"Halo Vivian?" ucapku, menerima telepon dari sahabatku. "Gue tadi jemput lo di rumah, kok nggak ada kata Mama lo," kata Vivian bingung. Aku terkejut, hingga menganga lebar. "Ohh, gue udah pergi tau!" kekehku, mencari alasan bagus. Daripada ketauan, aku langsung bergegas untuk pergi sekolah. Saat ini juga! Aduh, padahal aku memilih ingin di rumah saja tadi. Tapi karena Vivian ke rumah keluargaku, nanti ketauan dong jika aku sebenarnya sudah menikah. "Tapi lo bilang tadi masih di rumah," sahut Vivian, bingung dengan apa yang terjadi. "Ya tadi kan. Sekarang gue, udah di sekolah!" kilahku, langsung mematikan telepon. Bergegas menekan pedal gas, meninggalkan Adelio. Masih tertidur nyenyak di kamar. Bodo amatlah! Semoga dia telat! Aku begini, karena suka kesal sendiri. Jika melihat wajahnya itu. Untung rumah tidak terlalu jauh dari sekolah, aku langsung menuju ke kelas. Aku menghirup banyak-banyak udara. Karena sudah capek berlari, secepat mungkin. "Vivian! Gue belum sembuh, mana
"Loh? Kok sepi sih, di mana Adelio?" Aku meneliti sekeliling rumah. Bahkan di garasi, motor Adelio pun tidak ada. Daripada aku memikirkan yang tidak penting, aku membersihkan diri, dan merebahkan tubuhku. Aku memainkan ponsel, terdapat pesan di WhatsApp. Nomor yang tidak di kenal. Aku membukanya, foto Adelio bermain futsal, dan sekaligus lokasi tertuju. Terus? Siapa sih yang ngirim! Apa peduliku, tapi aku melihatnya terlihat asik. Aku langsung bergerak cepat. "Fiks! Gue juga bosen di rumah," ucapku, memakai baju seadanya. Aku menuju garasi. Menaiki mobil, ke arah tempat tujuan. Sekitar 40 menit, perjalanannya cukup lama karena macet juga. Aku turun di parkiran, berjalan cepat ke tempat Adelio bermain. Setelah masuk, aku duduk paling belakang biar tidak ketauan Adelio. Nanti dia percaya diri lagi! Aku kan hanya bosan. "Banyak yang ganteng ya," gumamku, tersenyum mengembang. Tidak terasa, sebuah gol dimasukkan ke gawang. Siapa lagi kalo Adelio melakukannya, aku melirik sekitara
Aku merasakan kehangatan. Tidak seperti biasanya, aku membalas pelukan erat tubuh? Eh tubuh? Mataku langsung membelalak. Dalam keadaan intim, mengingat ketiduran saat menonton film horor. Aku menggigit bibir bawah, pelan-pelan melepaskan pelukan Adelio. Bukan terlepas, Adelio makin mengeratkan-nya. "Gimana ini?" gumamku, mulai ketar-ketir. Sekuat tenaga, aku menabok wajahnya. "Bangun nggak lo?!" Selain menabok, aku juga mendorong tubuh Adelio menjauh. Adelio terasa terganggu, membuka matanya perlahan. "Berisik lo! Tinggal tidur aja kok ribet," protes Adelio, kembali tidur. Aku melotot marah. "Lepasin gue!" pekikku, cemberut memukuli tangannya. Tidak lama kemudian, Adelio melepaskan pelukan. Aku langsung berdiri, berkacak pinggang. "Awas lo, ya! Najis banget tidur berdua sama lo," kataku pergi ke kamar. Mau siap-siap ke sekolah. Sekitar 35 menit, aku keluar dari kamar memakai baju sekolah. Jepitan rambut kupu-kupu di kepalaku menambah kecantikanku. Aku berj
