Aku menutupi telingaku dengan bantal, suara ketukan pintu berkali-kali menganggu tidurku.
“Berisik!” teriakku menghela napas berat. Suara pintu terdengar kembali, Mama Cahaya berteriak, “Sayang, bangun mau sekolah. Nanti kamu telat.” Mataku yang tadi terpejam langsung melotot melirik jam di nakas masih 06.20, astaga Mama! Aku kira sudah 07.40 pasti aku akan dihukum Ibu Aini jika telat. “Iya Ma!” seruku dengan langkah malas-malasan ke kamar mandi. Sekitar 20 menit, aku keluar dengan seragam sekolah. Aku mengambil kaca melihat mataku yang bengkak. “Jelek banget lagi,” kataku khawatir, takut jika penggemarku melihat kecantikan bidadari ini pudar. Aku memberi bedak biar tidak terlalu kentara, jika malam tadi aku menangis. Setelah selesai, aku mengambil tas keluar dari kamar dengan bahagia. Melupakan kejadian malam tadi sesaat. Namun, saat sampai di meja makan mataku melotot tidak percaya. Apa-apaan ini kenapa ketemu dia lagi? Adelio?! “Lo ngapain ke rumah gue!” sesalku menatap Adelio yang asik makan roti tawar isi coklat kesukaanku. Mana itu tempat duduk favoritku di samping Papa, keluargaku melihat perilakuku ke Adelio terheran. “Pergi nggak lo!” usirku menarik lengan Adelio, namun Adelio masih tidak bergerak sama sekali. “Ranesya, nggak boleh kayak gitu ke Adelio, dia mau jemput kamu,” tegur Papa Guntur, aku mendengar itu melirik tajam ke Adelio. “Gue jenguk karena suruhan Bunda, atau lo mau gue aduin ke Ayah?” ancam Adelio tersenyum manis. Aku ingin berteriak rasanya. Mama Cahaya memijit pelipisnya karena tingkahku dan Adelio. “Sayang, udah lebih baik kamu sama Adelio aja ya. Nanti Kakak Jean dibelakang kalian.” “Nggak mau?! Kenapa harus sama dia?” tunjukku ke Adelio memakan roti dengan lahap. Arghhh! Menyebalkan sekali hari ini seperti Adelio! “Karena dia calon suamimu,” jawab Jean tersenyum menggoda ke arahku. Wajahku sudah memerah menahan emosi, aku memilih tidak menjawab perkataan Jean. Aku duduk disamping Adelio, bahkan Mama Cahaya lebih perhatian ke Adelio. “Kamu mau nambah, Adelio?” tanya Mama Cahaya tersenyum lembut. Sebuah air putih diberikan ke Adelio, aku melahap roti tawar itu kurang minat. Sekali-kali aku meremasnya tanpa mereka sadari. “Nggak Tante,” balas Adelio menerima pemberian Mama Cahaya. Aku yang sudah tidak tahan menaruh rotinya, dan menggebrak meja. “Aku kenyang,” ucapku bergegas pergi, tanpa bersalaman dengan kedua orang tuaku. Aku tidak peduli lagi! Aku muak, aku menoleh kebelakang melihat Adelio mengejarku. “Tunggu!” teriaknya menarik tanganku. “Nggak usah sentuh gue!” Aku meronta-ronta minta dilepaskan, namun Adelio tidak mau mendengar teriakanku. Sampai dekat motornya aku ditarik untuk naik, terpaksa karena tidak mungkin aku membuang waktu. Bagaimana jika telat? “Diem! Nurut aja jadi cewek!” perintahnya, aku terdiam karena dibentak Adelio. *** “Pak! Jangan ditutup dulu!” teriakku turun dari motor, namun terlambat Pak Aldo menutup pagarnya. Pak Aldo adalah seorang satpam yang sudah lama bekerja di sekolahku. Aku memelas di