Sepasang mata elang tampak gusar menatap senja yang tampak merona di ufuk barat. Seolah tidak rela sang malam menggantikan siang. "Nggak malam, nggak sore melamun terus. Sampai lupa makan siang!" ujar Tigor ketika melihat Robin sedang duduk termangu."Seharian ini kok perasaan aku nggak enak ya. Selalu kepikiran ...."Tigor langsung menebak, "Nabilah, kalau kangen samperin ke rumahnya. Mumpung kalian masih halal untuk bertemu dan berdekatan!" "Bukan kangen, tapi seperti firasat akan terjadi sesuatu," sahut Robin kemudian. "Jangan dipikirkan, mungkin itu hanya perasaanmu saja karena kalian mau bercerai. Lebih baik kau mandi biar segar?" saran Tigor kembali. Robin berpikir apa yang dikatakan Tigor ada benarnya juga. Lebih baik ia membasuh tubuhnya yang berkeringat. Setelah mandi Robin terlihat lebih segar karena rambutnya yang gondrong sebahu tampak tergerai basah."Tumben kau rapi sekali, mau pergi ke mana?" tanya Tigor ingin tahu. "Ke rumah Nabilah, mau mengajaknya jalan sebentar
Abas terlihat memasuki salah satu bangunan kosong. Ia mendapat pesan dari seseorang yang akan memberitahunya, siapa dalang yang membacking Baron selama ini. Dengan syarat Abas harus datang sendiri dan tidak boleh memberitahu timnya.Belajar dari pengalaman, Abas tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Ia tetap memberitahu timnya, tetapi hanya untuk siaga saja. Para polisi tidak akan membantu Abas, kecuali jika dalam waktu tertentu tidak kembali atau melakukan panggilan darurat. Sebuah rencana dengan perhitungan yang cukup matang."Aku sudah datang, sekarang keluarlah!" suara Abas terdengar menggema di tempat itu. Tidak lama kemudian terdengar suara derap langkah dari langai atas. Seorang pria dengan pakaian rapi dan memakai topeng menemuinya. Kedua tangannya kemudian bertumpu di pagar pembatas. "Selamat datang Briptu," ucapnya seolah menyambut tamu."Ayo kita bicara dan jangan takut aku akan menjamin keselamatanmu!" ajak Abas yang siap melindungi saksi kunci kasus Baron. "Aku r
"Pergi dan cepat selamatkan Nabilah!" seru Robin sambil memegang dadanya. Peluru panas dari senjata api milik Briptu Abas akhirnya menembus dada Robin. Ia juga sempat melayangkan tembakan ke arah pria bertopeng, tetapi meleset dan berhasil melarikan diri. Bersamaan dengan itu beberapa polisi menyerbu masuk. Mereka segera membantu Abas membebaskan Nabilah dan sisanya melakukan pengejaran. "Abang Robin," panggil Nabilah sambil menghambur dan memeluk tubuh suaminya yang ambruk bersimbah darah. "Tolong, bertahanlah Bang, tolong!" pintanya dengan panik dan khawatir.Sambil menahan sakit di dadanya Robin kemudian berkata, "Na-nabilah kamu kutalak." Tiba-tiba matanya terpejam. "Abang, tolong!" pekik Nabilah sambil berderai air mata. "Ayo kita bawa Robin ke rumah sakit!" ujar Abas yang hendak memapah Robin. "Biar aku saja yang membawanya ke rumah sakit. Sebaiknya kamu kejar orang itu dan jangan biarkan dia bebas!" seru Risa yang datang bersama Tigor. Tigor kemudian memapah Robin dan mem
"Kakak terpaksa karena Robin terus mendesak," jawab Abas yang segera menceritakan alasannya menembak Robin. Ketika Robin sedang memiting Abas, sempat terjadi percakapan singkat yang membuat pria itu harus mengambil sebuah keputusan terbilang cukup nekat. "Apabila aku berhasil menghabisimu, maka aku akan dakwa melakukan pembunuh berencana. Tapi jika sebaliknya pasti dia menembakmu karena aku melihat ada pistol di pinggangnya. Setelah itu dia akan memiliki Nabilah tanpa penghalang," ujar Robin yang membuat Abas berpikir. "Jadi kita harus bagaimana, dia menyandera Nabilah?" tanya Abas yang bingung harus melakukan apa. "Tembak aku, kau tidak datang sendirian kan begitupun denganku. Ketika mendengar suara tembakan, mereka akan langsung menyerbu tempat ini dan membantumu untuk menyelamatkan Nabilah. Cepat lakukan!" seru Robin dengan sebuah rencana yang sudah dipikirkannya dengan matang. Abas menolak perintah Robin, "Aku tidak selicik itu!" "Cepat waktu kita tidak banyak atau kita aka
