Aku sekarang berjalan, ke lapangan disuruh Pak Herman. Aku juga tidak tau, apa yang akan dilakukan. Hingga aku menatap malas, kenapa harus kelas 3 MIPA 2? Aku berjalan lesu, apalagi Adelio menjadi pemimpin pemanasan. Pak Hendra menyuruhku mendekat. "Sini Ranesya," teriak Pak Hendra, aku mengangguk berlari. "Baiklah, kali ini kita akan praktek basket," ucap Pak Hendra, Adelio tersenyum manis. Aku di sana planga-plongo tidak jelas, kenapa harus aku? Bukannya, bisa suruh anak kelas 3 MIPA 2 untuk membantunya. "Kamu Ranesya, ikuti saya. Jadi kalian dibagi 5 orang untuk bermain, jika salah satu dari kelompok menang. Maka, nilainya akan mendapatkan plus," jelas Pak Hendra, langsung memberikan buku absen kepadaku. "Kamu pegang ini, semisal saya menyebutkan nilainya. Kamu langsung tulis," lanjut Pak Hendra, aku mengangguk, aslinya aku kesal. "Iya Pak," jawabku lesu. Padahal aku memiliki, kelas matematika kali ini. Untungnya, Ibu yang mengajarkan tidak marah. Jadi, aku akan bisa ikut l
Aku meringis, karena kepalaku yang pening. Aku membuka mata sedikit kabur. "Udah bangun? Lama juga tidurnya lo," sindir seseorang yang sangat aku kenal. Ghazi, mengangkat kaki duduk di depanku. Dia berdiri, memegang daguku untuk mendongak. "Gimana? Lo percaya bukan? Gue bakal, buat lo berlutut di depan gue," kata Ghazi songong, bahkan teman komplotannya tertawa. Aku hanya diam, tidak menyahuti perkataannya. Tidak penting juga. "Kenapa diem doang? Bisu lo?" ledek Ghazi, menekan pipiku hingga mulutku monyong. Ghazi melepaskan, pipiku dengan melemparkan ke kanan. "Berani lo, pas di luar doang! Pas di dalam cemen lo," ucap Ghazi, aku sebenarnya tertawa. Dia mengataiku seperti itu. Ghazi bilang aku cemen? Terus dia apa? Pecundang beraninya dengan cewek. "Coba keluarin suara lo yang berani itu," perintah Ghazi, tersenyum miring. "Kenapa lo? Mau banget dengerin suara gue?" ketusku, menatap tajam Ghazi. Ghazi menggeram marah dengan gertakan gigi, aku bisa mendengarnya. "Berani lo s
"Awas!" pekikku, semoga tidak terjadi apa-apa! Aku cukup takut, jika tidak berhasil. Adelio langsung menangkis tangan Ghazi dengan mudah, sementara teman Adelio yang lain. Langsung menyerang orang-orang di depanku. Pasya, terutama berhasil menghindari, dan mendekatiku. "Lo jangan takut, kita di sini," ucap Pasya, melepaskan aku dari ikatan kuat itu. Aku menangis haru. "Kak, gue laper," rengekku, Pasya mendengar itu tertawa. Padahal kondisi sekarang sedang gawat, aku hanya memikirkan perutku saja. "Sabar ya! Kita keluar dulu," ajak Pasya, menarik tanganku. Namun, aku melirik Adelio, sedang bertarung dengan Ghazi begitu serius. Aku berhenti, menahan tarikan Pasya. "Gimana dengan Adelio?" tanyaku polos, Pasya tersenyum mengusap kepalaku. "Dia baik-baik aja, terutamain lo dulu harus keluar!" Pasya menarikku kembali, dalam kondisi begini. Perutku terus berbunyi, astaga bisa tenang sedikit? Kondisinya gawat loh?!Dalam mobil, aku menatap perumahan tempat aku diculik, menunggu Adeli