depannya. “Bukain dong, Pak! Ini telat 15 menit doang loh,” ucapku memohon, sementara Adelio masa bodo. Aku tidak heran karena dia memang hobinya membolos, berbanding terbalik denganku. “Nggak bisa, Mbak,” tolak Pak Aldo walau merasa kasihan, Pak Aldo tidak mau melanggar peraturan. “Gue telat gara-gara lo Adelio Andres,” tukasku menatap sinis Adelio yang hanya tersenyum miring. “Kenapa lo salahin gue? Nggak ingat tadi lo narik rambut gue di jalan, gila aja lo! Mau nyari mati emang!” balas Adelio emosi karena merasa tidak bersalah. Aku juga tidak peduli Adelio! Aku hanya kesal, kenapa harus telat! Bagaimana nasibku menjadi anak baik-baik, turun menjadi nakal karena Adelio. “Gue nggak mau tau! Lo harus bujuk Pak Aldo, gue nggak mau di cap anak berandalan kayak lo?!” sungutku menggebrak pagar tidak peduli lagi rasa sakit yang aku rasakan. “Pak, bukain ya? Nanti saya beliin rokok,” bujuk Adelio mengeluarkan uang berwarna merah, hampir mau diambil tiba-tiba saja Ibu Aini datang. “Kalian mau ngapain!” teriak Ibu Aini mengagetkan aku yang menghadap belakang. Ibu Aini melotot ke arah Adelio. “Ini apa-apaan Adelio! Kamu mau sogok Pak Aldo karena ingin masuk?” tanya Ibu Aini menyelisik Adelio, aku hanya tersenyum jahat karena mengakui menyukai Adelio dimarahi. “Kamu juga Ranesya! Kamu ini sudah menjadi kebanggaan sekolah, kenapa bisa telat?!” bentak Ibu Aini ke arahku dengan bengis. “Maaf Bu,” balasku menunduk takut. Aku melirik Adelio terlihat biasa saja, aku yakin dia sudah kebal dengan hal ini. “Sekarang kalian berdua bersihkan seluruh wc di sekolah!” perintah Ibu Aini sambil mengode Pak Aldo membuka gerbang. “Tapi Bu, aku baru pertama kali,” ucapku menolak secara halus. “Sekarang Ranesya!” Ibu Aini menatap sinis, dan pergi meninggalkan aku dan Adelio. Aku menoleh ke arah Adelio. “Lo sih!” Sambil berjalan, aku mendorong tubuh Adelio menggunakan bahu. Adelio mengangkat satu alisnya ikut mendorongku. “Salah lo!” “Lo Adelio!” teriakku berlari menuju wc siswa siswi, di ikuti Adelio menggeleng kepala dengan tingkahku.“Duh, bau banget lagi,” gerutuku membersihkan wc perempuan. Sebelumnya, aku dan Adelio sudah berlomba memasuki wc siswa siswi. Aku sudah menasehati, supaya tidak membersihkan wc perempuan. Namun, Adelio enggan mendengarkan aku. Tidak lama terdengar, suara keributan dari luar.“Aaaaa, ihh mesum banget sih!”“Ngapain di siniii!”Aku pun membuka pintu wc yang aku bersihkan. Aku menganga lebar, terdapat Adelio dipukul-pukul dua siswi. Aku tertawa terbahak-bahak, karena Adelio menderita di sana, namun Adelio berhenti di depanku. “Udah dong, gue Cuma disuruh doang sama Ranesya,” tunjuk Adelio ke arahku. Dua siswi itu berhenti memukuli Adelio, beralih mendekatiku. Sementara Adelio menjulurkan lidahnya, hendak pergi meninggalkan aku sendiri. “Adelio, lo mau kemana!” Aku ingin mengejar, namun ditarik dua siswi itu. “Ranesya, ini ternyata sifat asli lo yang suka cari perhatian ke guru,” kata Hani menghalangiku. Anggita memberi tatapan sinis kepadaku. “Siswi pintar katanya, tapi bersihin