"Panggil dokter, Robin sudah siuman!" ujar Risa dengan senang, meskipun tidak suka pria yang dicintainya menyebut nama wanita lain. Tidak lama kemudian dokter dan suster dateng untuk memeriksa kondisi Robin. "Alhamdulillah, pasien sudah melewati masa kritisnya. Tapi masih membutuhkan perawatan yang intensif agar lukanya cepat sembuh!" ujar dokter sambil menyarankan. "Tolong berikan perawatan yang terbaik Dok. Saya akan bayar, berapa pun biayanya!" seru Risa yang ingin Robin sembuh seperti sedia kala.Dokter kemudian menyahuti, "Kami akan memberikan pelayanan yang semaksimal mungkin. Tapi tolong bantu kesembuhan pasien dengan doa juga!" Dokter tidak bisa memastikan karenamanusia hanya bisa berusaha dan hasilnya hanya tetap Allah yang menentukan.Beberapa saat kemudian kesadaran Robin sudah kembali. Akan tetapi, ia terlihat lemah karena luka di dadanya masih basah dan terasa sakit sekali. "Syukurlah, akhirnya kau selamat juga Bin," ujar Tigor dengan senangnya. "Nabilah mana?" tany
Nabilah sedang sakit!" ujar Abas yang membuat Robin terkejut. Tiba-tiba luka tembak di dadanya berdenyut nyeri ketika mendengar Nabilah sakit. "Nanti dia juga akan sembuh," sahut Robin yang tidak mau menjadi penghalang bersatunya Nabilah dan Abas. "Aku pasti akan datang ke rumah Pak Jamal, tapi bukan menjenguk Nabilah. Melainkan untuk membebaskannya.""Terserah kamu, atas nama kepolisian dan secara pribadi aku mengucapkan terima kasih. Atas tindakan nekat yang kamu lakukan, kita semua bisa selamat. Jujur kau memang hebat baik dalam bertarung maupun menganalisa sebuah kasus. Sepertinya aku harus belajar banyak darimu," ucap Abas sambil memuji. Robin tampak tersenyum simpul dan menyahuti, "Kau terlalu berlebihan, sebenarnya dirimu juga hebat. Tapi sayang cepat emosi ketika seseorang yang kau cintai terancam keselamatannya.""Iya, aku memang gampang panik. Sepertinya aku harus belajar banyak darimu," sahut Abas mengakui kekurangannya."Sampaikan salamku untuk Nabilah katakan kepadan
Gerimis menyapa bumi, Nabilah memandang semua itu dengan tatapan sendu. Tidak ada senyum yang tersungging dari bibirnya. Ia ibarat bunga yang layu di bawah tetesan hujan. Nabilah terus memikirkan keadaan suaminya dan menyesal telah pergi waktu itu. Seharusnya apa pun yang terjadi ia tetap berada di sisi Robin.Nabilah tidak peduli ketika pintu kamarnya terbuka. Bahkan ia enggan menoleh untuk mengetahui siapa gerangan yang datang. Pak Jamal dan Bu Asma duduk di samping putrinya menemai Abas yang datang menjenguk."Kakak sudah bertemu dengan Robin. Keadaanya baik-baik saja dan titip salam untuk Bilah!" ujar Abas memberitahu yang membuat Nabilah menoleh. "Benarkah, kapan Bang Robin pulang?" tanya Nabilah setelah beberapa hari membungkam dalam kesedihan. Abas menatap Nabilah dengan saksama. Ia dapat melihat cinta yang besar dari mata teduh gadis itu, tetapi entah untuk siapa. Namun, dirinya tidak habis pikir. Kenapa Robin merelakan nyawanya untuk Nabilah. Apakah mungkin pria itu mencint
"Janji jadi suami Nabilah," jawab Robin kembali. "Apa yang membuatmu merasa tidak pantas menjadi suami Nabilah? Uang kau banyak, bertanggungjawab, rajin salat?" tanya Tigor dengan heran.Robin tahu Tigor ingin mengetahui rahasia dirinya. Ia kemudian berkata tanpa memberikan jawaban, "Nabilah gadis soleha dan aku preman kampung. Sampai kapan pun kami tidak akan pernah bisa bersatu.""Kau mungkin bisa pergi dari kampung ini, tapi tidak akan pernah dapat melupakan Nabilah!" ujar Tigor dengan yakin. "Kau memang benar, aku tidak akan pernah bisa melupakan Nabilah. Apalagi janji yang membuat kami harus bersama, tapi aku harus pergi," batin Robin yang akan menjalankan sebuah tanggungjawab. "Aku mau istirahat dulu!" ujar pria itu yang segera masuk ke ruang pribadinya. Ia kemudian menghidupkan ponsel dan membaca email penting yang membuatnya sangat terkejut."Kau harus kembali atau akan kehilangan untuk selamanya!" Jantung Robin langsung berdetak cepat ketika melihat seorang wanita terbari