Sena masih terlelap dalam tidurnya, Ann hanya bisa menyandarkan dirinya. Suaminya hanya diam setelah mendengar permintaan cerai. Ia tidak lagi ada ide yang cemerlang. Hanya satu harapannya, teman wanita Lena. "Sena, kamu tidak ingin bangun?" tanya Ann. Sudah satu jam mungkin suaminya terlelap, kakinya cukup pegal. Ia juga tidak mungkin memindahkan Sena dari posisinya. "Sena ...," panggil Ann sekali lagi. Dering telepon terdengar, tapi bukan dari ponsel Ann. Sekilas ia menatap benda pipih di sebelah tubuh Sena. Matanya berusaha melirik sejenak, tapi ia tidak sampai hati untuk membuka ponsel itu. "Sena, ada telepon sepertinya," ucap Ann. Tangannya mengoyak tubuh Sena perlahan, tapi pria itu tidak kunjung bangun. Ia malah mengeratkan pelukannya pada tubuh Ann. "Huft, aku angkat aja ya. Takutnya penting," ucap Ann sekali lagi. Ann bergegas meraih ponsel Sena, tapi seperdetik sebelum Ann mengangkat ponsel. Sena membuka matanya lebar, ia langsung mengambil pons
Sena mendekap tubuh Ann yang gemetar hebat, isak tangisnya seperti tidak akan berhenti saat itu juga. Dalam dekapan hangat Sena, ia tidak mampu banyak bicara. "Saat aku melihat pintu terbuka, sosok Rafael masuk tanpa ragu. Ia hanya menggunakan celana pendek, dia menyentuhku tanpa ada rasa malu. Tubuhku ini ... tubuh ini tidak lagi layak untukmu, Sena!" pekiknya diakhir kalimatnya. Meski air matanya tidak kunjung berhenti mengalir, Ann masih saja berusaha melanjutkan ceritanya. Matanya tidak berbohong, Sena merasa terpukul! "Maaf, maaf karena aku gagal menjagamu, Ann. Setelah ini, tidak ada lagi kejadian yang sama akan menimpamu. Aku janji akan itu," ucap Sena dengan menatap istrinya lekat. "Ta-tapi, tidak, Sena. Kita harus bercerai, karena aku sadar bahwa wanita sepertiku tidak layak ada di sampingmu," ungkap Ann dengan penuh ketegasan. "Stop, jangan lagi mengatakan itu, Ann. Kamu pantas bahagia bersamaku, tidak ada wanita yang layak di sampingku kecuali kamu."
"Ke mana lagi aku harus mencari wanita baik-baik untuk Sena?" gumamnya. Seharian ini, Ann hanya melihat Sena sibuk dengan ponselnya. Sesekali menelepon seseorang yang entah siapa. "Reni, Sena memang jarang berjualan ya akhir-akhir ini?" tanya Ann pada pembantunya itu. "Selama Nona Ann menghilang, Tuan jarang berjualan karena fokus mencari keberadaan nona," terang Reni. "Oh gitu ya." Ann melenggang meninggalkan Reni, matanya sempat menatap sebuah ruangan yang sering tertutup. "Ruangan apa ya ini, tapi aku tidak mungkin membuat Sena kecewa. Bagaimana kalau ruangan ini ternyata rahasia, milik tuannya Sena? Sudahlah!" gerutu Ann. Jiwanya sangat ingin tahu apa yang dilakukan Sena, uang yang beberapa hari ini ia berikan sangat banyak. Terlebih ia tidak ingin uangnya diganti. Kecurigaan Ann semakin kuat, ia takut jika Sena meminjam pada seseorang. Ting! [Ann, aku sudah mengirimkan beberapa nomor teman wanitaku. Emangnya buat apa sih?] Lena. Ann mengulas senyu
Sinar mentari mulai memasuki ruangan yang awalnya gelap itu. Semalam, Sena mendekap Ann sangat erat. Perhelatan diri ke duanya tidak dapat diragukan, sekali pun Ann berusaha menolak. Tapi, Sena meminta haknya sebagai suami. "Sena, kamu gak pengen bangun?" tanya Ann dengan mendesak dada Sena agar menjauh. "Aku masih pengen memelukmu!" ucap Sena, matanya masih terpejam yang nyaris enggan membuka. "Huft!" Ann hanya bisa diam, mau memaksa seperti apa pun. Suaminya itu memang bebal dan keras kepala. "Aku kerja ya, Sena. Bosan jika harus diam di rumah," ucap Ann lirih. "Kenapa harus bekerja sih, Ann. Apa kamu gak yakin aku bisa mencukupi kebutuhanmu?" tanya Sena dengan berusaha membuka matanya. "Tapi, Sena. Kebutuhanku banyak, skincare dan aku suka belanja," jawab Ann. Sena hanya mengerucutkan bibirnya, seperti bayi yang tidak terima dengan ucapan orang tuanya. "Kali ini saja, ijinkan aku bekerja. Terserah kamu mau antar jemput atau gimana," ucap Ann pasrah.
