"Untung osis," kataku, jujur saja aku malas selalu bertemu Adelio. Sekolah ketemu Adelio, apalagi di rumah. Aku seolah diikuti makhluk halus. Saat aku keluar bersama Frans untuk ke ruangan guru, sebuah bola basket menimpa kepalaku. Aku terduduk meringis. "Gila, siapa sih yang sengaja?!" sungutku. Sementara Frans, melirik kesana-kemari tidak ada siapapun. Serius! Rasa pusing aku rasakan, benar-benar luar biasa. Aku berusaha berdiri dibantu Frans. "Hati-hati, apa mau ke UKS aja?" Frans menoleh ke arahku khawatir, kali ini dia berkata, "Gue gendong aja, ya?" Seketika mataku, melototi Frans yang cengengesan. "Gue bisa sendiri kok," balasku, memegang dinding mengatur keseimbangan. Frans menatap polos. "Serius? Lo kalo kenapa-kenapa, kita bisa ke UKS," kata Frans, memegang tanganku. Aku hanya menggeleng, melanjutkan perjalanan ke ruang guru. Untungnya, Frans berbaik hati memegang aku. "Makasih ya," ucapku, tersenyum tipis.Frans mengangguk, membuang wajah salah tingkah. Di ruan
Pagi sekali, aku sudah bersiap-siap untuk joging! Iya, aku sangat bersemangat. Di tanggal merah yang cerah ini. Aku mencuci tanganku 6 langkah seperti biasa, aku sarapan dengan hikmat. Setelah selesai, aku ingin pergi sekarang. Namun, jalanku terhenti oleh Adelio yang menghadang di depan pintu. "Minggir! Ngapain juga lo hadang gue," kesalku, memancarkan permusuhan. Adelio seperti biasa mengangguku. Entah mengapa, sekarang suka sekali cari gara-gara. "Mau kemana nyonya, rapi bener," goda Adelio, bersiul ke arahku. Aku berdecak kesal. "Bukan, urusan lo!" sergahku, berkacak pinggang hingga mengalihkan pandang malas. Kembali aku melihatnya. Baru aku menyadari kalo Adelio, memakai baju lengan pendek, dan celana training. "Ikut dong," rengek Adelio, bak anak kecil. Aku ketawa renyah, memijit pelipisku. "Dih. Nggak banget, mau ngajak lo. Geser nggak!" teriakku, memberikan isyarat untuk minggir Adelio bukannya minggir, dia menghalangiku dengan dua tangan. "Adelio! Gue mau joging, k
"Woam, udah pagi aja," ujarku mengucek mata. Aku mengambil hp, berbunyi memekakkan telingaku. Alisku berkerut, mendapatkan telepon Papaku. Dia tidak tau saja, aku sedang marah dengan mereka. Pernikahan yang hanya menguntungkan mereka! Aku jadi korban semata, aku mendengus lebih memilih untuk mandi saja. Sekitar 25 menit, aku sudah tertampil begitu cantik. Dengan rambut sebahu, pita pink yang unyu-unyu. "Perfect!" seruku, di depan kaca. Aku juga langsung pergi ke sekolah, tanpa sarapan. Kali ini aku memilih menaiki taksi."Atas nama Mbak Ranesya?" tanya seorang supir taksi, mobilnya berhenti tepat di depanku. Aku mengangguk. "Iya Pak," jawabku, menaiki taksinya. Aku sudah memesannya saat di rumah tadi, biar tidak terlalu lama. "Mbak cantik, gimana kalo jadi pacar saya?" ucap Pak supir, aku yang sedang bermain hp. Mendongak kaget, mataku terasa mau keluar. Aku tertawa karir. "Aku udah punya pacar, Pak," kilahku, cengengesan mengusap kening berkeringat. "Padahal gue ada suami,"
