"Ann, kamu belum tidur?" tanya Sena. Pembawaannya tenang tatkala manik matanya mendapati istrinya masih terjaga. Tatapan Ann tertuju pada satu titik fokus. "Kamu menyembunyikan apa di belakangku, Sena?" Ann melontarkan tanya, sepasang mata itu menatap lekat tanpa celah. Dengan helaan nafas gusar yang terlihat jelas di wajah Sena. Apa yang harus ia ucapkan pada Ann kali ini? "Aku? menyembunyikan apa, Ann?" Sena membalikkan tanya. "E ... Maaf, aku tidak sengaja mendengar percakapan mu. Proyek besar apa yang harus kamu menangkan?" terang Ann dengan kilat tanya yang menguar. "Oh, ahahaha. Itu, temanku baru saja mengabari ada pesanan catering cukup banyak untuk pernikahan. Tapi, ada saja orang yang iri dan berusaha merebut alih pemesanannya, rugi besar kalau itu gagal," jelas Sena dengan kebohongan yang dibalut rapi. Ann hanya mengangguk paham, meski ia masih menyimpan tanya besar atas apa yang dijelaskan Sena. Seperti ada hal lain yang disembunyikan suaminya itu. "
"Ann!" seru Lena sembari berlari. "Hai, kamu juga baru sampai?" tanya Ann. Ke duanya masuk ke area kantor dengan berbincang. "Tadi siapa, Ann? Tumben sekali gak naik taxi," secara tidak sengaja ia melihat sosok pria di dalam mobil. "Iya, dia suamiku. Hari ini dia sedang senggang tidak ada jadwal jualan, jadi dia menyempatkan mengantarku," terang Ann. "Wah, pria yang sangat menyayangi istrinya. Aku berharap kamu bahagia, Ann. Setelah mendengar cerita dibalik gagalnya pernikahanmu dengan Rafa, rasanya aku sangat kesal!" Lena menggerutu dengan ekspresi yang sangat menjiwai. "Sudahlah, Lena. Aku sudah menerima kenyataan ini, " ulasan senyum merekah di bibir Ann. Baginya, mau menikah dengan Rafael atau dengan Sena. Semuanya sudah menjadi takdir baginya, tidak ada yang perlu disesali. "Aku bangga sama kamu, Ann. Kamu lebih tegar sekarang," ucap Lena dengan ulasan senyum di wajahnya. Hanya senyuman yang diberikan Ann, hari itu berlalu dengan banyaknya hiruk pikuk p
"Sialan!" umpat Rafael setibanya di kamar. Dewi yang tergopoh-gopoh mendekati suaminya dengan senyuman yang merekah. "Mas, kamu mau minum kopi atau teh?" tanya Dewi lirih. "Berisik, pergi kau dari sini!" pekik Rafael. Ia memijat pelan pelipisnya yang terasa tegang. Emosinya tidak dapat ia tahan, alih-alih pergi dari hadapan Rafael. Dewi mulai menyentuh pelipis Rafael dan memijatnya perlahan. "Kau tau bahasa pergi atau tidak!" cengkraman tangan Rafael pada Dewi membuatnya terdiam. Nafasnya mulai tersengal-sengal, ia bahkan tidak paham mengapa Rafael melakukan itu padanya. Gegas ia meninggalkan kamar dengan perasaan was-was bahkan penuh ketakutan. "Kenapa dia melakukan itu? Padahal aku ini istrinya, tidak seharusnya ia seperti itu padaku," gumam Dewi bertanya-tanya. Langkah kakinya menuju kamar Ratih dengan terburu-buru. "Bu, aku ingin bicara!" serunya keras. Tidak lama dari itu, pintu kamar terbuka lebar. Ia menghamburkan tubuhnya ke ibunya. "Ibu, Mas
Setelah kejadian di taman itu, Ann memilih mendiamkan Sena. Kesal bukan main! bagaimana bisa Sena mencium dirinya di taman belakang. Bukan karena takut dihukum, hanya saja ia malu pada karyawan yang ada di rumah itu. "Ann," suara Sena yang lembut terdengar di telinga Ann. "Ann, kamu kenapa sih?" tanya Sena. Tidak memedulikan pertanyaan Sena, Ann memilih untuk tetap fokus pada ponselnya. "Bilang sama aku, Ann. Apa yang terjadi saat kamu pulang kerja tadi?" tanya Sena tiba-tiba. Kali ini, Ann tidak dapat diam saja. Ia enggan bercerita pada Sena, akan tetapi ia juga tidak mampu menyimpan rahasia ini sendirian. Rahasia? Apa ancaman Rafael sudah menjadi rahasia bagi dirinya? "Aku tidak apa-apa, Sena. Hanya kelelahan saja, banyak pekerjaan yang dilimpahkan padaku," tutur Ann. "Kamu bohong 'kan? Tidak ada orang kelelahan terus melamun di taman belakang, sudah pasti ada hal yang mengganjal dalam dirimu," tebak Sena. Sena enggan memaksa Ann tentang apa yang ia pikirkan, kar
