"Tuan Muda, alangkah baiknya Anda mengurangi konsumsi kopi hitam. Ini sudah gelas ke 5 malam ini," peringat Arka dengan hati-hati. "Kau tau apa, Arka! Sudahlah, biarkan saja. Ini hanya kopi bukan alkohol," hardiknya. Malam semakin larut, tubuhnya tidak mampu terpejam sebelum istrinya kembali. Dunia seakan berhenti begitu saja. "Kalau ini terjadi dalam jangka waktu lama, sepertinya aku akan gila, Arka!" ujarnya keras. "Tuan, jangan asal berbicara. Sepertinya Anda memang membutuhkan istirahat, mari saya antar ke kamar," ucap Arka dengan penuh keyakinan. Sena menolak, ia hanya memejamkan matanya. Di kursi kebesarannya. "Arka, kamu tahu kalau Ann itu separuh hidupku sekarang? Aku bisa gila jika dia tidak ada, setengah mati aku berusaha mendapatkannya. Setelah aku mendapatkannya, bisa-bisanya dia hilang begitu saja," gerutu Sena. Arka hanya mendengar suara Sena, tidak ada keberanian untuknya berbicara saat ini. Ia paham kenapa tuannya itu sangat mencintai istrinya.
[Sena, datanglah ke rumah bersama Ann!] Pak Adi. Manik mata Sena menatap layar ponsel dengan frustasi, bagaimana tidak? ia harus datang bersama istrinya yang entah di mana. "Arka, bagaimana perkembangan pencarian istriku?" tanya Sena. "Masih nihil, Tuan. Kami masih berusaha keras," jawab Arka dengan ragu. "Oke, aku akan ke rumah mertuaku. Tolong jangan hubungi aku terlebih dahulu, sebelum aku yang menghubungi kalian!" titah Sena. "Baik." Sena melenggangkan kakinya, meninggalkan ruangan yang 2 hari ini menghiasai masa suramnya. Kantung mata yang kian menghitam, membuat penampilannya sangat kurang. "Aku bisa gila, Ann. Kamu di mana?" tanya Sena dengan suara purau. Sepanjang perjalanan menuju rumah Adi, Sena hanya menatap sekeliling. Menaiki ojek online dengan penuh keterpaksaan, ini hanya untuk memenuhi aktingnya. "Sudah tiba, Tuan," ucap tukang ojek itu ramah. "Panggil Mas saja, takutnya ada yang mendengar," balas Sena. Ia memberikan beberapa lembar uan
"Ke mana dirimu, Ann?" gumam Sena. Setelah pergi ke rumah Adi, kini ia merebahkan tubuhnya di kamar. Seperti dijebak oleh kenangan sendiri, ia seolah melihat Ann ada di sampingnya. "Aku benar-benar bisa gila!" umpatnya. Matanya enggan terpejam, pikirannya melayang jauh entah ke mana. Sudah hampir 3 hari ia tidak terlelap dengan tenang, hanya satu sampai dua jam sisanya hanya terjaga. [Arka, apa belum ada kabar tentang Ann?] Sena. Sebuah pesan yang Sena kirim pada Arka, ia tidak lagi ingin berharap lebih. Tapi, rasanya ingin sekali mencari sendiri. Tok tok tok! "Permisi, Tuan muda. Saatnya makan malam," ucap Reni dari luar kamar. "Bawa ke kamar saja, Reni. Aku tidak ingin turun!" seru Sena. "Baik." Setelah beberapa saat, Reni kembali datang dengan nampan berisi makanan. diletakkannya di sebuah nakas di kamar Sena. "Selamat makan, Tuan muda. Saya pamit dulu, jika ada sesuatu bisa memanggil saya lagi," ucap Reni dengan menundukkan kepalanya dalam. "Teri