"Maaf atas kekacauan yang terjadi, Pak Adi. Saya dan Ann pamit, terima kasih," ucap Sena. Langkah terburu-buru Ann diikuti Sena dari belakang. Ann terlalu muak dengan Sena yang selalu menerima hinaan yang disampaikan padanya. Padahal, apa susahnya membalas ucapan nenek sihir itu? "Ann, pelankan langkahmu!" seru Sena. "Aku tidak peduli ya! Kamu itu terlalu pengecut atau terlalu baik jadi pria sih," pekik Ann. Tangannya menghentikan sebuah taxi yang lewat, "Sudah, aku mau ke kantor. Kamu bisa pulang sendiri 'kan?" tanya Ann dengan wajah masih penuh kekesalan. "Ya." Sena hanya menganggukkan kepalanya, ia mengulas senyum pada istrinya. Taxi itu melaju dengan cepat meninggalkan area perumahan Adi. [Kirim sopir ke dekat gang rumah Adi Sucipto!] Sena. Setelah pesan itu terkirim, Sena menyempatkan berjalan kaki ke tempat biasa menunggu. "Huh, kalau begini terus Ann semakin muak denganku," gumamnya. Sebuah mobil berhenti tepat di depan Sena, seorang pria keluar de
"Aku percaya Aisha bisa menjalankan tugasnya dengan baik," gumam Ann seraya mengulas senyum tipis. Tapi, saat sebuah pesan muncul dari notifikasinya, matanya membelalak lebar. "Bagaimana ini nasibku? Pasti Sena akan marah besar dan menceraikanku? Hahaha, hanya itu yang aku perlukan," gumam Ann dengan perasaan bahagia. [Ann, ayo kita makan di luar.] Sena. "Hah?" Ann menatap layar ponselnya dengan kaget tiada tanding. [Aku sudah pesan taxi online, sebentar lagi datang. Kamu siap-siap ya.] Sena. Belum sempat Ann terkejut, ia sudah dikejutkan pesan Sena lagi. "Nona Ann, maaf. Taxinya sudah datang," teriak Reni dari luar ruangan. "Ya, sebentar!" seru Ann. Dengan terburu-buru ia meraih cardigannya, memang ia sudah berpakaian rapi. Ia merasa siap jika Sena akan menceraikannya hari ini. "Kenapa harus seperti ini akhirnya!" gumam Ann dengan menggerutu. Sepanjang jalan, Ann hanya bertanya-tanya. Terlebih ajakan Sena makan malam dan taxi online? "Nona, kita su
Satu jam berlalu, akhirnya Sena membuka pintu. Meski dengan wajah yang masam, tapi perlahan ia tersenyum. "Maaf," ucap Sena lirih. Ann memasuki kamar, membersihkan dirinya dengan penuh kemalasan. Setelahnya ia merebahkan tubuhnya, membelakangi Sena. "Selamat tidur, Ann," bisik Sena. *** [Proyek besar Adi Sucipto sudah ditangan kita, Tuan muda.] Arka. Satu pesan yang membuat Sena tersenyum tipis, pagi ini dengan kesadaran penuh. Ia merasa sangat bahagia. "Pagi-pagi udah senyum-senyum sendiri, abis baca pesan siapa?" tanya Ann. "Kenapa? Kamu cemburu, Ann?" tanya Sena membalikkan tanya. Ann akhirnya diam, ia menatap Sena dengan malas. Meski bukan cemburu, tapi ada perasaan penasaran dalam dirinya. "Aku kira kamu sudah berkenalan akrab dengan wanita kemarin," gerutu Ann. "Iya, aku lagi baca pesan dari wanita kemarin!" ucap Sena dengan menekan kata wanita kemarin. Perlahan Ann mengerutkan dahinya, matanya menatap Sena dengan ragu. "Kenapa memangnya?"