"Mau bicarain apa di ruang osis?" Aku bertanya, ke Frans yang fokus ke jalan. Frans menoleh, dengan senyum mengembang. "Nanti lo juga bakal tau," jawab Frans, sedikit aneh. Biasanya Frans akan menjawab pertanyaanku, secara langsung. Sekarang, seperti ada disembunyikan?Mungkin, perasaanku aja. Di sana memang tempat anak osis berkumpul, ada ruangan khusus dibuat untuk kami. Aku masuk terlebih dahulu diikuti Frans. Namun, ruangan itu terlihat sepi. Tidak ada kehidupan, aku melirik Frans. "Lo, nggak bohongi gue kan?" Wajahku berubah merah, menatap lekat Frans. Bukan merasa bersalah, Frans tersenyum. "Kalo iya, kenapa? Lo serius nolak gue waktu itu?" ucap Frans, mempertanyakan keputusanku. "Seriuslah, nggak budekkan telinga lo?" Aku bertanya kembali kepadanya. Frans mencengkram tanganku, mendorong tubuhku ke dinding. "Berani-beraninya lo nolak gue," murka Frans, menampar wajahku. Sementara, aku merasa tidak percaya yang aku rasakan sekarang. Jantungku berdetak lebih cepat dari seb
Di dalam mobil aku masih terdiam, di mana Adelio menjadi supirnya. Motor yang di bawanya pagi tadi, ditinggalkannya begitu saja di sekolah. Kami sudah pulang sekolah beberapa menit lalu. Yang aku pikirkan sekarang, Adelio mau membawaku kemana? Sementara, jalan ke arah rumah bukan lewat sini. Cukup jauh sekitar 2 jam. Aku sampai bosan di dalam mobil. Aku melihat ke arah Adelio yang mengangguk. Sebuah taman yang sangat indah, aku turun dari mobil. "Bagus banget," pujiku, masih memakai baju sekolah. Adelio tersenyum samar dibelakang, aku berlari memasuki lebih dalam. Tidak terlalu ramai, menenangkan hatiku saat ini. "Liat deh, ada kolam ikan," seruku mendekat, memotretnya dengan heboh. Selain itu, aku juga duduk menatap langit cerah. Aku tidak sengaja memperhatikan Adelio. Karena kurang fokus, aku memotret Adelio. Gayanya lumayan oke, dan aku kaget. "Apaan sih, kenapa gue foto dia?" gumamku, ingin menghapus. Tapi, langsung ditarik oleh Adelio. Sejak kapan, dia ada di depanku? B
"Lo kenapa?" panik Adelio, menoleh ke belakang. Aku terbelalak karena diperhatikan. Intens oleh teman Adelio, aduh malunya aku. Kenapa mulut ini tidak bisa ngerem sih?"Nggak kok," balasku, menggeser posisi mendekati Adelio. Ada beberapa orang akan bermain, dua teman Adelio salah satunya. Aku melirik Adelio, terlihat fokus menyemangati mereka. "Lo pasti bisa bro!" seru Adelio, menepuk kedua teman yang tak lain Angga, dan Pasya. Aku sekarang di samping Adelio. Melirik temannya Pasya, sementara Angga sedang berbicara dengan Adelio. "Kakak Pasya semangat!" kataku, tersenyum amat manis. Pasya mendengar, dukunganku langsung tersenyum lebar. "Makasih banyak, doain gue menang ya!" "Pasti Kak!" tuturku, Pasya tiba-tiba saja mengelus kepalaku. Adelio melihat itu, menarik tangan Pasya. "Astaga, posesif sekali kawan," kekeh Pasya, menggoda Adelio. "Bacot, sono tanding jangan godain anak orang," usir Adelio, aku menggeleng saja dengan tingkah mereka. Adelio mendekatiku, aku dan Adelio
Matahari masuk dari sela-sela jendela, aku mengusap mataku. Aku melirik jam di nakas, oke otw sekolah!Aku melakukan aktivitas seperti biasa, sekarang turun untuk sarapan. Adeli, berada di sana terlebih dahulu, aku ikut duduk. Kami saling diam satu sama lain, Adelio melirikku. "Gimana keadaan lo?" tanya Adelio, memasukkan roti ke dalam mulutnya. Aku mendongak, mengoleskan selai ke roti. "Lumayan," jawabku, seadanya tidak ada obrolan lagi. Sementara, Adelio menuangkan susu diberikan kepadaku. Aku begitu kaget."Buat lo, gue lagi baik hati." Adelio tersenyum hangat. Please, aku sedang mimpi bukan? Dia tersenyum? Pasti Adelio ada maunya, seperti itu!"Makan yang banyak Ranesya. Soal tantangan itu, nggak usah aja ya?" ucap Adelio puppy eyes. Seketika aku menyadari, bahwa Adelio melakukan ini. Hanya ingin menghindari tantangan, aku hanya manggut-manggut. Kali ini aku tersenyum lebar. "Gimana ya?" kataku, menopang daguku Adelio sekarangpun, mengoleskan selai ke roti, dan diberika