Benar yang dikatakan dua pria suruhan Rafael, Ann dibawa pergi entah ke mana. Meninggalkannya di tepi jalanan yang gelap dan sepi. Hanya ada satu lampu penerangan di sana, dengan perasaan yang amat sangat kalut. Ia membuka matanya lebar. "Aku takut," ucapnya lirih. Matanya menelaah ke beberapa sudut jalan, tapi nyaris tidak ada kendaraan di sana. Bajunya yang robek dan kulit putihnya yang penuh dengan tanda keunguan. Tangisnya tidak kunjung berhenti, sepanjang malam ia menangisi nasib malangnya. "Nona, akhirnya kita menemukan Anda!" seruan keras yang terdengar bersorak. "Berhenti, jangan sentuh aku!" pekik Ann keras. Ia merasa dua orang berjaket hitam itu berniat menyentuhnya, atau bisa jadi ia masih orang suruhan Rafael. "Nona, tenangkan dirimu. Kami akan membawamu pulang, percaya denganku ya!" ucapnya dengan teguh. Ann masih menatap setengah hati ke arah pria itu, tidak mungkin untuk berlari karena kakinya masih sakit. "Bawa aku pergi, sejauh mungkin da
"Tidak sekarang, Sena. Biarkan aku istirahat ya," pintanya. "Ann? boleh aku menemanimu?" tanya Sena dengan tatapan penuh tanya. "Ti-tidak, aku takut bertemu dengan lelaki. Tolong, biarkan aku sendiri dulu selama satu minggu ke depan," Ann masih takut dengan pria, ia takut hal yang menimpanya akan terjadi lagi. Mendengar itu, Sena hanya bisa pasrah. Sekali pun ia sudah merindukan Ann, ia hanya bisa melihat Ann dari jauh. Memastikan ia baik-baik saja, tanpa harus banyak bertanya. "Aku pamit dulu, jika ada apa-apa kamu bisa telpon aku. Sepertinya hari ini aku akan jualan lagi," pamit Sena. Jualan yang Sena maksud bukanlah jualan bakso, ia akan beristirahat dan memikirkan langkahnya setelah ini. Tiga hari berlalu tanpa kabar Ann, kini ia bisa bernafas sedikit lebih lega. "Arka, tolong kabari aku apa pun yang terjadi. Sepertinya aku akan istirahat dulu, setelahnya kita atur strategi baru!" titah Sena dengan tegasnya. "Baik, Tuan muda." Sena melenggangkan kakinya
Hari-hari berlalu, Ann masih mengurung dirinya tanpa ingin keluar. "Sena, ceraikan aku ya!" ucap Ann tanpa ragu. Sena yang mulanya duduk dengan membaca koran pagi hanya mendongak. Tatapannya tajam menusuk. "Kamu kenapa sih, Ann?" tanya Sena. "Aku ingin cerai dari kamu, Sena. Tubuhku ini sudah terlalu kotor untuk kamu yang sangat baik itu," papar Ann. Helaan nafas panjang Sena hembus dengan berat hati. Lelah mendengar ucapan Ann yang selalu membahas perceraian, meminta kembali pada Adi. "Aku gak bisa, Ann. Perjanjian kita 4 tahun, kita saja belum ada 1 tahun. Jangan ngaco kamu!" hardik Sena dengan tegas. Langkahnya pergi dengan membawa penat di kepalanya. Meski Ann tidak melihat raut wajahnya yang penuh dengan kekesalan. "Sena, aku mohon kali ini. Batalkan saja perjanjian itu, kita bercerai. Kamu berhak mendapatkan wanita yang baik, dan aku ...," ucapannya terhenti seketika. "Lalu kamu bagaimana? hidup bersama ayah dan ibu tirimu yang berlaku seenaknya itu?"