"Nggak jelas banget," gerutuku, merusak mood saja. Aku berlari ke kelas, biar tidak dikejar oleh Tasya. Menjijikan, kenapa harus bertanya denganku? Tanya sendiri sana kepada Adelio. Aku mendorong pintu dengan kencang. Untungnya, masih pagi, jadi tidak ada yang mendengar. Suara pintu terbuka sangat keras. Aku memilih, membuka buku pelajaran untuk menghilangkan, mood yang hancur karena Tasya. Tapi belum aku membacanya, ada yang menghalangi. Aku mendongak. "Ghifari? Bukannya lo masih sakit?" tanyaku, dia berjalan dan duduk disampingku. "Gue udah sembuh kok," balas Ghifari tersenyum lembut, aku hanya mengangguk. Sekarang aku abaikan dia, seketika ada teleponku berbunyi. Sebelum itu, aku menjauh dari Ghifari. Aku baca, ternyata itu Adelio. "Halo, kenapa?" tanyaku, bersedekap dada. "Halo juga, dasi gue di mana?" tanya Adelio, aku kesal dengan sifat pelupanya. Kenapa harus bertanya kepadaku? Jelas-jelas, dia sendiri yang menaruhnya. "Coba lo ingat di mana terakhir lo taruh," kata
"Lepasin gue!" kesalku, mendorong Adelio yang bingung. "Lo kenapa?" tanya Adelio, mendekatiku. "Pake nanya lagi! Jangan sok baik deh, lo sama gue, gue nggak mau deket sama lo lagi!" hardikku, meninggalkan Adelio terdiam di lorong kelas. Aku muak berpura-pura baik kepadanya, jika mengingat perbuatan keluargaku. Aku kesal dan marah. Langkahku menuju koperasi, membeli bajuku yang sudah kotor. "Beli satu set baju pramuka," kataku, langsung dikasih, oleh orang koperasi kepadaku. "Terima kasih banyak, Mbak." Aku mengangguk, menghela napas panjang. Aku berdecak, apalagi rambutku bau kuah bakso, astaga! Nasib sial apa yang menghampiriku. Sementara, aku kembali ke kelas melihat Gita, dan Vivian mendekatiku. "Lo gapapaa?" tanya Gita, panik mengingat kejadian barusan. Aku mengangguk lesu, tanganku ditarik Vivian ke mejanya. "Ini minyak wangi biar gak bau, keramas juga rambut lo," pesan Vivian, aku tersenyum tipis. "Lo jangan senyum gitu, ngeri gue," celetuk Gita, aku terkekeh menerima
Aku pergi kerumah Gita. Aku akan menginap di sana, bersama Vivian. Aku sangat tidak ingin melihat Adelio. Suara Gita berteriak, membuatku terkejut. "Ranesya!" seru Gita, langsung memelukku. "Gue nggak nih?" sindir Vivian, sehingga Gita tersadar. Beralih memeluk Vivian. "Gitu doang, ngambek," cibir Gita, aku tertawa. Tidak lama kemudian, Ghifari nongol dengan senyum ramah. Aku membalasnya, Ghifari mendekati kami. "Ayo masuk, jangan lama-lama diluar nanti sakit," peringat Ghifari. Aku mengangguk, aku masuk terlebih dahulu, diikuti kedua sahabatku. Ini siapa, pemilik rumah sebenernya? "Anggap aja rumah sendiri," kata Ghifari, aku bergegas ke tempat kulkas berada. Gita dan Ghifari bingung, Vivian juga mengikutiku. Sambil mengambil sebuah susu kotak, dan ada roti cokelat. "Wah, enak banget keknya," sindir Gita, aku dan Vivian menoleh. Duduk di meja makan. "Kata Ghifari tadi, anggap rumah sendiri," balasku, mengulangi apa yang dibilang Ghifari. Vivian mengangguk setuju, Ghifari m
"Adelio!" teriakku, berlari ke arah mereka. Aku menarik lengannya, untuk menghentikan Adelio. Membogem pipi Ghifari. Karena susah dihentikan, aku mendorong tubuh Adelio. Menolong Ghifari, terluka lebih parah dari sebelumnya. Aku menatap tajam Adelio. "Maksud lo apaan! Nggak liat, wajahnya udah nggak berbentuk?!" teriakku, marah kepadanya. Adelio meludah, napasnya naik turun tidak beraturan. "Dia salah!" tuduh Adelio, menunjuk Ghifari. "Salah apa?!" ketusku, tidak ada jawaban dari Adelio. Jujur, aku marah dan kesal. Dia kenapa sebenarnya? Aku membantu Ghifari untuk masuk ke mobil. Aku menaiki mobil Ghifari. "Gue antar, ya?" tawarku, Ghifari mengangguk. Sementara, Adelio berlari menghampiriku. Tatapannya, seolah mengisyaratkan jangan ikut dia. Tanganku ditarik Adelio. "Lo mau kemana?" ujar Adelio, melirik Ghifari sudah tidak sadarkan diri. "Lo masih nanya? Gue mau antar dia ke rumah sakit!" hardikku, menutup jendela mobil. Aku langsung pergi, meninggalkan Adelio masih berdiri