"Awas lo," ucap Adelio dari kejauhan Aku menjulurkan lidah mengejeknya. Ada hal lebih gila, di mana banyak yang merekam adegan Adelio menari. Jika dipikirkan, apakah akan viral? Apalagi Adelio ganteng, behh aku menyakini dia akan diejek. Haha, aku paling bahagia saat ini. Masih fokus ke lapangan, suara telepon terdengar. Aku mengambil hp Adelio di saku baju. Dia sempat menitipkan kepadaku, aku tidak menyangka. Jika Pasya yang menelponnya. "Halo, lo viral wey. Ngapain lo pakai rok?" tanya Pasya heboh, diiringi tawa meledek. Aku tersenyum lebar. "Halo Kak?" balasku, memperhatikan Adelio yang saat ini juga melihatku. "Eh? Lo ceweknya Adelio kan?" sahut Pasya, terkaget mengetahui aku yang mengangkatnya. "Panggil aja Ranesya Kak," timpalku, memutarkan tubuh. Biar Adelio tidak bisa melihatku, menelpon dengan siapa. "Ohh, kok bisa viral Adelio?" Pasya bertanya, di sisa ketawanya. "Panjanglah cerita— " sebelum aku menyelesaikan perkataanku. Hp-nya sudah direbut, aku ingin marah. Na
Malam ini, aku berniat pergi ke rumah keluargaku, karena ingin meminta saran atas perubahan Zara. Aku tidak pernah menceritakan ini, hanya aku ingin mempertimbangkan saja. "Adelio, lo mau naik motor atau mobil?" tanyaku, melirik Adelio merangkul diriku. Adelio menoleh kesamping. "Mobil aja nggak sih?" "Oke, gue masih bingung soal itu," kataku, menghela napas berat. "Gapapa, nanti tanya sama Mama ya? Lo jangan bingung gini, pasti ada jalan keluarnya kok," papar Adelio, mempersilahkan aku masuk ke mobil. Adelio jalan memutar, masuk ke dalam mobil. Aku melirik, jika ada sesuatu dibelakang. "Adelio, lo beli apa?" tanyaku ke Adelio, sedang menyetir. "Catur, biar bisa main sama Papa," balas Adelio, tersenyum lebar. "Bisa-bisanya lo, pasti karena Papa pernah bilang ya," kataku, memperhatikan Adelio mengangguk. "Papa cerita kalo suka main catur, cuma Jean nggak mau. Jadi Papa, suka kesepian di rumah," jelas Adelio dengan nada sedih. Aku tersentuh olehnya. Aduh punya suami begini tu
Di kantin aku sendiri, karena enggan duduk bersama kedua sahabatku. Ada yang mengajak hanya aku malas. Ingin merasakan kesendirian, aku hanya ingin tenang sesaat. Sampai ada dua orang, sangat aku tidak suka duduk. "Keliatan nggak punya temen ya," ejek Tasya, diangguki Trisya. Aku diam saja, menyeruput es teh ku, dan bakso yang sedang aku makan. Abaikan saja orang gila ini. Anggap mereka tidak ada, aku sedang malas bertengkar dengan siapapun. "Biasa mah, dia kan emang mulai dijauhi terus ya? Karena pacaran sama Adelio," balas Trisya, tersenyum miring. Apalah mereka ini, aku merasa keduanya saling menyahut dengan kebencian. "Biasa itu mah, nggak cocok sama Adelio. Tapi dipaksakan bersama," timpal Tasya, terkekeh pelan. Aku berhenti memakan bakso, menatap tajam Tasya. Apa yang dia katakan barusan? Aku tidak cocok dengan Adelio?Nggak cocok dari mana? Aku cocok saja dengannya, bahkan kami saling melengkapi. "Terus cocok sama lo yang pemales? Jadi apa Adelio nanti," sahutku, terta
