Aku sudah mempersiapkan diriku, jadwal hari ini adalah senam bersama. Hari jum'at berkah, semoga hariku menyenangkan. Aku mencuci tanganku di wastafel, setelah selesai aku duduk di ruang makan. Sarapan pagi kali ini, nasgor masakanku sendiri! Karena aku baik hati. Jadi, aku membuatkan satunya untuk Adelio. Aku sudah menyuapkan nasgor ke mulutku, Adelio duduk melirikku. "Wah, nasi goreng," takjub Adelio, aku diam-diam tersenyum. Diapun memakannya dalam diam, apa masakanku tidak enak? Kok diam tidak berkomentar?Sampai selesai dia menungguku. "Mau bareng nggak, pergi sekolahnya?" ajak Adelio, aku mendongak kaget. Aku taruh sendok, mengusap bibirku dengan tisu. "Lo masih sehatkan?" tanyaku, menatap wajahnya. Saat ini dia meminum air putih. Adelio menggeleng. "Emang salah? Gue ngajak doang sih," ucap Adelio, berdiri mengambil tasnya. "Kalo lo. Nggak mau juga yang penting, nawarin doang," lanjutnya, pergi meninggalkanku. Tidak tau mengapa, aku merasa Adelio benar-benar aneh. Mis
Aku sekarang berjalan, ke lapangan disuruh Pak Herman. Aku juga tidak tau, apa yang akan dilakukan. Hingga aku menatap malas, kenapa harus kelas 3 MIPA 2? Aku berjalan lesu, apalagi Adelio menjadi pemimpin pemanasan. Pak Hendra menyuruhku mendekat. "Sini Ranesya," teriak Pak Hendra, aku mengangguk berlari. "Baiklah, kali ini kita akan praktek basket," ucap Pak Hendra, Adelio tersenyum manis. Aku di sana planga-plongo tidak jelas, kenapa harus aku? Bukannya, bisa suruh anak kelas 3 MIPA 2 untuk membantunya. "Kamu Ranesya, ikuti saya. Jadi kalian dibagi 5 orang untuk bermain, jika salah satu dari kelompok menang. Maka, nilainya akan mendapatkan plus," jelas Pak Hendra, langsung memberikan buku absen kepadaku. "Kamu pegang ini, semisal saya menyebutkan nilainya. Kamu langsung tulis," lanjut Pak Hendra, aku mengangguk, aslinya aku kesal. "Iya Pak," jawabku lesu. Padahal aku memiliki, kelas matematika kali ini. Untungnya, Ibu yang mengajarkan tidak marah. Jadi, aku akan bisa ikut l
Aku meringis, karena kepalaku yang pening. Aku membuka mata sedikit kabur. "Udah bangun? Lama juga tidurnya lo," sindir seseorang yang sangat aku kenal. Ghazi, mengangkat kaki duduk di depanku. Dia berdiri, memegang daguku untuk mendongak. "Gimana? Lo percaya bukan? Gue bakal, buat lo berlutut di depan gue," kata Ghazi songong, bahkan teman komplotannya tertawa. Aku hanya diam, tidak menyahuti perkataannya. Tidak penting juga. "Kenapa diem doang? Bisu lo?" ledek Ghazi, menekan pipiku hingga mulutku monyong. Ghazi melepaskan, pipiku dengan melemparkan ke kanan. "Berani lo, pas di luar doang! Pas di dalam cemen lo," ucap Ghazi, aku sebenarnya tertawa. Dia mengataiku seperti itu. Ghazi bilang aku cemen? Terus dia apa? Pecundang beraninya dengan cewek. "Coba keluarin suara lo yang berani itu," perintah Ghazi, tersenyum miring. "Kenapa lo? Mau banget dengerin suara gue?" ketusku, menatap tajam Ghazi. Ghazi menggeram marah dengan gertakan gigi, aku bisa mendengarnya. "Berani lo s
"Awas!" pekikku, semoga tidak terjadi apa-apa! Aku cukup takut, jika tidak berhasil. Adelio langsung menangkis tangan Ghazi dengan mudah, sementara teman Adelio yang lain. Langsung menyerang orang-orang di depanku. Pasya, terutama berhasil menghindari, dan mendekatiku. "Lo jangan takut, kita di sini," ucap Pasya, melepaskan aku dari ikatan kuat itu. Aku menangis haru. "Kak, gue laper," rengekku, Pasya mendengar itu tertawa. Padahal kondisi sekarang sedang gawat, aku hanya memikirkan perutku saja. "Sabar ya! Kita keluar dulu," ajak Pasya, menarik tanganku. Namun, aku melirik Adelio, sedang bertarung dengan Ghazi begitu serius. Aku berhenti, menahan tarikan Pasya. "Gimana dengan Adelio?" tanyaku polos, Pasya tersenyum mengusap kepalaku. "Dia baik-baik aja, terutamain lo dulu harus keluar!" Pasya menarikku kembali, dalam kondisi begini. Perutku terus berbunyi, astaga bisa tenang sedikit? Kondisinya gawat loh?!Dalam mobil, aku menatap perumahan tempat aku diculik, menunggu Adeli
