“Ann…, jangan menangis lagi!” seru Sena, reflek ia menarik tubuh Ann dalam dekapannya.
Tanpa pemberontakan Ann hanya menerima dekapan Sena hingga terlelap. Tanpa sadar ke duanya telah tiba di sebuah rumah megah. “Tuan muda, mari saya bantu,” ucap Adit. Sena menggeleng, “Kamarku sudah siap?” tanya Sena. “Sudah, Tuan.” Setelahnya, Sena menggendong tubuh Ann yang sangat ringan baginya. Membawanya pada sebuah kamar yang luas dan sangat lengkap fasilitasnya. Setelah membaringkan tubuh Ann, Sena merogoh saku celananya. “Buat perusahaan Adi bangkrut perlahan!” ucap Sena dalam sebuah sambungan telepon. Dengan guratan tipis membentuk bulan sabit di wajahnya, ia merasa harus membalaskan apa yang diperbuat oleh ayah mertuanya. “Kamu akan hancur perlahan, Adi. Terlebih kamu melukai orang yang sangat aku cintai sejak lama,” gumam Sena. Sena mendudukan dirinya di tepi ranjang, tangan besar nan jari panjangnya mengusap kening Ann. Manik mata yang sedari tadi tiada henti menatap istri tercintanya. Obsesi atau apa pun itu tidak membuat Sena peduli, hanya saja cintanya yang begitu besar pada Ann. Pelan mata yang masih terpejam itu terbuka, dengan manik mata yang menatap sekeliling. Asing dan meneggangkan. Tatapan yang hanya terfokus pada Sena yang juga menatapnya lekat. “Ki-kita di mana?” Satu kalimat yang terlontar dari bibir mungil Ann setelah terlelap, bahkan ia tidak mengingat jelas setelah Sena mendekapnya. Apakah itu rumah Sena? Atau ia sengaja menyewa rumah megah hanya untuknya? Itu tidak mungkin. “E… aku diminta menjaga rumah ini, Ann. Jadi kita bisa tinggal di sini,” dengan rentetan gigi putih yang rapi, Sena tersenyum. “Oh gitu, tapi kamar ini,” penuh keraguan Ann mengutarakan apa yang ada dibenaknya. “Iya, ini termasuk fasilitas karena aku sudah mau menjaga rumah ini,” terang Sena. Ann hanya bisa mengangguk percaya, meski masih banyak kejanggalan dan pertanyaan dalam benaknya. Rumah mewah nan megah penuh fasilitas, Sena yang hanya penjual bakso tidak mungkin memilikinya. “Permisi, Tuan Muda. Makanannya sudah siap,” ucap seorang pelayan dari luar. “Tuan muda?” tanya Ann. “Kamu pasti salah dengar, aku hanya penjual bakso, Ann. Mana mungkin aku menjadi tuan muda, hahaha,” celetuk Sena. Benar yang dikatakan Sena, ia hanya penjual bakso keliling. Pasti uangnya hanya cukup untuk makan sehari-hari. “Ya iya, tapi…,” Kruk kruk! Suara perut Ann terdengar nyaring, membuat sang empu hanya meringis. Malu rasanya! “Ayo makan, makannanya sudah siap katanya,” ajak Sena. Ann hanya menurut saja, mengikuti langkah Sena yang sangat tinggi. Gandengan tangan yang enggan ia lepaskan, membuat Ann sedikit canggung. “Saya senang tuan muda kembali, lama sekali saya tidak memasak makanan kesukaan, Tuan,” celetuk Reni. “Ahahaha, iya, Bi Reni. Nyonya lama sekali tidak memintaku datang ke sini,” dengan mata yang membelalak lebar memberi kode pada Reni. Reni yang tidak paham akan kode hanya menggaruk tengkuknya yang gatal, Ann hanya tersenyum kikuk. Bingung harus melakukan apa, yang ia tahu hanya ia lapar sekarang. “Bi Reni bisa pergi, saya ingin makan dengan istri,” pinta Sena dengan senyumannya yang sangat manis. “Baik, Tuan Muda. Semisal ada yang diinginkan lagi bisa memanggil saya,” tuturnya. Hanya senyuman