"Akhirnya pulang!" seruku, membawa tas ke punggung. Semua orang sudah pulang, hanya tertinggal diriku. Saat aku keluar, Adelio sudah ada di sana bersedekap dada. Apa dia menungguku sejak tadi?Aku berhenti di depannya. "Ngapain lo di sini?" hardikku, tidak suka dengannya. Tidak ada jawaban, hanya senyuman kecil diberikan oleh Adelio. Aku menatap dia. "Bareng gue pulangnya," pinta Adelio, aku menggeleng cepat. "Gue nggak mau!" tolakku, malah ditarik-tarik Adelio. Terjadilah, aku cemberut setiap lorong kelas. Jikapun aku berteriak, pasti semua orang akan tau. Kalo aslinya, aku ada hubungan khusus dengan Adelio. Sampai di parkiran, aku tidak melihat motor Adelio. Aku sedikit menatapnya keheranan. "Motor gue, udah di bawa ke rumah," kata Adelio, aku diam saja. Tidak menyahut ucapannya. "Mana kunci mobil," pinta Adelio, langsung aku berikan saja. Aku memilih duduk di belakang, saat bisa melepaskan diri dari Adelio. Aku memilih liat pemandangan di luar. Daripada melihat Adelio. Di
Aku menguap, menutupi mulut dengan tangan. Seketika mataku melebar, mengingat kejadian malam kemarin. "Astaga?! Gue malam tadikan!" pekikku, menepuk kepala sendiri. Kok aku sebegitu mudahnya, baik kepadanya? Aku kenapa malam tadi? Bahkan, membiarkan Adelio mengangkat tubuhku. "Lo sadar Ranesya! Duh, gue nggak boleh gitu lagi," gerutuku, saat ini memilih mandi, dan melakukan persiapan sekolah. Saat selesai pun, aku membuka pintu. Adelio sudah berada di depan, menatapku tersenyum. Aku mengabaikannya, terus duduk ke meja makan. Adelio ikut duduk, memberikan roti tawar selai strawberry kepadaku. "Makan yang banyak," ucap Adelio perhatian, aku mengangguk saja. Tidak pernah aku pikirkan, kali ini Adelio benar-benar memperhatikanku begitu dalam. "Gimana tidur lo, nyenyak?" tanya Adelio, aku mendongak meminum susu hangat. "Iya," jawabku seadanya. Sudah selesai, aku langsung pergi tanpa mengucapkan kata-kata. Tapi Adelio menarik tanganku, seketika aku menoleh. Kenapa dia ini? Apa kes
"Lepasin nggak lo?! Sebelum gue murka!" teriak Adelio, mengepalkan tangan. Ghazi tersenyum miring melihatku sekilas. "Wahh, lo tau Adelio? Cewek lo cantik juga," puji Ghazi, aku ingin muntah. "Uwekk." Aku sengaja sok muntah, sehingga Ghazi tertawa pelan. "Astaga, lo ini bisa aja bercanda sayang," bisik Ghazi, aku merinding mendengarnya. Aku juga merasa jika Ghazi sudah gila, bisa-bisanya melakukan ini. Sebenarnya ada dendam apa? Aku menatap Adelio, mendekati kami berdua. "Lo maju, dia bakal gue lukai," ancam Ghazi. Namun, Adelio tidak mendengarkan. Bahkan, senyum menyeramkan muncul di bibir Adelio. Aku yakin, jika Adelio mulai berubah jadi singa jantan. "Seberani apa lo, ngelakuin itu?" kata Adelio, makin melangkah lebar. Sampai didekat. Adelio menarik tangan Ghazi, berada di leherku. Aku yang memiliki kesempatan, menginjak kaki Ghazi. Fiks! Jurus andalanku!"Sialan!" teriak Ghazi, aku menjulurkan lidah mengejek, bisa lepas dari Ghazi. Adelio menarik kerah Ghazi, menatap taja
