Share

Bab 3

Setelah perdebatan besar itu, tibalah hari dimana Rafael dan Dewi menikah. Sebuah resepsi dilaksanakan dengan meriah.

“Sangat cantik ya anak Pak Adi ini,” bisik seseorang.

“Iya, sangat berbeda dengan anak sulungnya yang sangat sombong itu!” timpalnya.

Ann hanya berjalan dengan Sena di sampingnya, ingin sekali menjambak rambut dua tetangga nyinyir itu. akan tetapi, sebuah masalah besar akan terjadi jika ia melakukan hal itu. Kini ia harus lebih sabar, karena setiap ucapan itu akan tertutupi dengan kenyataan bahwa Dewi telah hamil.

“Ann, biarkan saja,” bisik Sena lirih.

Sepanjang acara berlangsung, Ann memilih duduk di kursi ditemani Sena. Meski sesekali pria itu sibuk mmebantu pelayan, atas permintaan Ratih.

‘Dia ini bodoh atau tidak tahu diri sih?’ gumam Ann dengan menggerutu.

Ia sangat kesal dengan tingkah suaminya itu, terlalu tenang sampai Ann yang geram sendiri. Sudah beberapa kali ia mengingatkan, namun seperti radio rusak.

“Sena, stop! itu bukan tugasmu, kau ini tamu bukan pelayan,” gertak Ann keras.

“Tidak apa-apa, Ann. Ini juga untuk membantu mereka yang mulai kewalahan,” jawabnya dengan memberikan sebuah kecupan manis pada kening istrinya.

Kaget!

Untuk ke dua kalinya setelah akad nikah, tanpa ragu Sena mengecup kening Ann. Perasaan apa yang ia rasakan saat ini. Mendadak malu dengan perasaan menggelitik dalam dirinya.

“Sudah ya, jangan marah,” bisiknya.

Di hadapan banyak orang, ia melakukan itu tanpa malu. Di sisi lain, Dewi menatap Rafael dengan penuh harap.

“Mas, gak mau cium aku juga?” tanyanya lembut.

“Apa sih, Dewi? Puas kamu sudah membuat aku seperti ini?” hardik Rafael keras.

Ia dengan terpaksa menikahi Dewi, meski ia masih berharap Ann mau kembali dengannya. Kebodohan apa yang sudah ia lakukan. Sudah mendapat berlian malah mengambil tahi ayam.

“Mas, kita nanti honeymoon ke mana?” tanya Dewi dengan antusias.

“Aku sibuk, Dewi!” tegasnya.

Di pelaminan, ke duanya terlihat sibuk bertengkar. Dari kejauhan, Ann hanya bisa tersenyum tipis, semua harapannya menikah dengan kekasih harus buyar begitu saja. Sia-sia sudah hubungan 3 tahun itu.

“Ann, ayo!” ajak Sena.

Ann mendongak pada sumber suara, buyar sudah lamunan singkatnya. Di hadapannya, Sena sedang menatapnya dengan seksama. Manik mata teduh dan menenangkan miliknya seolah membuat Ann lebih tenang.

“Ke mana, Sena? Aku sedang malas bertemu dengan orang-orang, aku duduk saja di sini,” pungkasnya.

“Kita pulang ke rumah saja, wajah kamu terlihat pucat. Nanti biar aku yang bilang ke Pak Adi,” ungkap Sena dengan menggandeng tangan Ann.

Saat itu, tanpa penolakan Ann mengikuti langkah kaki Sena, terlalu lama ada di antara orang-orang palsu hanya membuat kepalanya sakit.

“Kamu mau makan, Ann?” tanya Sena.

Hanya gelengan kepala yang diberikan Ann sebagai jawaban, sepanjang jalan pulang ia hanya diam. Sedih dan perasaan aneh bercampur dalam dirinya.

“Kenapa Rafael tega melakukan itu ya? Apa dia lupa hubungan kami sudah 3 tahun lamanya,” tanya Ann dalam hening.

Mendengar itu, Sena hanya tersenyum.

“Ann, kamu tahu kenapa semesta menunjukkan hal itu sebelum menikah?” tanya Sena.

Ann kembali menggeleng, malas rasanya harus menjawab pertanyaan Sena.

“Karena semesta ingin memberikan tanda agar kamu tidak salah melangkah, mungkin kamu bisa berencana dengan keras. Tapi tidak ada yang bisa membolak-balikkan hati manusia selain Tuhan, singkatnya Tuhan menjagamu dari pria brengsek seperti Rafael,” paparnya.

“Dan mengirimkan lelaki baik sepertimu gitu, Sena? Aduh, aku bukan wanita yang suka mendengar gombalan!” hardik Ann.

Sena hanya diam, tidak lagi mengatakan sepatah kata. Hanya fokus pada jalan di hadapannya, hingga mobil itu berhenti tepat di depan rumah.

“Ann, silakan turun,” ucap Sena.

Satu dua langkah pelannya mulai memasuki rumah, namun, tanpa sadar ia limbung begitu saja. Pusing yang menyeruak dalam kepalanya, membuat Sena segera meraih Ann dalam gendongannya.

Samar, ia melihat raut wajah panic Sena yang tercetak jelas, hingga ia tidak lagi sadar.

“Ann … bangun! Panggilkan dokter,” serunya keras.

Ann dibaringkan di sisi sofa di ruang keluarga, dokter tidak kunjung tiba.

“Udah manggil dokter belum sih, dia pingsan loh!” pekik Sena keras pada seorang pembantu.

“Ma-maaf, Mas Sena. E… bapak menolak mendatangkan dokter,” jawab pembantu paruh baya itu.

“Bajingan!”

Dengan tergopoh Sena menggendong Ann, membawanya pergi ke luar untuk mencari taxi.

“Mas, Nona Ann mau di bawa ke mana?” tanya pembantu itu.

“Kau diam saja, dia istriku. Kau tidak berhak menghalangiku membawa istriku ke mana pun aku mau,” pekik Sena.

Luapan amarah yang masih berkumpul dalam benaknya, meski terlihat tenang. Ia sama sekali tidak tenang.

“ta-tapi, saya harus menjawab apa pada bapak?”

“Itu urusanmu!” pekik Sena.

Seraya taxi itu berhenti tepat di hadapannya, melaju meninggalkan kawasan rumah Adi. Sepanjang jalan, Sena menahan dirinya, marah dan kesal yang bercampur emosi.

“Jika aku tahu kamu tidak bahagia, aku sudah membawamu dari lama, Ann,” gumam Sena lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status