Sebulan kemudian, tepat hari minggu biasanya untuk bersantai bersama keluarga. Berbeda dengan aku yang harus bangun pagi hanya untuk berhias. Waktu tidurku terganggu!Aku menguap, selagi orang rias memberi bedak di wajahku, sedikit lagi selesai dan aku benar-benar membenci hari ini. Pernikahan yang tidak pernah aku harapkan! Sialnya aku menikah dengan seorang berandal sekolah. “Mbak, udah selesai?” Mama Cahaya menghampiriku, mengusap kepalaku dengan lembut. Tukang rias itu mengangguk pergi dari hadapanku. Aku menghindari tatapan Mama Cahaya, aku tau jika ini semua untuk perusahaan. Tapi kenapa harus aku jadi korban yang diinginkan keluarga Andres? Mama Cahaya menyadari aku yang berbeda, mencangkup pipiku. “Sayang, maafin Mama. Nggak bisa bantu apa-apa,” ucap Mama Cahaya sendu. Aku geleng-geleng, tidak mau terlihat rapuh. “Ranesya? Kamu kenapa?” Mama Cahaya panik, melihat tetesan air mataku jatuh.Aku tidak menjawab, mulutku terasa kelu untuk berucap. Perasaanku tidak karuan, tid
“Tante, Om aku pergi dulu,” pamitku mencium punggung tangan mereka. Bunda Delyna menatapku dalam. “Sayang, panggil Ayah sama Bunda aja. Kita udah jadi keluarga kamu,” pintanya, tersenyum lembut mengusap kepalaku. Aku membalas senyumannya sambil menggaruk tengkukku. “Iya Bunda,” balasku berhadapan keduanya di meja makan. “Kamu nggak bareng Adelio?” Ayah Liam bersuara, mencari-cari keberadaan Adelio.Aku berdeham pelan. “Adelio susah dibangunin,” kilaku padahal aslinya. Aku sama sekali tidak membangunkannya. Pagi sekali, aku bangun begitu kaget karena ada Adelio di sampingku. Untungnya aku tidak berteriak, sehingga aku langsung mempersiapkan diri ke sekolah. Aku marah sekali dengan mereka, karena sudah menikahkan aku dengan berandalan seperti Adelio. Aku mengingat saat surat panggilan itu, aku tidak sama sekali ke BK menemui orang tuaku. Aku pergi menggunakan mobil bersama Pak Danang, sopir pribadi keluarga Andres. Diperjalanan aku hanya diam tanpa menyahuti ocehan Pak Danang, se
Saat pulang sekolah, tiba-tiba saja Adelio menghampiriku ke kelas. Padahal kelas masih ramai. Aku menatap tajam dari kejauhan. Adelio di depan pintu, bersedekap dada sok keren. Hingga orang-orang menebak. Jika Adelio memiliki seorang pacar, Adelio tahan menunggu lama. "Woy otak udang, cepetan!" teriak Adelio, menghela napas berat. Aku yang diteriakin diam, aku takut anak sekolah. Banyak yang tau hubunganku dengan Adelio. Bahkan, mereka yang masih ada di kelas, mengedarkan pandangan. Siapa yang dicari oleh Adelio. "Keluar lo pada!" usir Adelio, sehingga semuanya kocar-kacir kecuali aku. Aku memasuki buku dalam tas, aku tidak peduli apa yang terjadi. Dipertanyakan adalah, Adelio ngapain ke kelasku? Adelio menghampiriku menggebrak meja. "Cepetan! Gue ke sini cuma disuruh Bunda, ogah banget jemput lo!" sergah Adelio dengan wajah datar. Aku terkejut menatap sinis. "Nggak usah jemput, gue juga ogah kali!" jawabku, meninggalkan Adelio sendiri. Aku menghentakkan kaki dengan kesal.