Upacara, paling tidak disukai para siswa-siswi. Sekarangpun, aku bersandar di dinding. Memperhatikan kondisi para peserta, kali ini pengawasan pemeriksaan yang pernah dibahas oleh Frans. Aku menghela napas, karena harus berkeliling. Membawa para siswa-siswi yang tidak lengkap atributnya. Setiap kelas, sudah terkumpul 20 orang termasuk Adelio. Astaga! Dia tidak memakai dasi!"Gue jadi ingat, gara-gara dasi di kerahnya," gumamku, berdiri di belakang anak kelas 3 MIPA 2. Frans tersenyum tipis, dia tidak seperti kemarin. Apa yang Adelio kasih? Sekarang dia lebih kalem. "Lo ngomong apa?" tanya Frans, aku menggeleng mendengar guru berpidato panjang lebar. Selesai upacara, semua murid masuk. Kecuali yang tidak lengkap memakai seragam. Aku dan Frans menghampiri Ibu Aini. "Hukum mereka semua, bandel banget!" perintah Ibu Aini, kami berdua mengangguk menghadap mereka. Frans maju melirik Adelio, dia terlihat takut. "Baiklah, kalian semua akan dijemur di lapangan sampai jam istirahat," je
Rayyen mendekat dengan senyum mengembang, tanpa peduli adanya Adelio. Heh, kok dia tidak berpikir ya?! Apa Rayyen tidak tau aku memiliki pacar, aduh bagaimana ini. Pasti Adelio berpikir aku berselingkuh. "Dengan siapa cantik?" tanya Rayyen sudah berada di samping meja. Aku menoleh dengan tatapan datar, apa yang Rayyen mau sampai sengaja memanggilku sayang di depan Adelio. "Gue pacarnya," jawab Adelio berdiri. Dapat aku perhatikan lirikan mata mereka sama-sama sinis, seakan menembus jantung. Aku tidak percaya ini akan terjadi, apalagi pengirim surat cap berdarah itu, aku tidak tau siapa orangnya. "Pacar doang, belum jadi suami. Bisalah rebut Ranesya dari lo." Rayyen berkata begitu percaya diri. Seketika aku menahan tawa mendengarnya, andai dia tau jika aku sudah menikah. Apakah Rayyen masih ingin berkata seperti itu? Kalo masih, berarti Rayyen sudah gila. "Ada keberanian apa lo, bilang kayak gitu di depan gue?" kata Adelio menyuruhku bergeser dengan kode tangannya. Kini mer
Aku melangkah di lorong sekolah, karena pagi sekali Adelio sudah rajin membangunkan aku. Hanya tidak aku sangka, terdapat ketiga cabe-cabean di depanku. Tidak lain Tasya, Trisya dan Zara. "Minggir bisa nggak?" hardikku menatap ketiganya malas. Bukannya mikir, tidak ada akalnya mereka menghadang diriku. Lebih gilanya Zara masih sanggup berjalan?Sudah tidak waras Zara itu, aku berdecak mendorong Trisya. Apa mereka tidak mengerti aku sedang malas bertengkar. "Berani banget lo!" kesal Tasya menarik tanganku. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana, aku menoleh kebelakang. Bahkan Zara masih bisa tersenyum, apa dia tidak merasa bersalah?"Iyalah, lo juga bukan siapa-siapa di sini jangan ngatur gue," kataku menarik paksa tanganku dari cengkalnya. "Takut ya lo sama kita?" kata Trisya tiba-tiba tersenyum miring. Aku melihat senyum itu, ingin ngamuk rasanya. Siapa yang takut dengannya? Aku bisa lawan mereka sekaligus. "Kenapa mata lo, mau keluar ya?" ejek Zara tertawa kecil. Trisya maupun