Sena masih terlelap dalam tidurnya, Ann hanya bisa menyandarkan dirinya. Suaminya hanya diam setelah mendengar permintaan cerai. Ia tidak lagi ada ide yang cemerlang. Hanya satu harapannya, teman wanita Lena. "Sena, kamu tidak ingin bangun?" tanya Ann. Sudah satu jam mungkin suaminya terlelap, kakinya cukup pegal. Ia juga tidak mungkin memindahkan Sena dari posisinya. "Sena ...," panggil Ann sekali lagi. Dering telepon terdengar, tapi bukan dari ponsel Ann. Sekilas ia menatap benda pipih di sebelah tubuh Sena. Matanya berusaha melirik sejenak, tapi ia tidak sampai hati untuk membuka ponsel itu. "Sena, ada telepon sepertinya," ucap Ann. Tangannya mengoyak tubuh Sena perlahan, tapi pria itu tidak kunjung bangun. Ia malah mengeratkan pelukannya pada tubuh Ann. "Huft, aku angkat aja ya. Takutnya penting," ucap Ann sekali lagi. Ann bergegas meraih ponsel Sena, tapi seperdetik sebelum Ann mengangkat ponsel. Sena membuka matanya lebar, ia langsung mengambil pons
Sena mendekap tubuh Ann yang gemetar hebat, isak tangisnya seperti tidak akan berhenti saat itu juga. Dalam dekapan hangat Sena, ia tidak mampu banyak bicara. "Saat aku melihat pintu terbuka, sosok Rafael masuk tanpa ragu. Ia hanya menggunakan celana pendek, dia menyentuhku tanpa ada rasa malu. Tubuhku ini ... tubuh ini tidak lagi layak untukmu, Sena!" pekiknya diakhir kalimatnya. Meski air matanya tidak kunjung berhenti mengalir, Ann masih saja berusaha melanjutkan ceritanya. Matanya tidak berbohong, Sena merasa terpukul! "Maaf, maaf karena aku gagal menjagamu, Ann. Setelah ini, tidak ada lagi kejadian yang sama akan menimpamu. Aku janji akan itu," ucap Sena dengan menatap istrinya lekat. "Ta-tapi, tidak, Sena. Kita harus bercerai, karena aku sadar bahwa wanita sepertiku tidak layak ada di sampingmu," ungkap Ann dengan penuh ketegasan. "Stop, jangan lagi mengatakan itu, Ann. Kamu pantas bahagia bersamaku, tidak ada wanita yang layak di sampingku kecuali kamu."
"Lena?" tanya Sena dengan tatapan penuh tanya. "Kan kamu janjiin dia cowok, Sayang. Kamu lupa?" tanya Ann dengan kekesalan. "Tidak, aku masih ingat kok. Hm, beberapa temanku memang sedang mencari pacar, nanti aku akan mengenalkan salah satunya pada Lena," terang Sena. Mata yang teduh kini menatap lekat ke arah Ann, perjalanan menuju apartment selalu menyenangkan baginya. "Malam ini biarkan aku memasak untukmu, Sayang. Kamu istirahat saja ya," bisik Sena. "Ta-tapi? Kenapa tidak pesan di luar saja?" Ann melempar tanya. Ia hanya cemas jika Sena memasak asal dan tidak bisa dimakan. Akan sangat mubazir jika itu terjadi. "Tenang saja!" ucap Sena. Tibalah mereka berdua di apartment, Sena yang langsung membawa Ann ke kamar. "Kamu istirahat ya, mandi dulu," titah Sena. "Tapi, Sayang," Ann memeluk erat tubuh Sena. Membuat lelaki itu terdiam sejenak, Ia membalas pelukan Ann dengan hangat. "Kamu mau apa sekarang? Mandi dulu ya, nanti aku yang memasak," terang Se
"Siang, Tuan Muda," sapa Arka dan Aisha kompak. Kini mereka duduk di sebuah restoran cukup ternama, Ann yang duduk di samping Sena membuat Aisha canggung. Bukan karena apa, hanya saja suaminya mengajaknya makan siang bersama. "Aisha, aku dengar dari Lena kamu lagi cari rumah?" tanya Ann dengan menatap wajah Aisha sekilas. "Iya, Mbak. Dasar Lena suka bahas hal-hal yang gak perlu!" Aisha menanggapi dengan kekehan ringan. Merasa malu, ia meremas ujung bajunya sampai kusut. "Aku berniat memberikan apartment padamu, Aisha," ucap Sena. Satu kalimat yang berhasil membuat mulut Aisha ternganga, bukan ini yang ia inginkan. Tapi ... kenapa Sena ingin memberikan apartment padanya? "Tuan, saya punya tabungan untuk menyewa rumah kecil saja. Saya ...," Aisha menghentikan ucapannya. "Aisha, semua ini tidak kuberikan cuma-cuma, karena kamu teman baik istriku. Dia yang meminta padaku tentang ini, jangan ditolak ya!" peringat Sena. Manik mata yang kini basah menatap Arka secara berulang, ia m