"Bagaimana, Arka?" tanya Sena. "Dia sudah datang, Tuan. Saya atau Anda yang menemuinya?" tanya Arka dengan gugup. Untuk pertama kalinya, tuan mudanya itu akan menemui seseorang. Ada perasaan campur aduk hingga ragu. "Aku yang akan bertemu dengannya, bayangkan Adi tahu kalau aku yang mengalahkannya diproyek besar ini," ucap Sena dengan ulasan senyum tipis. Tidak ada niat balas dendam dan semacamnya, akan tetapi untuk apa menutupi semua ini terlalu lama. Sena tidak membutuhkan perlakuan istimewa, hanya saja Sena ingin Ann mendapatkan haknya. "Baik, saya akan mengikuti dibelakang," ucap Arka. Tidak berselang lama, Sena dan Arka menuju ruang pertemuan. Sosok sekretaris Adi terlihat mengulas senyum tipis. "Selamat datang di kantor saya, senang bertemu dengan Anda," sapa Sena dengan ulasan senyum manis. Manik mata yang membelalak lebar dengan wajah yang tidak percaya. "Sena, suaminya Nona Ann?" tanya Arno dengan mata yang tidak beralih. "Silakan duduk dulu,
"Lena?" tanya Sena dengan tatapan penuh tanya. "Kan kamu janjiin dia cowok, Sayang. Kamu lupa?" tanya Ann dengan kekesalan. "Tidak, aku masih ingat kok. Hm, beberapa temanku memang sedang mencari pacar, nanti aku akan mengenalkan salah satunya pada Lena," terang Sena. Mata yang teduh kini menatap lekat ke arah Ann, perjalanan menuju apartment selalu menyenangkan baginya. "Malam ini biarkan aku memasak untukmu, Sayang. Kamu istirahat saja ya," bisik Sena. "Ta-tapi? Kenapa tidak pesan di luar saja?" Ann melempar tanya. Ia hanya cemas jika Sena memasak asal dan tidak bisa dimakan. Akan sangat mubazir jika itu terjadi. "Tenang saja!" ucap Sena. Tibalah mereka berdua di apartment, Sena yang langsung membawa Ann ke kamar. "Kamu istirahat ya, mandi dulu," titah Sena. "Tapi, Sayang," Ann memeluk erat tubuh Sena. Membuat lelaki itu terdiam sejenak, Ia membalas pelukan Ann dengan hangat. "Kamu mau apa sekarang? Mandi dulu ya, nanti aku yang memasak," terang Se
"Siang, Tuan Muda," sapa Arka dan Aisha kompak. Kini mereka duduk di sebuah restoran cukup ternama, Ann yang duduk di samping Sena membuat Aisha canggung. Bukan karena apa, hanya saja suaminya mengajaknya makan siang bersama. "Aisha, aku dengar dari Lena kamu lagi cari rumah?" tanya Ann dengan menatap wajah Aisha sekilas. "Iya, Mbak. Dasar Lena suka bahas hal-hal yang gak perlu!" Aisha menanggapi dengan kekehan ringan. Merasa malu, ia meremas ujung bajunya sampai kusut. "Aku berniat memberikan apartment padamu, Aisha," ucap Sena. Satu kalimat yang berhasil membuat mulut Aisha ternganga, bukan ini yang ia inginkan. Tapi ... kenapa Sena ingin memberikan apartment padanya? "Tuan, saya punya tabungan untuk menyewa rumah kecil saja. Saya ...," Aisha menghentikan ucapannya. "Aisha, semua ini tidak kuberikan cuma-cuma, karena kamu teman baik istriku. Dia yang meminta padaku tentang ini, jangan ditolak ya!" peringat Sena. Manik mata yang kini basah menatap Arka secara berulang, ia m