Tepat jam 9 malam. Aku duduk di depan televisi, menonton film kusukai. Tapi yang aku heran adalah Adelio. Adelio berpakaian rapi dengan jaket kulit, tertempel di tubuhnya. Aku berpikir, Adelio mau pergi kemana? "Dih, udah malem juga," sindirku, tidak direspon Adelio. Aku berdecak kesal, di mana Adelio langsung keluar tanpa menyahutiku. Wajahku tidak tenang, sungguh kepo. Adelio akan kemana sebenarnya. Daripada aku jadi hantu penasaran. Aku langsung gerak cepat, mengganti baju dan mengambil mobil ke garasi. Selain rumah, aku dan Adelio dikasih juga sebuah mobil. Aku langsung tancap gas, mengikuti Adelio secara diam-diam. "Mau kemana dia?" kesalku, sekitar 35 menit. Ada sebuah keramaian, di sana terlihat orang balap liar. Aku mengerti sekarang. Aku turun dari mobil, bersembunyi di kerumunan, biar tidak ketauan Adelio. Tidak lama datang seseorang menggodaku, aku menepis tangan jelek itu. "Nggak usah sentuh gue!" sergahku, melotot ke arah 3 orang itu. "Cewek cantik kek lo, ngap
Aku menoleh dengan ekspresi terkejut. "Woy, lo bawa buku gue ya?!"Aku deg-degan, ternyata yang berteriak itu adalah Adelio.Wajahku sudah pucat, sementara kedua sahabatku melirik Adelio. "Jangan bilang lo buang buku gue?" tanya Adelio, menatapku sinis. Aku memejamkan mata sejenak. "Haha, lo bercanda kan? Kita beda angkatan," ucapku, cengengesan menepuk bahu Adelio. Adelio menaikkan satu alisnya. "Lo kenapa sih?" tanya Adelio bingung. "Aduh, bentar ya. Gue ada urusan sama nih berandalan," pamitku, menarik Adelio pergi dari parkiran. "Iya, lo hati-hati Ranesya," teriak Gita, melirik Vivian. Sementara Vivian mengangguk saja. Membuatku kesal, ternyata Gita dan Vivian saling berbisik. Saat aku menoleh ke belakang. "Lepasin! Lo apaan sih nyeret gue gini!" teriak Adelio, menarik tangannya. Hingga terlepas dari cengkraman ku. Aku bersedekap dada, dan mendengus. "Lo lupa? Kita itu di sekolah!" kataku, berhadapan dengan Adelio. "Terus kenapa?" Adelio bertanya, sok polos di depanku. T
"Eh, maaf. Lo gapapa?" tanyaku panik, sudah menabrak Fatih anak kelas 3 MIPA 4. Fatih membenarkan kacamatanya, memperhatikanku secara seksama. "Gue gapapa, santai aja," balas Fatih tersenyum tipis. "Tapi gue yang salah, gimana kalo kita bareng aja?" tawarku, tanpa aku sadari penggemarku, membicarakan Fatih dari belakang. Fatih langsung menoleh cepat, dan mengangguk. "Boleh."Aku sempat, terpesona dengan senyum culun itu. Selain pintar, Fatih murid berprestasi. Aku dan Fatih duduk dipojok, menghindari orang-orang. Tidak disangka Fatih, menarik kursi untukku. Aku sedikit kaget, sifatnya yang begitu gentleman. Aku kikuk karena banyak orang melihat. "Duduk aja, gue pesen dulu," kata Fatih, meminta izin dengan senyuman manisnya. Aku mengangguk patuh. "Oke makasih," balasku, dari kejauhan aku memperhatikan Fatih. "Culun-culun romantis," celetukku, mengecek hp-ku penuh notifikasi penggemar. Biasalah, aku memang secantik ini. Siapa yang tidak tergoda. Tidak lama, Fatih datang deng
"Untung osis," kataku, jujur saja aku malas selalu bertemu Adelio. Sekolah ketemu Adelio, apalagi di rumah. Aku seolah diikuti makhluk halus. Saat aku keluar bersama Frans untuk ke ruangan guru, sebuah bola basket menimpa kepalaku. Aku terduduk meringis. "Gila, siapa sih yang sengaja?!" sungutku. Sementara Frans, melirik kesana-kemari tidak ada siapapun. Serius! Rasa pusing aku rasakan, benar-benar luar biasa. Aku berusaha berdiri dibantu Frans. "Hati-hati, apa mau ke UKS aja?" Frans menoleh ke arahku khawatir, kali ini dia berkata, "Gue gendong aja, ya?" Seketika mataku, melototi Frans yang cengengesan. "Gue bisa sendiri kok," balasku, memegang dinding mengatur keseimbangan. Frans menatap polos. "Serius? Lo kalo kenapa-kenapa, kita bisa ke UKS," kata Frans, memegang tanganku. Aku hanya menggeleng, melanjutkan perjalanan ke ruang guru. Untungnya, Frans berbaik hati memegang aku. "Makasih ya," ucapku, tersenyum tipis.Frans mengangguk, membuang wajah salah tingkah. Di ruan
