"Awas!" pekikku, semoga tidak terjadi apa-apa! Aku cukup takut, jika tidak berhasil. Adelio langsung menangkis tangan Ghazi dengan mudah, sementara teman Adelio yang lain. Langsung menyerang orang-orang di depanku. Pasya, terutama berhasil menghindari, dan mendekatiku. "Lo jangan takut, kita di sini," ucap Pasya, melepaskan aku dari ikatan kuat itu. Aku menangis haru. "Kak, gue laper," rengekku, Pasya mendengar itu tertawa. Padahal kondisi sekarang sedang gawat, aku hanya memikirkan perutku saja. "Sabar ya! Kita keluar dulu," ajak Pasya, menarik tanganku. Namun, aku melirik Adelio, sedang bertarung dengan Ghazi begitu serius. Aku berhenti, menahan tarikan Pasya. "Gimana dengan Adelio?" tanyaku polos, Pasya tersenyum mengusap kepalaku. "Dia baik-baik aja, terutamain lo dulu harus keluar!" Pasya menarikku kembali, dalam kondisi begini. Perutku terus berbunyi, astaga bisa tenang sedikit? Kondisinya gawat loh?!Dalam mobil, aku menatap perumahan tempat aku diculik, menunggu Adeli
"Nggak jelas banget," gerutuku, merusak mood saja. Aku berlari ke kelas, biar tidak dikejar oleh Tasya. Menjijikan, kenapa harus bertanya denganku? Tanya sendiri sana kepada Adelio. Aku mendorong pintu dengan kencang. Untungnya, masih pagi, jadi tidak ada yang mendengar. Suara pintu terbuka sangat keras. Aku memilih, membuka buku pelajaran untuk menghilangkan, mood yang hancur karena Tasya. Tapi belum aku membacanya, ada yang menghalangi. Aku mendongak. "Ghifari? Bukannya lo masih sakit?" tanyaku, dia berjalan dan duduk disampingku. "Gue udah sembuh kok," balas Ghifari tersenyum lembut, aku hanya mengangguk. Sekarang aku abaikan dia, seketika ada teleponku berbunyi. Sebelum itu, aku menjauh dari Ghifari. Aku baca, ternyata itu Adelio. "Halo, kenapa?" tanyaku, bersedekap dada. "Halo juga, dasi gue di mana?" tanya Adelio, aku kesal dengan sifat pelupanya. Kenapa harus bertanya kepadaku? Jelas-jelas, dia sendiri yang menaruhnya. "Coba lo ingat di mana terakhir lo taruh," kata
"Lepasin gue!" kesalku, mendorong Adelio yang bingung. "Lo kenapa?" tanya Adelio, mendekatiku. "Pake nanya lagi! Jangan sok baik deh, lo sama gue, gue nggak mau deket sama lo lagi!" hardikku, meninggalkan Adelio terdiam di lorong kelas. Aku muak berpura-pura baik kepadanya, jika mengingat perbuatan keluargaku. Aku kesal dan marah. Langkahku menuju koperasi, membeli bajuku yang sudah kotor. "Beli satu set baju pramuka," kataku, langsung dikasih, oleh orang koperasi kepadaku. "Terima kasih banyak, Mbak." Aku mengangguk, menghela napas panjang. Aku berdecak, apalagi rambutku bau kuah bakso, astaga! Nasib sial apa yang menghampiriku. Sementara, aku kembali ke kelas melihat Gita, dan Vivian mendekatiku. "Lo gapapaa?" tanya Gita, panik mengingat kejadian barusan. Aku mengangguk lesu, tanganku ditarik Vivian ke mejanya. "Ini minyak wangi biar gak bau, keramas juga rambut lo," pesan Vivian, aku tersenyum tipis. "Lo jangan senyum gitu, ngeri gue," celetuk Gita, aku terkekeh menerima
