Share

Bab 4

Manik mata coklat perlahan mengerjap, tatapan asing pada sebuah kamar dengan aroma teh yang menguar.

“Di mana aku sekarang?” tanya Ann lirih.

Di sampingnya, Sena terlelap dengan menunduk, selang infus yang melekat pada sebelah tangannya. Ann menatap sekeliling, terlihat ruangan vvip, siapa yang membayar biaya rumah sakitnya? Hanya itu yang ada dibenak Ann.

“Sena,” lirih Ann memanggil suaminya.

Perlahan tubuh jangkung itu mendongak, matanya yang masih setengah terpejam menatap Ann ragu.

“Kamu gimana? Sudah mendingan,” tanya Sena cemas.

“Ya, aku baik-baik saja, Sena. Kenapa aku ada di sini?” Ann membalikkan tanya pada Sena.

Sena menarik garis lengkung dari bibirnya, ulasan manis yang membuat Ann terdiam sejenak.

“Tadi kamu pingsan, Ann,” jawab Sena. “Tapi, kata dokter setelah siuman sudah boleh pulang,” tambah Sena.

Ann hanya mengangguk paham, tapi dalam pikirannya ia masih bertanya-tanya keras. Siapa yang akan membayar tagihan rumah sakit ini? meski tidak lama tetap saja, ruangan vvip pasti menguras uang Sena.

“Kamu mikirin apa, Ann? Kata dokter jangan terlalu stress,” peringatnya.

“Ya.”

***

Setelah malam-malam sekali Sena membawa Ann pulang ke rumah. Adi dengan bersedekap dada menatap kedatangan putrinya.

“Dari mana saa kalian?” tanya Adi.

“Rumah sakit, Pak. Ann sempat pingsan dan Anda menolak mendatangkan dokter!” tegas Sena, kepalan tangan yang ia tahan sedari tadi.

“Sudah, ayah. Aku ingin istirahat, Sena ayo!” ajaknya.

Di dalam kamar, Ann hanya duduk di tepian ranjang. Menatap sekilas pada Sena yang masih berdiri di ambang pintu.

“Sena, nanti aku ganti ya biaya rumah sakitnya,” ucap Ann.

Sena menatap dengan penuh tanya, apa maksud istrinya itu? bukankah sudah kewajiban Sena menafkahinya.

“Tidak perlu, Ann. Itu sudah termasuk tanggung jawabku atas dirimu yang sudah menjadi istriku,” tutur Sena dengan senyuman.

Sedangkan Ann merasa tidak nyaman, “Tidak apa-apa, kirimkan saja nomor rekeningmu ya! Aku tidur dulu,” pamitnya.

Pagi-pagi sekali Sena sudah sibuk dengan motor vixion bututnya, Ratih memintanya untuk berbelanja ke pasar. Padahal sudah jelas jika keberadaannya dan Rafael di rumah itu sama sebagai menantu.

“Kalau cuma orang miskin, mimpinya jangan tinggi-tinggi!” bisik Rafael tepat ditelinga Sena.

Ia menatap tajam pria yang tidak lain adalah mantan Ann dan kini menjadi suami Dewi, adik iparnya. Dengan membawa belanjaan masuk, Sena menabrak paksa pundak kiri Rafael.

“Aku tidak hidup dalam alam mimpi, Rafael. Nyatanya Ann memilih menikah dengan saya, yang kata Anda hanya orang miskin!” tegas Sena keras dengan penuh penekanan.

“Kurang ajar yak au tukang bakso!” pekik Rafael.

Nafasnya naik turun, emosinya meluap tatkala ia terlihat tidak punya harga diri. Seorang Rafael manager perusahaan ternama kalah dengan tukang bakso keliling.

“Arghhh, bagaimana bisa aku kalah dengan pria cupu itu!” hardik Rafael.

“Mas, ada apa?” tanya Dewi yang entah sejak kapan ada di sana.

Rafael enggan memalingkan mukanya pada Dewi, hingga sebelah matanya mendapati sosok Ann yang berjalan tidak jauh. Ditariknya tengkuk Dewi, perlahan ia melumat bibir tipis itu tanpa ragu.

“Mpph… M-mas,” rintih Dewi.

“Minimal tahu tempat kalau mau hubungan pasutri, gak tahu malu emang!” tegur Ann.

Dewi menatap ke sumber suara, “Orang kalau iri memang suka nyinyir, Mas. Ayo kita lanjutkan di kamar saja,” ajak Dewi.

Segera Ann meninggalkan ke duanya, ia sedang mencari keberadaan Sena suaminya. Sejak ia membuka mata, belum terlihat batang hidung pria tampan itu. entah apa yang dilakukannya pagi ini.

“Di mana sih, jangan-jangan nenek lampir itu berulah lagi?” gumam Ann dengan menebak asal.

Langkahnya masih berfokus pada beberapa tempat, namun sosok Sena tidak juga ia temukan.

“Ann, cari siapa?” tanya Sena yang secara tiba-tiba ada di sampingnya.

“Kamu disuruh-suruh lagi?” tanya Ann dengan mengintimidasi.

Sena mengangguk, dengan sebelah tangan yang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dengan deretan gigi putih yang kini terekspos rapi.

“Kamu ini kenapa sih, Sena? Harus berapa kali aku bilang, jangan mau disuruh-suruh. Kamu bukan pembantu!” tegas Ann.

Sena hanya diam, “Aku hanya niat membantu, Ann. Selama aku bisa kenapa tidak ‘kan?” dengan lantangnya Sena mengucapkan itu.

Suara Adi membuyarkan perdebatan antara Sena dan Ann, ajakan sarapan bersama sudah terdengar. Kini semua anggota keluarga berkumpul di meja makan.

“Maaf, Ayah mertua. Saya tidak bisa makan bersama orang miskin!” sindir Rafael tanpa tahu malu.

Dengan satu tatapan tajam, manik mata Ann mengintimidasi Rafael. Entah maksud terselubung apa yang disengaja.

“Tidak usah makan, mudahkan! Ajak istrimu makan di luar,” sergah Ann.

Sena yang akan beranjak terpaksa kembali duduk, tangannya yang ditahan kuat oleh Ann membuatnya malu.

“Apa dia termasuk pria yang berlindung dibalik keberanian wanitanya? Pria seperti itu yang kamu cari, Ann?” tanya Rafael dengan kekehan ringan.

Ann mulai tersulut emosi, dengan mengepalkan tangannya dia beranjak dari tempat duduknya.

“Setidaknya dia tidak melakukan hal yang menjijikkan menjelang hari pernikahan!” hardik Ann.

Suasana sarapan yang cukup rancu, membuat Adi memijit pelipisnya yang sakit. Bingung harus berlaku seperti apa.

“Jaga ucapanmu, Ann. Ini meja makan, jangan membuat keributan! Semuanya diam,” suara yang amat memekakkan telinga.

“Menantu tersayangmu ini yang memulai, Ayah. Apa mulut kotornya itu tidak bisa berbicara yang sopan dengan iparnya?” elak Ann.

Telunjuknya yang dengan tegas menodong Rafael tanpa ragu, dengan suara lantang tanpa peduli siapa yang ia hadapi saat ini.

“Ann, jangan melewati batasmu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status