Di dalam mobil aku masih terdiam, di mana Adelio menjadi supirnya. Motor yang di bawanya pagi tadi, ditinggalkannya begitu saja di sekolah. Kami sudah pulang sekolah beberapa menit lalu. Yang aku pikirkan sekarang, Adelio mau membawaku kemana? Sementara, jalan ke arah rumah bukan lewat sini. Cukup jauh sekitar 2 jam. Aku sampai bosan di dalam mobil. Aku melihat ke arah Adelio yang mengangguk. Sebuah taman yang sangat indah, aku turun dari mobil. "Bagus banget," pujiku, masih memakai baju sekolah. Adelio tersenyum samar dibelakang, aku berlari memasuki lebih dalam. Tidak terlalu ramai, menenangkan hatiku saat ini. "Liat deh, ada kolam ikan," seruku mendekat, memotretnya dengan heboh. Selain itu, aku juga duduk menatap langit cerah. Aku tidak sengaja memperhatikan Adelio. Karena kurang fokus, aku memotret Adelio. Gayanya lumayan oke, dan aku kaget. "Apaan sih, kenapa gue foto dia?" gumamku, ingin menghapus. Tapi, langsung ditarik oleh Adelio. Sejak kapan, dia ada di depanku? B
"Lo kenapa?" panik Adelio, menoleh ke belakang. Aku terbelalak karena diperhatikan. Intens oleh teman Adelio, aduh malunya aku. Kenapa mulut ini tidak bisa ngerem sih?"Nggak kok," balasku, menggeser posisi mendekati Adelio. Ada beberapa orang akan bermain, dua teman Adelio salah satunya. Aku melirik Adelio, terlihat fokus menyemangati mereka. "Lo pasti bisa bro!" seru Adelio, menepuk kedua teman yang tak lain Angga, dan Pasya. Aku sekarang di samping Adelio. Melirik temannya Pasya, sementara Angga sedang berbicara dengan Adelio. "Kakak Pasya semangat!" kataku, tersenyum amat manis. Pasya mendengar, dukunganku langsung tersenyum lebar. "Makasih banyak, doain gue menang ya!" "Pasti Kak!" tuturku, Pasya tiba-tiba saja mengelus kepalaku. Adelio melihat itu, menarik tangan Pasya. "Astaga, posesif sekali kawan," kekeh Pasya, menggoda Adelio. "Bacot, sono tanding jangan godain anak orang," usir Adelio, aku menggeleng saja dengan tingkah mereka. Adelio mendekatiku, aku dan Adelio
Matahari masuk dari sela-sela jendela, aku mengusap mataku. Aku melirik jam di nakas, oke otw sekolah!Aku melakukan aktivitas seperti biasa, sekarang turun untuk sarapan. Adeli, berada di sana terlebih dahulu, aku ikut duduk. Kami saling diam satu sama lain, Adelio melirikku. "Gimana keadaan lo?" tanya Adelio, memasukkan roti ke dalam mulutnya. Aku mendongak, mengoleskan selai ke roti. "Lumayan," jawabku, seadanya tidak ada obrolan lagi. Sementara, Adelio menuangkan susu diberikan kepadaku. Aku begitu kaget."Buat lo, gue lagi baik hati." Adelio tersenyum hangat. Please, aku sedang mimpi bukan? Dia tersenyum? Pasti Adelio ada maunya, seperti itu!"Makan yang banyak Ranesya. Soal tantangan itu, nggak usah aja ya?" ucap Adelio puppy eyes. Seketika aku menyadari, bahwa Adelio melakukan ini. Hanya ingin menghindari tantangan, aku hanya manggut-manggut. Kali ini aku tersenyum lebar. "Gimana ya?" kataku, menopang daguku Adelio sekarangpun, mengoleskan selai ke roti, dan diberika