"Aku dengar Aisha lagi cari kontrakan ya," celetuk Lena saat tiba di tempat duduknya. "Aku malah gak dengar apa-apa, Len." Ann kembali fokus pada pekerjaan yang ada di hadapannya. "Aku masih bertanya-tanya, apa bapaknya belum berubah dari dulu?" Lena masih dengan tanya yang ada di kepalanya. Mendengar itu, Ann mendongak pada sahabatnya yang kini bersandar di kubikel. sorot mata penuh tanya dengan tatapan tajam. "Bapaknya belum berubah? Maksudmu apa?" tanya Ann. "Orangnya kasar banget, Ann. Dulu waktu masih SMA, Aisha sering dateng babak belur ke sekolah," terang Lena dengan mengingat beberapa tahun ke belakang. "Gila, kenapa kamu diam aja sih!" seru Ann. Lena menatap Ann dengan penuh tanya, bingung! Padahal awalnya Lena hanya membahas tentang Aisha yang mencari rumah. "Aisha itu kelihatannya mau kabur dari rumah, Ann. Makanya dia berniat beli rumah baru," terang Lena sebagai tambahan. "Iya, aku telpon suamiku dulu." Ann meraih ponselnya yang tergeletak di
"Mas, kan kita mau pulang. Kenapa lewat sini?" tanya Aisha saat mengamati arah laju mobil Arka. "Kita makan," singkat. Akhirnya, Aisha memilih diam tanpa bertanya lagi. Ia hanya bersandar dengan posisi nyaman. Menatap jalanan yang ramai di malam hari. "Ai, kenapa diam?" tanya Arka dengan lembut. "Gak apa-apa, Mas. Aku tidak lapar," jawabnya. Meski perutnya terasa kosong dan membuat tubuhnya lemas. Aisha tidak lagi ingin merepotkan Arka, sudah terlalu banyak bantuan yang ia terima. Hingga Aisha bingung harus membalas dengan apa. "Mas, aku jadi bebanmu ya sekarang?" Kalimat itu keluar begitu saja, membuat Arka sempat tergelak. "Maksudmu, Ai?" tanya Arka dengan menatap penuh tanya. "Karena Mas Arka melamarku, aku sekarang jadi merepotkanmu, Mas!" kata Aisha dengan ragu. Ia tidak lagi mampu menopang dirinya sendiri, dan ia malah merepotkan orang lain yang notabene pria yang melamarnya. "Mas, harusnya aku gak memperlakukanmu seperti ini," ucap Aisha lagi.
"Aisha, ada apa?" tanya Arka dengan penuh kecemasan. Di sambungan telepon, di ruangan yang gelap. Aisha memberanikan diri menghubungi Arka, malam itu. "Aku gak apa-apa, Mas. Tapi temani aku sebentar ya," kata Aisha dengan gemetar. "Iya, aku temani. Apa kamu mau aku ke sana? Aku temani ya," Arka kian mencemaskan Aisha kali ini. Logikanya tidak lagi bisa diajak kompromi, satu hal yang ia inginkan. "Jangan ya, Mas. Aku gak mau Mas Arka ikutan keseret. Temenin aku aja via telepon," elak Aisha. "Baiklah, Aisha. Katakan saja kalau ada apa-apa," timpal Arka. Kecemasan yang tidak ada habisnya, ia hanya bisa menahan diri. Menemani Aisha dalam kekalutan yang tidak dia pahami. "Arghhh!" pekik Arka dengan keras. Tanpa sadar ia berteriak saat telepon masih tersambung. "Mas, ada apa?" tanya Aisha terburu-buru. "Tidak apa-apa, Aisha. Mas ke sana aja ya, di sini gak bisa tenang," tegas Arka. "Ta-tapi, ... Aku gak bisa jamin loh, Mas," Aisha terbata dengan suara gem
