Selesai makan, bukannya pulang berlanjut membahas pernikahan. Aku hanya tersenyum terpaksa karena selalu di tanya-tanya tentang Adelio. Aaaa, aku tidak kuat di sini.
Di ruang tamu, aku duduk bersebelahan dengan Adelio. Orang tua masih mencocokkan tanggal yang pas. Aku dibuat kesal karena Adelio selalu jahil kepadaku. Adelio mengangkat kakinya mengarah ke diriku. Aku melirik tajam Adelio, bukan diturunkan Adelio mengenai Dress ku. Kepalaku mendekat ke telinganya. "Seumur hidup, gue paling benci sama lo." Adelio sedikit mengundurkan tubuhnya. "Dan seumur hidup lo, bakal selalu sama gue," jawabnya tersenyum manis. Kepalaku mendidih sampai aku menggertakkan gigi karena geram. Orang tua tanpa sengaja melirik aku dan Adelio terlihat romantis. "Aduh, belum nikah udah akrab aja," kata Bunda Delyna tersenyum lebar melihat keharmonisan kami. Mama Cahaya mengangguk setuju. "Ini namanya menjalin hubungan bersama." Aku dan Adelio menoleh, semua orang menatap kami dengan kondisi minim. Aku hanya diam merutuki Adelio, dia paling menyebalkan yang aku kenal. Kenapa dunia seolah mempermainkan aku? Selagi aku melamun, orang tua tiba-tiba berteriak senang. "Nah, bagus harinya," seru Jean memberi dua jempol tanda kebahagiaan. "Ranesya, Adelio hari pernikahan kalian jatuh 2 hari lagi," ucap Ayah Liam tersenyum tipis. "Apa?" Bukan teriakanku saja, ternyata Adelio juga sama terkejutnya denganku. Papa Guntur terkekeh, mengakui jika aku terlihat senang. Aduh aku bukan senang ya, Papa! Aku tertekan di sini. "Kalian kalo nggak sabar gapapa, kita bakal majuin untuk besok," timpal Papa Guntur di angguki orang-orang. "2 hari, ya itu aja jangan kecepatan," sahutku tertawa kecil sambil memukul lengan Adelio dengan kuat. Adelio meringis melirikku tajam, ku balas senyum terpaksa. "Ihh, Adelio jangan ngelirik aku gitu entar suka," kataku ceplos sambil bergeser sedikit untuk memberi jarak kepada Adelio. "Adelio jangan gitu tatap calonmu," bela Bunda Delyna menatap sinis Adelio. Aku tertawa jahat dalam hati merasa senang jika Bunda Delyna membelaku, Adelio juga terlihat pasrah dimarahi. "Ini sudah fiks 2 hari kan?" tanya Papa Guntur yang melipatkan tangan di dada. "Udah, bentar lagi kita jadi besan," seru Bunda Delyna kegirangan menghampiri Mama Cahaya. Mereka berdua berpelukan, aku di sana hanya terdiam pasrah. Adelio menyentil kepalaku tiba-tiba. "Adelio?!" sungutku dengan napas memburu. Sementara Adelio tersenyum miring, merasa senang aku marah. "Aduh, calon suami kamu jahil sayang," kata Mama Cahaya menggodaku. Aku yang digoda menoleh menahan emosi sebisa mungkin untuk tidak membuat kegaduhan. "Iya dong, Ranesya kan calon istriku," sahut Adelio seketika semua orang mesem-mesem. Aku yang muak mengalihkan pandangan. Aku mau pulang, terlintas sebuah ide di otakku. "Woam." Aku menguap menutupi mulutku dengan tangan. Papa Guntur yang paham jika aku mengantuk meminta izin balik. "Kami pulang dahulu ya, soalnya Ranesya keliatan ngantuk banget." Nah, ini yang aku mau loh dari tadi. Aku bersorak gembira dalam hati. "Yaudah, nanti kita ketemu 2 hari lagi," ucap Ayah Liam mengingatkan. "Oke, terima kasih banyak undangannya ya," kata Papa Guntur menyalami keluarga Andres di ikuti Mama Cahaya. "Iya nih, masakan Tante eunak betul!" puji Jean, dilirik Mama Cahaya. "Jadi masakan Mama nggak enak nih?" sahut