Aku terbangun di pagi hari, langsung ke dapur menguncir rambut asal. Aku akan memasak mie instan saja. Rasanya ingin memakan itu bersama Adelio, aku dengan lihai memasukkan semua ke dalam wajan. "Masak apa tuh," celetuk Adelio mendekat, mendusel leherku. Aku menoleh dengan kesal. "Nggak usah ngeselin deh, ini masih pagi Adelio.""Kenapa sih? Nggak boleh manja sama lo?" tanya Adelio cemberut, melepaskan pelukannya. Aku memutarkan tubu, menangkup pipi tirusnya, dan tersenyum manis. Mencubit pelan, sambil memainkannya. "Lo udah gede, mending lo mandi aja. Bentar lagi kita pergi sekolah," usirku secara halus. Adelio menggelengkan kepala, menolak mempersiapkan diri. Terus Adelio maunya apa?"Eh, bentar bau apa ini?" Mataku melotot, melihat masakanku yang gosong. Aku menatap tajam Adelio, sudah mengangguku masak mie. Padahal itu mie sisa 2 doang, dan liat sudah tidak bisa dimakan. "Kok gosong?" tanya Adelio sok polos. "Dahlah gue males," kesalku, sudah tidak mood lagi. Memilih unt
"Lo nggak bosen culik gue?" tanyaku ke Ghazi sedang merokok. Hari sudah malam, bisa aku liat karena berada di luar. Lebih tepatnya arena balap. Aku juga tidak tau, apa yang mau Ghazi lakukan. Sampai Ghazi keluarkan hp-nya. "Halo, sini lo selamatin pacar lo ini." Ghazi video call, terdapat Adelio yang kaget. "Woyy! Sialan, dasar pecundang mainnya culik terus," umpat Adelio melototi Ghazi. Ghazi mendekat, memegang daguku. Adelio menatapku lekat. "Cepat bilang sesuatu cantik," kata Ghazi menarik daguku, biar melihatnya. Aku meneguk ludah. "Tolongin gue Adelio," lirihku cemberut. Adelio mengepalkan tangan tidak terima, apalagi aku terlihat sedih begitu. "Gue laper, nggak dikasih makan dari siang. Cuma minum doang," aduku membuat Adelio makin marah. "Hahaha, datang ke sini ke arena balapan biasa lo tanding," ucap Ghazi tersenyum miring. "Woyy, lo culik jangan pacar gue— "Ghazi langsung mematikan video call, aku hanya menghela napas panjang, dipegang tanganku oleh kedua bawahan
Rambutku dijambak oleh Zara, sesuai prediksi. Seketika kelasku ramai, bahkan anak kelas lain ikut melihat kejadian ini. "Lo kurang kerjaan banget, teror gue?!" ketusku, menarik rambutnya juga. Zara menatap tajam ke arahku. "Gue benci sama lo, emang cocok diteror! Biar lo jauh-jauh dari Adelio!" "Gila lo, makanya kalo kurang belaian ke Om lo itu," sindirku, saling beradu kepala. Mana kepalaku sakit ditarik-tarik begini, apa tidak ada yang mau menolongku?Sampai suara teriakan sangat aku kenal mendekat, sepertinya ada yang mengadu jika aku bertengkar dengan Zara. "Berhenti Zara, lepasin sekarang Ranesya!" perintah Adelio, tidak di respon Zara. "Ingat, lo mau gue bongkar rahasia lo di sini, atau lepasin sekarang Ranesya?" ancam Adelio, ditengah-tengah kami berdua. Seketika Zara melepaskan tarikannya, dan dadanya naik turun. Melirik Adelio yang sedang membantuku. "Lo gapapa? Ada yang sakit?" panik Adelio, memeriksa keadaanku. "Gue gapapa kok," balasku tersenyum kecil. Aku meliha
Pagi ini aku diam-diam mengintip dari pintu kamar, berharap tidak ada Adelio. Aku mengelus dada merasa lega, kali ini aku akan pergi sendiri ke sekolah. "Kerjain Zara ahh, bakal aku kasih tau siapa neror dirinya. Jika itu aku haha," kataku tertawa jahat. Sebelum Adelio bangun, aku mau pergi ke sekolah. Takutnya, Adelio akan tau rencana yang aku lakukan. Karena aku sempat di teror bukan? Setelah, kejadian perselingkuhan itu. Zara tidak melakukan lagi. "Takut kali," cibirku, meluncur menuju sekolah menggunakan mobil. Perjalanan pagi hari ini tidak macet, aku langsung turun saat sudah sampai. Terdapat Elgar tersenyum manis kepadaku. Ini Elgar nggak ada kapoknya ya?!"Halo Kakak cantik," sapa Elgar melambaikan tangan mendekat. "Bareng gue yuk."Aku berdecak, menghela napas berat. Elgar ini, suka sekali nyari masalah. Aku saja sudah muak dengannya. Apa Elgar tidak mendengar apa yang Adelio katakan? "Nggak dulu, Adelio lebih menggoda," ucapku, menatapnya tersenyum miring. Setelah