Perjalanan kali ini tidak ada halangan sama sekali dari tiga orang gila itu, bahkan ini di bandara dijemput oleh keluarga kami. Aku merasa senang, mereka semua berada sini termasuk Jean. Walau hanya beberapa hari, setidaknya lebih baik cepat pulang daripada semua akan terbongkar seiring waktu. "Kalian ini!" kesal Jean menabok Adelio. Sementara hidungku ditariknya, ihh kenapa dia ini. Sok jadi Kakak pula yang jahil idih. "Sakit dodol," balas Adelio menatap sinis Jean hanya terkekeh. "Elah men gitu doang mah nggak sakit," kata Jean cengengesan. Pada akhirnya, Adelio membalasnya lebih kuat. Di mana kami menertawakan Jean terkena getahnya. "Gue pelan loh, lo balasnya kayak mau bunuh gue," kesal Jean menjauhi Adelio memilih mendekati Mama Cahaya. "Makanya, lo jadi Abang tuh waras dikit. Gue baru pulang nyari perkara lo," sahutku menatapnya sinis. Tidak merasa bersalah, Jean hanya tersenyum lebar. Dih apaan banget nih orang, untung gue sabar ya. Sementara Bunda Delyna memberi kode
Malamnya aku merenung, apa besok pulang saja? Daripada mereka bertiga mengira melakukan hal lebih dari ini. Bagaimanapun, Zara dan Gracia mengetahui. Jika kami memesan satu ruang, walau satu kamar aku pasti sedikit menjauh tidurnya dari Adelio. "Setuju nggak, kalo kita pulang aja besok?" tanyaku ke Adelio yang sedang makan dengan tenang. Yap, setelah seharian mengobrol dan tidur. Kami tidak kemana-mana lagi, karena mengetahui ketiga manusia itu akan merusuh. Adelio mendongak dan tatapan kami bertemu. "Gue ngikut aja," balas Adelio tersenyum. Aku menghela napas panjang mengingat beberapa hari ini bukannya bahagia. Tapi banyak hal yang tidak diduga aku rasakan, belum lagi Ghifari bisa-bisanya menghampiriku ke Bali. "Yaudah, gue mau besok pulang. Nggak betah di sini," balasku kembali memakan udang goreng tepung. Enak banget asli, kayak masakan Mamaku hehe. Jadi rindu mereka apalagi Jean huhu. Setelah selesai makan, kami ke ruang santai untuk menonton televisi. Sebenarnya sangat
Pada akhirnya kami berada di pantai, menikmati hari berdua. Namun, itu tidak berjalan semestinya. Karena gangguan dari ketiga gila itu masih berlanjut, inipun aku ditarik Ghifari untuk pergi berdua."Gue bakal ngajak lo ke tempat yang indah di sini," paksa Ghifari dengan wajah memelas. Aku melirik Adelio yang kini dipegang dua orang sekaligus, siapa lagi kalo Zara dan Gracia. Mereka ini, astaga! Aku dan Adelio ingin berlibur saja susah, pasti ada masalah datang. "Lepasin nggak! Gue nggak mau Ghifari," kataku mengamuk di depan banyak orang melintas. "Ini lagi kalian berdua, apa nggak sadar? Gue tuh mau berdua sama Ranesya," ucap Adelio terdengar dingin. Aku menatap Adelio menarik paksa tangannya sampai jeratan dari dua manusia itu terlepas. Adelio mendekatiku berusaha melepaskan aku dari Ghifari yang tidak mau mengalah. "Seharusnya lo jangan deketin Ranesya, dia bakal jadi milik gue." Ghifari berkata percaya diri. Aku tertawa karena menyadari, jika Ghifari terlalu berlebihan.