"Aku dengar Aisha lagi cari kontrakan ya," celetuk Lena saat tiba di tempat duduknya. "Aku malah gak dengar apa-apa, Len." Ann kembali fokus pada pekerjaan yang ada di hadapannya. "Aku masih bertanya-tanya, apa bapaknya belum berubah dari dulu?" Lena masih dengan tanya yang ada di kepalanya. Mendengar itu, Ann mendongak pada sahabatnya yang kini bersandar di kubikel. sorot mata penuh tanya dengan tatapan tajam. "Bapaknya belum berubah? Maksudmu apa?" tanya Ann. "Orangnya kasar banget, Ann. Dulu waktu masih SMA, Aisha sering dateng babak belur ke sekolah," terang Lena dengan mengingat beberapa tahun ke belakang. "Gila, kenapa kamu diam aja sih!" seru Ann. Lena menatap Ann dengan penuh tanya, bingung! Padahal awalnya Lena hanya membahas tentang Aisha yang mencari rumah. "Aisha itu kelihatannya mau kabur dari rumah, Ann. Makanya dia berniat beli rumah baru," terang Lena sebagai tambahan. "Iya, aku telpon suamiku dulu." Ann meraih ponselnya yang tergeletak di
"Mas, kan kita mau pulang. Kenapa lewat sini?" tanya Aisha saat mengamati arah laju mobil Arka. "Kita makan," singkat. Akhirnya, Aisha memilih diam tanpa bertanya lagi. Ia hanya bersandar dengan posisi nyaman. Menatap jalanan yang ramai di malam hari. "Ai, kenapa diam?" tanya Arka dengan lembut. "Gak apa-apa, Mas. Aku tidak lapar," jawabnya. Meski perutnya terasa kosong dan membuat tubuhnya lemas. Aisha tidak lagi ingin merepotkan Arka, sudah terlalu banyak bantuan yang ia terima. Hingga Aisha bingung harus membalas dengan apa. "Mas, aku jadi bebanmu ya sekarang?" Kalimat itu keluar begitu saja, membuat Arka sempat tergelak. "Maksudmu, Ai?" tanya Arka dengan menatap penuh tanya. "Karena Mas Arka melamarku, aku sekarang jadi merepotkanmu, Mas!" kata Aisha dengan ragu. Ia tidak lagi mampu menopang dirinya sendiri, dan ia malah merepotkan orang lain yang notabene pria yang melamarnya. "Mas, harusnya aku gak memperlakukanmu seperti ini," ucap Aisha lagi.
"Aisha, ada apa?" tanya Arka dengan penuh kecemasan. Di sambungan telepon, di ruangan yang gelap. Aisha memberanikan diri menghubungi Arka, malam itu. "Aku gak apa-apa, Mas. Tapi temani aku sebentar ya," kata Aisha dengan gemetar. "Iya, aku temani. Apa kamu mau aku ke sana? Aku temani ya," Arka kian mencemaskan Aisha kali ini. Logikanya tidak lagi bisa diajak kompromi, satu hal yang ia inginkan. "Jangan ya, Mas. Aku gak mau Mas Arka ikutan keseret. Temenin aku aja via telepon," elak Aisha. "Baiklah, Aisha. Katakan saja kalau ada apa-apa," timpal Arka. Kecemasan yang tidak ada habisnya, ia hanya bisa menahan diri. Menemani Aisha dalam kekalutan yang tidak dia pahami. "Arghhh!" pekik Arka dengan keras. Tanpa sadar ia berteriak saat telepon masih tersambung. "Mas, ada apa?" tanya Aisha terburu-buru. "Tidak apa-apa, Aisha. Mas ke sana aja ya, di sini gak bisa tenang," tegas Arka. "Ta-tapi, ... Aku gak bisa jamin loh, Mas," Aisha terbata dengan suara gem
"Kamu senang?" tanya Arka saat diperjalanan mengantar Aisha. "Ya, Mas Sena dan Mbak Ann sangat baik, Mas," tutur Aisha. "Hehehe, Tuan muda memang selalu baik, Ais. Tanpa dia sepertinya aku gak akan seperti sekarang," Arka menyetir dengan mengulas senyuman. "Aku hanya berharap mereka selalu bahagia bersama," ucap Aisha dengan tulus. Arka tersenyum, "Aku juga berharap kita bahagia, Aisha!" ungkapnya lembut. Ke duanya hanya tersipu dengan ucapan masing-masing. Setibanya di depan gang rumah Aisha, Arka hanya membukakan pintu. "Mas, ikut ya?" tanya Arka. "Mas, jangan dulu ya!" Aisha mengelak. Entah kenapa Aisha masih enggan membawa Arka pada keluarganya. "Ya, oke." Meski sudah melamar Aisha, Arka masih suka bertanya-tanya tentang keadaan keluarganya. Tapi, Aisha selalu menghindari itu. "Aku pulang dulu, Sayang," ucap Arka dengan senyuman. "Ya, hati-hati, Sayang," balas Aisha. *** "Suami kamu royal banget, Ann!" seru Lena tatkala tiba di kantor. "Ya, makanya