"Haha, nggak bakal ada Adelio," kata Ghifari mengejekku. Tatapannya sangat mengerikan, tubuhku menegang dengan hawa panas dingin. Padahal ruangan begitu dingin, hanya aku merasakan hal berbeda. Apalagi Ghifari makin mendekat. "Gue udah lama ingin dapatin lo." Ghifari berkata sambil menarik tanganku. Gilanya, dia menarik hanya untuk memelukku. Jujur, ini hal menyiksa bagiku. Rasa takut mendalam di mana Ghifari mengelus helai rambutku secara perlahan. "Apa gue harus lakuin sesuatu, biar lo jadi sepenuh milik gue, Ranesya?" Ghifari mengecup puncak kepalaku. Tidak menjawab, aku mendorong dadanya untuk menjauh tapi ditahan oleh Ghifari. "Lo mau kemana, lo nggak ada niatan sama gue aja?" tanya Ghifari memelas. Aku melonggarkan pelukan, mendongak menatapnya intens. "Nggak, soalnya Adelio itu cowok gue dan orang spesial gue punya," jawabku begitu menusuk. Tiba-tiba saja pipiku di tekan hingga seperti ikan buntal, Ghifari seolah tidak terima apa yang aku katakan. "Spesial kata lo,
Kami berada di rumah setelah beberapa jam di RS, mengingat perkataan Bunda Delyna aku sedikit terkejut. Orang sekalem Bunda Delyna berkata seperti itu? Siapa tidak terkejut coba, aku saja di sana langsung menganga dengan mata melotot. "Lo kenapa?" tanya Adelio menepuk bahuku. Sekarang kami berada di ruang makan, tidak sempat memasak jadi sebelum pulang kami mampir membeli pizza. Aku tersenyum kecil. "Cuma keinget Bunda aja sih, gue kaget loh pas Bunda bilang gitu.""Bilang apa emangnya?" tanya Adelio mendongak ke arahku. "Masukin orang ke penjara terlihat sadis tau, kan Bunda lo kalem tuh," balasku menyuapi Adelio. Adelio dengan senang hati menerima sodoran pizza dariku, dan hanya terkekeh. "Namanya juga orang tersayang, semisal gue digituin kayak Ayah. Apa lo lakuin diem aja atau cari tau sebenernya?" papar Adelio menatapku begitu lekat. Tatapan kami bertemu, dih mana ada aku biarkan. Jika Adelio terjadi sesuatu, kan dia suamiku. "Cari tau sebenernya, dan gue masukin ke penj
Mataku melototi mendengar suara tersebut, kami berdua menoleh secara bersamaan. Di mana Ibu Aini sudah berkacak pinggang. "Gimana rasanya?" tanya Ibu Aini tersenyum kecil. "Ibu mau?" tawar Adelio menyodorkan susu kotak. Aku meneguk ludah, memilih memakan kembali bakso tersebut. Dan pura-pura tidak terjadi sesuatu. "Nggak!" sentak Ibu Aini kepada Adelio. Dengan mengelus dada, aku kembali menoleh dan mengedipkan mata beberapa kali. "Kenapa kalian berdua ke kantin di jam segini?!" Bingung ingin menjawab apa, aku melirik Adelio tersenyum tidak merasa bersalah. "Jam berapa ya?" tanya Adelio kepadaku. "Nggak tau," jawabku menggigit bibir bawah. Ibu Aini seketika emosi dengan jawaban kami berdua, aku bisa merasakan aura gelap yang keluar dari tubuhnya. "Jam aja nggak tau! Ini jam pelajaran, seharusnya kalian berdua di dalam kelas," jelas Ibu Aini menghela napas berat. Kami berdua saling menoleh, aku sedikit khawatir akan dihukum kembali. Sehingga aku berbisik ke telinga Adelio b
Di hari yang cerah, aku memilih pergi sekolah sendiri padahal Adelio memaksa meminta pergi bersama. Aku enggan karena ingin sendiri dulu, mengingat kejadian kemarin huh! Hal tidak terduga, saat aku masih dalam mobil melihat Zara turun dari mobil seseorang. "Ngapain dia?" kataku menyipitkan mata memperhatikan gerak-geriknya.Cara jalannya sangat berbeda, sedikit mengangkang. Aku menganga tidak percaya, jadi itu seriusan di aborsi?Astaga, Zara tidak punya hati please! Tapi dari wajahnya juga sangat pucat. "Dih, manusia paling jahat sih," ucapku merinding dengan tingkah Zara. Aku turun dari mobil berjalan dibelakang Zara, tidak ada yang mengibah dirinya. Padahal masalah Zara sangat besar, apa ada sesuatu membungkam mereka semua?"Kalo gue aja, di gosipin sampe seminggu lebih dih," gumamku kesal. Karena tidak ingin Zara terlihat tenang, akupun berjalan cepat dan menyenggol bahunya. "Aduh, sakit banget," keluh Zara meringis kecil melirikku tajam. Zara bergeser beberapa langkah, ak