"Awas lo," ucap Adelio dari kejauhan Aku menjulurkan lidah mengejeknya. Ada hal lebih gila, di mana banyak yang merekam adegan Adelio menari. Jika dipikirkan, apakah akan viral? Apalagi Adelio ganteng, behh aku menyakini dia akan diejek. Haha, aku paling bahagia saat ini. Masih fokus ke lapangan, suara telepon terdengar. Aku mengambil hp Adelio di saku baju. Dia sempat menitipkan kepadaku, aku tidak menyangka. Jika Pasya yang menelponnya. "Halo, lo viral wey. Ngapain lo pakai rok?" tanya Pasya heboh, diiringi tawa meledek. Aku tersenyum lebar. "Halo Kak?" balasku, memperhatikan Adelio yang saat ini juga melihatku. "Eh? Lo ceweknya Adelio kan?" sahut Pasya, terkaget mengetahui aku yang mengangkatnya. "Panggil aja Ranesya Kak," timpalku, memutarkan tubuh. Biar Adelio tidak bisa melihatku, menelpon dengan siapa. "Ohh, kok bisa viral Adelio?" Pasya bertanya, di sisa ketawanya. "Panjanglah cerita— " sebelum aku menyelesaikan perkataanku. Hp-nya sudah direbut, aku ingin marah. Na
Hal memuakkan, ketika ke Time zone aku memilih bermain game dance. Inginnya sendiri, tapi tiba-tiba saja. Ghifari ikut main, aku kesal dan marah. Hanya karena ada Gita, aku tetap tertawa terpaksa. Setidaknya, aku menjaga hati sahabatku. Moodku lebih hancur. Ghifari saat ini mengambil makananku dalam piring. Gita meneguk ludah, dia tau soal ini. Aku paling tidak suka, diganggu saat makan. "Kak, balikin lagi," pinta Gita, melirikku sudah muram. "Gue icip doang, gapapakan?" Ghifari menoleh tersenyum manis. Aku mengangguk, tidak bersuara sama sekali. Aku mengaduk-aduk makanan itu dengan emosi. "Gue ke toilet dulu," pamitku, menaruh sendok dengan kesal. Vivian menatap Gita mengangguk, aku juga tidak tau. Apa yang mereka pikirkan. "Gimana, kalo gue temenin?" tawar Vivian, mau berdiri. Namun, aku menggeleng untuk tidak usah mengikuti. "Gue bentar doang kok," kataku, pergi meninggalkan mereka. Sampai di toilet, aku mengomel sepanjang harapan orang tua. "Padahal gue nggak ngajak, t
"Siapa lo yang berani-beraninya, memerintahi gue?" tanya seorang cowok, ketua geng SMA Garuda. Aku membaca Nametag-nya. "Ghazi Andhara, bagus juga nama lo. Tapi nggak dengan tingkah lo," sahutku, menghadap Ghazi. Ghazi mendorong bahuku, aku mundur. Sangat memuaskan bisa bikin dia marah, aku tersenyum lebar. Karena mengetahui, Ghazi orang yang kasar. "Nggak usah berkomentar, nggak penting pendapat lo," ketus Ghazi, kali ini Adelio mengepalkan tangan. Adelio mendorong Ghazi. "Cemen lo, beraninya ngelawan cewek," sindir Adelio, membuat Ghazi marah. "Urusan lo apa? Gue nggak peduli kalo dia cewek," sentak Ghazi, mendongakkan kepala songong. Aku yang disamping mereka, memutarkan mata malas. Bahkan, Adelio langsung membogem pipi Ghazi."Mental kelonan Mama, mau ngelawan gue?" Adelio memberikan senyuman miring, dia mendekati Ghazi. "Belajar dulu menghormati cewek, baru lo lawan gue," lanjut Adelio, menepuk pipi Ghazi. Sementara, Ghazi menepis tangan Adelio. Dia tidak terima diejek se
Aku sudah mempersiapkan diriku, jadwal hari ini adalah senam bersama. Hari jum'at berkah, semoga hariku menyenangkan. Aku mencuci tanganku di wastafel, setelah selesai aku duduk di ruang makan. Sarapan pagi kali ini, nasgor masakanku sendiri! Karena aku baik hati. Jadi, aku membuatkan satunya untuk Adelio. Aku sudah menyuapkan nasgor ke mulutku, Adelio duduk melirikku. "Wah, nasi goreng," takjub Adelio, aku diam-diam tersenyum. Diapun memakannya dalam diam, apa masakanku tidak enak? Kok diam tidak berkomentar?Sampai selesai dia menungguku. "Mau bareng nggak, pergi sekolahnya?" ajak Adelio, aku mendongak kaget. Aku taruh sendok, mengusap bibirku dengan tisu. "Lo masih sehatkan?" tanyaku, menatap wajahnya. Saat ini dia meminum air putih. Adelio menggeleng. "Emang salah? Gue ngajak doang sih," ucap Adelio, berdiri mengambil tasnya. "Kalo lo. Nggak mau juga yang penting, nawarin doang," lanjutnya, pergi meninggalkanku. Tidak tau mengapa, aku merasa Adelio benar-benar aneh. Mis