Aku menguak sangat lebar merasakan kehangatan luar biasa, saat aku membuka mata terdapat Adelio terlelap. Aku tersenyum lembut mengelus pipinya, mataku melotot karena menyadari kami tidur bersama. "Eh? Kok bisa sih," gumamku memperhatikan sekitar. Menyadari jika kami berada di kamarku, kejadian malam tadi hanya dikejar Adelio dan saling bercanda. Oh ya! Tidak sengaja tertidur berdua. Huh, syukurlah kukira kami melakukan hal berlebihan. "Duh, jangan bangun ya," kataku melepaskan diri dari Adelio perlahan. Aku berdiri menatap wajah Adelio yang begitu menawan, apa tidak salah Tuhan memberikan Adelio kepadaku?Bahkan, banyak dari cewek-cewek mengejarnya. Walaupun tingkah nakalnya membuat guru kesal, tapi dia adalah suami terbaik untukku. "Masak apa ya?" gumamku menuju dapur. Apa aku masak nasi goreng saja ya? Pasti enak banget, tapikan nggak ada peralatannya. Huh! Yasudahlah, aku memilih menonton tv di mana suara teleponku begitu nyaring di kamar. "Ganggu banget, ini jam 7 loh,"
Khusus hari ini, aku tidak ingin keluar karena takut bermasalah lagi dengan kedua makhluk gila itu. Membayangkan saja kejadian kemarin membuatku naik darah, huh! Apa aku buang saja ke lubang buaya sehingga tidak ingin merebut Adelio. "Lo kenapa sih remas remote itu kuat banget?" tanya Adelio menatapku bingung. Aku menggigit bibir bawah, saat melihatnya. Ya gimana lagi, aku masih sangat kesal tau!"Gapapa kok," jawabku seadanya dengan senyuman kecil. Kami berada di ruang santai menonton sebuah film romantis, adegannya begitu manis membuatku melayang. Tapi sesaat membayangkan tadi, moodku hancur seketika. Untungnya Adelio menyuapiku seperti sekarang. "Suka nggak?" tanya Adelio memberikanmu sebuah susu kotak. Aww, pagi-pagi sekali Adelio membawakan beberapa makanan entah dari mana. Aku yang baru bangun melihat Adelio tersenyum saat aku membuka mata, romantis bukan? "Ngelamun lagi?" kata Adelio membuatku tersadar. Aku hanya tersenyum kecil, memakan beberapa cemilan di atas meja.
