Setelah perdebatan besar itu, tibalah hari dimana Rafael dan Dewi menikah. Sebuah resepsi dilaksanakan dengan meriah.
“Sangat cantik ya anak Pak Adi ini,” bisik seseorang. “Iya, sangat berbeda dengan anak sulungnya yang sangat sombong itu!” timpalnya. Ann hanya berjalan dengan Sena di sampingnya, ingin sekali menjambak rambut dua tetangga nyinyir itu. akan tetapi, sebuah masalah besar akan terjadi jika ia melakukan hal itu. Kini ia harus lebih sabar, karena setiap ucapan itu akan tertutupi dengan kenyataan bahwa Dewi telah hamil. “Ann, biarkan saja,” bisik Sena lirih. Sepanjang acara berlangsung, Ann memilih duduk di kursi ditemani Sena. Meski sesekali pria itu sibuk mmebantu pelayan, atas permintaan Ratih. ‘Dia ini bodoh atau tidak tahu diri sih?’ gumam Ann dengan menggerutu. Ia sangat kesal dengan tingkah suaminya itu, terlalu tenang sampai Ann yang geram sendiri. Sudah beberapa kali ia mengingatkan, namun seperti radio rusak. “Sena, stop! itu bukan tugasmu, kau ini tamu bukan pelayan,” gertak Ann keras. “Tidak apa-apa, Ann. Ini juga untuk membantu mereka yang mulai kewalahan,” jawabnya dengan memberikan sebuah kecupan manis pada kening istrinya. Kaget! Untuk ke dua kalinya setelah akad nikah, tanpa ragu Sena mengecup kening Ann. Perasaan apa yang ia rasakan saat ini. Mendadak malu dengan perasaan menggelitik dalam dirinya. “Sudah ya, jangan marah,” bisiknya. Di hadapan banyak orang, ia melakukan itu tanpa malu. Di sisi lain, Dewi menatap Rafael dengan penuh harap. “Mas, gak mau cium aku juga?” tanyanya lembut. “Apa sih, Dewi? Puas kamu sudah membuat aku seperti ini?” hardik Rafael keras. Ia dengan terpaksa menikahi Dewi, meski ia masih berharap Ann mau kembali dengannya. Kebodohan apa yang sudah ia lakukan. Sudah mendapat berlian malah mengambil tahi ayam. “Mas, kita nanti honeymoon ke mana?” tanya Dewi dengan antusias. “Aku sibuk, Dewi!” tegasnya. Di pelaminan, ke duanya terlihat sibuk bertengkar. Dari kejauhan, Ann hanya bisa tersenyum tipis, semua harapannya menikah dengan kekasih harus buyar begitu saja. Sia-sia sudah hubungan 3 tahun itu. “Ann, ayo!” ajak Sena. Ann mendongak pada sumber suara, buyar sudah lamunan singkatnya. Di hadapannya, Sena sedang menatapnya dengan seksama. Manik mata teduh dan menenangkan miliknya seolah membuat Ann lebih tenang. “Ke mana, Sena? Aku sedang malas bertemu dengan orang-orang, aku duduk saja di sini,” pungkasnya. “Kita pulang ke rumah saja, wajah kamu terlihat pucat. Nanti biar aku yang bilang ke Pak Adi,” ungkap Sena dengan menggandeng tangan Ann. Saat itu, tanpa penolakan Ann mengikuti langkah kaki Sena, terlalu lama ada di antara orang-orang palsu hanya membuat kepalanya sakit. “Kamu mau makan, Ann?” tanya Sena. Hanya gelengan kepala yang diberikan Ann sebagai jawaban, sepanjang jalan pulang ia hanya diam. Sedih dan perasaan aneh bercampur dalam dirinya. “Kenapa Rafael tega melakukan itu ya? Apa dia lupa hubungan kami sudah 3 tahun lamanya,” tanya Ann dalam hening. Mendengar itu, Sena hanya tersenyum. “Ann, kamu tahu kenapa semesta menunjukkan hal itu sebelum menikah?” tanya Sena. Ann kembali menggeleng, malas rasanya harus menjawab pertanyaan Sena. “Karena semesta ingin memberikan tanda agar kamu