"Aduh, kepalaku!" gumam Ann, mata yang masih terpejam perlahan terbuka. Samar ia melihat sekeliling ruangan, asing bagi dirinya. Namun, ia merasa lengan dan kakinya sulit digerakkan. "Aku di mana?" tanyanya. Degup jantung yang mulai tidak beraturan, perasaan cemas dan takut yang seolah tidak dapat tertahankan. "Tolong! Siapa pun di sana, tolong aku!" teriak Ann dengan air mata yang perlahan luruh membasahi pipinya. "Tolong aku, lepaskan aku dari sini. Aku mohon!" gerutu Ann semakin keras. Rintihnya semakin keras, namun ia tidak mampu membebaskan dirinya sendiri. Nyalang manik matanya menatap kenop pintu yang mulai bergerak perlahan. Ada secercah harapan dalam dirinya. "Selamat datang, Sayang. Apa kamu suka dengan kamar barumu?" sapa Rafael dengan senyuman. "Ra-rafael, apa yang kamu lakukan padaku!" pekik Ann keras. "Tidak perlu banyak tanya, Ann. Malam ini akan menjadi malam yang indah antara aku dan kamu," bisiknya lembut ditelinga Ann. Sontak Ann mer
"Tuan Muda, alangkah baiknya Anda mengurangi konsumsi kopi hitam. Ini sudah gelas ke 5 malam ini," peringat Arka dengan hati-hati. "Kau tau apa, Arka! Sudahlah, biarkan saja. Ini hanya kopi bukan alkohol," hardiknya. Malam semakin larut, tubuhnya tidak mampu terpejam sebelum istrinya kembali. Dunia seakan berhenti begitu saja. "Kalau ini terjadi dalam jangka waktu lama, sepertinya aku akan gila, Arka!" ujarnya keras. "Tuan, jangan asal berbicara. Sepertinya Anda memang membutuhkan istirahat, mari saya antar ke kamar," ucap Arka dengan penuh keyakinan. Sena menolak, ia hanya memejamkan matanya. Di kursi kebesarannya. "Arka, kamu tahu kalau Ann itu separuh hidupku sekarang? Aku bisa gila jika dia tidak ada, setengah mati aku berusaha mendapatkannya. Setelah aku mendapatkannya, bisa-bisanya dia hilang begitu saja," gerutu Sena. Arka hanya mendengar suara Sena, tidak ada keberanian untuknya berbicara saat ini. Ia paham kenapa tuannya itu sangat mencintai istrinya.
[Sena, datanglah ke rumah bersama Ann!] Pak Adi. Manik mata Sena menatap layar ponsel dengan frustasi, bagaimana tidak? ia harus datang bersama istrinya yang entah di mana. "Arka, bagaimana perkembangan pencarian istriku?" tanya Sena. "Masih nihil, Tuan. Kami masih berusaha keras," jawab Arka dengan ragu. "Oke, aku akan ke rumah mertuaku. Tolong jangan hubungi aku terlebih dahulu, sebelum aku yang menghubungi kalian!" titah Sena. "Baik." Sena melenggangkan kakinya, meninggalkan ruangan yang 2 hari ini menghiasai masa suramnya. Kantung mata yang kian menghitam, membuat penampilannya sangat kurang. "Aku bisa gila, Ann. Kamu di mana?" tanya Sena dengan suara purau. Sepanjang perjalanan menuju rumah Adi, Sena hanya menatap sekeliling. Menaiki ojek online dengan penuh keterpaksaan, ini hanya untuk memenuhi aktingnya. "Sudah tiba, Tuan," ucap tukang ojek itu ramah. "Panggil Mas saja, takutnya ada yang mendengar," balas Sena. Ia memberikan beberapa lembar uan
"Ke mana dirimu, Ann?" gumam Sena. Setelah pergi ke rumah Adi, kini ia merebahkan tubuhnya di kamar. Seperti dijebak oleh kenangan sendiri, ia seolah melihat Ann ada di sampingnya. "Aku benar-benar bisa gila!" umpatnya. Matanya enggan terpejam, pikirannya melayang jauh entah ke mana. Sudah hampir 3 hari ia tidak terlelap dengan tenang, hanya satu sampai dua jam sisanya hanya terjaga. [Arka, apa belum ada kabar tentang Ann?] Sena. Sebuah pesan yang Sena kirim pada Arka, ia tidak lagi ingin berharap lebih. Tapi, rasanya ingin sekali mencari sendiri. Tok tok tok! "Permisi, Tuan muda. Saatnya makan malam," ucap Reni dari luar kamar. "Bawa ke kamar saja, Reni. Aku tidak ingin turun!" seru Sena. "Baik." Setelah beberapa saat, Reni kembali datang dengan nampan berisi makanan. diletakkannya di sebuah nakas di kamar Sena. "Selamat makan, Tuan muda. Saya pamit dulu, jika ada sesuatu bisa memanggil saya lagi," ucap Reni dengan menundukkan kepalanya dalam. "Teri