"Nggak jelas banget," gerutuku, merusak mood saja. Aku berlari ke kelas, biar tidak dikejar oleh Tasya. Menjijikan, kenapa harus bertanya denganku? Tanya sendiri sana kepada Adelio. Aku mendorong pintu dengan kencang. Untungnya, masih pagi, jadi tidak ada yang mendengar. Suara pintu terbuka sangat keras. Aku memilih, membuka buku pelajaran untuk menghilangkan, mood yang hancur karena Tasya. Tapi belum aku membacanya, ada yang menghalangi. Aku mendongak. "Ghifari? Bukannya lo masih sakit?" tanyaku, dia berjalan dan duduk disampingku. "Gue udah sembuh kok," balas Ghifari tersenyum lembut, aku hanya mengangguk. Sekarang aku abaikan dia, seketika ada teleponku berbunyi. Sebelum itu, aku menjauh dari Ghifari. Aku baca, ternyata itu Adelio. "Halo, kenapa?" tanyaku, bersedekap dada. "Halo juga, dasi gue di mana?" tanya Adelio, aku kesal dengan sifat pelupanya. Kenapa harus bertanya kepadaku? Jelas-jelas, dia sendiri yang menaruhnya. "Coba lo ingat di mana terakhir lo taruh," kata
"Lepasin gue!" kesalku, mendorong Adelio yang bingung. "Lo kenapa?" tanya Adelio, mendekatiku. "Pake nanya lagi! Jangan sok baik deh, lo sama gue, gue nggak mau deket sama lo lagi!" hardikku, meninggalkan Adelio terdiam di lorong kelas. Aku muak berpura-pura baik kepadanya, jika mengingat perbuatan keluargaku. Aku kesal dan marah. Langkahku menuju koperasi, membeli bajuku yang sudah kotor. "Beli satu set baju pramuka," kataku, langsung dikasih, oleh orang koperasi kepadaku. "Terima kasih banyak, Mbak." Aku mengangguk, menghela napas panjang. Aku berdecak, apalagi rambutku bau kuah bakso, astaga! Nasib sial apa yang menghampiriku. Sementara, aku kembali ke kelas melihat Gita, dan Vivian mendekatiku. "Lo gapapaa?" tanya Gita, panik mengingat kejadian barusan. Aku mengangguk lesu, tanganku ditarik Vivian ke mejanya. "Ini minyak wangi biar gak bau, keramas juga rambut lo," pesan Vivian, aku tersenyum tipis. "Lo jangan senyum gitu, ngeri gue," celetuk Gita, aku terkekeh menerima
Aku pergi kerumah Gita. Aku akan menginap di sana, bersama Vivian. Aku sangat tidak ingin melihat Adelio. Suara Gita berteriak, membuatku terkejut. "Ranesya!" seru Gita, langsung memelukku. "Gue nggak nih?" sindir Vivian, sehingga Gita tersadar. Beralih memeluk Vivian. "Gitu doang, ngambek," cibir Gita, aku tertawa. Tidak lama kemudian, Ghifari nongol dengan senyum ramah. Aku membalasnya, Ghifari mendekati kami. "Ayo masuk, jangan lama-lama diluar nanti sakit," peringat Ghifari. Aku mengangguk, aku masuk terlebih dahulu, diikuti kedua sahabatku. Ini siapa, pemilik rumah sebenernya? "Anggap aja rumah sendiri," kata Ghifari, aku bergegas ke tempat kulkas berada. Gita dan Ghifari bingung, Vivian juga mengikutiku. Sambil mengambil sebuah susu kotak, dan ada roti cokelat. "Wah, enak banget keknya," sindir Gita, aku dan Vivian menoleh. Duduk di meja makan. "Kata Ghifari tadi, anggap rumah sendiri," balasku, mengulangi apa yang dibilang Ghifari. Vivian mengangguk setuju, Ghifari m
