Ann beranjak dari duduknya, manik mata yang menusuk ke Rafael dan Dewi secara bergantian. Jika ke duanya lengah, seolah sabitan pisau sudah menggores kulit ke duanya.
“Ann!” seru Adi. “Maaf atas sikap kurang sopan Ann, saya akan menyusulnya,” Sena berdiri dari kursi meja makannya. Suara langkah kaki yang terdengar cepat namun pasti, ia masih menahan diri atas apa yang terjadi beberapa hari ini. “Ann, buka pintunya!” seru Sena. “Aku sedang tidak ingin diganggu, pergilah!” pekik Ann, suaranya sayu terdengar penuh kesenduan. Dengan menghela nafas panjang, Sena masih terdiam di depan pintu. Memunggungi daun pintu yang masih tertutup rapat. “Ann, apa kamu mau ikut pulang denganku?” sebuah pertanyaan yang akhirnya keluar dari mulut Sena. Perlahan daun pintu terbuka dengan sendirinya, manik mata yang penuh dengan peluh menatap Sena lekat. Diam! Ke duanya terjebak pada keheningan, ada kebingungan yang tercetak dari tatapan Ann. “Kamu mau bawa aku pulang ke mana, Sena?” tanyanya. Tangannya menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali, manik mata yang menatap sekeliling dengan ragu. “Rumahku, Ann. E… gak besar, tapi cukup untuk kita hidup berdua,” jelasnya. Garis tipis di antara dua bibir itu terlihat manis, entah bagaimana? “Aku bisa membantumu membayar uang sewa, jadi ayo kita pergi saja dari sini!” seru Ann dengan penuh antusias. “Ayo!” Sena mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, menatap Ann dengan mata teduhnya. Sebenarnya ia masih nyaman di rumah itu, akan tetapi akan tidak tega melihat Ann terpaksa. “Kamu gak usah bawa baju banyak-banyak ya,” peringat Sena. Ann mendongak, ‘Kasihan sekali, pasti rumah kontrakannya kecil,’ gumam Ann dalam batinnya. “Ann,” panggil Sena lirih. “Aku telepon seseorang dulu ya,” ucap Sena. Di balkon kamar yang jauh dari ranjang, Sena asyik mengobrol. Tatapannya tegas dan lugas. Tangannya tidak berhenti menari di atas keyboard. “Kamu ini bagaimana sih, siapkan yang saya minta!” hardiknya keras. “Sena, kamu telepon siapa? Kenapa marah-marah seperti itu?” tanya Ann. Sudah cukup lama Sena berbicara di telepon dan tidak kunjung masuk. Ann yang penasaran mulai berjalan mendekati Sena. “Ann, e… bukan siapa-siapa. Itu, tadi katanya di rumah ada yang pakai handuk terus hilang, jadi aku minta disiapkan yang baru aja,” paparnya bohong. “Oh gitu, aku sudah siap,” ucap Ann. Sena mengangguk, ia menggandeng tangan Ann tanpa ragu. Hal yang membuat Ann terdiam, langkahnya tercekat bahkan tidak berkutik. “Kenapa, Ann?” tanya Sena. Ann hanya menatap tangannya dan Sena yang saling bertaut, melihat itu Sena hanya tersenyum seraya menarik tangan Ann. “Aku akan minta ijin ke Pak Adi,” terangnya. Kedatangan Sena dan Ann di meja makan membuat semua anggota keluarga terkesiap. Bukan karena apa, hanya saja tatapan Ann seolah siap menghunus semua anggota keluarga yang sedang menikmati makanan. “Ann, kamu mau makan lagi?” tanya Ratih. “Sok akrab!” gerutu Ann. Semakin erat Sena menggenggam tangan Ann, ia tidak lagi menghiraukan anggota keluarga yang lain. Ia hanya terfokus pada sosok Adi. “Pak Adi, saya ingin membawa Ann ke rumah saya,” pintanya. Adi mendongak, pikirannya melayang cukup jauh. Tentang bagaimana jika anaknya harus hidup susah dan tinggal di gang sempit. “Saya bisa menjamin Ann akan tercukupi, Pak. Saya juga akan kembali bekerja,” terangnya. “Wah, memang seharusnya Kak Ann hidup