Suara ketukan, membangunkan ku dari mimpi indah. Aku membuka pintu terlihat Adelio tersenyum kepadaku. Dia kenapa? Aku masih belum sepenuhnya sadar, sampai Adelio menyentil jidatku. "Mandi sana," perintah Adelio, mendorongku ke kamar mandi. Aku menyelesaikan ritual sekitar 25 menit, plus memakai baju sekolah. Tidak menyangka, jika Adelio masih menungguku. Dia menatapku penuh arti, dia berubah dari yang menyebalkan. Menjadi seseorang penuh senyum, aku memalingkan wajah untuk tidak terpukau. "Yuk!" tarik Adelio, aku sudah bersiap. Tinggal pergi ke sekolah. Aku mendapati sebuah dua kotak bekal, aku melirik Adelio mengangguk. Aku tidak tau apa isinya."Makan yang banyak," pinta Adelio, aku duduk dengan tenang. Adelio menyambut baik diriku. Sungguh, apa yang aku rasakan sekarang. Ini bukan, Adelio aku kenal saat pertama kali. Adelio memberikan susu cokelat hangat, sembari mengelus bibirku dengan tisu. "Berhenti Adelio!" pintaku, mendorong tangannya pelan. "Lo kenapa sih?""Gue ke
"Duh, kepala gue pening banget," kataku meringis, membuka mata. Lah? Kok aku di rumah, aku melihat sekeliling tidak ada siapapun, sampai pintu kamar terbuka. Aku melihat Adelio menghampiriku, memegang dahiku yang masih panas. "Agak mendingan, nggak kayak tadi," ucap Adelio, duduk di pinggiran kasur. Diam, aku jadi bingung mau berbicara apa. Adelio memeras kembali kain, ditaruh ke dahiku. "Kata Dokter, lo kecapean. Apa karena terlalu bersemangat belajar, ya?" tutur Adelio, aku menatap polos, mengidipkan mata beberapa kali, Adelio terkekeh, mengetahui. Jika aku, belum mau berbicara apa-apa. "Bentar, tunggu sini. Gue ambilin bubur sama obat," pamit Adelio, aku melihat dia pergi. Tak lama, dia membawanya dengan air putih di nampan. Aku duduk tanpa disuruh, aku tidak mau dia menolongku sekian kali. "Buka mulut lo," perintah Adelio, aku menggeleng ingin merebut sendok. Tapi Adelio menjauhkan dariku. "Biar gue aja," tolak Adelio, akupun hanya pasrah. "Lo boleh belajar, tapi ingat
"Kita sebenarnya ada hubungan—" kata Adelio, terpotong olehku. "Persahabatan!" sahutku, mereka terkejut karena aku tiba-tiba memekik. Aku cengengesan mengusap hidung. Adelio melirikku, maupun kedua sahabatku. "Kok kalian di sekolah berantem terus?" tanya Vivian, menyimak penjelasanku. "Karena, gue sama dia emang lagi ada masalah aja!" ungkapku, menyenggol lengan Adelio. Adelio mengangguk. "Bener banget! Kita udah sahabatan dari kecil," kilah Adelio, aku tertawa dalam hati karena ekspresi mereka berdua. "Ohh, wajar aja kalian berantem terus. Tapi, keknya bukan deh. Kalian pacaran kan?" tuduh Gita, aku mendengar itu menganga lebar. "Enak aja! Nggaklah," pekikku tidak terima. "Pasti kalian pacaran!" timpal Vivian, apalagi aku selalu terlihat bersama Adelio. Mungkin keduanya berpikiran, jika aku dan Adelio ada hubungan spesial. "Kalo pacaran emang kenapa?" tanya Adelio, membuatku melotot tidak percaya. Apa-apaan dia, berkata seperti itu? Jadi, dia sengaja mengakui bahwa kita se
Sebulan kemudian, besok adalah hari di mana. Aku akan lomba olimpiade sains. Selama ini, Adelio selalu menemaniku. Tidak tau, setan apa yang dirasuki Adelio. Dia benar-benar mengakui, jika dirinya mulai menerimaku. Aku jadi bimbang, akan tetap seperti ini, atau menerima pernikahanku dengan Adelio. "Geser dikit Adelio," kataku, mendorong Adelio duduk di sebelahku. Kami berada di kantin bersama kedua sahabatku. Tiba-tiba saja Adelio datang, langsung menyempil di sebelahku. Tidak ada yang lebih menyebalkan dari ini. Sekarangpun, jika ada cowok mendekat. Adelio akan, paling pertama mengusir mereka. "Besok lo lomba ya kan," ucap Gita, menyeruput es alpukatnya. Vivian mengangguk membenarkan. Aku menoleh ke mereka berdua. "Iya, doain ya! Gue udah belajar terus tau, semoga hasilnya memuaskan," sahutku, ingin menyuapkan nasgor ke mulutku. Tapi Adelio merebutnya, aku mendorong kepala Adelio. "Jangan ganggu gue, lo bisa pesan sendiri Adelio," sesalku, Adelio tidak peduli, menarik pirin