"Liat anak basket, yuk!" ajak Gita, menarik tanganku dan Vivian. Aku tertarik pasrah, sampai di dekat lapangan basket. Dipenuhi ciwi yang berbondong-bondong menyoraki para pujaan hati. "Adelio, semangat ya!""Aku bawain minum nih, jadi kalo butuh samperin aja."Suara mereka membuatku jijik, apa yang mereka sukai dari Adelio?! Menyebalkan iya, sok ganteng apalagi. "Ihh, apa kerennya Adelio itu?" tanyaku nyolot, Gita yang menyadari itu menyenggolku. "Siapa yang nggak tergoda? Harus bersyukur sih yang jadi pacarnya," timpal Gita berbinar, memperhatikan Adelio lay up. "Gue nggak!" hardikku, melipatkan tangan di dada. Ditambah, ciwi-ciwi itu mendekati Adelio, menyerkah keringat di dahinya. Aku merinding, Adelio melirikku tersenyum. "Dikira hebat gitu?!" ketusku. Siapa yang mengira, seorang Adelio ini jadi incaran siswi. Mendingan gue, udah pintar, cantik, baik hati, rajin menabung dan tidak sombong "Kok lo nyolot sih, Ranesya? Bener kata Gita, lo suka Adelio ya?" tuduh Vivian, aku
Motor itu berhenti di depan kami. "Lepasin dia, sebelum kalian habis di tangan gue." Mataku berbinar, tidak menyangka jika Adelio menolongku. Padahal aku selalu marah kepadanya. Tapi dia masih khawatir kepadaku? Adelio turun dari motor, melepaskan helmnya. "Lepasin sekarang!" hardik Adelio. Wajah tegas, dan sorot mata yang tajam. Aku baru kali ini melihat, perbedaan Adelio. Aku tidak menyangka, Adelio sangat gagah. Langkahnya, cepat menghampiri kami. Tanpa basa-basi, menarik cowok kepala gondrong. "Ini balasan, nggak dengerin kata gue!" Adelio memberi bogeman, mengenai pipinya. Sementara, aku masih dipegang cowok kepala botak. Aku mendengus, tidak bisa lepas darinya. "Jangan sombong dulu, lo bakal tetap jadi mainan kita," bisik cowok kepala botak menakutiku. "Masa sih? Apa kalian yang bakal jadi mainan dia," balasku, menatap Adelio memukuli cowok itu habis-habisan. "Liat deh, temen lo kayak udah mau meninggoy," godaku, tersenyum lebar di tengah hujan deras. Cowok k
Panasku belum turun, tapi aku paksakan untuk sekolah. Mengingat bahwa waktu sangat berharga. Aku berjalan lesu, menaiki mobilku. Tidak lama, gerbang sekolah terlihat. Seperti biasa, Pak Aldo memberikan senyuman manis kepadaku. Aku memilih duduk ke kantin, karena jam masuk sekolah masih lama. Aku memesan roti isi cokelat, padahal di rumah ada. Menurutku, membeli lebih enak, bisa menghabiskan uang Adelio. "Tumben sendiri aja," ucap seseorang, aku mendongak mendapati temanku, Gita bersama seseorang. "Siapa tuh?" kataku, melirik cowok itu. Penampilan juga oke, dan lebih indah dari cowok itu adalah lesung pipinya. Uhh! Manis banget. Ya Tuhan!"Ohh, dia tuh Kakak gue tau," ungkap Gita, aku terkejut mengetahuinya. Selama ini, Gita tidak pernah bilang memiliki seorang Kakak. Aku tersenyum ramah ke arahnya. "Kenapa lo, nggak pernah bilang?" tanyaku nyolot. Namun, ke arah cowok itu aku tersenyum manis. "Dih, rahasialah. Gue kan emang susah ditebak," sahut Gita, menopang dagunya. Cowok
Kepalaku sudah menyut. Namun, aku memilih osis untuk menghindari, Adelio yang terus mengikutiku. Aku sebenarnya, sudah kesal dengan tingkahnya. Apalagi sekarang, Adelio seakan ingin dekat denganku. Aku menelungkupkan kepala di ruang osis, acara rapat juga sudah selesai. Dan aku bertemu Frans yang babak belur. Aku merasakan sentuhan di rambutku. Aku mendongak, terkejut melihat siapa melakukannya. "Frans? Belum pulang?" Aku tersenyum, menopang daguku menahan sakit kepala. Frans menggeleng, duduk di sampingku. "Kalo lo? Kenapa nggak pulang sekarang?" tanya Frans, duduk berhadapan denganku. Jujur, aku merasakan. Jika Frans terang-terangan ingin memilikiku. Tapi aku bisa apa? Aku tidak punya perasaan untuknya. "Ohh, bentar lagi kok," jawabku cengengesan, mengusap kening berkeringat. "Soal kemarin, gue minta maaf belum bisa nerima. "Akhirnya aku mengungkapkan sebenarnya. Selama ini, aku juga hanya menganggap Frans adalah seorang teman. Frans mengangguk, aku memperhatikan wajah Fra