Malam harinya, aku dan Adelio ingin pergi kencan berdua. Namun, hal tidak diduga terjadi. Di mana Zara dan Gracia, berada di tempat yang sama dengan kami. Jujur aku kadang bingung, mereka ada di mana-mana. "Kenapa Ranesya?" tanya Adelio melihatku. Aku mendengus menatap lulus, di mana Adelio mengikuti mataku. "Loh, kenapa mereka ada di sini ya?" balas Adelio begitu bingung. Pake nanya lagi, ya aku juga nggak tau loh. Mereka seolah tau, kami akan pergi kemana sampai ke restoran ini sekalipun. Berusaha mengabaikan keduanya, aku menarik Adelio ke dalam. Duduk di meja yang cukup jauh dari Zara dan Gracia. "Bentar, kita pesan dulu," kata Adelio mengangkat tangan seketika pelayan datang menghampiri kami. Sebuah buku menu, aku memilih beberapa dan sebaliknya dilakukan hal sama dengan Adelio. Pelayan itu pergi, hanya kami berdua di sini yang lain sibuk dengan urusan mereka. "Gimana rasanya liburan sekarang? Seru nggak?" tanya Adelio menatapku begitu dalam. Aku mendongak memperhatika
Berusaha melupakan Zara dan Gracia, kami lebih memilih kepantai kembali berjemur di sana. Siapa sangka, orang yang tidak aku harapkan mendekati kami mana bajunya kurang bahan. "Adelio, lo makin ganteng aja," kata Gracia melirik tubuh Adelio tanpa baju. Dih, aku menaikkan satu alis merasa aneh dengan pemandangan di mana wajah Gracia memerah. Jijik sekali, apalagi tidak lepas matanya ke Adelio. Heh! Jangan gitu please, aku sangat cemburu sialan. "Gue emang ganteng, sekarang lo berdua pergi sana," usir Adelio menurunkan kacamata lalu menaikkan kembali. "Lo berdua mau jadi lonte atau apa? Bahannya terlalu kurang, mau godain siapa?" hina Adelio tanpa menoleh ke arah mereka berdua. Aku menahan tawa, siapa mengira. Jika Adelio akan berkata begitu tanpa peduli perasaan Zara maupun Gracia. "Buat godain lo," sahut Zara mendekati Adelio. Jujur menjijikan sekali, mereka tanpa malu tersenyum amat manis dan menggoda. Iuhh, untung aku berusaha kalem ya. "Najis tau nggak!" umpat Adelio mene
Di pagi hari, berbeda dari biasanya. Saat aku terbangun, Adelio sudah berada di depanku. Siapa sangka, aku melotot tidak percaya. Bahkan, Adelio mengelus puncak kepalaku. "Lo udah bangun?" tanya Adelio mengecup keningku penuh perhatian. Aku yang masih tidak menyangka hanya bisa berkedip-kedip, yaa aku kan masih terkejut. Dengan tubuhku mundur membuat Adelio terlihat bingung. "Kenapa?" Aku menggeleng cepat, berusaha berdiri dan melirik sekitaran. Asli, aku sangat malu. "Nggak kok," jawabku sedikit gugup. "Seriusan? Kenapa wajah lo langsung tegang gitu," sahut Adelio terkekeh pelan. Yah, siapa coba tidak kaget dengan tingkahnya. Kan aku sangat terkejut, dahal dia sangat jarang begini kepadaku. Paling sesuatu hal penting, atau pergi suatu tempat dia akan menghampiriku terlebih dahulu. "Eh, nggak kok cuma tadi," balasku bingung mengigit bibir bawah. Aku mendorong tubuh Adelio. "Sana gih, lo pesen aja makanan gue laper soalnya," kataku mengalihkan pembicaraan. "Lo laper? Bentar
Sore yang cerah, cocok banget jalan-jalan di pantai. Aku dengan tergesa-gesa menarik tangan Adelio untuk cepat. "Ayolah, lo jangan lama sih!" kesalku mendengus. Adelio menggeleng kepala, saat aku menoleh. Apa dia ikutan kesal denganku? Kan aku hanya tidak ingin ketinggalan ke pantai. "Pelan-pelan aja, pantainya gak berjalan itu," peringat Adelio menahan tawa. Idih, dikira lucu gitu? Aku melepaskan tangan Adelio, bersedekap dada di depannya. Bibir yang merucut kedepan seperti bebek. "Lo kok ketawa? Nggak ada yang lucu tau," hardikku menghentakkan kaki. "Dahlah, nggak jadi aja."Aku berusaha memutarkan badan untuk balik ke kamar, namun tanganku ditahan olehnya. "Mau kemana?" tanya Adelio menatapku lekat. "Gue mau ke kamar aja, lo ngeselin soalnya," kataku mengalihkan pandangan ke tempat lain. Terdengar suara kekehannya. "Gue bercanda doang, ayo kita pergi," ajak Adelio menarikku untuk ke pantai. Tidak menolak, aku hanya mengikuti langkah kakinya turun dari lift. Aku tidak ada