"Kamu senang?" tanya Arka saat diperjalanan mengantar Aisha. "Ya, Mas Sena dan Mbak Ann sangat baik, Mas," tutur Aisha. "Hehehe, Tuan muda memang selalu baik, Ais. Tanpa dia sepertinya aku gak akan seperti sekarang," Arka menyetir dengan mengulas senyuman. "Aku hanya berharap mereka selalu bahagia bersama," ucap Aisha dengan tulus. Arka tersenyum, "Aku juga berharap kita bahagia, Aisha!" ungkapnya lembut. Ke duanya hanya tersipu dengan ucapan masing-masing. Setibanya di depan gang rumah Aisha, Arka hanya membukakan pintu. "Mas, ikut ya?" tanya Arka. "Mas, jangan dulu ya!" Aisha mengelak. Entah kenapa Aisha masih enggan membawa Arka pada keluarganya. "Ya, oke." Meski sudah melamar Aisha, Arka masih suka bertanya-tanya tentang keadaan keluarganya. Tapi, Aisha selalu menghindari itu. "Aku pulang dulu, Sayang," ucap Arka dengan senyuman. "Ya, hati-hati, Sayang," balas Aisha. *** "Suami kamu royal banget, Ann!" seru Lena tatkala tiba di kantor. "Ya, makanya
"Hehehe," Hari berlalu dengan sibuk, Ann menatap layar komputer sampai matanya pedas. Pekerjaan yang cukup menumpuk akibat ia mengambil cuti. Lena dengan emosionalnya akibat tumpukan pekerjaan. "Kau benar-benar gila, lihatlah semua ini aku yang kerjakan!" seru Lena. "Iya, maaf, Lena. Aku juga tidak tahu kenapa Pak Dewa melimpahkan itu padamu," Ann menatap nanar ke Lena. "Hahaha, canda besti. Nanti bilang ke suamimu ya, suruh dia mengenalkan teman tampannya untukku," bisik Lena dengan mengedipkan sebelah mata. "Punya teman serakah itu seperti ini ternyata," ujar Ann tanpa ragu. *** "Bagaimana kerjaan kamu?" tanya Sena dengan lembut. "Lancar, kamu gimana, sayang?" Ann membalikkan tanya. Sedangkan wanita yang duduk di samping kemudi seperti obat nyamuk. Hanya bermain ponsel dengan tatapan kosong. "Minimal sadar ya!" sindirnya. "Hahaha, Lena ... benarkah kamu sedang mencari calon suami?" tanya Sena dengan kekehan ringan. "Wah, benar, Tuan muda. Kalau
"Siap, Sayang? Kita kembali ke kota yang ramai dengan hiruk pikuk dunia," celetuk Sena seraya menatap istrinya yang terlihat diam. "Siap gak siap, Sena. Di sini sangat nyaman, jadi aku cukup jatuh cinta dengan kota ini," balas Ann dengan nanar. Sena hanya tersenyum simpul, tidak ada yang salah dari ucapan Ann. Ia begitu mencintai pantai dan laut, akan sangat senang jika ia bisa tinggal di dekat dua tempat itu. "Nanti kita ambil cuti lagi ya, yang lebih lama lagi. Sekarang sudah saatnya kita pulang, Sayang," ucap Sena dengan lembut. "Ya." *** "Permisi, Tuan muda. Sarapannya sudah siap!" Suara Reni yang menggelegar terdengar nyaring dan memekakkan telinga Ann dan Sena. Dua sejoli yang baru terlelap beberapa jam itu harus segara membuka matanya. "Huahh, aku masih mengantuk sekali, Ann!" gumam Sena lembut. "Sama, tapi tidak mungkin kita terus terbaring di sini, Sayang!" Sena meraih tangan Ann, menariknya masuk ke kamar mandi. "Ya, Reni. 30 menit kami akan
"Saudara perempuan?" Ann melemparkan tanya dengan tatapan bingung. "Iya, Ann. Entah ini benar atau salah, tapi ini sangat membebani pikiranku," keluh Sena. Pelan Ann menelaah setiap kalimat yang keluar dari bibir Sena. Aneh, dan penuh tanda tanya besar. "Kamu yakin itu adik kamu?" tanya Ann lirih. "Tidak, aku percaya dengan ucapan ibuku sebelum meninggal. Aku adalah satu-satunya anak dari pasangan keluarga Gaharu," terang Sena. Ann bingung harus menanggapi apa, raut wajah Sena yang terlihat tertekan dengan keadaan yang diluar kendalinya. "Sayang, peluk aku!" ucap Ann. Ia merentangkan tangan dengan penuh keyakinan, jika mulutnya tidak mampu berkata dengan benar. Setidaknya, dekapannya mampu memberikan ketenangan pada Sena. "Sayang, terima kasih ya," bisik Sena. Ke duanya saling mendekap satu sama lain, mengeratkan pelukannya. "Besok sore kita pulang, ayo nikmati bulan madu kali ini, Sayang," bisik Sena. "Badanku rasanya remuk sekali, Sena. Bahkan untuk