"Halo Vivian?" ucapku, menerima telepon dari sahabatku. "Gue tadi jemput lo di rumah, kok nggak ada kata Mama lo," kata Vivian bingung. Aku terkejut, hingga menganga lebar. "Ohh, gue udah pergi tau!" kekehku, mencari alasan bagus. Daripada ketauan, aku langsung bergegas untuk pergi sekolah. Saat ini juga! Aduh, padahal aku memilih ingin di rumah saja tadi. Tapi karena Vivian ke rumah keluargaku, nanti ketauan dong jika aku sebenarnya sudah menikah. "Tapi lo bilang tadi masih di rumah," sahut Vivian, bingung dengan apa yang terjadi. "Ya tadi kan. Sekarang gue, udah di sekolah!" kilahku, langsung mematikan telepon. Bergegas menekan pedal gas, meninggalkan Adelio. Masih tertidur nyenyak di kamar. Bodo amatlah! Semoga dia telat! Aku begini, karena suka kesal sendiri. Jika melihat wajahnya itu. Untung rumah tidak terlalu jauh dari sekolah, aku langsung menuju ke kelas. Aku menghirup banyak-banyak udara. Karena sudah capek berlari, secepat mungkin. "Vivian! Gue belum sembuh, mana
"Nggak mau," teriakku memberontak. Sementara Adelio menggeleng. "Gue cuma ngajak lo makan di bawah," kata Adelio pada akhirnya terkekeh. Aku terdiam mengetahui apa Adelio maksud tadi, jujur aku malu karena pikiran otakku terlalu terjauh. "Emang lo mikirnya gue ngajak ke mana?" tanya Adelio memperhatikan diriku. Dengan senyum ragu, aku menggaruk tengkuk. Adelio mencubit pipiku dengan gemas. "Kalo mau sekarang, bisa kok kita buat yang menggemaskan," sambung Adelio menyeramkan. Aku melotot karena perkataan Adelio barusan, aku menabok lengannya. "Sembarangan, kita masih sekolah ini aja bentar lagi ulangan loh!" kesalku di mana Adelio hanya cengengesan. "Dahlah, ayo kita ke bawah aja kalo gitu," ajakku kini menariknya. Bahkan, orang-orang di rumah sudah berada di bawah hanya kami berdua baru turun. "Duh, kalian ngapain di atas ya? Kok lama banget," sindir Bunda Delyna tersenyum amat manis. Jujur aku jadinya agak gimana, karena pasti mengira kejauhan seperti aku barusan. "Biasa
Tamparan keras mengenai pipi Adelio, aku saja langsung menganga lebar. Tanpa peduli, ada beberapa orang di sini termasuk Angga dan Pasya tidak ikut campur. Aku hanya melirik Ayah Liam terliat biasa saja. "Tanggung jawab kamu harus jaga Ranesya! Kenapa masih aja lalai hah?" hardik Bunda Delyna berkacak pinggang. Adelio melirikku masih terkaget, bukannya kesal Adelio terkekeh kecil seolah tidak terjadi apa-apa. "Bunda, aku udah ngelakuin banyak hal sampai nih muka bonyok tau. Nih liat luka karena ngelawan orang gila," rengek Adelio memberitahukan kondisinya. Awalnya memang marah, hanya saat mengetahui apa yang terjadi. Bunda Delyna menarik tangan Adelio. Wajahnya begitu khawatir, bahkan mendorong Adelio perlahan untuk duduk. Mengambil kotak obat untuk membersihkan luka. "Kenapa bisa sampai kayak gini?" kata Bunda Delyna mengambil betadine, kasa dan alkohol. Sebelumnya, Bunda Delyna sudah membersihkan menggunakan alkohol biar tidak terjadi infeksi. Bagaimana tidak khawatir? Tang