bersama suaminya yang miskin itu … eh! Kalau tetap di sini kapan mau mandirinya ‘kan. Ayah, kan masih ada aku di rumah,” ujar Dewi dengan senyum liciknya. “Sena tidak miskin!” seru Ann. Sontak Sena mendongak, nafasnya menderu seolah baru saja lari marathon. Apakah Ann sudah tahu identitasnya? “Dia hanya sederhana dan dia juga pekerja keras! Jangan merendahkan suamiku, Dewi. Nikmati saja suami hasil merebut itu, anak sama ibu sama aja tukang rebut milik orang!” tambah Ann dengan sarkas. Kepalan tangan yang seakan siap menghujam Ann, Dewi dan Ratih saling memandang dengan penuh emosi. “Kamu tahu apa, Ann? Saya tidak merebut ayahmu dari ibumu sama sekali. Kami jatuh cinta,” hardik Ratih. “Tapi, anda juga yang merencanakan kematian ibuku ‘kan?” Plak! Sebuah tamparan keras yang melayang tepat di pipi kanan Ann, luruh sudah air mata yang enggan keluar. Emosi sesaat Adi menghancurkan kepercayaan anak kandung tunggalnya. “Pak Adi!” pekik Sena. “Dia sudah menjadi tanggung jawab saya, jadi semisal dia melakukan salah biar saya yang menegurnya. Jangan asal main tangan, sialan!” dengan menarik Ann dalam dekapannya, Sena membawa istrinya pergi dari hadapan keluarganya. “Sena, jangan bawa anakku!” seru Adi. Suara keras nan memekik tidak membuat Sena menghentikan langkah kakinya. Ia berseru pada sebuah taksi, lantas ke duanya masuk tanpa memedulikan Adi. “Sena, jangan bawa anakku,” rintih Adi. Di perjalanan, Ann hanya diam dengan mata yang fokus pada jalanan. Sena hanya diam tanpa berbicara sepatah atau dua patah kata. “Kamu tahu, Ann? Aku sangat takut dengan seorang pria yang suka main tangan, bagiku itu kasar,” ucap Sena lembut. Ann masih diam, tidak ada tanggapan dari ucapan Sena. Manik matanya masih terfokus pada jalanan di depannya. “Ann, maaf ya,” tutur Sena. Entah kenapa ia meminta maaf, hanya saja ia merasa sangat bersalah pada Ann. Tentang perpisahan yang tidak berlangsung baik. “Aku gak apa-apa, Sena. Itu bukan salahmu juga,” ucap Ann. Tanpa menatap Sena sama sekali, hanya tubuhnya yang masih bergetar hebat secara tiba-tiba. Ingatan tentang tangan Adi yang menamparnya untuk pertama kalinya. “Ann!” panggil Sena. Berulang kali Sena memanggil nama istrinya, namun tidak juga mendapatkan jawaban. Hanya getaran hebat padatubuhnya seiring dengan isak tangis yang terdengar mengiris. “Ann…,”“Ann…, jangan menangis lagi!” seru Sena, reflek ia menarik tubuh Ann dalam dekapannya. Tanpa pemberontakan Ann hanya menerima dekapan Sena hingga terlelap. Tanpa sadar ke duanya telah tiba di sebuah rumah megah. “Tuan muda, mari saya bantu,” ucap Adit. Sena menggeleng, “Kamarku sudah siap?” tanya Sena. “Sudah, Tuan.” Setelahnya, Sena menggendong tubuh Ann yang sangat ringan baginya. Membawanya pada sebuah kamar yang luas dan sangat lengkap fasilitasnya. Setelah membaringkan tubuh Ann, Sena merogoh saku celananya. “Buat perusahaan Adi bangkrut perlahan!” ucap Sena dalam sebuah sambungan telepon. Dengan guratan tipis membentuk bulan sabit di wajahnya, ia merasa harus membalaskan apa yang diperbuat oleh ayah mertuanya. “Kamu akan hancur perlahan, Adi. Terlebih kamu melukai orang yang sangat aku cintai sejak lama,” gumam Sena. Sena mendudukan dirinya di tepi ranjang, tangan besar nan jari panjangnya mengusap kening Ann. Manik mata yang sedari tadi tiada henti me