tidak salah melangkah, mungkin kamu bisa berencana dengan keras. Tapi tidak ada yang bisa membolak-balikkan hati manusia selain Tuhan, singkatnya Tuhan menjagamu dari pria brengsek seperti Rafael,” paparnya. “Dan mengirimkan lelaki baik sepertimu gitu, Sena? Aduh, aku bukan wanita yang suka mendengar gombalan!” hardik Ann. Sena hanya diam, tidak lagi mengatakan sepatah kata. Hanya fokus pada jalan di hadapannya, hingga mobil itu berhenti tepat di depan rumah. “Ann, silakan turun,” ucap Sena. Satu dua langkah pelannya mulai memasuki rumah, namun, tanpa sadar ia limbung begitu saja. Pusing yang menyeruak dalam kepalanya, membuat Sena segera meraih Ann dalam gendongannya. Samar, ia melihat raut wajah panic Sena yang tercetak jelas, hingga ia tidak lagi sadar. “Ann … bangun! Panggilkan dokter,” serunya keras. Ann dibaringkan di sisi sofa di ruang keluarga, dokter tidak kunjung tiba. “Udah manggil dokter belum sih, dia pingsan loh!” pekik Sena keras pada seorang pembantu. “Ma-maaf, Mas Sena. E… bapak menolak mendatangkan dokter,” jawab pembantu paruh baya itu. “Bajingan!” Dengan tergopoh Sena menggendong Ann, membawanya pergi ke luar untuk mencari taxi. “Mas, Nona Ann mau di bawa ke mana?” tanya pembantu itu. “Kau diam saja, dia istriku. Kau tidak berhak menghalangiku membawa istriku ke mana pun aku mau,” pekik Sena. Luapan amarah yang masih berkumpul dalam benaknya, meski terlihat tenang. Ia sama sekali tidak tenang. “ta-tapi, saya harus menjawab apa pada bapak?” “Itu urusanmu!” pekik Sena. Seraya taxi itu berhenti tepat di hadapannya, melaju meninggalkan kawasan rumah Adi. Sepanjang jalan, Sena menahan dirinya, marah dan kesal yang bercampur emosi. “Jika aku tahu kamu tidak bahagia, aku sudah membawamu dari lama, Ann,” gumam Sena lirih.Manik mata coklat perlahan mengerjap, tatapan asing pada sebuah kamar dengan aroma teh yang menguar. “Di mana aku sekarang?” tanya Ann lirih. Di sampingnya, Sena terlelap dengan menunduk, selang infus yang melekat pada sebelah tangannya. Ann menatap sekeliling, terlihat ruangan vvip, siapa yang membayar biaya rumah sakitnya? Hanya itu yang ada dibenak Ann. “Sena,” lirih Ann memanggil suaminya. Perlahan tubuh jangkung itu mendongak, matanya yang masih setengah terpejam menatap Ann ragu. “Kamu gimana? Sudah mendingan,” tanya Sena cemas. “Ya, aku baik-baik saja, Sena. Kenapa aku ada di sini?” Ann membalikkan tanya pada Sena. Sena menarik garis lengkung dari bibirnya, ulasan manis yang membuat Ann terdiam sejenak. “Tadi kamu pingsan, Ann,” jawab Sena. “Tapi, kata dokter setelah siuman sudah boleh pulang,” tambah Sena. Ann hanya mengangguk paham, tapi dalam pikirannya ia masih bertanya-tanya keras. Siapa yang akan membayar tagihan rumah sakit ini? meski tidak lama tetap s