"Adelio!" teriakku, berlari ke arah mereka. Aku menarik lengannya, untuk menghentikan Adelio. Membogem pipi Ghifari. Karena susah dihentikan, aku mendorong tubuh Adelio. Menolong Ghifari, terluka lebih parah dari sebelumnya. Aku menatap tajam Adelio. "Maksud lo apaan! Nggak liat, wajahnya udah nggak berbentuk?!" teriakku, marah kepadanya. Adelio meludah, napasnya naik turun tidak beraturan. "Dia salah!" tuduh Adelio, menunjuk Ghifari. "Salah apa?!" ketusku, tidak ada jawaban dari Adelio. Jujur, aku marah dan kesal. Dia kenapa sebenarnya? Aku membantu Ghifari untuk masuk ke mobil. Aku menaiki mobil Ghifari. "Gue antar, ya?" tawarku, Ghifari mengangguk. Sementara, Adelio berlari menghampiriku. Tatapannya, seolah mengisyaratkan jangan ikut dia. Tanganku ditarik Adelio. "Lo mau kemana?" ujar Adelio, melirik Ghifari sudah tidak sadarkan diri. "Lo masih nanya? Gue mau antar dia ke rumah sakit!" hardikku, menutup jendela mobil. Aku langsung pergi, meninggalkan Adelio masih berdiri
Sore yang cerah, cocok banget jalan-jalan di pantai. Aku dengan tergesa-gesa menarik tangan Adelio untuk cepat. "Ayolah, lo jangan lama sih!" kesalku mendengus. Adelio menggeleng kepala, saat aku menoleh. Apa dia ikutan kesal denganku? Kan aku hanya tidak ingin ketinggalan ke pantai. "Pelan-pelan aja, pantainya gak berjalan itu," peringat Adelio menahan tawa. Idih, dikira lucu gitu? Aku melepaskan tangan Adelio, bersedekap dada di depannya. Bibir yang merucut kedepan seperti bebek. "Lo kok ketawa? Nggak ada yang lucu tau," hardikku menghentakkan kaki. "Dahlah, nggak jadi aja."Aku berusaha memutarkan badan untuk balik ke kamar, namun tanganku ditahan olehnya. "Mau kemana?" tanya Adelio menatapku lekat. "Gue mau ke kamar aja, lo ngeselin soalnya," kataku mengalihkan pandangan ke tempat lain. Terdengar suara kekehannya. "Gue bercanda doang, ayo kita pergi," ajak Adelio menarikku untuk ke pantai. Tidak menolak, aku hanya mengikuti langkah kakinya turun dari lift. Aku tidak ada
Selama 1 bulan, kami dikasih libur sekolah. Adelio berencana mengajak diriku ke Bali. Sungguh aku sangat senang! Siapa sih yang tidak mau kesana? Sekarang kami bersiap-siap untuk ke bandara. "Gimana, semuanya nggak ketinggalankan?" tanya Adelio melirikku memegang koper. Aku mengangguk semangat, menggandeng tangannya. "Ayok, skuy!" seruku membuat Adelio terkekeh. Kali ini kami di antar oleh supir milik keluarga Andres, karena mengetahui tidak mungkin membawanya sendiri. Saat sampai, kedua orang tua kami sudah berada di bandara. Pasti ingin memberikan salam perpisahan untuk sebulan ini. "Kalian hati-hati ya," kata Bunda Delyna memelukku dan Adelio. Sementara Mama Cahaya menangis, aku merasa geli seolah ditinggal selamanya saja. Tapi aku tahan karena menyadari, jika aku tidak menghargai kesedihan Mamaku. "Ihh, kenapa Mama nangis?" Aku memeluk Mama Cahaya, dan mengelus punggungnya. Setelah memeluk Bunda Delyna, aku beralih ke Mama Cahaya yang kini menangkup pipiku. "Jangan band
Waktu cepat berlalu, di mana aku sudah melewati ulangan ganjil. Kali ini aku berada di depan kantor untuk pengumuman raport. Banyak guru maupun orang tua berkumpul, ini saat menegangkan. Sampai pengumuman siapa yang juara di kelasku. "Seperti biasa, juara 1 didapatkan oleh Ranesya Adipurna," ucap wali kelasku. Urutan tiga maupun dua, sudah disebutkan. Aku tersenyum lebar karena mengetahui pasti aku mendapatkan peringkat pertama. "Lo pasti bisa!" kataku tanpa suara ke arah Adelio, memperhatikanku terlihat bangga. Arghh, aku sangat senang sekali. Setiap kelas memang disebut sampailah di kelas Adelio. "Untuk Bapak Ibu-ibu, ini murid yang bandel astaghfirullah. Dia juga sering banget bolos, hanya semester ini lumayan memberikan hasil memuaskan karena jarang bolos!" jelas wali kelas dengan senyum mengembang. "Semoga kalian nggak kaget, juara ke 3 diberikan kepada Adelio Andres," kata wali kelas bertepuk tangan. Adelio menganga lebar, namun didorong teman sekelasnya.