"E... Ada apa, Sena?" tanya Ann terbata. Langkahnya tercekat, ia bahkan enggan menikah pada sumber suara. Dadanya bergemuruh dengan degup jantung yang kencang. 'Ada apa dengan semua ini,' batinnya. "Aku akan memaafkanmu, asalkan berikan aku malam pertamamu untukku," bisik Sena dengan suara yang sangat dekat dengan telinganya. Deg! Nafas hangat Sena yang terasa ditengkuk Ann, membuatnya terdiam. Tangan Sena yang mulai melingkari pinggang, membuat Ann semakin menegang. "Sena, stop!" pekiknya keras. "Ma-maaf, aku tidak bisa melakukan hal yang melanggar kontrak," tegas Ann. Dengan keras ia menarik tubuhnya dari tangan Sena, susah payah ia berusaha namun nihil. "Mau ke mana, Ann? aku belum menjawab ucapanmu," bisik Sena lembut. Dengan satu gerakan Sena mengubah tubuh Ann menghadap dirinya, dengan keterkejutan Ann melingkarkan dua tangannya pada leher Sena. "Sena!" teriak Ann. Wajah Sena kian mendekat, hanya beberapa centimeter dari wajah Ann. Dengan jara
[Ann, pulanglah ke rumah, Nak. Ayah tidak ingin kamu hidup susah dengan Sena.] Ayah. Ann hanya membaca sekilas pesan dari Adi, di perjalanan pulang yang melelahkan ini. Ia tidak ingin terganggu dengan pesan atau panggilan menyebalkan. Tubuhnya lelah, meeting kali ini menguras energinya sangat banyak. Terlebih pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang terlontar dari beberapa pihak. [Ann, apa kamu sudah selesai? Aku jemput ya.] Antasena. "Huh, apa dia tidak sedang berjualan? Kenapa dia berinisiatif menjemputku?" gumam Ann. [Tidak perlu, Sena. Aku sudah ada di taxi menuju rumah.] Setelah membalas pesan itu, Ann terlelap tanpa sengaja. Akibat tubuhnya yang kelelahan, ia terlelap dengan pulas. Setibanya di rumah, sopir itu tidak membangunkan Ann. Melainkan Sena yang menggendong tubuh istrinya itu masuk. "Terima kasih banyak, Pak," ucap Sena. Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, menatap Ann saat terlelap adalah hobi barunya. "Cantik," ucap Sena lirih. Lama Sena menatap wajah
"Ann, kamu belum tidur?" tanya Sena. Pembawaannya tenang tatkala manik matanya mendapati istrinya masih terjaga. Tatapan Ann tertuju pada satu titik fokus. "Kamu menyembunyikan apa di belakangku, Sena?" Ann melontarkan tanya, sepasang mata itu menatap lekat tanpa celah. Dengan helaan nafas gusar yang terlihat jelas di wajah Sena. Apa yang harus ia ucapkan pada Ann kali ini? "Aku? menyembunyikan apa, Ann?" Sena membalikkan tanya. "E ... Maaf, aku tidak sengaja mendengar percakapan mu. Proyek besar apa yang harus kamu menangkan?" terang Ann dengan kilat tanya yang menguar. "Oh, ahahaha. Itu, temanku baru saja mengabari ada pesanan catering cukup banyak untuk pernikahan. Tapi, ada saja orang yang iri dan berusaha merebut alih pemesanannya, rugi besar kalau itu gagal," jelas Sena dengan kebohongan yang dibalut rapi. Ann hanya mengangguk paham, meski ia masih menyimpan tanya besar atas apa yang dijelaskan Sena. Seperti ada hal lain yang disembunyikan suaminya itu. "
"Ann!" seru Lena sembari berlari. "Hai, kamu juga baru sampai?" tanya Ann. Ke duanya masuk ke area kantor dengan berbincang. "Tadi siapa, Ann? Tumben sekali gak naik taxi," secara tidak sengaja ia melihat sosok pria di dalam mobil. "Iya, dia suamiku. Hari ini dia sedang senggang tidak ada jadwal jualan, jadi dia menyempatkan mengantarku," terang Ann. "Wah, pria yang sangat menyayangi istrinya. Aku berharap kamu bahagia, Ann. Setelah mendengar cerita dibalik gagalnya pernikahanmu dengan Rafa, rasanya aku sangat kesal!" Lena menggerutu dengan ekspresi yang sangat menjiwai. "Sudahlah, Lena. Aku sudah menerima kenyataan ini, " ulasan senyum merekah di bibir Ann. Baginya, mau menikah dengan Rafael atau dengan Sena. Semuanya sudah menjadi takdir baginya, tidak ada yang perlu disesali. "Aku bangga sama kamu, Ann. Kamu lebih tegar sekarang," ucap Lena dengan ulasan senyum di wajahnya. Hanya senyuman yang diberikan Ann, hari itu berlalu dengan banyaknya hiruk pikuk p