Mama Cahaya, orang-orang tertawa kecil kecuali aku. "Paling the best, Ma!" Jean memberi dua jempol mencari aman. Bunda Delyna mengalihkan perhatian kepadaku. "Hati-hati di jalan Ranesya." "Iya Tante," jawabku tersenyum menghampiri mereka untuk bersalaman. Aku sekeluarga di antar sampai ke depan pintu, aku memberi jari tengah diam-diam ke arah Adelio. "Berandalan sialan." Aku berucap tanpa suara ke Adelio, sementara Adelio menatap tajam kepadaku. *** Pulang dari rumah Andres, aku bukannya tidur. Aku marah-marah tidak jelas depan keluargaku, kami sekarang berada di ruang santai. "Ihh, kenapa sih harus 2 hari lagi Pa? Aku masih kecil, bisa nggak lulus sekolah aja," protesku berkacak pinggang di hadapan orang-orang. "Nggak bisa sayang, ini sudah sudah diputuskan oleh Papa sama Om Liam, kamu harus nerima apapun keputusan ini," ucap Papa Guntur memberi tahu baik-baik. Aku berteriak seperti orang gila, tidak menyangka akan terjadi kepadaku. "Tidakkk, kenapa harus aku sih?!" teriakku menghentakkan kaki kesal. Jean berseru, spontan aku diam. "Kamu yang di mau mereka, Ranesya." "Sayang, keluarga Andres baik-baik kok, Mama bakal sering hubungi kamu," ucap Mama Cahaya memberi pengertian. Aku yang tidak mengerti, geram dengan semua yang aku rasakan seperti campur aduk. "Kalian nggak akan ngerti aku!" Aku berteriak pergi meninggalkan mereka. Semua orang hanya bisa menatapku menaiki tangga dalam diam. Jujur saja, siapa yang siap menikah dalam waktu dekat? Aku tidak kuat Tuhan! Aku menghempaskan pintu, naik ke atas ranjang. Aku menangis sekuat mungkin melampiaskan amarahku. "Adelioo?! Gue benci banget sama lo!" teriakku memukul-mukul guling menganggap itu adalah Adelio.Aku menutupi telingaku dengan bantal, suara ketukan pintu berkali-kali menganggu tidurku. “Berisik!” teriakku menghela napas berat. Suara pintu terdengar kembali, Mama Cahaya berteriak, “Sayang, bangun mau sekolah. Nanti kamu telat.”Mataku yang tadi terpejam langsung melotot melirik jam di nakas masih 06.20, astaga Mama! Aku kira sudah 07.40 pasti aku akan dihukum Ibu Aini jika telat. “Iya Ma!” seruku dengan langkah malas-malasan ke kamar mandi. Sekitar 20 menit, aku keluar dengan seragam sekolah. Aku mengambil kaca melihat mataku yang bengkak. “Jelek banget lagi,” kataku khawatir, takut jika penggemarku melihat kecantikan bidadari ini pudar. Aku memberi bedak biar tidak terlalu kentara, jika malam tadi aku menangis. Setelah selesai, aku mengambil tas keluar dari kamar dengan bahagia. Melupakan kejadian malam tadi sesaat. Namun, saat sampai di meja makan mataku melotot tidak percaya. Apa-apaan ini kenapa ketemu dia lagi? Adelio?!“Lo ngapain ke rumah gue!” sesalku menatap Ade
“Duh, bau banget lagi,” gerutuku membersihkan wc perempuan. Sebelumnya, aku dan Adelio sudah berlomba memasuki wc siswa siswi. Aku sudah menasehati, supaya tidak membersihkan wc perempuan. Namun, Adelio enggan mendengarkan aku. Tidak lama terdengar, suara keributan dari luar.“Aaaaa, ihh mesum banget sih!”“Ngapain di siniii!”Aku pun membuka pintu wc yang aku bersihkan. Aku menganga lebar, terdapat Adelio dipukul-pukul dua siswi. Aku tertawa terbahak-bahak, karena Adelio menderita di sana, namun Adelio berhenti di depanku. “Udah dong, gue Cuma disuruh doang sama Ranesya,” tunjuk Adelio ke arahku. Dua siswi itu berhenti memukuli Adelio, beralih mendekatiku. Sementara Adelio menjulurkan lidahnya, hendak pergi meninggalkan aku sendiri. “Adelio, lo mau kemana!” Aku ingin mengejar, namun ditarik dua siswi itu. “Ranesya, ini ternyata sifat asli lo yang suka cari perhatian ke guru,” kata Hani menghalangiku. Anggita memberi tatapan sinis kepadaku. “Siswi pintar katanya, tapi bersihin
