Share

Bab 5

Ann beranjak dari duduknya, manik mata yang menusuk ke Rafael dan Dewi secara bergantian. Jika ke duanya lengah, seolah sabitan pisau sudah menggores kulit ke duanya.

“Ann!” seru Adi.

“Maaf atas sikap kurang sopan Ann, saya akan menyusulnya,” Sena berdiri dari kursi meja makannya.

Suara langkah kaki yang terdengar cepat namun pasti, ia masih menahan diri atas apa yang terjadi beberapa hari ini.

“Ann, buka pintunya!” seru Sena.

“Aku sedang tidak ingin diganggu, pergilah!” pekik Ann, suaranya sayu terdengar penuh kesenduan.

Dengan menghela nafas panjang, Sena masih terdiam di depan pintu. Memunggungi daun pintu yang masih tertutup rapat.

“Ann, apa kamu mau ikut pulang denganku?” sebuah pertanyaan yang akhirnya keluar dari mulut Sena.

Perlahan daun pintu terbuka dengan sendirinya, manik mata yang penuh dengan peluh menatap Sena lekat. Diam! Ke duanya terjebak pada keheningan, ada kebingungan yang tercetak dari tatapan Ann.

“Kamu mau bawa aku pulang ke mana, Sena?” tanyanya.

Tangannya menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali, manik mata yang menatap sekeliling dengan ragu.

“Rumahku, Ann. E… gak besar, tapi cukup untuk kita hidup berdua,” jelasnya.

Garis tipis di antara dua bibir itu terlihat manis, entah bagaimana?

“Aku bisa membantumu membayar uang sewa, jadi ayo kita pergi saja dari sini!” seru Ann dengan penuh antusias.

“Ayo!”

Sena mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, menatap Ann dengan mata teduhnya. Sebenarnya ia masih nyaman di rumah itu, akan tetapi akan tidak tega melihat Ann terpaksa.

“Kamu gak usah bawa baju banyak-banyak ya,” peringat Sena.

Ann mendongak, ‘Kasihan sekali, pasti rumah kontrakannya kecil,’ gumam Ann dalam batinnya.

“Ann,” panggil Sena lirih.

“Aku telepon seseorang dulu ya,” ucap Sena.

Di balkon kamar yang jauh dari ranjang, Sena asyik mengobrol. Tatapannya tegas dan lugas. Tangannya tidak berhenti menari di atas keyboard.

“Kamu ini bagaimana sih, siapkan yang saya minta!” hardiknya keras.

“Sena, kamu telepon siapa? Kenapa marah-marah seperti itu?” tanya Ann.

Sudah cukup lama Sena berbicara di telepon dan tidak kunjung masuk. Ann yang penasaran mulai berjalan mendekati Sena.

“Ann, e… bukan siapa-siapa. Itu, tadi katanya di rumah ada yang pakai handuk terus hilang, jadi aku minta disiapkan yang baru aja,” paparnya bohong.

“Oh gitu, aku sudah siap,” ucap Ann.

Sena mengangguk, ia menggandeng tangan Ann tanpa ragu. Hal yang membuat Ann terdiam, langkahnya tercekat bahkan tidak berkutik.

“Kenapa, Ann?” tanya Sena.

Ann hanya menatap tangannya dan Sena yang saling bertaut, melihat itu Sena hanya tersenyum seraya menarik tangan Ann.

“Aku akan minta ijin ke Pak Adi,” terangnya.

Kedatangan Sena dan Ann di meja makan membuat semua anggota keluarga terkesiap. Bukan karena apa, hanya saja tatapan Ann seolah siap menghunus semua anggota keluarga yang sedang menikmati makanan.

“Ann, kamu mau makan lagi?” tanya Ratih.

“Sok akrab!” gerutu Ann.

Semakin erat Sena menggenggam tangan Ann, ia tidak lagi menghiraukan anggota keluarga yang lain. Ia hanya terfokus pada sosok Adi.

“Pak Adi, saya ingin membawa Ann ke rumah saya,” pintanya.

Adi mendongak, pikirannya melayang cukup jauh. Tentang bagaimana jika anaknya harus hidup susah dan tinggal di gang sempit.

“Saya bisa menjamin Ann akan tercukupi, Pak. Saya juga akan kembali bekerja,” terangnya.

“Wah, memang seharusnya Kak Ann hidup bersama suaminya yang miskin itu … eh! Kalau tetap di sini kapan mau mandirinya ‘kan. Ayah, kan masih ada aku di rumah,” ujar Dewi dengan senyum liciknya.

“Sena tidak miskin!” seru Ann.

Sontak Sena mendongak, nafasnya menderu seolah baru saja lari marathon. Apakah Ann sudah tahu identitasnya?

“Dia hanya sederhana dan dia juga pekerja keras! Jangan merendahkan suamiku, Dewi. Nikmati saja suami hasil merebut itu, anak sama ibu sama aja tukang rebut milik orang!” tambah Ann dengan sarkas.

Kepalan tangan yang seakan siap menghujam Ann, Dewi dan Ratih saling memandang dengan penuh emosi.

“Kamu tahu apa, Ann? Saya tidak merebut ayahmu dari ibumu sama sekali. Kami jatuh cinta,” hardik Ratih.

“Tapi, anda juga yang merencanakan kematian ibuku ‘kan?”

Plak!

Sebuah tamparan keras yang melayang tepat di pipi kanan Ann, luruh sudah air mata yang enggan keluar. Emosi sesaat Adi menghancurkan kepercayaan anak kandung tunggalnya.

“Pak Adi!” pekik Sena.

“Dia sudah menjadi tanggung jawab saya, jadi semisal dia melakukan salah biar saya yang menegurnya. Jangan asal main tangan, sialan!” dengan menarik Ann dalam dekapannya, Sena membawa istrinya pergi dari hadapan keluarganya.

“Sena, jangan bawa anakku!” seru Adi.

Suara keras nan memekik tidak membuat Sena menghentikan langkah kakinya. Ia berseru pada sebuah taksi, lantas ke duanya masuk tanpa memedulikan Adi.

“Sena, jangan bawa anakku,” rintih Adi.

Di perjalanan, Ann hanya diam dengan mata yang fokus pada jalanan. Sena hanya diam tanpa berbicara sepatah atau dua patah kata.

“Kamu tahu, Ann? Aku sangat takut dengan seorang pria yang suka main tangan, bagiku itu kasar,” ucap Sena lembut.

Ann masih diam, tidak ada tanggapan dari ucapan Sena. Manik matanya masih terfokus pada jalanan di depannya.

“Ann, maaf ya,” tutur Sena.

Entah kenapa ia meminta maaf, hanya saja ia merasa sangat bersalah pada Ann. Tentang perpisahan yang tidak berlangsung baik.

“Aku gak apa-apa, Sena. Itu bukan salahmu juga,” ucap Ann.

Tanpa menatap Sena sama sekali, hanya tubuhnya yang masih bergetar hebat secara tiba-tiba. Ingatan tentang tangan Adi yang menamparnya untuk pertama kalinya.

“Ann!” panggil Sena.

Berulang kali Sena memanggil nama istrinya, namun tidak juga mendapatkan jawaban. Hanya getaran hebat padatubuhnya seiring dengan isak tangis yang terdengar mengiris.

“Ann…,”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status