Bangladesh sangat butuh lidi,”“Oh, jadi bagaimana, Bang?”“Entahlah, Dek, Abang juga masih berpikir ini,” kata Bang Parlindun
Suasana malam di rumah Rapi jadi meriah dan sibuk. Istri Rapi sibuk memasak, sayangnya bahkan beras di rumah mereka tidak cukup untuk makan kami semua. Belum lagi lauknya.“Niyet, niat kali kau ngerjai aku ya,” kata Rapi ketika disuruh istrinya belanja malam itu juga.“Hahaha,” aku hanya tertawa, lucu juga melihat Rapi yang kebingungan. Bahkan lantai ruang tengah rumahnya tidak sanggup menampung rombongan kami.“Ini uangnya, Rapi,” kata Bang Parlindungan ketika Rapi sibuk memeriksa isi dompetnya.“Terima kasih, Bang Parlin, kau memang Rambo, menolong jika dibutuhkan,” jawab Rapi seraya menerima uang merah beberapa lembar dari tangan Bang Parlin.“Belanja yang banyak ya, Rapet, kami kuat makan lo,” kataku pada Rapi. Dia hanya membalas dengan menunjukkan kepalanya tangannya. Lucu juga melihat
Maaf, Pak, aku hanya ingin bersedekah lebih jauh, aku ingin mengikuti jejak Bapak,” kata, Torkis ketika kami hendak pamit pulang.“Sedekah itu baik, Torkis, baik sekali pun, mengambil uang dari sedekah itu untuk gaji pengurus juga wajar, yang gak wajar itu jika sedekah sudah dibisniskan, lihat itu, mobil mereka saja fortuner, yang sedekah mungkin masih naik motor, udah, gak usah ikut-ikutan, jika mau sedekah, lihat saja dulu sekelilingmu,” kata Bang Parlin.“Iya, Pak,” kata Torkis.“Contoh lihat sekeliling itu, ini warga desa kita, mereka butuh bibit cabe, untuk ditanam di sela-sela sawit,” kata Bang Parlin lagi“Ok, Pak, aku sediakan,” kata Torkis.Jadilah kami pulang masing-masing membawa bibit gratis dari Torkis, Torkis yang dulu tukang ngangon sapi sekarang sudah kaya raya, bahkan lebi