manis yang bisa diulas oleh Sena, mendengar panggilan tuan muda membuatnya ingin murka. Bisa gawat jika Ann mengetahui identitasnya dengan cepat. “Ann, makanlah dengan nyaman, aku mau menelepon seseorang dulu,” pamit Sena. “Sena, mereka sangat menghormatimu ya. Em… kamu memang pantas dihormati banyak orang,” ucap Ann dengan ulasan senyum. Sena hanya mengangguk setuju, setelahnya ia melangkah pergi dari meja makan. “Halo, tolong sampaikan pada semua pekerja di rumah ini, jangan sampai mereka keceplosan. Aku sudah rapat-rapat merahasiakan identitasku, jadi tolong!” tegas Sena. “Ba-baik, Tuan muda.” Sambungan telepon terputus, manik mata Sena mendapati sosok Ann yang berdiri tidak jauh dari dirinya. Tangannya sontak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Kamu menelepon siapa, Sena? Sepertinya sangat serius, apa kamu tidak lapar?” tanya Ann. “A … itu, patner jualan. Kebetulan sekarang dia masih menggantikan aku,” terang Sena. Ann hanya mengangguk, ia berjalan kembali menuju meja makan. Dengan helaan nafas panjang, Sena berharap Ann tidak mendengar percakapannya. “Sena, apa kamu tidak lapar?” tanya Ann lagi. Setibanya di meja makan, Sena hanya menatap Ann tanpa mengisi piringnya sama sekali. Entah apa yang ia lakukan saat ini. “Emm … makanlah, menangis membutuhkan tenaga ‘kan?” celetuk Sena. Sebuah centong nasi melayang begitu saja tatkala Ann merasa kesal pada Sena. Membuat suasana meja makan penuh dengan gelak tawa ke duanya. “Ann, maaf!” seru Sena. Ann malah melanjutkan menimpuk Sena dengan apa yang ada di hadapannya, hingga tanpa sengaja membuat Sena terkena ujung meja. “Aduh!” seru Sena kesakitan. Dengan raut penuh kepanikan, Ann berlari mendekati Sena. Keningnya membiru membuat Ann merasa sangat bersalah. “Sena, maafkan aku!” lirih Ann. “Aku tidak akan memaafkanmu, kecuali …,” suara Sena tercekat. "Ann," panggilnya sekali lagi."E... Ada apa, Sena?" tanya Ann terbata. Langkahnya tercekat, ia bahkan enggan menikah pada sumber suara. Dadanya bergemuruh dengan degup jantung yang kencang. 'Ada apa dengan semua ini,' batinnya. "Aku akan memaafkanmu, asalkan berikan aku malam pertamamu untukku," bisik Sena dengan suara yang sangat dekat dengan telinganya. Deg! Nafas hangat Sena yang terasa ditengkuk Ann, membuatnya terdiam. Tangan Sena yang mulai melingkari pinggang, membuat Ann semakin menegang. "Sena, stop!" pekiknya keras. "Ma-maaf, aku tidak bisa melakukan hal yang melanggar kontrak," tegas Ann. Dengan keras ia menarik tubuhnya dari tangan Sena, susah payah ia berusaha namun nihil. "Mau ke mana, Ann? aku belum menjawab ucapanmu," bisik Sena lembut. Dengan satu gerakan Sena mengubah tubuh Ann menghadap dirinya, dengan keterkejutan Ann melingkarkan dua tangannya pada leher Sena. "Sena!" teriak Ann. Wajah Sena kian mendekat, hanya beberapa centimeter dari wajah Ann. Dengan jara