Aku pergi kerumah Gita. Aku akan menginap di sana, bersama Vivian. Aku sangat tidak ingin melihat Adelio. Suara Gita berteriak, membuatku terkejut. "Ranesya!" seru Gita, langsung memelukku. "Gue nggak nih?" sindir Vivian, sehingga Gita tersadar. Beralih memeluk Vivian. "Gitu doang, ngambek," cibir Gita, aku tertawa. Tidak lama kemudian, Ghifari nongol dengan senyum ramah. Aku membalasnya, Ghifari mendekati kami. "Ayo masuk, jangan lama-lama diluar nanti sakit," peringat Ghifari. Aku mengangguk, aku masuk terlebih dahulu, diikuti kedua sahabatku. Ini siapa, pemilik rumah sebenernya? "Anggap aja rumah sendiri," kata Ghifari, aku bergegas ke tempat kulkas berada. Gita dan Ghifari bingung, Vivian juga mengikutiku. Sambil mengambil sebuah susu kotak, dan ada roti cokelat. "Wah, enak banget keknya," sindir Gita, aku dan Vivian menoleh. Duduk di meja makan. "Kata Ghifari tadi, anggap rumah sendiri," balasku, mengulangi apa yang dibilang Ghifari. Vivian mengangguk setuju, Ghifari m
"Adelio!" teriakku, berlari ke arah mereka. Aku menarik lengannya, untuk menghentikan Adelio. Membogem pipi Ghifari. Karena susah dihentikan, aku mendorong tubuh Adelio. Menolong Ghifari, terluka lebih parah dari sebelumnya. Aku menatap tajam Adelio. "Maksud lo apaan! Nggak liat, wajahnya udah nggak berbentuk?!" teriakku, marah kepadanya. Adelio meludah, napasnya naik turun tidak beraturan. "Dia salah!" tuduh Adelio, menunjuk Ghifari. "Salah apa?!" ketusku, tidak ada jawaban dari Adelio. Jujur, aku marah dan kesal. Dia kenapa sebenarnya? Aku membantu Ghifari untuk masuk ke mobil. Aku menaiki mobil Ghifari. "Gue antar, ya?" tawarku, Ghifari mengangguk. Sementara, Adelio berlari menghampiriku. Tatapannya, seolah mengisyaratkan jangan ikut dia. Tanganku ditarik Adelio. "Lo mau kemana?" ujar Adelio, melirik Ghifari sudah tidak sadarkan diri. "Lo masih nanya? Gue mau antar dia ke rumah sakit!" hardikku, menutup jendela mobil. Aku langsung pergi, meninggalkan Adelio masih berdiri
Upacara, paling tidak disukai para siswa-siswi. Sekarangpun, aku bersandar di dinding. Memperhatikan kondisi para peserta, kali ini pengawasan pemeriksaan yang pernah dibahas oleh Frans. Aku menghela napas, karena harus berkeliling. Membawa para siswa-siswi yang tidak lengkap atributnya. Setiap kelas, sudah terkumpul 20 orang termasuk Adelio. Astaga! Dia tidak memakai dasi!"Gue jadi ingat, gara-gara dasi di kerahnya," gumamku, berdiri di belakang anak kelas 3 MIPA 2. Frans tersenyum tipis, dia tidak seperti kemarin. Apa yang Adelio kasih? Sekarang dia lebih kalem. "Lo ngomong apa?" tanya Frans, aku menggeleng mendengar guru berpidato panjang lebar. Selesai upacara, semua murid masuk. Kecuali yang tidak lengkap memakai seragam. Aku dan Frans menghampiri Ibu Aini. "Hukum mereka semua, bandel banget!" perintah Ibu Aini, kami berdua mengangguk menghadap mereka. Frans maju melirik Adelio, dia terlihat takut. "Baiklah, kalian semua akan dijemur di lapangan sampai jam istirahat," je
"Akhirnya pulang!" seruku, membawa tas ke punggung. Semua orang sudah pulang, hanya tertinggal diriku. Saat aku keluar, Adelio sudah ada di sana bersedekap dada. Apa dia menungguku sejak tadi?Aku berhenti di depannya. "Ngapain lo di sini?" hardikku, tidak suka dengannya. Tidak ada jawaban, hanya senyuman kecil diberikan oleh Adelio. Aku menatap dia. "Bareng gue pulangnya," pinta Adelio, aku menggeleng cepat. "Gue nggak mau!" tolakku, malah ditarik-tarik Adelio. Terjadilah, aku cemberut setiap lorong kelas. Jikapun aku berteriak, pasti semua orang akan tau. Kalo aslinya, aku ada hubungan khusus dengan Adelio. Sampai di parkiran, aku tidak melihat motor Adelio. Aku sedikit menatapnya keheranan. "Motor gue, udah di bawa ke rumah," kata Adelio, aku diam saja. Tidak menyahut ucapannya. "Mana kunci mobil," pinta Adelio, langsung aku berikan saja. Aku memilih duduk di belakang, saat bisa melepaskan diri dari Adelio. Aku memilih liat pemandangan di luar. Daripada melihat Adelio. Di