"Bunda, ini taruh di mana bolunya?" Aku memegang bolu yang kami buat, ternyata Bunda Delyna. Ingin memintaku ke sini untuk menemaninya bikin bolu. "Biasa sayang," sahut Bunda Delyna tersenyum lembut. Aku menuju meja makan, di mana ada Adelio menopang dagunya. Ngapain Adelio di situ?"Kiw, cewek cantik," goda Adelio ke arahku. Sebenarnya, aku ingin ketawa. Kenapa Adelio melakukan itu. Biar apa coba? Adelio mendekat, mencium keningku dengan romantis. Ada apa dengannya? Tiba-tiba saja begini, aku merasa jika Adelio tidak mau melepaskan aku sedikitpun. "Lo kenapa sih," kataku mendorong pelan dengan siku. Adelio menggeleng. "Nggak boleh? Romantis sama Istri sendiri?""Bukan gitu, lo kayak lebih manja aja," sahutku pelan, takut kedengaran orang lain. "Lo kan Istri gue, wajar aja sih. Kecuali gue sama yang lain," ucap Adelio, membuatku melotot. "Dih, enak aja lo bilang gitu." Aku memutarkan tubuh, menatapnya dalam. Aku terdiam sesaat memikirkan apa Adelio maksud, jadi kalo semisal
Hari ini, aku tidak melihat Zara masuk sekolah. Sepi tidak ada yang mengajakku berantem. Sekarang aja aku melihat orang bermain futsal, ada Adelio selalu aku nantikan. "Adelio, semangat ya!" teriakku, berdiri heboh. Pada akhirnya, para fans menatap sinis diriku. Why? Adelio punyaku, bahkan aku sudah menikah dengannya. "Ganjen banget jadi cewek.""Iya ihh, Adelio punya kita ya.""Nggak ada malu sih."Masalahnya, mereka berbicara seperti itu di depan diriku. Aku mengerutkan kening, merasa heran. Siapa mereka? Ngatur! Apa diriku, tidak boleh mendukung Adelio. "Sayang, semangat ya," pekikku, melirik mereka makin memanas. Maaf ya say, aku emang sengaja memanggil sayang di depan mereka. Hahaa, liatlah matanya ingin keluar. Bikin aku tidak ekspetasi, di mana Adelio melambaikan tangan ke arahku, makin menggila saja di lapangan. "Iya sayangku!" teriak Adelio, berlari kembali. Apa katanya tadi? Aku menganga tidak percaya. Hingga tubuhku di goyangkan Gita, karena tidak terbayang jika d
Aku terbangun di pagi hari, di rumah kami berdua. Aku sangat senang, karena masalah itu selesai. Pintuku diketuk, aku berdiri membuka pintu tersebut. "Selamat pagi cantik," sapa Adelio, tersenyum amat manis. Aduh, bentar. Aku meleleh nih, kenapa Adelio seromantis ini sekarang? Aku menggigit bibir bawah menahan salting. "Nyenyak tidurnya?" tanya Adelio, mengusap kepalaku. Aku mengangguk pelan, tiba-tiba aku ditarik dalam pelukannya. "Gemes banget sih, padahal baru tidur," ucap Adelio, melepaskan pelukan. Adelio mendorong diriku untuk mandi, aku hanya tersenyum mengingat kejadian ini. Waktu Adelio, ingin meminta maaf di pagi hari dengan romantis. "Gue tunggu di meja makan!" seru Adelio, pergi dari kamarku. Aku langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan diri. Sebelum itu, aku mempersiapkan baju sekolah untuk di pakai hari ini. Setelah selesai, aku merias wajahku dengan cantik. Tinggal dipoles liptint. "Perfect!" seruku, tersenyum lebar. Saat berada di ruang makan, Adelio me