[Ann, pulanglah ke rumah, Nak. Ayah tidak ingin kamu hidup susah dengan Sena.] Ayah. Ann hanya membaca sekilas pesan dari Adi, di perjalanan pulang yang melelahkan ini. Ia tidak ingin terganggu dengan pesan atau panggilan menyebalkan. Tubuhnya lelah, meeting kali ini menguras energinya sangat banyak. Terlebih pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang terlontar dari beberapa pihak. [Ann, apa kamu sudah selesai? Aku jemput ya.] Antasena. "Huh, apa dia tidak sedang berjualan? Kenapa dia berinisiatif menjemputku?" gumam Ann. [Tidak perlu, Sena. Aku sudah ada di taxi menuju rumah.] Setelah membalas pesan itu, Ann terlelap tanpa sengaja. Akibat tubuhnya yang kelelahan, ia terlelap dengan pulas. Setibanya di rumah, sopir itu tidak membangunkan Ann. Melainkan Sena yang menggendong tubuh istrinya itu masuk. "Terima kasih banyak, Pak," ucap Sena. Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, menatap Ann saat terlelap adalah hobi barunya. "Cantik," ucap Sena lirih. Lama Sena menatap wajah
"Ann, kamu belum tidur?" tanya Sena. Pembawaannya tenang tatkala manik matanya mendapati istrinya masih terjaga. Tatapan Ann tertuju pada satu titik fokus. "Kamu menyembunyikan apa di belakangku, Sena?" Ann melontarkan tanya, sepasang mata itu menatap lekat tanpa celah. Dengan helaan nafas gusar yang terlihat jelas di wajah Sena. Apa yang harus ia ucapkan pada Ann kali ini? "Aku? menyembunyikan apa, Ann?" Sena membalikkan tanya. "E ... Maaf, aku tidak sengaja mendengar percakapan mu. Proyek besar apa yang harus kamu menangkan?" terang Ann dengan kilat tanya yang menguar. "Oh, ahahaha. Itu, temanku baru saja mengabari ada pesanan catering cukup banyak untuk pernikahan. Tapi, ada saja orang yang iri dan berusaha merebut alih pemesanannya, rugi besar kalau itu gagal," jelas Sena dengan kebohongan yang dibalut rapi. Ann hanya mengangguk paham, meski ia masih menyimpan tanya besar atas apa yang dijelaskan Sena. Seperti ada hal lain yang disembunyikan suaminya itu. "
"Ann!" seru Lena sembari berlari. "Hai, kamu juga baru sampai?" tanya Ann. Ke duanya masuk ke area kantor dengan berbincang. "Tadi siapa, Ann? Tumben sekali gak naik taxi," secara tidak sengaja ia melihat sosok pria di dalam mobil. "Iya, dia suamiku. Hari ini dia sedang senggang tidak ada jadwal jualan, jadi dia menyempatkan mengantarku," terang Ann. "Wah, pria yang sangat menyayangi istrinya. Aku berharap kamu bahagia, Ann. Setelah mendengar cerita dibalik gagalnya pernikahanmu dengan Rafa, rasanya aku sangat kesal!" Lena menggerutu dengan ekspresi yang sangat menjiwai. "Sudahlah, Lena. Aku sudah menerima kenyataan ini, " ulasan senyum merekah di bibir Ann. Baginya, mau menikah dengan Rafael atau dengan Sena. Semuanya sudah menjadi takdir baginya, tidak ada yang perlu disesali. "Aku bangga sama kamu, Ann. Kamu lebih tegar sekarang," ucap Lena dengan ulasan senyum di wajahnya. Hanya senyuman yang diberikan Ann, hari itu berlalu dengan banyaknya hiruk pikuk p
"Sialan!" umpat Rafael setibanya di kamar. Dewi yang tergopoh-gopoh mendekati suaminya dengan senyuman yang merekah. "Mas, kamu mau minum kopi atau teh?" tanya Dewi lirih. "Berisik, pergi kau dari sini!" pekik Rafael. Ia memijat pelan pelipisnya yang terasa tegang. Emosinya tidak dapat ia tahan, alih-alih pergi dari hadapan Rafael. Dewi mulai menyentuh pelipis Rafael dan memijatnya perlahan. "Kau tau bahasa pergi atau tidak!" cengkraman tangan Rafael pada Dewi membuatnya terdiam. Nafasnya mulai tersengal-sengal, ia bahkan tidak paham mengapa Rafael melakukan itu padanya. Gegas ia meninggalkan kamar dengan perasaan was-was bahkan penuh ketakutan. "Kenapa dia melakukan itu? Padahal aku ini istrinya, tidak seharusnya ia seperti itu padaku," gumam Dewi bertanya-tanya. Langkah kakinya menuju kamar Ratih dengan terburu-buru. "Bu, aku ingin bicara!" serunya keras. Tidak lama dari itu, pintu kamar terbuka lebar. Ia menghamburkan tubuhnya ke ibunya. "Ibu, Mas