"Ihh, jangan ganggu gue!" teriakku, menabok Adelio. Aku sedang memasak untuk makan siang. Aku kesal, dia menganggu bukan menolong. Adelio mengotori dapur, belum lagi dia bernyanyi-nyanyi. Telingaku, sakit mendengarnya. Aku orangnya cepat risih, apalagi diganggu tanpa henti. "Berhenti nggak lo?! Sebelum sendok itu terbang ke kepala lo!" ancamku, bukan mendengar. Adelio makin menggila, aku memijit kepalaku mulai menyut. Untungnya, masakan yang aku buat hampir selesai. "Wihh, enak tuh!" Adelio merebut sendok, dan mencicipi masakanku. Tempe sambel dan sayur tumis kangkung, dia mencicipi dengan bahagia. "Berhenti! Itu untuk di makan, lo malah ngabisin!" sesalku, menaboknya dengan ganggang sapu. Kali ini aku mengejarnya, Adelio tertawa karena aku terjatuh. Terpleset, bukannya menolong dia mengejekku. "Makanya, kaki tuh panjangin lagi. Pendek sih!" ledek Adelio, aku menatap tajam dirinya. Seketika, air mataku jatuh. Mengalihkan pandang, aku kesal dan kembali duduk. Merajuk membela
Di pagi hari, berbeda dari biasanya. Saat aku terbangun, Adelio sudah berada di depanku. Siapa sangka, aku melotot tidak percaya. Bahkan, Adelio mengelus puncak kepalaku. "Lo udah bangun?" tanya Adelio mengecup keningku penuh perhatian. Aku yang masih tidak menyangka hanya bisa berkedip-kedip, yaa aku kan masih terkejut. Dengan tubuhku mundur membuat Adelio terlihat bingung. "Kenapa?" Aku menggeleng cepat, berusaha berdiri dan melirik sekitaran. Asli, aku sangat malu. "Nggak kok," jawabku sedikit gugup. "Seriusan? Kenapa wajah lo langsung tegang gitu," sahut Adelio terkekeh pelan. Yah, siapa coba tidak kaget dengan tingkahnya. Kan aku sangat terkejut, dahal dia sangat jarang begini kepadaku. Paling sesuatu hal penting, atau pergi suatu tempat dia akan menghampiriku terlebih dahulu. "Eh, nggak kok cuma tadi," balasku bingung mengigit bibir bawah. Aku mendorong tubuh Adelio. "Sana gih, lo pesen aja makanan gue laper soalnya," kataku mengalihkan pembicaraan. "Lo laper? Bentar
Sore yang cerah, cocok banget jalan-jalan di pantai. Aku dengan tergesa-gesa menarik tangan Adelio untuk cepat. "Ayolah, lo jangan lama sih!" kesalku mendengus. Adelio menggeleng kepala, saat aku menoleh. Apa dia ikutan kesal denganku? Kan aku hanya tidak ingin ketinggalan ke pantai. "Pelan-pelan aja, pantainya gak berjalan itu," peringat Adelio menahan tawa. Idih, dikira lucu gitu? Aku melepaskan tangan Adelio, bersedekap dada di depannya. Bibir yang merucut kedepan seperti bebek. "Lo kok ketawa? Nggak ada yang lucu tau," hardikku menghentakkan kaki. "Dahlah, nggak jadi aja."Aku berusaha memutarkan badan untuk balik ke kamar, namun tanganku ditahan olehnya. "Mau kemana?" tanya Adelio menatapku lekat. "Gue mau ke kamar aja, lo ngeselin soalnya," kataku mengalihkan pandangan ke tempat lain. Terdengar suara kekehannya. "Gue bercanda doang, ayo kita pergi," ajak Adelio menarikku untuk ke pantai. Tidak menolak, aku hanya mengikuti langkah kakinya turun dari lift. Aku tidak ada
