Hari demi hari berlalu dan siang sudah beberapa kali berganti malam, Robin baru saja selesai makan bersama Nabilah di rumah kontrakan mereka. "Bang, boleh Bilah minta sesuatu?" tanya Nabilah memulai pembicaraan. Robin tampak mengangguk dan berseru, "Katakanlah!" "Tolong bantu Kak Abas, Bilah nggak tega melihat keadaannya!" pinta Nabilah dengan penuh harap."Siapa yang menyuruh Bilah!" tanya Robin sambil menatap istrinya dengan lekat. Nabilah tampak menggeleng dan menjawab dengan jujur, "Nggak ada, Bilah cuma kasihan melihat Kak Abas babak belur seperti itu.""Itu sudah resiko pekerjaannya," jawab Robin acuh tak acuh. "Abang harap apa pun alasannya Bilah jangan menemui Abas lagi atau berkomunikasi lewat ponsel!" pesannya kemudian. "Iya Bang, tapi boleh nggak Rambo tinggal di--""Tidak ada yang boleh masuk ke rumah ini selain kita!" potong Robin sambil beranjak dan masuk ke kamarnya.Nabilah tampak mengangguk patuh, meskipun dalam hatinya merasa sedih Robin tidak mau membantu Abas
Bu Asma tampak terkejut melihat apa yang sedang anak dan menantunya lakukan. Begitupun dengan Robin dan Nabilah yang tidak menduga Bu Asma berani main masuk begitu saja. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Bu Asama ketika melihat Robin sedang memegang kaki Nabilah. "Nabilah keseleo Bu," jawab Robin sambil melepas kaki istrinya. Namun, Bu Asma tidak percaya dan tetap marah-marah. "Halah alasan, kamu ingin meniduri Nabilah kan? Dasar licik!" "Kalau saya mau melakukannya kenapa tidak malam saja. Ketika Ibu dan Bapak tidur!" bantah Robin atas apa yang dituduhkan kepadanya. "Ayo pulang Bilah, kamu harus tinggal di rumah Bapak sampai Abas menyelesaikan tugasnya!" seru Bu Asma sambil menarik tangan Nabilah dan memaksanya berdiri. "Kaki Bilah masih sakit Bu, kalau buat jalan!" tolak Nabilah sambil menyeringis kesakitan. Bu Asma memaksa Nabilah untuk ikut bersamanya, "Tahan, Ibu akan bantu kamu, cepat jalan!" "Saya tidak izinkan Ibu membawa Nabilah dalam kesakitan seperti ini!"
Tentu saja berita ini membuat semua orang senang, terutama Bu Asma karena sebentar lagi Abas akan menyelesaikan tugasnya dan menjadi suami Nabilah. "Pak, cepat sini nonton berita penting!" seru Bu Asma ketika suaminya baru pulang dari mesjid. "Alhamdulillah berakhir sudah penantian kita Pak. Sebentar lagi Nabilah akan menikah dengan Abas," ujarnya sambil menatap ke layar televisi dengan senangnya, sedangkan Pak Jamal melihat siaran itu dengan ekspresi biasa saja. Ketika waktu menunjukan pukul enam pagi, Bu Asma bergegas ke kontrakan Nabilah untuk mengantarkan sarapan. "Kalau ada Robin, jangan mendesaknya untuk menceraikan Nabilah Bu. Masih pagi tidak baik membahas hal seperti itu!" pesan Pak Jamal agar istrinya tidak bikin keributan lagi."Iya, Ibu cuma mau antar sarapan saja kok," sahut Bu Asma sambil berlalu.Setelah mengetuk beberapa kali, Nabilah membukakan pintu dengan kaki yang tertatih. "Bilah, kaki kamu pasti masih sakit. Ini Ibu bawakan sarapan!" ujar Bu Asma sambil memba
Malam mulai merambat jauh, bulan sabit baru terbentuk, seolah berkata aku masih lemah untuk menerangi sang malam. Robin terlihat sedang duduk sambil memandangi langit yang gelap. Merasakan semilir angin mengusik hatinya yang terasa mulai hampa. "Bengong saja kau macam orang patah hati. Katanya tak cinta sama Nabilah!" ujar Tigor yang ikut duduk di samping Robin sambil membawa dua gelas kopi dan kacang rebus. Robin menyahuti dengan santai, "Aku memang tidak mencintainya.""Dasar naif, kalau cinta jangan kau lepaskan Nabilah!" Tigor memberikan saran. "Aku tidak akan pernah mengingkari janji. Lagi pula Nabilah sudah pulang ke rumah orang tuanya. Ketika tahu Abas telah berhasil menyelesaikan tugasnya!" sahut Robin yang sudah siap menceraikan istrinya. "Setelah Baron dan para anak buahnya tertangkap, kampung Rantau bagian barat tidak ada yang menguasai. Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Tigor dengan serius. Robin memberikan jawaban di luar prediksi siapa pun, "Tidak ada, Pemda akan b
