Home / Fiksi Remaja / Suamiku Berandalan Sekolah / Bab 3. Tanggal Pernikahan

Share

Bab 3. Tanggal Pernikahan

Selesai makan, bukannya pulang berlanjut membahas pernikahan. Aku hanya tersenyum terpaksa karena selalu di tanya-tanya tentang Adelio. Aaaa, aku tidak kuat di sini.

Di ruang tamu, aku duduk bersebelahan dengan Adelio. Orang tua masih mencocokkan tanggal yang pas. Aku dibuat kesal karena Adelio selalu jahil kepadaku.

Adelio mengangkat kakinya mengarah ke diriku. Aku melirik tajam Adelio, bukan diturunkan Adelio mengenai Dress ku.

Kepalaku mendekat ke telinganya. "Seumur hidup, gue paling benci sama lo."

Adelio sedikit mengundurkan tubuhnya. "Dan seumur hidup lo, bakal selalu sama gue," jawabnya tersenyum manis.

Kepalaku mendidih sampai aku menggertakkan gigi karena geram. Orang tua tanpa sengaja melirik aku dan Adelio terlihat romantis.

"Aduh, belum nikah udah akrab aja," kata Bunda Delyna tersenyum lebar melihat keharmonisan kami.

Mama Cahaya mengangguk setuju. "Ini namanya menjalin hubungan bersama."

Aku dan Adelio menoleh, semua orang menatap kami dengan kondisi minim.

Aku hanya diam merutuki Adelio, dia paling menyebalkan yang aku kenal. Kenapa dunia seolah mempermainkan aku?

Selagi aku melamun, orang tua tiba-tiba berteriak senang.

"Nah, bagus harinya," seru Jean memberi dua jempol tanda kebahagiaan.

"Ranesya, Adelio hari pernikahan kalian jatuh 2 hari lagi," ucap Ayah Liam tersenyum tipis.

"Apa?" Bukan teriakanku saja, ternyata Adelio juga sama terkejutnya denganku.

Papa Guntur terkekeh, mengakui jika aku terlihat senang. Aduh aku bukan senang ya, Papa! Aku tertekan di sini.

"Kalian kalo nggak sabar gapapa, kita bakal majuin untuk besok," timpal Papa Guntur di angguki orang-orang.

"2 hari, ya itu aja jangan kecepatan," sahutku tertawa kecil sambil memukul lengan Adelio dengan kuat.

Adelio meringis melirikku tajam, ku balas senyum terpaksa. "Ihh, Adelio jangan ngelirik aku gitu entar suka," kataku ceplos sambil bergeser sedikit untuk memberi jarak kepada Adelio.

"Adelio jangan gitu tatap calonmu," bela Bunda Delyna menatap sinis Adelio.

Aku tertawa jahat dalam hati merasa senang jika Bunda Delyna membelaku, Adelio juga terlihat pasrah dimarahi.

"Ini sudah fiks 2 hari kan?" tanya Papa Guntur yang melipatkan tangan di dada.

"Udah, bentar lagi kita jadi besan," seru Bunda Delyna kegirangan menghampiri Mama Cahaya.

Mereka berdua berpelukan, aku di sana hanya terdiam pasrah. Adelio menyentil kepalaku tiba-tiba.

"Adelio?!" sungutku dengan napas memburu.

Sementara Adelio tersenyum miring, merasa senang aku marah.

"Aduh, calon suami kamu jahil sayang," kata Mama Cahaya menggodaku.

Aku yang digoda menoleh menahan emosi sebisa mungkin untuk tidak membuat kegaduhan.

"Iya dong, Ranesya kan calon istriku," sahut Adelio seketika semua orang mesem-mesem.

Aku yang muak mengalihkan pandangan. Aku mau pulang, terlintas sebuah ide di otakku.

"Woam." Aku menguap menutupi mulutku dengan tangan.

Papa Guntur yang paham jika aku mengantuk meminta izin balik. "Kami pulang dahulu ya, soalnya Ranesya keliatan ngantuk banget."

Nah, ini yang aku mau loh dari tadi. Aku bersorak gembira dalam hati.

"Yaudah, nanti kita ketemu 2 hari lagi," ucap Ayah Liam mengingatkan.

"Oke, terima kasih banyak undangannya ya," kata Papa Guntur menyalami keluarga Andres di ikuti Mama Cahaya.

"Iya nih, masakan Tante eunak betul!" puji Jean, dilirik Mama Cahaya.

"Jadi masakan Mama nggak enak nih?" sahut Mama Cahaya, orang-orang tertawa kecil kecuali aku.

"Paling the best, Ma!" Jean memberi dua jempol mencari aman.

Bunda Delyna mengalihkan perhatian kepadaku. "Hati-hati di jalan Ranesya."

"Iya Tante," jawabku tersenyum menghampiri mereka untuk bersalaman.

Aku sekeluarga di antar sampai ke depan pintu, aku memberi jari tengah diam-diam ke arah Adelio.

"Berandalan sialan." Aku berucap tanpa suara ke Adelio, sementara Adelio menatap tajam kepadaku.

***

Pulang dari rumah Andres, aku bukannya tidur. Aku marah-marah tidak jelas depan keluargaku, kami sekarang berada di ruang santai.

"Ihh, kenapa sih harus 2 hari lagi Pa? Aku masih kecil, bisa nggak lulus sekolah aja," protesku berkacak pinggang di hadapan orang-orang.

"Nggak bisa sayang, ini sudah sudah diputuskan oleh Papa sama Om Liam, kamu harus nerima apapun keputusan ini," ucap Papa Guntur memberi tahu baik-baik.

Aku berteriak seperti orang gila, tidak menyangka akan terjadi kepadaku.

"Tidakkk, kenapa harus aku sih?!" teriakku menghentakkan kaki kesal.

Jean berseru, spontan aku diam. "Kamu yang di mau mereka, Ranesya."

"Sayang, keluarga Andres baik-baik kok, Mama bakal sering hubungi kamu," ucap Mama Cahaya memberi pengertian.

Aku yang tidak mengerti, geram dengan semua yang aku rasakan seperti campur aduk.

"Kalian nggak akan ngerti aku!" Aku berteriak pergi meninggalkan mereka.

Semua orang hanya bisa menatapku menaiki tangga dalam diam. Jujur saja, siapa yang siap menikah dalam waktu dekat? Aku tidak kuat Tuhan!

Aku menghempaskan pintu, naik ke atas ranjang. Aku menangis sekuat mungkin melampiaskan amarahku.

"Adelioo?! Gue benci banget sama lo!" teriakku memukul-mukul guling menganggap itu adalah Adelio.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status