"Hehehe," Hari berlalu dengan sibuk, Ann menatap layar komputer sampai matanya pedas. Pekerjaan yang cukup menumpuk akibat ia mengambil cuti. Lena dengan emosionalnya akibat tumpukan pekerjaan. "Kau benar-benar gila, lihatlah semua ini aku yang kerjakan!" seru Lena. "Iya, maaf, Lena. Aku juga tidak tahu kenapa Pak Dewa melimpahkan itu padamu," Ann menatap nanar ke Lena. "Hahaha, canda besti. Nanti bilang ke suamimu ya, suruh dia mengenalkan teman tampannya untukku," bisik Lena dengan mengedipkan sebelah mata. "Punya teman serakah itu seperti ini ternyata," ujar Ann tanpa ragu. *** "Bagaimana kerjaan kamu?" tanya Sena dengan lembut. "Lancar, kamu gimana, sayang?" Ann membalikkan tanya. Sedangkan wanita yang duduk di samping kemudi seperti obat nyamuk. Hanya bermain ponsel dengan tatapan kosong. "Minimal sadar ya!" sindirnya. "Hahaha, Lena ... benarkah kamu sedang mencari calon suami?" tanya Sena dengan kekehan ringan. "Wah, benar, Tuan muda. Kalau
"Siap, Sayang? Kita kembali ke kota yang ramai dengan hiruk pikuk dunia," celetuk Sena seraya menatap istrinya yang terlihat diam. "Siap gak siap, Sena. Di sini sangat nyaman, jadi aku cukup jatuh cinta dengan kota ini," balas Ann dengan nanar. Sena hanya tersenyum simpul, tidak ada yang salah dari ucapan Ann. Ia begitu mencintai pantai dan laut, akan sangat senang jika ia bisa tinggal di dekat dua tempat itu. "Nanti kita ambil cuti lagi ya, yang lebih lama lagi. Sekarang sudah saatnya kita pulang, Sayang," ucap Sena dengan lembut. "Ya." *** "Permisi, Tuan muda. Sarapannya sudah siap!" Suara Reni yang menggelegar terdengar nyaring dan memekakkan telinga Ann dan Sena. Dua sejoli yang baru terlelap beberapa jam itu harus segara membuka matanya. "Huahh, aku masih mengantuk sekali, Ann!" gumam Sena lembut. "Sama, tapi tidak mungkin kita terus terbaring di sini, Sayang!" Sena meraih tangan Ann, menariknya masuk ke kamar mandi. "Ya, Reni. 30 menit kami akan
"Saudara perempuan?" Ann melemparkan tanya dengan tatapan bingung. "Iya, Ann. Entah ini benar atau salah, tapi ini sangat membebani pikiranku," keluh Sena. Pelan Ann menelaah setiap kalimat yang keluar dari bibir Sena. Aneh, dan penuh tanda tanya besar. "Kamu yakin itu adik kamu?" tanya Ann lirih. "Tidak, aku percaya dengan ucapan ibuku sebelum meninggal. Aku adalah satu-satunya anak dari pasangan keluarga Gaharu," terang Sena. Ann bingung harus menanggapi apa, raut wajah Sena yang terlihat tertekan dengan keadaan yang diluar kendalinya. "Sayang, peluk aku!" ucap Ann. Ia merentangkan tangan dengan penuh keyakinan, jika mulutnya tidak mampu berkata dengan benar. Setidaknya, dekapannya mampu memberikan ketenangan pada Sena. "Sayang, terima kasih ya," bisik Sena. Ke duanya saling mendekap satu sama lain, mengeratkan pelukannya. "Besok sore kita pulang, ayo nikmati bulan madu kali ini, Sayang," bisik Sena. "Badanku rasanya remuk sekali, Sena. Bahkan untuk