Benar yang dikatakan dua pria suruhan Rafael, Ann dibawa pergi entah ke mana. Meninggalkannya di tepi jalanan yang gelap dan sepi. Hanya ada satu lampu penerangan di sana, dengan perasaan yang amat sangat kalut. Ia membuka matanya lebar. "Aku takut," ucapnya lirih. Matanya menelaah ke beberapa sudut jalan, tapi nyaris tidak ada kendaraan di sana. Bajunya yang robek dan kulit putihnya yang penuh dengan tanda keunguan. Tangisnya tidak kunjung berhenti, sepanjang malam ia menangisi nasib malangnya. "Nona, akhirnya kita menemukan Anda!" seruan keras yang terdengar bersorak. "Berhenti, jangan sentuh aku!" pekik Ann keras. Ia merasa dua orang berjaket hitam itu berniat menyentuhnya, atau bisa jadi ia masih orang suruhan Rafael. "Nona, tenangkan dirimu. Kami akan membawamu pulang, percaya denganku ya!" ucapnya dengan teguh. Ann masih menatap setengah hati ke arah pria itu, tidak mungkin untuk berlari karena kakinya masih sakit. "Bawa aku pergi, sejauh mungkin da
"Tidak sekarang, Sena. Biarkan aku istirahat ya," pintanya. "Ann? boleh aku menemanimu?" tanya Sena dengan tatapan penuh tanya. "Ti-tidak, aku takut bertemu dengan lelaki. Tolong, biarkan aku sendiri dulu selama satu minggu ke depan," Ann masih takut dengan pria, ia takut hal yang menimpanya akan terjadi lagi. Mendengar itu, Sena hanya bisa pasrah. Sekali pun ia sudah merindukan Ann, ia hanya bisa melihat Ann dari jauh. Memastikan ia baik-baik saja, tanpa harus banyak bertanya. "Aku pamit dulu, jika ada apa-apa kamu bisa telpon aku. Sepertinya hari ini aku akan jualan lagi," pamit Sena. Jualan yang Sena maksud bukanlah jualan bakso, ia akan beristirahat dan memikirkan langkahnya setelah ini. Tiga hari berlalu tanpa kabar Ann, kini ia bisa bernafas sedikit lebih lega. "Arka, tolong kabari aku apa pun yang terjadi. Sepertinya aku akan istirahat dulu, setelahnya kita atur strategi baru!" titah Sena dengan tegasnya. "Baik, Tuan muda." Sena melenggangkan kakinya
Hari-hari berlalu, Ann masih mengurung dirinya tanpa ingin keluar. "Sena, ceraikan aku ya!" ucap Ann tanpa ragu. Sena yang mulanya duduk dengan membaca koran pagi hanya mendongak. Tatapannya tajam menusuk. "Kamu kenapa sih, Ann?" tanya Sena. "Aku ingin cerai dari kamu, Sena. Tubuhku ini sudah terlalu kotor untuk kamu yang sangat baik itu," papar Ann. Helaan nafas panjang Sena hembus dengan berat hati. Lelah mendengar ucapan Ann yang selalu membahas perceraian, meminta kembali pada Adi. "Aku gak bisa, Ann. Perjanjian kita 4 tahun, kita saja belum ada 1 tahun. Jangan ngaco kamu!" hardik Sena dengan tegas. Langkahnya pergi dengan membawa penat di kepalanya. Meski Ann tidak melihat raut wajahnya yang penuh dengan kekesalan. "Sena, aku mohon kali ini. Batalkan saja perjanjian itu, kita bercerai. Kamu berhak mendapatkan wanita yang baik, dan aku ...," ucapannya terhenti seketika. "Lalu kamu bagaimana? hidup bersama ayah dan ibu tirimu yang berlaku seenaknya itu?"
Sena masih terlelap dalam tidurnya, Ann hanya bisa menyandarkan dirinya. Suaminya hanya diam setelah mendengar permintaan cerai. Ia tidak lagi ada ide yang cemerlang. Hanya satu harapannya, teman wanita Lena. "Sena, kamu tidak ingin bangun?" tanya Ann. Sudah satu jam mungkin suaminya terlelap, kakinya cukup pegal. Ia juga tidak mungkin memindahkan Sena dari posisinya. "Sena ...," panggil Ann sekali lagi. Dering telepon terdengar, tapi bukan dari ponsel Ann. Sekilas ia menatap benda pipih di sebelah tubuh Sena. Matanya berusaha melirik sejenak, tapi ia tidak sampai hati untuk membuka ponsel itu. "Sena, ada telepon sepertinya," ucap Ann. Tangannya mengoyak tubuh Sena perlahan, tapi pria itu tidak kunjung bangun. Ia malah mengeratkan pelukannya pada tubuh Ann. "Huft, aku angkat aja ya. Takutnya penting," ucap Ann sekali lagi. Ann bergegas meraih ponsel Sena, tapi seperdetik sebelum Ann mengangkat ponsel. Sena membuka matanya lebar, ia langsung mengambil pons