Adelio hanya terkekeh mendorong tubuh Rayyen mengenai dinding, aku rasanya jantungan karena perilaku Adelio barusan. "Takutkan lo, tangan berharga lo mau gue patahin?" tanya Adelio senyum penuh arti. Sementara Rayyen meringis terduduk di lantai tanpa menjawab, Adelio langsung menghampiri melepaskan ikatan tangan maupun kakiku. "Kondisi lo, gimana? Apa orgil itu ngelakuin sesuatu?" Adelio bertanya dengan nada khawatir. Aku tidak menjawab, sampai Adelio melihat telapak tangan yang aku sembunyikan. Adelio langsung menoleh ke Rayyen yang masih menahan perih. "Sakit?" tanya Adelio kepadaku yang tidak menjawab. Tanpa perkataan lagi, Adelio mendekati Rayyen dan menatap tajam cowok yang kini menatap balik Adelio. Dengan perasaan senang aku rasakan, saat melihat Adelio menendang Rayyen begitu brutal. "Berani banget lo, nyakiti cewek gue," geram Adelio apalagi suara gertakan giginya itu. Aku tidak tau lagi soal ini, reaksinya berbeda dan aku bisa merasakan kemarahan Adelio. "Haha, dia
Aku menatap sinis orang disamping, aku menabok kepalanya begitu kuat. Sampai cowok itu seakan marah. "Ngelunjak ya lo," kata cowok itu mengeluarkan sapu tangan. Aku tidak tau apa yang akan dilakukannya, hingga aku kaget hidungku ditutupinya. Diri ini sudah meronta-ronta, biar terlepas dari bekapannya. Namun, rasa pusing di kepalaku tidak bisa dihindarkan. "Lo terlalu berisik," lanjut cowok itu dengan tato di tangan. Please, jangan sampai mataku tertutup namun diri ini sudah tidak tahan. Hanya kata terakhir aku dengar dari cowok itu adalah ...."Cukup lo jadi jalang kecil yang baik, jangan sampai Bos jadi harimau galak yang menerkam diri lo," katanya seolah memberikan aku kode. Tidak tau beberapa lama aku pingsan, namun saat aku bangun sudah berada di sebuah kamar begitu luas. Tangan dan kakiku di ikat setiap sisi kasur, asli aku ketakutan gara-gara hal begini. "Eh, lepasin gue. Siapapun itu!" teriakku meronta-ronta. Jujur ini mengerikan yang aku rasakan, sebenarnya ini lebih
Siswi kelas 10 terdiam apalagi perkataan Adelio begitu menyelekit mengatai mereka orang gila. Aku ingin tertawa keras, ekspresi mereka seperti malu sendiri. Apa ini namanya terlalu berlebihan sehingga orang lain ketakutan. "Pak, aku mau ke kelas aja kalo gini," kata Adelio ke Pak Hendra yang mengangguk. Adelio langsung menarik tanganku, di mana aku menoleh kebelakang dan menjulurkan ke semua siswi kelas 10. "Gue dong tanpa mengejar udah dapetin Adelio," ledekku seketika wajah mereka pada masam. Asli aku ingin tertawa, mengingat aku harus menjaga image. Jadi aku hanya bisa terkekeh kecil. Kami meninggalkan lapangan, melewati lorong hanya kali ini cukup sial. Kenapa harus bertemu Rayyen?"Ran, sama gue aja sih entar lo bahagia," kata Rayyen menyenderkan diri di dinding. Aku melirik bersama Adelio, kami berhenti di depannya. Adelio melepaskan genggaman tangannya dariku. "Sadar diri, lo nggak selevel sama gue," kata Adelio menatap tajam Rayyen. Di sana juga sepi, tidak ada orang
Adelio menatap begitu dalam hingga akhirnya, Adelio menutup mulut Zara dengan senyum miring. "Jangan gila lo, gue nggak akan balikan sama cewek murahan kayak lo." Adelio mendorong Zara menjauh, aku tidak percaya. Aku kira Adelio akan menerima dengan senang hati, ternyata Adelio hanya mempermalukan Zara saja. Adelio langsung menoleh ke arahku, apa dia sadar ada diriku dari tadi? "Nyariin gue ya?" tanya Adelio mendekat, merangkul diriku. Aku hanya mengangguk kaku, tidak ingin mengingat kejadian tadi. Asli, aku sudah ingin mencekik Adelio maupun Zara tadi. "Jangan dipikirin, gue nggak akan nerima Zara. Dia hanyalah masa lalu," papar Adelio melirik Zara yang terdiam. "Kamu nggak inget masa di mana kita sama-sama sayang?" tanya Zara berusaha membuat Adelio berbalik arah. Adelio hanya terkekeh pelan. "Dulu sama sekarang beda, gue dulu emang sayang lo, namun sekarang yang terakhir gue sayang cuma Ranesya." "Aku masih sayang kamu Adelio," teriak Zara prustasi. Di sa