Ann beranjak dari duduknya, manik mata yang menusuk ke Rafael dan Dewi secara bergantian. Jika ke duanya lengah, seolah sabitan pisau sudah menggores kulit ke duanya. “Ann!” seru Adi. “Maaf atas sikap kurang sopan Ann, saya akan menyusulnya,” Sena berdiri dari kursi meja makannya. Suara langkah kaki yang terdengar cepat namun pasti, ia masih menahan diri atas apa yang terjadi beberapa hari ini. “Ann, buka pintunya!” seru Sena. “Aku sedang tidak ingin diganggu, pergilah!” pekik Ann, suaranya sayu terdengar penuh kesenduan. Dengan menghela nafas panjang, Sena masih terdiam di depan pintu. Memunggungi daun pintu yang masih tertutup rapat. “Ann, apa kamu mau ikut pulang denganku?” sebuah pertanyaan yang akhirnya keluar dari mulut Sena. Perlahan daun pintu terbuka dengan sendirinya, manik mata yang penuh dengan peluh menatap Sena lekat. Diam! Ke duanya terjebak pada keheningan, ada kebingungan yang tercetak dari tatapan Ann. “Kamu mau bawa aku pulang ke mana, Sena?” tanya
“Ann…, jangan menangis lagi!” seru Sena, reflek ia menarik tubuh Ann dalam dekapannya. Tanpa pemberontakan Ann hanya menerima dekapan Sena hingga terlelap. Tanpa sadar ke duanya telah tiba di sebuah rumah megah. “Tuan muda, mari saya bantu,” ucap Adit. Sena menggeleng, “Kamarku sudah siap?” tanya Sena. “Sudah, Tuan.” Setelahnya, Sena menggendong tubuh Ann yang sangat ringan baginya. Membawanya pada sebuah kamar yang luas dan sangat lengkap fasilitasnya. Setelah membaringkan tubuh Ann, Sena merogoh saku celananya. “Buat perusahaan Adi bangkrut perlahan!” ucap Sena dalam sebuah sambungan telepon. Dengan guratan tipis membentuk bulan sabit di wajahnya, ia merasa harus membalaskan apa yang diperbuat oleh ayah mertuanya. “Kamu akan hancur perlahan, Adi. Terlebih kamu melukai orang yang sangat aku cintai sejak lama,” gumam Sena. Sena mendudukan dirinya di tepi ranjang, tangan besar nan jari panjangnya mengusap kening Ann. Manik mata yang sedari tadi tiada henti me
"E... Ada apa, Sena?" tanya Ann terbata. Langkahnya tercekat, ia bahkan enggan menikah pada sumber suara. Dadanya bergemuruh dengan degup jantung yang kencang. 'Ada apa dengan semua ini,' batinnya. "Aku akan memaafkanmu, asalkan berikan aku malam pertamamu untukku," bisik Sena dengan suara yang sangat dekat dengan telinganya. Deg! Nafas hangat Sena yang terasa ditengkuk Ann, membuatnya terdiam. Tangan Sena yang mulai melingkari pinggang, membuat Ann semakin menegang. "Sena, stop!" pekiknya keras. "Ma-maaf, aku tidak bisa melakukan hal yang melanggar kontrak," tegas Ann. Dengan keras ia menarik tubuhnya dari tangan Sena, susah payah ia berusaha namun nihil. "Mau ke mana, Ann? aku belum menjawab ucapanmu," bisik Sena lembut. Dengan satu gerakan Sena mengubah tubuh Ann menghadap dirinya, dengan keterkejutan Ann melingkarkan dua tangannya pada leher Sena. "Sena!" teriak Ann. Wajah Sena kian mendekat, hanya beberapa centimeter dari wajah Ann. Dengan jara
[Ann, pulanglah ke rumah, Nak. Ayah tidak ingin kamu hidup susah dengan Sena.] Ayah. Ann hanya membaca sekilas pesan dari Adi, di perjalanan pulang yang melelahkan ini. Ia tidak ingin terganggu dengan pesan atau panggilan menyebalkan. Tubuhnya lelah, meeting kali ini menguras energinya sangat banyak. Terlebih pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang terlontar dari beberapa pihak. [Ann, apa kamu sudah selesai? Aku jemput ya.] Antasena. "Huh, apa dia tidak sedang berjualan? Kenapa dia berinisiatif menjemputku?" gumam Ann. [Tidak perlu, Sena. Aku sudah ada di taxi menuju rumah.] Setelah membalas pesan itu, Ann terlelap tanpa sengaja. Akibat tubuhnya yang kelelahan, ia terlelap dengan pulas. Setibanya di rumah, sopir itu tidak membangunkan Ann. Melainkan Sena yang menggendong tubuh istrinya itu masuk. "Terima kasih banyak, Pak," ucap Sena. Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, menatap Ann saat terlelap adalah hobi barunya. "Cantik," ucap Sena lirih. Lama Sena menatap wajah