Selama 1 bulan, kami dikasih libur sekolah. Adelio berencana mengajak diriku ke Bali. Sungguh aku sangat senang! Siapa sih yang tidak mau kesana? Sekarang kami bersiap-siap untuk ke bandara. "Gimana, semuanya nggak ketinggalankan?" tanya Adelio melirikku memegang koper. Aku mengangguk semangat, menggandeng tangannya. "Ayok, skuy!" seruku membuat Adelio terkekeh. Kali ini kami di antar oleh supir milik keluarga Andres, karena mengetahui tidak mungkin membawanya sendiri. Saat sampai, kedua orang tua kami sudah berada di bandara. Pasti ingin memberikan salam perpisahan untuk sebulan ini. "Kalian hati-hati ya," kata Bunda Delyna memelukku dan Adelio. Sementara Mama Cahaya menangis, aku merasa geli seolah ditinggal selamanya saja. Tapi aku tahan karena menyadari, jika aku tidak menghargai kesedihan Mamaku. "Ihh, kenapa Mama nangis?" Aku memeluk Mama Cahaya, dan mengelus punggungnya. Setelah memeluk Bunda Delyna, aku beralih ke Mama Cahaya yang kini menangkup pipiku. "Jangan band
Waktu cepat berlalu, di mana aku sudah melewati ulangan ganjil. Kali ini aku berada di depan kantor untuk pengumuman raport. Banyak guru maupun orang tua berkumpul, ini saat menegangkan. Sampai pengumuman siapa yang juara di kelasku. "Seperti biasa, juara 1 didapatkan oleh Ranesya Adipurna," ucap wali kelasku. Urutan tiga maupun dua, sudah disebutkan. Aku tersenyum lebar karena mengetahui pasti aku mendapatkan peringkat pertama. "Lo pasti bisa!" kataku tanpa suara ke arah Adelio, memperhatikanku terlihat bangga. Arghh, aku sangat senang sekali. Setiap kelas memang disebut sampailah di kelas Adelio. "Untuk Bapak Ibu-ibu, ini murid yang bandel astaghfirullah. Dia juga sering banget bolos, hanya semester ini lumayan memberikan hasil memuaskan karena jarang bolos!" jelas wali kelas dengan senyum mengembang. "Semoga kalian nggak kaget, juara ke 3 diberikan kepada Adelio Andres," kata wali kelas bertepuk tangan. Adelio menganga lebar, namun didorong teman sekelasnya.
"Nanti lo nangis darah, kalo gue bisa dapatin Ranesya," ledek Rayyen terkekeh kecil. Sebelah alisku terangkat, percaya diri sekali dirinya. Apa orang gila ini, terlalu pede bisa mendapatkan sesuatu yang dia mau?"Maaf Rayyen, gue tetap sayang Adelio," sahutku membuat keduanya menoleh. "Lo hanya orang baru dalam hidup gue, sementara Adelio udah gue kenal sejak kecil cuma waktu itu berpisah aja," jelasku membuat Adelio tersenyum puas. Sebaliknya, Rayyen begitu muram karena mengetahui pernyataan yang aku berikan. Siapa yang senang, penolakan begitu jelas. Bahkan, ini di depan banyak orang. "Gue nggak akan biarin itu terjadi, selama gue masih hidup lo harus jadi milik gue Ranesya!" kata Rayyen berdiri menatapku begitu lekat. Tidak merespon, aku hanya diam karena malas untuk menyahuti perkataan Rayyen itu. "Dan gue yang akan buat lo kehilangan segalanya," timpal Adelio ikut berdiri. Tanpa segan menarik kerah Rayyen, mereka saling bertatapan begitu tajam. "Silakan! Gue akan ambil R
Aku menatap kaget mendengar lontaran Adelio itu, aku menunduk karena kelopak mataku terasa mengeluarkan buliran bening yang jatuh. Tiba-tiba saja seseorang memeluk, aku mendongak menatap tidak percaya. "Bercanda sayang, aku percaya sama kamu," kata Adelio dengan kekehan kecilnya. Aku mengusap hidung yang basah, aku mendorong dada Adelio. "Nggak usah ngeselin deh! Gue nangis ini," omelku dengan tangisan makin keras. Adelio yang ketar-ketir mendekat, mengusap pipiku yang basah. Apa dia merasa bersalah? Sehingga mendekatiku, dih ngeselin banget sumpah. "Eh, jangan nangis dong. Aku cuma bercanda doang," kata Adelio menarikku dalam pelukannya. "Tapi bercanda lo, nggak lucu tau!" kesalku memukul dada Adelio. Lebih mengesalkan di mana Adelio terkekeh pelan, apa lucunya sih? Aku di sini dituduh loh, malah dia ikut-ikutan buat aku nangis begini. "Ngapain juga lo ketawa?" tanyaku melepaskan diri dari pelukannya. "Lo aja kalo nangis makin menggemaskan," balas Adelio mencubit pipiku. A