Pagi sekali, berita menghebohkan datang dari Tasya di mana merebut suami orang. Aduh, aku sampai tidak habis pikir. Ternyata Zara dan Tasya sama saja, apa jangan-jangan Trisya juga begitu?"Gila tuh sampai viral beritanya, Tasya juga sekarang lagi di rumah Pak RT kalo kata anak kelas 10 dekat rumahnya," seru Gita menatap aku dan Vivian. Bahkan, Vivian mengangguk setuju dan di sini aku hanya bisa heran. Jika soal gosip mereka ada saja pembahasannya. "Di Toktok juga kan? Masa Tasya selingkuh di depan Istri sahnya tau," timpal Vivian seakan mulutnya berbusa. Aku juga melihatnya seperti itu, belum lagi lawannya Gita. Sudah sangat tidak bisa dipisahkan ini. "Astaga, gue sih malu ya," sahut Gita menggeleng kepala tidak percaya. Saat kami sedang merumpi, datangnya Zara merangkul tasnya itu. "Aduh, temennya kena masalah kok nggak bantuin sih?" sindir Gita melirik Zara menoleh ke arah kami. "Kenapa emangnya? Lo kok ngurusin hidup orang," sahut Zara mendekat berkacak pinggang. Gita ter
Kini aku diajak Adelio ke rumah keluarganya, karena perintah Bunda Delyna. Ada apa di sana sehingga aku harus ikut juga. "Sayang, kamu datang juga akhirnya. Bunda kangen sama kamu," kata Bunda Delyna memelukku erat. Aku terkekeh membalas pelukannya. "Aku juga kangen Bunda."Sementara Adelio disamping, aku sempat meliriknya yang sekedap dada dengan mata menyipit dan bibir cemberut. "Anaknya dilupain nih?" sindir Adelio, di mana Bunda Delyna menoleh ke Adelio. Aku melepaskan pelukan, memperhatikan keduanya yang terlihat sangat mirip. Wajah ganteng Adelio mirip dengan Bunda Delyna, dan benar saja memang plek-ketiplek 100% Bunda Delyna. "Emang kamu anak siapa?" Bunda Delyna bertanya dengan tatapan malas. Jujur ini sangat lucu, bahkan Bunda Delyna berani memarahi Adelio di depanku."Udah ada mantu, anaknya dilupain dih," kata Adelio memandangi wajah Bunda Delyna. "Iri ya, nggak bisa kayak Istri kamu? Soalnya Ranesya juga perhatian dan nggak sebandel kamu," papar Bunda Delyna menari
Hari minggu yang ditunggu-tunggu, aku sedang lari pagi bersama Adelio. Kami menikmati keindahan yang tidak ada duanya. Hanya tidak ada angin, tidak ada hujan, kami bertemu Gita dan Vivian ternyata berada di taman yang sama dengan kami. "Mereka samperin kita," kata Adelio melirikku dari samping. Aku hanya mengangguk, ya gimana lagi toh. Gilanya Gita langsung memelukku begitu erat. "Maafin Kakak gue ya?" kata Gita merasa bersalah dari raut wajah. Aku hanya berdeham mengingat perilaku bejat Ghifari, gila banget asli. Dia begitu kepadaku loh. Siapa sih yang terima diperlakukan tidak layak, apalagi di rumah sakit untungnya aku mengajak Adelio. Kalo tidak, bagaimana nasibku?"Lo masih marah?" Gita bertanya penuh harap. "Masih, cuma sama Ghifari doang, sama lo nggak kok," jawabku tersenyum membalas pelukannya. Adelio bersedekap dada dengan decakan kesal, apa dia tidak suka aku begini?Aku menatapnya berada di depanku, pasti dia kesal dengan para perempuan seperti kami. "Kenapa lo?"