Aku menoleh kebelakang terdapat Ibu sosialita, bahkan emasnya bertumpuk banyak di pergelangan tangan. "Nggak Bu, aku hanya bawa dia jalan-jalan aja. Soalnya anak Ibu tadi jalan sendiri samperin aku," paparku terlihat Ibu itu tidak percaya. "Bohong kamu," ucap Ibu tersebut melirik sekeliling. "Tolong ada yang mau culik anak saya."Aku menggeleng, apa banget sih. Mana mungkin aku menculik anak kecil ini, aduh gimana kalo aku ditangkap?Mana Adelio ya, aku menurunkan anak kecil itu lalu membekap mulut Ibu tersebut. "Bu, aku nggak culik anak Ibu. Kenapa sih nuduh terus?" kesalku menekan bekapan itu. Ibu itu meronta, melepaskan tanganku dari mulutnya. Ada beberapa orang mendekat memperhatikan kami. "Ini Pak, dia tadi culik anak saya," tuduh Ibu itu menunjuk ke arahku. Aku menggeleng cepat. "Kenapa Ibu nuduh aku? Coba tanya anaknya, ini tuh hanya salah paham," kataku begitu emosi. Jujur ini hal merugikan untukku, mana dituduh segala. Apa pikirannya tidak ada?"Bohong kamu, mana ada s
Malam harinya, Adelio mengajakku suatu tempat entah di mana. Yasudahlah, aku hanya mengikuti apa yang Adelio mau. Dengan jaket couple, bahkan kacamata ikut serta dari bagian kami pakai. Terlihat alay, hanya aku mengingat jika Adelio berbeda dari cowok yang lain. "Kek alay ya," celetukku di mana Adelio berpose sok keren. Adelio hanya terkekeh merangkul diriku. "Mana ada alay, lo liat nih keren banget kita," kata Adelio memutarkan diriku yang berdecak kesal. Kali ini Adelio memotret diriku yang tidak memiliki ekspresi, sampai Adelio menarik kedua sudut bibirku biar terlihat tersenyum. "Nah, ginikan cantik," lanjut Adelio kesana-kemari hanya memfotoiku saja. Sangat tidak bisa diam ya ini anak? Sifatnya sudah keluar jametnya, aku sampai tidak habis pikir bisa menikah dengan Adelio. "Bacot lo, yaudah ayo," ajakku menarik pergelangan tangannya. Adelio tidak menjawab hanya terkekeh kecil mengikutiku dari belakang. "Lo pendek ya," ledek Adelio. Aku berhenti tiba-tiba, terjadilah Ad
Pulang sekolah, bukannya balik ke rumah kami. Adelio mengajakku ke rumah keluarganya. Ternyata di sana sudah ada keluargaku juga, dan tidak aku ketahui. Sore ini akan piknik ke taman. "Lo masih pakai baju sekolah?" tanya Jean melirikku dari bawah ke atas. Di ruang tamu hanya kami berdua, karena yang lain asik mempersiapkan apa yang akan dibawa.Adelio juga katanya ingin memilihkan baju yang bagus untukku, jadi aku mengangguk saja. "Kenapa emangnya, nggak suka?" balasku memajukan diri sok songong. "Dih, gue nanya doang," sahut Jean mendorong kepalaku. Tidak sadar, jika Adelio datang menenteng baju untukku. Mana bajunya sengaja banget dilebarkan. "Adelio?! Bajunya kenapa kayak gitu?" pekikku mendekat menggulung biar Jean tidak melihatnya. Gila bajunya terlalu seksi. Mana mungkin aku memakainya untuk piknik, apa dia tidak berpikir dahulu?"Lah kenapa?" tanya Adelio bingung menatapku polos. Aku menabok tangannya, kali ini Adelio meringis sedikit menjauh. "Pake nanya lagi, ini tu