Sebulan kemudian, tepat hari minggu biasanya untuk bersantai bersama keluarga. Berbeda dengan aku yang harus bangun pagi hanya untuk berhias. Waktu tidurku terganggu!Aku menguap, selagi orang rias memberi bedak di wajahku, sedikit lagi selesai dan aku benar-benar membenci hari ini. Pernikahan yang tidak pernah aku harapkan! Sialnya aku menikah dengan seorang berandal sekolah. “Mbak, udah selesai?” Mama Cahaya menghampiriku, mengusap kepalaku dengan lembut. Tukang rias itu mengangguk pergi dari hadapanku. Aku menghindari tatapan Mama Cahaya, aku tau jika ini semua untuk perusahaan. Tapi kenapa harus aku jadi korban yang diinginkan keluarga Andres? Mama Cahaya menyadari aku yang berbeda, mencangkup pipiku. “Sayang, maafin Mama. Nggak bisa bantu apa-apa,” ucap Mama Cahaya sendu. Aku geleng-geleng, tidak mau terlihat rapuh. “Ranesya? Kamu kenapa?” Mama Cahaya panik, melihat tetesan air mataku jatuh.Aku tidak menjawab, mulutku terasa kelu untuk berucap. Perasaanku tidak karuan, tid
“Tante, Om aku pergi dulu,” pamitku mencium punggung tangan mereka. Bunda Delyna menatapku dalam. “Sayang, panggil Ayah sama Bunda aja. Kita udah jadi keluarga kamu,” pintanya, tersenyum lembut mengusap kepalaku. Aku membalas senyumannya sambil menggaruk tengkukku. “Iya Bunda,” balasku berhadapan keduanya di meja makan. “Kamu nggak bareng Adelio?” Ayah Liam bersuara, mencari-cari keberadaan Adelio.Aku berdeham pelan. “Adelio susah dibangunin,” kilaku padahal aslinya. Aku sama sekali tidak membangunkannya. Pagi sekali, aku bangun begitu kaget karena ada Adelio di sampingku. Untungnya aku tidak berteriak, sehingga aku langsung mempersiapkan diri ke sekolah. Aku marah sekali dengan mereka, karena sudah menikahkan aku dengan berandalan seperti Adelio. Aku mengingat saat surat panggilan itu, aku tidak sama sekali ke BK menemui orang tuaku. Aku pergi menggunakan mobil bersama Pak Danang, sopir pribadi keluarga Andres. Diperjalanan aku hanya diam tanpa menyahuti ocehan Pak Danang, se
Saat pulang sekolah, tiba-tiba saja Adelio menghampiriku ke kelas. Padahal kelas masih ramai. Aku menatap tajam dari kejauhan. Adelio di depan pintu, bersedekap dada sok keren. Hingga orang-orang menebak. Jika Adelio memiliki seorang pacar, Adelio tahan menunggu lama. "Woy otak udang, cepetan!" teriak Adelio, menghela napas berat. Aku yang diteriakin diam, aku takut anak sekolah. Banyak yang tau hubunganku dengan Adelio. Bahkan, mereka yang masih ada di kelas, mengedarkan pandangan. Siapa yang dicari oleh Adelio. "Keluar lo pada!" usir Adelio, sehingga semuanya kocar-kacir kecuali aku. Aku memasuki buku dalam tas, aku tidak peduli apa yang terjadi. Dipertanyakan adalah, Adelio ngapain ke kelasku? Adelio menghampiriku menggebrak meja. "Cepetan! Gue ke sini cuma disuruh Bunda, ogah banget jemput lo!" sergah Adelio dengan wajah datar. Aku terkejut menatap sinis. "Nggak usah jemput, gue juga ogah kali!" jawabku, meninggalkan Adelio sendiri. Aku menghentakkan kaki dengan kesal.