Aku menguap, menutupi mulut dengan tangan. Seketika mataku melebar, mengingat kejadian malam kemarin. "Astaga?! Gue malam tadikan!" pekikku, menepuk kepala sendiri. Kok aku sebegitu mudahnya, baik kepadanya? Aku kenapa malam tadi? Bahkan, membiarkan Adelio mengangkat tubuhku. "Lo sadar Ranesya! Duh, gue nggak boleh gitu lagi," gerutuku, saat ini memilih mandi, dan melakukan persiapan sekolah. Saat selesai pun, aku membuka pintu. Adelio sudah berada di depan, menatapku tersenyum. Aku mengabaikannya, terus duduk ke meja makan. Adelio ikut duduk, memberikan roti tawar selai strawberry kepadaku. "Makan yang banyak," ucap Adelio perhatian, aku mengangguk saja. Tidak pernah aku pikirkan, kali ini Adelio benar-benar memperhatikanku begitu dalam. "Gimana tidur lo, nyenyak?" tanya Adelio, aku mendongak meminum susu hangat. "Iya," jawabku seadanya. Sudah selesai, aku langsung pergi tanpa mengucapkan kata-kata. Tapi Adelio menarik tanganku, seketika aku menoleh. Kenapa dia ini? Apa kes
Pagi yang cerah, aku berada di kelas. Hanya beberapa anak di dalam, salah satunya aku dan Zara. Aku mendekati Zara yang sedang duduk sendirian, aku gugup mengatakan ini. "Gue maafin lo kok," ucapku berdeham pelan. Zara menoleh kesamping dengan senyum mengembang. Aku tidak tau, jika Zara memiliki senyum amat manis begini. "Makasih banyak, lo mau kan jadi temen gue?" tawar Zara, memegang tanganku penuh harap. Aku jadi bingung, mataku tidak fokus. Takut aku salah langkah mengambil jalan, hingga aku mengangguk pelan. Zara langsung memelukku begitu erat. Namun, aku tidak membalasnya. "Makasih, udah mau jadi temen gue," kata Zara, menatapku begitu lekat. Tidak menyahut, aku hanya mengangguk, sehingga Zara begitu sangat bahagia. Apa perasaanku merasa aneh, karena berteman dengan Zara? Soalnya Zara musuh bebuyutanku, dari awal dirinya masuk. "Ayo kita duduk," tarik Zara ke kursinya. Bahkan, Zara bercerita heboh tentang sekolah lamanya. Aku hanya tersenyum, dan mengangguk sebagai ja
Aku sempat ditawarkan kembali osis, aku menolak. Karena sudah mulai muak dengan keadaan. Harus jadi contoh yang baik. Namun, saat aku kena masalah, malah dihujat habis-habisan. Huh! Aku tidak mau!"Nggak mau lagi gue," gerutuku, berjalan ke arah keluar. Menunggu Adelio di pagar, aku berharap Adelio cepat ke sini. Aku memijat kening yang pening. "Mau muntah gue, nggak mungkinkan hamil?" parnoku sembarangan, apa-apain aja nggak pernah. Hanya aku berpikir negatif saja, sampai aku tersadar ada yang menepuk bahuku. "Adelio?" panggilku kaget, aku cengengesan. "Lo mikirin apa? Sampe ngelamun di sini," tanya Adelio bingung. Kini Adelio menyentil jidatku. Dih, kok malah nyebelin sih?! Aku mendengus kesal dengan melipatkan tangan di dada. Aku membenarkan poni yang berantakan, aku berjalan lebih dulu mengabaikan Adelio. "Eh, tungguin. Ngambek ya?" tanya Adelio, mengejarku. Aku menghentakkan kaki, benar sangat tidak estetik. Aku kan tidak mau di sentil dulu, seharusnya puk puk gitu loh.