"Nanti lo nangis darah, kalo gue bisa dapatin Ranesya," ledek Rayyen terkekeh kecil. Sebelah alisku terangkat, percaya diri sekali dirinya. Apa orang gila ini, terlalu pede bisa mendapatkan sesuatu yang dia mau?"Maaf Rayyen, gue tetap sayang Adelio," sahutku membuat keduanya menoleh. "Lo hanya orang baru dalam hidup gue, sementara Adelio udah gue kenal sejak kecil cuma waktu itu berpisah aja," jelasku membuat Adelio tersenyum puas. Sebaliknya, Rayyen begitu muram karena mengetahui pernyataan yang aku berikan. Siapa yang senang, penolakan begitu jelas. Bahkan, ini di depan banyak orang. "Gue nggak akan biarin itu terjadi, selama gue masih hidup lo harus jadi milik gue Ranesya!" kata Rayyen berdiri menatapku begitu lekat. Tidak merespon, aku hanya diam karena malas untuk menyahuti perkataan Rayyen itu. "Dan gue yang akan buat lo kehilangan segalanya," timpal Adelio ikut berdiri. Tanpa segan menarik kerah Rayyen, mereka saling bertatapan begitu tajam. "Silakan! Gue akan ambil R
Aku menatap kaget mendengar lontaran Adelio itu, aku menunduk karena kelopak mataku terasa mengeluarkan buliran bening yang jatuh. Tiba-tiba saja seseorang memeluk, aku mendongak menatap tidak percaya. "Bercanda sayang, aku percaya sama kamu," kata Adelio dengan kekehan kecilnya. Aku mengusap hidung yang basah, aku mendorong dada Adelio. "Nggak usah ngeselin deh! Gue nangis ini," omelku dengan tangisan makin keras. Adelio yang ketar-ketir mendekat, mengusap pipiku yang basah. Apa dia merasa bersalah? Sehingga mendekatiku, dih ngeselin banget sumpah. "Eh, jangan nangis dong. Aku cuma bercanda doang," kata Adelio menarikku dalam pelukannya. "Tapi bercanda lo, nggak lucu tau!" kesalku memukul dada Adelio. Lebih mengesalkan di mana Adelio terkekeh pelan, apa lucunya sih? Aku di sini dituduh loh, malah dia ikut-ikutan buat aku nangis begini. "Ngapain juga lo ketawa?" tanyaku melepaskan diri dari pelukannya. "Lo aja kalo nangis makin menggemaskan," balas Adelio mencubit pipiku. A
Saat pertanyaan Vivian terlontar, aku meneguk ludah. Untungnya aku bisa menjawab semua dengan enteng. Setelah menghadapi masalah besar, mereka berdua akhirnya pulang di jam 7 malam."Gue nggak sanggup asli," keluhku ke Adelio yang duduk di ruang santai. Adelio terkekeh mengelus puncak kepalaku. "Lo pasti ketar-ketir ye kan.""Pake nanya lagi, gue beneran takut tadi," kesalku menabok lengan Adelio. Bayangkan pertanyaan Vivian itu sangat mematikan belum lagi waktu di kamar, ada satu foto ketinggalan di meja belajar. Untungnya aku bisa menyembunyikan tepat waktu, aduh ini Tuhan lagi baik sama aku sih. "Asal mereka nggak taukan? Kita bisa berhasil," seru Adelio tersenyum manis. Alah, itu juga karena aku banyak alasan. Coba Adelio ikut kasih alasan? Mungkin sudah ketauan karena jawaban kami pasti berbeda. "Iya serah lo aja deh," balasku malas. "Ehem, lagi ngapain nih peluk-peluk," sindir seseorang dengan suara nge-bas. Aku yang menyadari orang tersebut cepat bertegak, menoleh kebe