"Mas, pagi ini aku ikut ke kantor ya," ucap Dewi dengan tangannya yang melingkari lengan Rafael. "Gak, aku lagi banyak kerjaan yang membutuhkan fokus. Lagian, ngapain kamu mau ikut ke kantor? merepotkan saja!" gerutu Rafael. Belum sempat Dewi mengungkapkan keinginannya, namun sudah mendapatkan penolakan mentah-mentah. "Tapi, Mas. Akhir-akhir ini kamu sangat sibuk, bahkan tidak ada waktu untuk mengobrol denganku. E ... Mas juga lama tidak menyentuhku," lirihnya dengaj memasang wajah melas. "Oh," Hanya itu yang terlontar dari Rafael, sejak pertemuannya dengan Ann. Ia merasa tidak membutuhkan Dewi lagi, ia hanya ingin Ann menjadi miliknya. "Mas, tolong ya ijinkan aku ikut," pinta Dewi sekali lagi. "Gak, Dewi. Kamu ini maksa banget sih!" pekik Rafael. Dewi hanya menundukkan kepalanya, membiarkan suaminya itu melenggang pergi. "Sebenarnya apa yang terjadi padanya hari ini dan kemarin, dia menjadi cuek!" gumam Dewi. **** "Sena, aku buru-buru. Aku tidak sarapa
"Aduh, kepalaku!" gumam Ann, mata yang masih terpejam perlahan terbuka. Samar ia melihat sekeliling ruangan, asing bagi dirinya. Namun, ia merasa lengan dan kakinya sulit digerakkan. "Aku di mana?" tanyanya. Degup jantung yang mulai tidak beraturan, perasaan cemas dan takut yang seolah tidak dapat tertahankan. "Tolong! Siapa pun di sana, tolong aku!" teriak Ann dengan air mata yang perlahan luruh membasahi pipinya. "Tolong aku, lepaskan aku dari sini. Aku mohon!" gerutu Ann semakin keras. Rintihnya semakin keras, namun ia tidak mampu membebaskan dirinya sendiri. Nyalang manik matanya menatap kenop pintu yang mulai bergerak perlahan. Ada secercah harapan dalam dirinya. "Selamat datang, Sayang. Apa kamu suka dengan kamar barumu?" sapa Rafael dengan senyuman. "Ra-rafael, apa yang kamu lakukan padaku!" pekik Ann keras. "Tidak perlu banyak tanya, Ann. Malam ini akan menjadi malam yang indah antara aku dan kamu," bisiknya lembut ditelinga Ann. Sontak Ann mer
"Tuan Muda, alangkah baiknya Anda mengurangi konsumsi kopi hitam. Ini sudah gelas ke 5 malam ini," peringat Arka dengan hati-hati. "Kau tau apa, Arka! Sudahlah, biarkan saja. Ini hanya kopi bukan alkohol," hardiknya. Malam semakin larut, tubuhnya tidak mampu terpejam sebelum istrinya kembali. Dunia seakan berhenti begitu saja. "Kalau ini terjadi dalam jangka waktu lama, sepertinya aku akan gila, Arka!" ujarnya keras. "Tuan, jangan asal berbicara. Sepertinya Anda memang membutuhkan istirahat, mari saya antar ke kamar," ucap Arka dengan penuh keyakinan. Sena menolak, ia hanya memejamkan matanya. Di kursi kebesarannya. "Arka, kamu tahu kalau Ann itu separuh hidupku sekarang? Aku bisa gila jika dia tidak ada, setengah mati aku berusaha mendapatkannya. Setelah aku mendapatkannya, bisa-bisanya dia hilang begitu saja," gerutu Sena. Arka hanya mendengar suara Sena, tidak ada keberanian untuknya berbicara saat ini. Ia paham kenapa tuannya itu sangat mencintai istrinya.
[Sena, datanglah ke rumah bersama Ann!] Pak Adi. Manik mata Sena menatap layar ponsel dengan frustasi, bagaimana tidak? ia harus datang bersama istrinya yang entah di mana. "Arka, bagaimana perkembangan pencarian istriku?" tanya Sena. "Masih nihil, Tuan. Kami masih berusaha keras," jawab Arka dengan ragu. "Oke, aku akan ke rumah mertuaku. Tolong jangan hubungi aku terlebih dahulu, sebelum aku yang menghubungi kalian!" titah Sena. "Baik." Sena melenggangkan kakinya, meninggalkan ruangan yang 2 hari ini menghiasai masa suramnya. Kantung mata yang kian menghitam, membuat penampilannya sangat kurang. "Aku bisa gila, Ann. Kamu di mana?" tanya Sena dengan suara purau. Sepanjang perjalanan menuju rumah Adi, Sena hanya menatap sekeliling. Menaiki ojek online dengan penuh keterpaksaan, ini hanya untuk memenuhi aktingnya. "Sudah tiba, Tuan," ucap tukang ojek itu ramah. "Panggil Mas saja, takutnya ada yang mendengar," balas Sena. Ia memberikan beberapa lembar uan