Tepat jam 9 malam. Aku duduk di depan televisi, menonton film kusukai. Tapi yang aku heran adalah Adelio. Adelio berpakaian rapi dengan jaket kulit, tertempel di tubuhnya. Aku berpikir, Adelio mau pergi kemana? "Dih, udah malem juga," sindirku, tidak direspon Adelio. Aku berdecak kesal, di mana Adelio langsung keluar tanpa menyahutiku. Wajahku tidak tenang, sungguh kepo. Adelio akan kemana sebenarnya. Daripada aku jadi hantu penasaran. Aku langsung gerak cepat, mengganti baju dan mengambil mobil ke garasi. Selain rumah, aku dan Adelio dikasih juga sebuah mobil. Aku langsung tancap gas, mengikuti Adelio secara diam-diam. "Mau kemana dia?" kesalku, sekitar 35 menit. Ada sebuah keramaian, di sana terlihat orang balap liar. Aku mengerti sekarang. Aku turun dari mobil, bersembunyi di kerumunan, biar tidak ketauan Adelio. Tidak lama datang seseorang menggodaku, aku menepis tangan jelek itu. "Nggak usah sentuh gue!" sergahku, melotot ke arah 3 orang itu. "Cewek cantik kek lo, ngap
Aku menoleh dengan ekspresi terkejut. "Woy, lo bawa buku gue ya?!"Aku deg-degan, ternyata yang berteriak itu adalah Adelio.Wajahku sudah pucat, sementara kedua sahabatku melirik Adelio. "Jangan bilang lo buang buku gue?" tanya Adelio, menatapku sinis. Aku memejamkan mata sejenak. "Haha, lo bercanda kan? Kita beda angkatan," ucapku, cengengesan menepuk bahu Adelio. Adelio menaikkan satu alisnya. "Lo kenapa sih?" tanya Adelio bingung. "Aduh, bentar ya. Gue ada urusan sama nih berandalan," pamitku, menarik Adelio pergi dari parkiran. "Iya, lo hati-hati Ranesya," teriak Gita, melirik Vivian. Sementara Vivian mengangguk saja. Membuatku kesal, ternyata Gita dan Vivian saling berbisik. Saat aku menoleh ke belakang. "Lepasin! Lo apaan sih nyeret gue gini!" teriak Adelio, menarik tangannya. Hingga terlepas dari cengkraman ku. Aku bersedekap dada, dan mendengus. "Lo lupa? Kita itu di sekolah!" kataku, berhadapan dengan Adelio. "Terus kenapa?" Adelio bertanya, sok polos di depanku. T
"Dasar berandalan! Lihat nih, baju gue basah gara-gara lo!" Aku, Ranesya Adipurna, kelas 11 MIPA 1 di SMA Angkasa Jaya Aku siswi teladan dan tercantik di sekolah. Usiaku 17 tahun. Rambutku lurus sebahu dan berwarna hitam kemilau. Kata orang, penampilan yang rapi dapat memberikan kesan positif dan meningkatkan rasa percaya diri. Makanya, aku kesal saat bajuku basah gara-gara siswa berandalan itu menumpahkan minumannya. Siswa berandalan itu namanya Adelio Andres. Dia hobi membuat masalah. Dia tidak tahu aturan dan tidak punya tata krama. Pokoknya, Adelio adalah cowok menyebalkan yang pernah aku temui di sekolah. Adelio menatapku tanpa ekspresi. Sepertinya, dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Aku yakin, dia pasti mau minta maaf. Aku pun menyeringai. Terlintas ide di benakku. Aku berniat untuk tidak akan memaafkannya dengan mudah. "Siapa suruh lo jalan nggak pake mata?!" Aku berhenti memainkan poni, lalu melototi Adelio. Suasana kantin kembali memanas. Siswa dan siswi berdiri