Aku tertawa mengingat kejadian pulang sekolah, sekarang aku berada di rumah memainkan ponsel. Cuma sedikit kaget di mana dalam grup, jika Gita dan Vivian ingin berkunjung ke rumah. Asli ya, aku langsung deg-degan karena mereka sudah berada di rumah orang tuaku. "Adelio, cepetan!" teriakku menggedor pintu kamar. Pintu tersebut buka, terlihat Adelio mengusap mata sepertinya baru bangun tidur. Aku tanpa berkata, menarik tangannya. Adelio terkaget-kaget dari rautnya, ingin tertawa tapi situasi sekarang lagi tidak bagus. "Kenapa lo?" tanya Adelio menarik tanganku sesaat. "Jangan banyak tanya deh, gue gini juga mau cepat ke rumah orang tua gue. Ada Gita sama Vivian di sana," ungkapku membuat Adelio sebaliknya menarikku. Eh, kok malah aku yang ditarik-tarik. Sepertinya Adelio menyadari ketar-ketir diriku. "Ayok, cuss kita harus cepat ke rumah Papa Mama," seru Adelio mendorongku ke dalam mobil. Kasar banget sih, dasar emang ya. Apa karena ingin cepat sehingga begini jadinya. Adelio
"Maksudnya apa Om?" tanya Adelio menarikku kebelakang. Senyum miring tertampil di bibirnya. "Kamukan sudah melukai Zara? Sekarang dia berada di rumah sakit," tuduh Om tua sambil mengepalkan tangan. Eh, sejak kapan please. Aku saja selalu bersama Adelio, kapan melukai Zara murahan itu? Sampai orang tua ini menuduh Adelio. "Astaga Om, aku mana pernah melukai dia. Nggak pengen soalnya, kan aku udah ada ini," kata Adelio menoleh ke arahku sebentar. Aku tersenyum kecil, saat Adelio memberitahu kalo aku adalah pacarnya. "Alasan aja kamu! Apa saya laporkan aja kamu ke kepala sekolah," kata Om tua mendekat menarik kerah Adelio. Hal gilanya, Om tua itu mengangkat dengan mudah tubuh Adelio. Aku menganga tidak percaya, setua ini tenaganya masih oke. "Jangan sembarangan ya, aku juga nggak akan ngelakuin itu karena Zara bukan siapa-siapa," papar Adelio masih berusaha sabar. Aku menggeleng, ya untuk apa bertengkar dengan orang tua? Dia tidak akan mendengarkan. Daripada mak
Aku pergi sendiri dengan mobil ke sekolah, awalnya Adelio tidak terima. Namun, aku ngambek jika tidak diizinkan sehingga Adelio pasrah, dan mengalah. Di lorong tanpa sengaja aku melihat Gracia bersedekap dada berdiri di depan kelas, aku abaikan Gracia itu.Hal yang diriku ingin mengamuk karena Gracia sengaja memajukan kakinya sehingga aku tersungkur. Aku mendengus, berdiri berhadapan dengan Gracia. "Sengajakan lo?""Hah, lo nuduh gue?" tanya Gracia tidak terima. Dengan kepalan tangan, gigi menggeletuk rasanya ingin menampol orang gila ini. "Dahlah, males gue sama lo. Kalah saingkan, makanya lo nyari masalah terus sama gue," tanggapku membuat Gracia melotot. Apa dia tidak terima? Sehingga seperti itu? Heh, Gracia memang penggoda. Ihh, aku saja jijik dengannya. Apalah dia ini, banyak cowok tampan tapi malah merebut punya orang lain. "Ngapain juga kalah saing sama lo, gue cantik kok," kata Gracia begitu percaya diri. Mendengar itu, aku memperhatikan wajahnya. Seketika aku tertawa