Setelah kejadian di taman itu, Ann memilih mendiamkan Sena. Kesal bukan main! bagaimana bisa Sena mencium dirinya di taman belakang. Bukan karena takut dihukum, hanya saja ia malu pada karyawan yang ada di rumah itu. "Ann," suara Sena yang lembut terdengar di telinga Ann. "Ann, kamu kenapa sih?" tanya Sena. Tidak memedulikan pertanyaan Sena, Ann memilih untuk tetap fokus pada ponselnya. "Bilang sama aku, Ann. Apa yang terjadi saat kamu pulang kerja tadi?" tanya Sena tiba-tiba. Kali ini, Ann tidak dapat diam saja. Ia enggan bercerita pada Sena, akan tetapi ia juga tidak mampu menyimpan rahasia ini sendirian. Rahasia? Apa ancaman Rafael sudah menjadi rahasia bagi dirinya? "Aku tidak apa-apa, Sena. Hanya kelelahan saja, banyak pekerjaan yang dilimpahkan padaku," tutur Ann. "Kamu bohong 'kan? Tidak ada orang kelelahan terus melamun di taman belakang, sudah pasti ada hal yang mengganjal dalam dirimu," tebak Sena. Sena enggan memaksa Ann tentang apa yang ia pikirkan, kar
"Mas, pagi ini aku ikut ke kantor ya," ucap Dewi dengan tangannya yang melingkari lengan Rafael. "Gak, aku lagi banyak kerjaan yang membutuhkan fokus. Lagian, ngapain kamu mau ikut ke kantor? merepotkan saja!" gerutu Rafael. Belum sempat Dewi mengungkapkan keinginannya, namun sudah mendapatkan penolakan mentah-mentah. "Tapi, Mas. Akhir-akhir ini kamu sangat sibuk, bahkan tidak ada waktu untuk mengobrol denganku. E ... Mas juga lama tidak menyentuhku," lirihnya dengaj memasang wajah melas. "Oh," Hanya itu yang terlontar dari Rafael, sejak pertemuannya dengan Ann. Ia merasa tidak membutuhkan Dewi lagi, ia hanya ingin Ann menjadi miliknya. "Mas, tolong ya ijinkan aku ikut," pinta Dewi sekali lagi. "Gak, Dewi. Kamu ini maksa banget sih!" pekik Rafael. Dewi hanya menundukkan kepalanya, membiarkan suaminya itu melenggang pergi. "Sebenarnya apa yang terjadi padanya hari ini dan kemarin, dia menjadi cuek!" gumam Dewi. **** "Sena, aku buru-buru. Aku tidak sarapa
"Aduh, kepalaku!" gumam Ann, mata yang masih terpejam perlahan terbuka. Samar ia melihat sekeliling ruangan, asing bagi dirinya. Namun, ia merasa lengan dan kakinya sulit digerakkan. "Aku di mana?" tanyanya. Degup jantung yang mulai tidak beraturan, perasaan cemas dan takut yang seolah tidak dapat tertahankan. "Tolong! Siapa pun di sana, tolong aku!" teriak Ann dengan air mata yang perlahan luruh membasahi pipinya. "Tolong aku, lepaskan aku dari sini. Aku mohon!" gerutu Ann semakin keras. Rintihnya semakin keras, namun ia tidak mampu membebaskan dirinya sendiri. Nyalang manik matanya menatap kenop pintu yang mulai bergerak perlahan. Ada secercah harapan dalam dirinya. "Selamat datang, Sayang. Apa kamu suka dengan kamar barumu?" sapa Rafael dengan senyuman. "Ra-rafael, apa yang kamu lakukan padaku!" pekik Ann keras. "Tidak perlu banyak tanya, Ann. Malam ini akan menjadi malam yang indah antara aku dan kamu," bisiknya lembut ditelinga Ann. Sontak Ann mer