Sekarang aku dan Adelio saling bertatapan, memegang tangan ingin pergi bersama. Bedanya, kali ini pergi berangkat dengan bus. Sebenernya aku hanya pengen, sempat melihat anak sekolah naik bareng sama temannya. "Ayo berangkat," ajak Adelio menarikku, menuju halte tidak jauh dari rumah. Aku mengangguk, tersenyum lebar. Padahal jelas-jelas, rumah kami dekat dengan sekolah. Liatlah, kurang kerjaan memilih naik bus. Aku terkekeh membayangkan berapa seru di sana. "Tuh liat busnya," kata Adelio, menarikku duduk di pertengahan. Aku duduk dekat kaca, memperhatikan banyak melintas, ternyata seru juga. Sampai aku menghembuskan udara dari mulut ke kaca, aku dengan jahil menuliskan namaku love Adelio. "Ucul banget," kataku terkekeh, aku mengeluarkan hp memotretnya. Adelio sadar menoleh ke arahku, begitu kaget dengan tingkah bocilku ini. "Lucunya, keliatan anak SD kita," celetuk Adelio, membuatku terkejut. Aku menghalanginya dengan tangan karena malu, Adelio meminggirkan pelan. Jujur, s
Malam ini, aku berniat pergi ke rumah keluargaku, karena ingin meminta saran atas perubahan Zara. Aku tidak pernah menceritakan ini, hanya aku ingin mempertimbangkan saja. "Adelio, lo mau naik motor atau mobil?" tanyaku, melirik Adelio merangkul diriku. Adelio menoleh kesamping. "Mobil aja nggak sih?" "Oke, gue masih bingung soal itu," kataku, menghela napas berat. "Gapapa, nanti tanya sama Mama ya? Lo jangan bingung gini, pasti ada jalan keluarnya kok," papar Adelio, mempersilahkan aku masuk ke mobil. Adelio jalan memutar, masuk ke dalam mobil. Aku melirik, jika ada sesuatu dibelakang. "Adelio, lo beli apa?" tanyaku ke Adelio, sedang menyetir. "Catur, biar bisa main sama Papa," balas Adelio, tersenyum lebar. "Bisa-bisanya lo, pasti karena Papa pernah bilang ya," kataku, memperhatikan Adelio mengangguk. "Papa cerita kalo suka main catur, cuma Jean nggak mau. Jadi Papa, suka kesepian di rumah," jelas Adelio dengan nada sedih. Aku tersentuh olehnya. Aduh punya suami begini tu
Di kantin aku sendiri, karena enggan duduk bersama kedua sahabatku. Ada yang mengajak hanya aku malas. Ingin merasakan kesendirian, aku hanya ingin tenang sesaat. Sampai ada dua orang, sangat aku tidak suka duduk. "Keliatan nggak punya temen ya," ejek Tasya, diangguki Trisya. Aku diam saja, menyeruput es teh ku, dan bakso yang sedang aku makan. Abaikan saja orang gila ini. Anggap mereka tidak ada, aku sedang malas bertengkar dengan siapapun. "Biasa mah, dia kan emang mulai dijauhi terus ya? Karena pacaran sama Adelio," balas Trisya, tersenyum miring. Apalah mereka ini, aku merasa keduanya saling menyahut dengan kebencian. "Biasa itu mah, nggak cocok sama Adelio. Tapi dipaksakan bersama," timpal Tasya, terkekeh pelan. Aku berhenti memakan bakso, menatap tajam Tasya. Apa yang dia katakan barusan? Aku tidak cocok dengan Adelio?Nggak cocok dari mana? Aku cocok saja dengannya, bahkan kami saling melengkapi. "Terus cocok sama lo yang pemales? Jadi apa Adelio nanti," sahutku, terta