"Ann, kamu belum tidur?" tanya Sena. Pembawaannya tenang tatkala manik matanya mendapati istrinya masih terjaga. Tatapan Ann tertuju pada satu titik fokus. "Kamu menyembunyikan apa di belakangku, Sena?" Ann melontarkan tanya, sepasang mata itu menatap lekat tanpa celah. Dengan helaan nafas gusar yang terlihat jelas di wajah Sena. Apa yang harus ia ucapkan pada Ann kali ini? "Aku? menyembunyikan apa, Ann?" Sena membalikkan tanya. "E ... Maaf, aku tidak sengaja mendengar percakapan mu. Proyek besar apa yang harus kamu menangkan?" terang Ann dengan kilat tanya yang menguar. "Oh, ahahaha. Itu, temanku baru saja mengabari ada pesanan catering cukup banyak untuk pernikahan. Tapi, ada saja orang yang iri dan berusaha merebut alih pemesanannya, rugi besar kalau itu gagal," jelas Sena dengan kebohongan yang dibalut rapi. Ann hanya mengangguk paham, meski ia masih menyimpan tanya besar atas apa yang dijelaskan Sena. Seperti ada hal lain yang disembunyikan suaminya itu. "
"Ann!" seru Lena sembari berlari. "Hai, kamu juga baru sampai?" tanya Ann. Ke duanya masuk ke area kantor dengan berbincang. "Tadi siapa, Ann? Tumben sekali gak naik taxi," secara tidak sengaja ia melihat sosok pria di dalam mobil. "Iya, dia suamiku. Hari ini dia sedang senggang tidak ada jadwal jualan, jadi dia menyempatkan mengantarku," terang Ann. "Wah, pria yang sangat menyayangi istrinya. Aku berharap kamu bahagia, Ann. Setelah mendengar cerita dibalik gagalnya pernikahanmu dengan Rafa, rasanya aku sangat kesal!" Lena menggerutu dengan ekspresi yang sangat menjiwai. "Sudahlah, Lena. Aku sudah menerima kenyataan ini, " ulasan senyum merekah di bibir Ann. Baginya, mau menikah dengan Rafael atau dengan Sena. Semuanya sudah menjadi takdir baginya, tidak ada yang perlu disesali. "Aku bangga sama kamu, Ann. Kamu lebih tegar sekarang," ucap Lena dengan ulasan senyum di wajahnya. Hanya senyuman yang diberikan Ann, hari itu berlalu dengan banyaknya hiruk pikuk p
"Sialan!" umpat Rafael setibanya di kamar. Dewi yang tergopoh-gopoh mendekati suaminya dengan senyuman yang merekah. "Mas, kamu mau minum kopi atau teh?" tanya Dewi lirih. "Berisik, pergi kau dari sini!" pekik Rafael. Ia memijat pelan pelipisnya yang terasa tegang. Emosinya tidak dapat ia tahan, alih-alih pergi dari hadapan Rafael. Dewi mulai menyentuh pelipis Rafael dan memijatnya perlahan. "Kau tau bahasa pergi atau tidak!" cengkraman tangan Rafael pada Dewi membuatnya terdiam. Nafasnya mulai tersengal-sengal, ia bahkan tidak paham mengapa Rafael melakukan itu padanya. Gegas ia meninggalkan kamar dengan perasaan was-was bahkan penuh ketakutan. "Kenapa dia melakukan itu? Padahal aku ini istrinya, tidak seharusnya ia seperti itu padaku," gumam Dewi bertanya-tanya. Langkah kakinya menuju kamar Ratih dengan terburu-buru. "Bu, aku ingin bicara!" serunya keras. Tidak lama dari itu, pintu kamar terbuka lebar. Ia menghamburkan tubuhnya ke ibunya. "Ibu, Mas