Aku sekarang berjalan, ke lapangan disuruh Pak Herman. Aku juga tidak tau, apa yang akan dilakukan. Hingga aku menatap malas, kenapa harus kelas 3 MIPA 2? Aku berjalan lesu, apalagi Adelio menjadi pemimpin pemanasan. Pak Hendra menyuruhku mendekat. "Sini Ranesya," teriak Pak Hendra, aku mengangguk berlari. "Baiklah, kali ini kita akan praktek basket," ucap Pak Hendra, Adelio tersenyum manis. Aku di sana planga-plongo tidak jelas, kenapa harus aku? Bukannya, bisa suruh anak kelas 3 MIPA 2 untuk membantunya. "Kamu Ranesya, ikuti saya. Jadi kalian dibagi 5 orang untuk bermain, jika salah satu dari kelompok menang. Maka, nilainya akan mendapatkan plus," jelas Pak Hendra, langsung memberikan buku absen kepadaku. "Kamu pegang ini, semisal saya menyebutkan nilainya. Kamu langsung tulis," lanjut Pak Hendra, aku mengangguk, aslinya aku kesal. "Iya Pak," jawabku lesu. Padahal aku memiliki, kelas matematika kali ini. Untungnya, Ibu yang mengajarkan tidak marah. Jadi, aku akan bisa ikut l
Aku sempat ditawarkan kembali osis, aku menolak. Karena sudah mulai muak dengan keadaan. Harus jadi contoh yang baik. Namun, saat aku kena masalah, malah dihujat habis-habisan. Huh! Aku tidak mau!"Nggak mau lagi gue," gerutuku, berjalan ke arah keluar. Menunggu Adelio di pagar, aku berharap Adelio cepat ke sini. Aku memijat kening yang pening. "Mau muntah gue, nggak mungkinkan hamil?" parnoku sembarangan, apa-apain aja nggak pernah. Hanya aku berpikir negatif saja, sampai aku tersadar ada yang menepuk bahuku. "Adelio?" panggilku kaget, aku cengengesan. "Lo mikirin apa? Sampe ngelamun di sini," tanya Adelio bingung. Kini Adelio menyentil jidatku. Dih, kok malah nyebelin sih?! Aku mendengus kesal dengan melipatkan tangan di dada. Aku membenarkan poni yang berantakan, aku berjalan lebih dulu mengabaikan Adelio. "Eh, tungguin. Ngambek ya?" tanya Adelio, mengejarku. Aku menghentakkan kaki, benar sangat tidak estetik. Aku kan tidak mau di sentil dulu, seharusnya puk puk gitu loh.
Sekarang aku dan Adelio saling bertatapan, memegang tangan ingin pergi bersama. Bedanya, kali ini pergi berangkat dengan bus. Sebenernya aku hanya pengen, sempat melihat anak sekolah naik bareng sama temannya. "Ayo berangkat," ajak Adelio menarikku, menuju halte tidak jauh dari rumah. Aku mengangguk, tersenyum lebar. Padahal jelas-jelas, rumah kami dekat dengan sekolah. Liatlah, kurang kerjaan memilih naik bus. Aku terkekeh membayangkan berapa seru di sana. "Tuh liat busnya," kata Adelio, menarikku duduk di pertengahan. Aku duduk dekat kaca, memperhatikan banyak melintas, ternyata seru juga. Sampai aku menghembuskan udara dari mulut ke kaca, aku dengan jahil menuliskan namaku love Adelio. "Ucul banget," kataku terkekeh, aku mengeluarkan hp memotretnya. Adelio sadar menoleh ke arahku, begitu kaget dengan tingkah bocilku ini. "Lucunya, keliatan anak SD kita," celetuk Adelio, membuatku terkejut. Aku menghalanginya dengan tangan karena malu, Adelio meminggirkan pelan. Jujur, s