Sepasang mata elang tampak gusar menatap senja yang tampak merona di ufuk barat. Seolah tidak rela sang malam menggantikan siang. "Nggak malam, nggak sore melamun terus. Sampai lupa makan siang!" ujar Tigor ketika melihat Robin sedang duduk termangu."Seharian ini kok perasaan aku nggak enak ya. Selalu kepikiran ...."Tigor langsung menebak, "Nabilah, kalau kangen samperin ke rumahnya. Mumpung kalian masih halal untuk bertemu dan berdekatan!" "Bukan kangen, tapi seperti firasat akan terjadi sesuatu," sahut Robin kemudian. "Jangan dipikirkan, mungkin itu hanya perasaanmu saja karena kalian mau bercerai. Lebih baik kau mandi biar segar?" saran Tigor kembali. Robin berpikir apa yang dikatakan Tigor ada benarnya juga. Lebih baik ia membasuh tubuhnya yang berkeringat. Setelah mandi Robin terlihat lebih segar karena rambutnya yang gondrong sebahu tampak tergerai basah."Tumben kau rapi sekali, mau pergi ke mana?" tanya Tigor ingin tahu. "Ke rumah Nabilah, mau mengajaknya jalan sebentar
Abas terlihat memasuki salah satu bangunan kosong. Ia mendapat pesan dari seseorang yang akan memberitahunya, siapa dalang yang membacking Baron selama ini. Dengan syarat Abas harus datang sendiri dan tidak boleh memberitahu timnya.Belajar dari pengalaman, Abas tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Ia tetap memberitahu timnya, tetapi hanya untuk siaga saja. Para polisi tidak akan membantu Abas, kecuali jika dalam waktu tertentu tidak kembali atau melakukan panggilan darurat. Sebuah rencana dengan perhitungan yang cukup matang."Aku sudah datang, sekarang keluarlah!" suara Abas terdengar menggema di tempat itu. Tidak lama kemudian terdengar suara derap langkah dari langai atas. Seorang pria dengan pakaian rapi dan memakai topeng menemuinya. Kedua tangannya kemudian bertumpu di pagar pembatas. "Selamat datang Briptu," ucapnya seolah menyambut tamu."Ayo kita bicara dan jangan takut aku akan menjamin keselamatanmu!" ajak Abas yang siap melindungi saksi kunci kasus Baron. "Aku r
"Pergi dan cepat selamatkan Nabilah!" seru Robin sambil memegang dadanya. Peluru panas dari senjata api milik Briptu Abas akhirnya menembus dada Robin. Ia juga sempat melayangkan tembakan ke arah pria bertopeng, tetapi meleset dan berhasil melarikan diri. Bersamaan dengan itu beberapa polisi menyerbu masuk. Mereka segera membantu Abas membebaskan Nabilah dan sisanya melakukan pengejaran. "Abang Robin," panggil Nabilah sambil menghambur dan memeluk tubuh suaminya yang ambruk bersimbah darah. "Tolong, bertahanlah Bang, tolong!" pintanya dengan panik dan khawatir.Sambil menahan sakit di dadanya Robin kemudian berkata, "Na-nabilah kamu kutalak." Tiba-tiba matanya terpejam. "Abang, tolong!" pekik Nabilah sambil berderai air mata. "Ayo kita bawa Robin ke rumah sakit!" ujar Abas yang hendak memapah Robin. "Biar aku saja yang membawanya ke rumah sakit. Sebaiknya kamu kejar orang itu dan jangan biarkan dia bebas!" seru Risa yang datang bersama Tigor. Tigor kemudian memapah Robin dan mem
"Kakak terpaksa karena Robin terus mendesak," jawab Abas yang segera menceritakan alasannya menembak Robin. Ketika Robin sedang memiting Abas, sempat terjadi percakapan singkat yang membuat pria itu harus mengambil sebuah keputusan terbilang cukup nekat. "Apabila aku berhasil menghabisimu, maka aku akan dakwa melakukan pembunuh berencana. Tapi jika sebaliknya pasti dia menembakmu karena aku melihat ada pistol di pinggangnya. Setelah itu dia akan memiliki Nabilah tanpa penghalang," ujar Robin yang membuat Abas berpikir. "Jadi kita harus bagaimana, dia menyandera Nabilah?" tanya Abas yang bingung harus melakukan apa. "Tembak aku, kau tidak datang sendirian kan begitupun denganku. Ketika mendengar suara tembakan, mereka akan langsung menyerbu tempat ini dan membantumu untuk menyelamatkan Nabilah. Cepat lakukan!" seru Robin dengan sebuah rencana yang sudah dipikirkannya dengan matang. Abas menolak perintah Robin, "Aku tidak selicik itu!" "Cepat waktu kita tidak banyak atau kita aka