Aku terbangun di pagi hari, langsung ke dapur menguncir rambut asal. Aku akan memasak mie instan saja. Rasanya ingin memakan itu bersama Adelio, aku dengan lihai memasukkan semua ke dalam wajan. "Masak apa tuh," celetuk Adelio mendekat, mendusel leherku. Aku menoleh dengan kesal. "Nggak usah ngeselin deh, ini masih pagi Adelio.""Kenapa sih? Nggak boleh manja sama lo?" tanya Adelio cemberut, melepaskan pelukannya. Aku memutarkan tubu, menangkup pipi tirusnya, dan tersenyum manis. Mencubit pelan, sambil memainkannya. "Lo udah gede, mending lo mandi aja. Bentar lagi kita pergi sekolah," usirku secara halus. Adelio menggelengkan kepala, menolak mempersiapkan diri. Terus Adelio maunya apa?"Eh, bentar bau apa ini?" Mataku melotot, melihat masakanku yang gosong. Aku menatap tajam Adelio, sudah mengangguku masak mie. Padahal itu mie sisa 2 doang, dan liat sudah tidak bisa dimakan. "Kok gosong?" tanya Adelio sok polos. "Dahlah gue males," kesalku, sudah tidak mood lagi. Memilih unt
"Lo nggak bosen culik gue?" tanyaku ke Ghazi sedang merokok. Hari sudah malam, bisa aku liat karena berada di luar. Lebih tepatnya arena balap. Aku juga tidak tau, apa yang mau Ghazi lakukan. Sampai Ghazi keluarkan hp-nya. "Halo, sini lo selamatin pacar lo ini." Ghazi video call, terdapat Adelio yang kaget. "Woyy! Sialan, dasar pecundang mainnya culik terus," umpat Adelio melototi Ghazi. Ghazi mendekat, memegang daguku. Adelio menatapku lekat. "Cepat bilang sesuatu cantik," kata Ghazi menarik daguku, biar melihatnya. Aku meneguk ludah. "Tolongin gue Adelio," lirihku cemberut. Adelio mengepalkan tangan tidak terima, apalagi aku terlihat sedih begitu. "Gue laper, nggak dikasih makan dari siang. Cuma minum doang," aduku membuat Adelio makin marah. "Hahaha, datang ke sini ke arena balapan biasa lo tanding," ucap Ghazi tersenyum miring. "Woyy, lo culik jangan pacar gue— "Ghazi langsung mematikan video call, aku hanya menghela napas panjang, dipegang tanganku oleh kedua bawahan
Rambutku dijambak oleh Zara, sesuai prediksi. Seketika kelasku ramai, bahkan anak kelas lain ikut melihat kejadian ini. "Lo kurang kerjaan banget, teror gue?!" ketusku, menarik rambutnya juga. Zara menatap tajam ke arahku. "Gue benci sama lo, emang cocok diteror! Biar lo jauh-jauh dari Adelio!" "Gila lo, makanya kalo kurang belaian ke Om lo itu," sindirku, saling beradu kepala. Mana kepalaku sakit ditarik-tarik begini, apa tidak ada yang mau menolongku?Sampai suara teriakan sangat aku kenal mendekat, sepertinya ada yang mengadu jika aku bertengkar dengan Zara. "Berhenti Zara, lepasin sekarang Ranesya!" perintah Adelio, tidak di respon Zara. "Ingat, lo mau gue bongkar rahasia lo di sini, atau lepasin sekarang Ranesya?" ancam Adelio, ditengah-tengah kami berdua. Seketika Zara melepaskan tarikannya, dan dadanya naik turun. Melirik Adelio yang sedang membantuku. "Lo gapapa? Ada yang sakit?" panik Adelio, memeriksa keadaanku. "Gue gapapa kok," balasku tersenyum kecil. Aku meliha
Pagi ini aku diam-diam mengintip dari pintu kamar, berharap tidak ada Adelio. Aku mengelus dada merasa lega, kali ini aku akan pergi sendiri ke sekolah. "Kerjain Zara ahh, bakal aku kasih tau siapa neror dirinya. Jika itu aku haha," kataku tertawa jahat. Sebelum Adelio bangun, aku mau pergi ke sekolah. Takutnya, Adelio akan tau rencana yang aku lakukan. Karena aku sempat di teror bukan? Setelah, kejadian perselingkuhan itu. Zara tidak melakukan lagi. "Takut kali," cibirku, meluncur menuju sekolah menggunakan mobil. Perjalanan pagi hari ini tidak macet, aku langsung turun saat sudah sampai. Terdapat Elgar tersenyum manis kepadaku. Ini Elgar nggak ada kapoknya ya?!"Halo Kakak cantik," sapa Elgar melambaikan tangan mendekat. "Bareng gue yuk."Aku berdecak, menghela napas berat. Elgar ini, suka sekali nyari masalah. Aku saja sudah muak dengannya. Apa Elgar tidak mendengar apa yang Adelio katakan? "Nggak dulu, Adelio lebih menggoda," ucapku, menatapnya tersenyum miring. Setelah