Malam ini, aku berniat pergi ke rumah keluargaku, karena ingin meminta saran atas perubahan Zara. Aku tidak pernah menceritakan ini, hanya aku ingin mempertimbangkan saja. "Adelio, lo mau naik motor atau mobil?" tanyaku, melirik Adelio merangkul diriku. Adelio menoleh kesamping. "Mobil aja nggak sih?" "Oke, gue masih bingung soal itu," kataku, menghela napas berat. "Gapapa, nanti tanya sama Mama ya? Lo jangan bingung gini, pasti ada jalan keluarnya kok," papar Adelio, mempersilahkan aku masuk ke mobil. Adelio jalan memutar, masuk ke dalam mobil. Aku melirik, jika ada sesuatu dibelakang. "Adelio, lo beli apa?" tanyaku ke Adelio, sedang menyetir. "Catur, biar bisa main sama Papa," balas Adelio, tersenyum lebar. "Bisa-bisanya lo, pasti karena Papa pernah bilang ya," kataku, memperhatikan Adelio mengangguk. "Papa cerita kalo suka main catur, cuma Jean nggak mau. Jadi Papa, suka kesepian di rumah," jelas Adelio dengan nada sedih. Aku tersentuh olehnya. Aduh punya suami begini tu
Di kantin aku sendiri, karena enggan duduk bersama kedua sahabatku. Ada yang mengajak hanya aku malas. Ingin merasakan kesendirian, aku hanya ingin tenang sesaat. Sampai ada dua orang, sangat aku tidak suka duduk. "Keliatan nggak punya temen ya," ejek Tasya, diangguki Trisya. Aku diam saja, menyeruput es teh ku, dan bakso yang sedang aku makan. Abaikan saja orang gila ini. Anggap mereka tidak ada, aku sedang malas bertengkar dengan siapapun. "Biasa mah, dia kan emang mulai dijauhi terus ya? Karena pacaran sama Adelio," balas Trisya, tersenyum miring. Apalah mereka ini, aku merasa keduanya saling menyahut dengan kebencian. "Biasa itu mah, nggak cocok sama Adelio. Tapi dipaksakan bersama," timpal Tasya, terkekeh pelan. Aku berhenti memakan bakso, menatap tajam Tasya. Apa yang dia katakan barusan? Aku tidak cocok dengan Adelio?Nggak cocok dari mana? Aku cocok saja dengannya, bahkan kami saling melengkapi. "Terus cocok sama lo yang pemales? Jadi apa Adelio nanti," sahutku, terta
Aku terbangun di pagi hari, langsung ke dapur menguncir rambut asal. Aku akan memasak mie instan saja. Rasanya ingin memakan itu bersama Adelio, aku dengan lihai memasukkan semua ke dalam wajan. "Masak apa tuh," celetuk Adelio mendekat, mendusel leherku. Aku menoleh dengan kesal. "Nggak usah ngeselin deh, ini masih pagi Adelio.""Kenapa sih? Nggak boleh manja sama lo?" tanya Adelio cemberut, melepaskan pelukannya. Aku memutarkan tubu, menangkup pipi tirusnya, dan tersenyum manis. Mencubit pelan, sambil memainkannya. "Lo udah gede, mending lo mandi aja. Bentar lagi kita pergi sekolah," usirku secara halus. Adelio menggelengkan kepala, menolak mempersiapkan diri. Terus Adelio maunya apa?"Eh, bentar bau apa ini?" Mataku melotot, melihat masakanku yang gosong. Aku menatap tajam Adelio, sudah mengangguku masak mie. Padahal itu mie sisa 2 doang, dan liat sudah tidak bisa dimakan. "Kok gosong?" tanya Adelio sok polos. "Dahlah gue males," kesalku, sudah tidak mood lagi. Memilih unt
"Lo nggak bosen culik gue?" tanyaku ke Ghazi sedang merokok. Hari sudah malam, bisa aku liat karena berada di luar. Lebih tepatnya arena balap. Aku juga tidak tau, apa yang mau Ghazi lakukan. Sampai Ghazi keluarkan hp-nya. "Halo, sini lo selamatin pacar lo ini." Ghazi video call, terdapat Adelio yang kaget. "Woyy! Sialan, dasar pecundang mainnya culik terus," umpat Adelio melototi Ghazi. Ghazi mendekat, memegang daguku. Adelio menatapku lekat. "Cepat bilang sesuatu cantik," kata Ghazi menarik daguku, biar melihatnya. Aku meneguk ludah. "Tolongin gue Adelio," lirihku cemberut. Adelio mengepalkan tangan tidak terima, apalagi aku terlihat sedih begitu. "Gue laper, nggak dikasih makan dari siang. Cuma minum doang," aduku membuat Adelio makin marah. "Hahaha, datang ke sini ke arena balapan biasa lo tanding," ucap Ghazi tersenyum miring. "Woyy, lo culik jangan pacar gue— "Ghazi langsung mematikan video call, aku hanya menghela napas panjang, dipegang tanganku oleh kedua bawahan