Saat pertanyaan Vivian terlontar, aku meneguk ludah. Untungnya aku bisa menjawab semua dengan enteng. Setelah menghadapi masalah besar, mereka berdua akhirnya pulang di jam 7 malam."Gue nggak sanggup asli," keluhku ke Adelio yang duduk di ruang santai. Adelio terkekeh mengelus puncak kepalaku. "Lo pasti ketar-ketir ye kan.""Pake nanya lagi, gue beneran takut tadi," kesalku menabok lengan Adelio. Bayangkan pertanyaan Vivian itu sangat mematikan belum lagi waktu di kamar, ada satu foto ketinggalan di meja belajar. Untungnya aku bisa menyembunyikan tepat waktu, aduh ini Tuhan lagi baik sama aku sih. "Asal mereka nggak taukan? Kita bisa berhasil," seru Adelio tersenyum manis. Alah, itu juga karena aku banyak alasan. Coba Adelio ikut kasih alasan? Mungkin sudah ketauan karena jawaban kami pasti berbeda. "Iya serah lo aja deh," balasku malas. "Ehem, lagi ngapain nih peluk-peluk," sindir seseorang dengan suara nge-bas. Aku yang menyadari orang tersebut cepat bertegak, menoleh kebe
Aku tertawa mengingat kejadian pulang sekolah, sekarang aku berada di rumah memainkan ponsel. Cuma sedikit kaget di mana dalam grup, jika Gita dan Vivian ingin berkunjung ke rumah. Asli ya, aku langsung deg-degan karena mereka sudah berada di rumah orang tuaku. "Adelio, cepetan!" teriakku menggedor pintu kamar. Pintu tersebut buka, terlihat Adelio mengusap mata sepertinya baru bangun tidur. Aku tanpa berkata, menarik tangannya. Adelio terkaget-kaget dari rautnya, ingin tertawa tapi situasi sekarang lagi tidak bagus. "Kenapa lo?" tanya Adelio menarik tanganku sesaat. "Jangan banyak tanya deh, gue gini juga mau cepat ke rumah orang tua gue. Ada Gita sama Vivian di sana," ungkapku membuat Adelio sebaliknya menarikku. Eh, kok malah aku yang ditarik-tarik. Sepertinya Adelio menyadari ketar-ketir diriku. "Ayok, cuss kita harus cepat ke rumah Papa Mama," seru Adelio mendorongku ke dalam mobil. Kasar banget sih, dasar emang ya. Apa karena ingin cepat sehingga begini jadinya. Adelio
"Maksudnya apa Om?" tanya Adelio menarikku kebelakang. Senyum miring tertampil di bibirnya. "Kamukan sudah melukai Zara? Sekarang dia berada di rumah sakit," tuduh Om tua sambil mengepalkan tangan. Eh, sejak kapan please. Aku saja selalu bersama Adelio, kapan melukai Zara murahan itu? Sampai orang tua ini menuduh Adelio. "Astaga Om, aku mana pernah melukai dia. Nggak pengen soalnya, kan aku udah ada ini," kata Adelio menoleh ke arahku sebentar. Aku tersenyum kecil, saat Adelio memberitahu kalo aku adalah pacarnya. "Alasan aja kamu! Apa saya laporkan aja kamu ke kepala sekolah," kata Om tua mendekat menarik kerah Adelio. Hal gilanya, Om tua itu mengangkat dengan mudah tubuh Adelio. Aku menganga tidak percaya, setua ini tenaganya masih oke. "Jangan sembarangan ya, aku juga nggak akan ngelakuin itu karena Zara bukan siapa-siapa," papar Adelio masih berusaha sabar. Aku menggeleng, ya untuk apa bertengkar dengan orang tua? Dia tidak akan mendengarkan. Daripada mak