"Sialan!" umpat Rafael setibanya di kamar. Dewi yang tergopoh-gopoh mendekati suaminya dengan senyuman yang merekah. "Mas, kamu mau minum kopi atau teh?" tanya Dewi lirih. "Berisik, pergi kau dari sini!" pekik Rafael. Ia memijat pelan pelipisnya yang terasa tegang. Emosinya tidak dapat ia tahan, alih-alih pergi dari hadapan Rafael. Dewi mulai menyentuh pelipis Rafael dan memijatnya perlahan. "Kau tau bahasa pergi atau tidak!" cengkraman tangan Rafael pada Dewi membuatnya terdiam. Nafasnya mulai tersengal-sengal, ia bahkan tidak paham mengapa Rafael melakukan itu padanya. Gegas ia meninggalkan kamar dengan perasaan was-was bahkan penuh ketakutan. "Kenapa dia melakukan itu? Padahal aku ini istrinya, tidak seharusnya ia seperti itu padaku," gumam Dewi bertanya-tanya. Langkah kakinya menuju kamar Ratih dengan terburu-buru. "Bu, aku ingin bicara!" serunya keras. Tidak lama dari itu, pintu kamar terbuka lebar. Ia menghamburkan tubuhnya ke ibunya. "Ibu, Mas
Setelah kejadian di taman itu, Ann memilih mendiamkan Sena. Kesal bukan main! bagaimana bisa Sena mencium dirinya di taman belakang. Bukan karena takut dihukum, hanya saja ia malu pada karyawan yang ada di rumah itu. "Ann," suara Sena yang lembut terdengar di telinga Ann. "Ann, kamu kenapa sih?" tanya Sena. Tidak memedulikan pertanyaan Sena, Ann memilih untuk tetap fokus pada ponselnya. "Bilang sama aku, Ann. Apa yang terjadi saat kamu pulang kerja tadi?" tanya Sena tiba-tiba. Kali ini, Ann tidak dapat diam saja. Ia enggan bercerita pada Sena, akan tetapi ia juga tidak mampu menyimpan rahasia ini sendirian. Rahasia? Apa ancaman Rafael sudah menjadi rahasia bagi dirinya? "Aku tidak apa-apa, Sena. Hanya kelelahan saja, banyak pekerjaan yang dilimpahkan padaku," tutur Ann. "Kamu bohong 'kan? Tidak ada orang kelelahan terus melamun di taman belakang, sudah pasti ada hal yang mengganjal dalam dirimu," tebak Sena. Sena enggan memaksa Ann tentang apa yang ia pikirkan, kar
"Mas, pagi ini aku ikut ke kantor ya," ucap Dewi dengan tangannya yang melingkari lengan Rafael. "Gak, aku lagi banyak kerjaan yang membutuhkan fokus. Lagian, ngapain kamu mau ikut ke kantor? merepotkan saja!" gerutu Rafael. Belum sempat Dewi mengungkapkan keinginannya, namun sudah mendapatkan penolakan mentah-mentah. "Tapi, Mas. Akhir-akhir ini kamu sangat sibuk, bahkan tidak ada waktu untuk mengobrol denganku. E ... Mas juga lama tidak menyentuhku," lirihnya dengaj memasang wajah melas. "Oh," Hanya itu yang terlontar dari Rafael, sejak pertemuannya dengan Ann. Ia merasa tidak membutuhkan Dewi lagi, ia hanya ingin Ann menjadi miliknya. "Mas, tolong ya ijinkan aku ikut," pinta Dewi sekali lagi. "Gak, Dewi. Kamu ini maksa banget sih!" pekik Rafael. Dewi hanya menundukkan kepalanya, membiarkan suaminya itu melenggang pergi. "Sebenarnya apa yang terjadi padanya hari ini dan kemarin, dia menjadi cuek!" gumam Dewi. **** "Sena, aku buru-buru. Aku tidak sarapa