Rambutku dijambak oleh Zara, sesuai prediksi. Seketika kelasku ramai, bahkan anak kelas lain ikut melihat kejadian ini. "Lo kurang kerjaan banget, teror gue?!" ketusku, menarik rambutnya juga. Zara menatap tajam ke arahku. "Gue benci sama lo, emang cocok diteror! Biar lo jauh-jauh dari Adelio!" "Gila lo, makanya kalo kurang belaian ke Om lo itu," sindirku, saling beradu kepala. Mana kepalaku sakit ditarik-tarik begini, apa tidak ada yang mau menolongku?Sampai suara teriakan sangat aku kenal mendekat, sepertinya ada yang mengadu jika aku bertengkar dengan Zara. "Berhenti Zara, lepasin sekarang Ranesya!" perintah Adelio, tidak di respon Zara. "Ingat, lo mau gue bongkar rahasia lo di sini, atau lepasin sekarang Ranesya?" ancam Adelio, ditengah-tengah kami berdua. Seketika Zara melepaskan tarikannya, dan dadanya naik turun. Melirik Adelio yang sedang membantuku. "Lo gapapa? Ada yang sakit?" panik Adelio, memeriksa keadaanku. "Gue gapapa kok," balasku tersenyum kecil. Aku meliha
Pagi ini aku diam-diam mengintip dari pintu kamar, berharap tidak ada Adelio. Aku mengelus dada merasa lega, kali ini aku akan pergi sendiri ke sekolah. "Kerjain Zara ahh, bakal aku kasih tau siapa neror dirinya. Jika itu aku haha," kataku tertawa jahat. Sebelum Adelio bangun, aku mau pergi ke sekolah. Takutnya, Adelio akan tau rencana yang aku lakukan. Karena aku sempat di teror bukan? Setelah, kejadian perselingkuhan itu. Zara tidak melakukan lagi. "Takut kali," cibirku, meluncur menuju sekolah menggunakan mobil. Perjalanan pagi hari ini tidak macet, aku langsung turun saat sudah sampai. Terdapat Elgar tersenyum manis kepadaku. Ini Elgar nggak ada kapoknya ya?!"Halo Kakak cantik," sapa Elgar melambaikan tangan mendekat. "Bareng gue yuk."Aku berdecak, menghela napas berat. Elgar ini, suka sekali nyari masalah. Aku saja sudah muak dengannya. Apa Elgar tidak mendengar apa yang Adelio katakan? "Nggak dulu, Adelio lebih menggoda," ucapku, menatapnya tersenyum miring. Setelah
"Bunda, ini taruh di mana bolunya?" Aku memegang bolu yang kami buat, ternyata Bunda Delyna. Ingin memintaku ke sini untuk menemaninya bikin bolu. "Biasa sayang," sahut Bunda Delyna tersenyum lembut. Aku menuju meja makan, di mana ada Adelio menopang dagunya. Ngapain Adelio di situ?"Kiw, cewek cantik," goda Adelio ke arahku. Sebenarnya, aku ingin ketawa. Kenapa Adelio melakukan itu. Biar apa coba? Adelio mendekat, mencium keningku dengan romantis. Ada apa dengannya? Tiba-tiba saja begini, aku merasa jika Adelio tidak mau melepaskan aku sedikitpun. "Lo kenapa sih," kataku mendorong pelan dengan siku. Adelio menggeleng. "Nggak boleh? Romantis sama Istri sendiri?""Bukan gitu, lo kayak lebih manja aja," sahutku pelan, takut kedengaran orang lain. "Lo kan Istri gue, wajar aja sih. Kecuali gue sama yang lain," ucap Adelio, membuatku melotot. "Dih, enak aja lo bilang gitu." Aku memutarkan tubuh, menatapnya dalam. Aku terdiam sesaat memikirkan apa Adelio maksud, jadi kalo semisal