Share

Bab 6

“Ann…, jangan menangis lagi!” seru Sena, reflek ia menarik tubuh Ann dalam dekapannya.

Tanpa pemberontakan Ann hanya menerima dekapan Sena hingga terlelap. Tanpa sadar ke duanya telah tiba di sebuah rumah megah.

“Tuan muda, mari saya bantu,” ucap Adit.

Sena menggeleng, “Kamarku sudah siap?” tanya Sena.

“Sudah, Tuan.”

Setelahnya, Sena menggendong tubuh Ann yang sangat ringan baginya. Membawanya pada sebuah kamar yang luas dan sangat lengkap fasilitasnya. Setelah membaringkan tubuh Ann, Sena merogoh saku celananya.

“Buat perusahaan Adi bangkrut perlahan!” ucap Sena dalam sebuah sambungan telepon.

Dengan guratan tipis membentuk bulan sabit di wajahnya, ia merasa harus membalaskan apa yang diperbuat oleh ayah mertuanya.

“Kamu akan hancur perlahan, Adi. Terlebih kamu melukai orang yang sangat aku cintai sejak lama,” gumam Sena.

Sena mendudukan dirinya di tepi ranjang, tangan besar nan jari panjangnya mengusap kening Ann. Manik mata yang sedari tadi tiada henti menatap istri tercintanya.

Obsesi atau apa pun itu tidak membuat Sena peduli, hanya saja cintanya yang begitu besar pada Ann.

Pelan mata yang masih terpejam itu terbuka, dengan manik mata yang menatap sekeliling. Asing dan meneggangkan. Tatapan yang hanya terfokus pada Sena yang juga menatapnya lekat.

“Ki-kita di mana?”

Satu kalimat yang terlontar dari bibir mungil Ann setelah terlelap, bahkan ia tidak mengingat jelas setelah Sena mendekapnya. Apakah itu rumah Sena? Atau ia sengaja menyewa rumah megah hanya untuknya? Itu tidak mungkin.

“E… aku diminta menjaga rumah ini, Ann. Jadi kita bisa tinggal di sini,” dengan rentetan gigi putih yang rapi, Sena tersenyum.

“Oh gitu, tapi kamar ini,” penuh keraguan Ann mengutarakan apa yang ada dibenaknya.

“Iya, ini termasuk fasilitas karena aku sudah mau menjaga rumah ini,” terang Sena.

Ann hanya bisa mengangguk percaya, meski masih banyak kejanggalan dan pertanyaan dalam benaknya.

Rumah mewah nan megah penuh fasilitas, Sena yang hanya penjual bakso tidak mungkin memilikinya.

“Permisi, Tuan Muda. Makanannya sudah siap,” ucap seorang pelayan dari luar.

“Tuan muda?” tanya Ann.

“Kamu pasti salah dengar, aku hanya penjual bakso, Ann. Mana mungkin aku menjadi tuan muda, hahaha,” celetuk Sena.

Benar yang dikatakan Sena, ia hanya penjual bakso keliling. Pasti uangnya hanya cukup untuk makan sehari-hari.

“Ya iya, tapi…,”

Kruk kruk!

Suara perut Ann terdengar nyaring, membuat sang empu hanya meringis. Malu rasanya!

“Ayo makan, makannanya sudah siap katanya,” ajak Sena.

Ann hanya menurut saja, mengikuti langkah Sena yang sangat tinggi. Gandengan tangan yang enggan ia lepaskan, membuat Ann sedikit canggung.

“Saya senang tuan muda kembali, lama sekali saya tidak memasak makanan kesukaan, Tuan,” celetuk Reni.

“Ahahaha, iya, Bi Reni. Nyonya lama sekali tidak memintaku datang ke sini,” dengan mata yang membelalak lebar memberi kode pada Reni.

Reni yang tidak paham akan kode hanya menggaruk tengkuknya yang gatal, Ann hanya tersenyum kikuk. Bingung harus melakukan apa, yang ia tahu hanya ia lapar sekarang.

“Bi Reni bisa pergi, saya ingin makan dengan istri,” pinta Sena dengan senyumannya yang sangat manis.

“Baik, Tuan Muda. Semisal ada yang diinginkan lagi bisa memanggil saya,” tuturnya.

Hanya senyuman manis yang bisa diulas oleh Sena, mendengar panggilan tuan muda membuatnya ingin murka. Bisa gawat jika Ann mengetahui identitasnya dengan cepat.

“Ann, makanlah dengan nyaman, aku mau menelepon seseorang dulu,” pamit Sena.

“Sena, mereka sangat menghormatimu ya. Em… kamu memang pantas dihormati banyak orang,” ucap Ann dengan ulasan senyum.

Sena hanya mengangguk setuju, setelahnya ia melangkah pergi dari meja makan.

“Halo, tolong sampaikan pada semua pekerja di rumah ini, jangan sampai mereka keceplosan. Aku sudah rapat-rapat merahasiakan identitasku, jadi tolong!” tegas Sena.

“Ba-baik, Tuan muda.”

Sambungan telepon terputus, manik mata Sena mendapati sosok Ann yang berdiri tidak jauh dari dirinya. Tangannya sontak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Kamu menelepon siapa, Sena? Sepertinya sangat serius, apa kamu tidak lapar?” tanya Ann.

“A … itu, patner jualan. Kebetulan sekarang dia masih menggantikan aku,” terang Sena.

Ann hanya mengangguk, ia berjalan kembali menuju meja makan. Dengan helaan nafas panjang, Sena berharap Ann tidak mendengar percakapannya.

“Sena, apa kamu tidak lapar?” tanya Ann lagi.

Setibanya di meja makan, Sena hanya menatap Ann tanpa mengisi piringnya sama sekali. Entah apa yang ia lakukan saat ini.

“Emm … makanlah, menangis membutuhkan tenaga ‘kan?” celetuk Sena.

Sebuah centong nasi melayang begitu saja tatkala Ann merasa kesal pada Sena. Membuat suasana meja makan penuh dengan gelak tawa ke duanya.

“Ann, maaf!” seru Sena.

Ann malah melanjutkan menimpuk Sena dengan apa yang ada di hadapannya, hingga tanpa sengaja membuat Sena terkena ujung meja.

“Aduh!” seru Sena kesakitan.

Dengan raut penuh kepanikan, Ann berlari mendekati Sena. Keningnya membiru membuat Ann merasa sangat bersalah.

“Sena, maafkan aku!” lirih Ann.

“Aku tidak akan memaafkanmu, kecuali …,” suara Sena tercekat.

"Ann," panggilnya sekali lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status