Suara ketukan, membangunkan ku dari mimpi indah. Aku membuka pintu terlihat Adelio tersenyum kepadaku. Dia kenapa? Aku masih belum sepenuhnya sadar, sampai Adelio menyentil jidatku. "Mandi sana," perintah Adelio, mendorongku ke kamar mandi. Aku menyelesaikan ritual sekitar 25 menit, plus memakai baju sekolah. Tidak menyangka, jika Adelio masih menungguku. Dia menatapku penuh arti, dia berubah dari yang menyebalkan. Menjadi seseorang penuh senyum, aku memalingkan wajah untuk tidak terpukau. "Yuk!" tarik Adelio, aku sudah bersiap. Tinggal pergi ke sekolah. Aku mendapati sebuah dua kotak bekal, aku melirik Adelio mengangguk. Aku tidak tau apa isinya."Makan yang banyak," pinta Adelio, aku duduk dengan tenang. Adelio menyambut baik diriku. Sungguh, apa yang aku rasakan sekarang. Ini bukan, Adelio aku kenal saat pertama kali. Adelio memberikan susu cokelat hangat, sembari mengelus bibirku dengan tisu. "Berhenti Adelio!" pintaku, mendorong tangannya pelan. "Lo kenapa sih?""Gue ke
"Duh, kepala gue pening banget," kataku meringis, membuka mata. Lah? Kok aku di rumah, aku melihat sekeliling tidak ada siapapun, sampai pintu kamar terbuka. Aku melihat Adelio menghampiriku, memegang dahiku yang masih panas. "Agak mendingan, nggak kayak tadi," ucap Adelio, duduk di pinggiran kasur. Diam, aku jadi bingung mau berbicara apa. Adelio memeras kembali kain, ditaruh ke dahiku. "Kata Dokter, lo kecapean. Apa karena terlalu bersemangat belajar, ya?" tutur Adelio, aku menatap polos, mengidipkan mata beberapa kali, Adelio terkekeh, mengetahui. Jika aku, belum mau berbicara apa-apa. "Bentar, tunggu sini. Gue ambilin bubur sama obat," pamit Adelio, aku melihat dia pergi. Tak lama, dia membawanya dengan air putih di nampan. Aku duduk tanpa disuruh, aku tidak mau dia menolongku sekian kali. "Buka mulut lo," perintah Adelio, aku menggeleng ingin merebut sendok. Tapi Adelio menjauhkan dariku. "Biar gue aja," tolak Adelio, akupun hanya pasrah. "Lo boleh belajar, tapi ingat
"Kita sebenarnya ada hubungan—" kata Adelio, terpotong olehku. "Persahabatan!" sahutku, mereka terkejut karena aku tiba-tiba memekik. Aku cengengesan mengusap hidung. Adelio melirikku, maupun kedua sahabatku. "Kok kalian di sekolah berantem terus?" tanya Vivian, menyimak penjelasanku. "Karena, gue sama dia emang lagi ada masalah aja!" ungkapku, menyenggol lengan Adelio. Adelio mengangguk. "Bener banget! Kita udah sahabatan dari kecil," kilah Adelio, aku tertawa dalam hati karena ekspresi mereka berdua. "Ohh, wajar aja kalian berantem terus. Tapi, keknya bukan deh. Kalian pacaran kan?" tuduh Gita, aku mendengar itu menganga lebar. "Enak aja! Nggaklah," pekikku tidak terima. "Pasti kalian pacaran!" timpal Vivian, apalagi aku selalu terlihat bersama Adelio. Mungkin keduanya berpikiran, jika aku dan Adelio ada hubungan spesial. "Kalo pacaran emang kenapa?" tanya Adelio, membuatku melotot tidak percaya. Apa-apaan dia, berkata seperti itu? Jadi, dia sengaja mengakui bahwa kita se
Sebulan kemudian, besok adalah hari di mana. Aku akan lomba olimpiade sains. Selama ini, Adelio selalu menemaniku. Tidak tau, setan apa yang dirasuki Adelio. Dia benar-benar mengakui, jika dirinya mulai menerimaku. Aku jadi bimbang, akan tetap seperti ini, atau menerima pernikahanku dengan Adelio. "Geser dikit Adelio," kataku, mendorong Adelio duduk di sebelahku. Kami berada di kantin bersama kedua sahabatku. Tiba-tiba saja Adelio datang, langsung menyempil di sebelahku. Tidak ada yang lebih menyebalkan dari ini. Sekarangpun, jika ada cowok mendekat. Adelio akan, paling pertama mengusir mereka. "Besok lo lomba ya kan," ucap Gita, menyeruput es alpukatnya. Vivian mengangguk membenarkan. Aku menoleh ke mereka berdua. "Iya, doain ya! Gue udah belajar terus tau, semoga hasilnya memuaskan," sahutku, ingin menyuapkan nasgor ke mulutku. Tapi Adelio merebutnya, aku mendorong kepala Adelio. "Jangan ganggu gue, lo bisa pesan sendiri Adelio," sesalku, Adelio tidak peduli, menarik pirin
"Ihh, jangan ganggu gue!" teriakku, menabok Adelio. Aku sedang memasak untuk makan siang. Aku kesal, dia menganggu bukan menolong. Adelio mengotori dapur, belum lagi dia bernyanyi-nyanyi. Telingaku, sakit mendengarnya. Aku orangnya cepat risih, apalagi diganggu tanpa henti. "Berhenti nggak lo?! Sebelum sendok itu terbang ke kepala lo!" ancamku, bukan mendengar. Adelio makin menggila, aku memijit kepalaku mulai menyut. Untungnya, masakan yang aku buat hampir selesai. "Wihh, enak tuh!" Adelio merebut sendok, dan mencicipi masakanku. Tempe sambel dan sayur tumis kangkung, dia mencicipi dengan bahagia. "Berhenti! Itu untuk di makan, lo malah ngabisin!" sesalku, menaboknya dengan ganggang sapu. Kali ini aku mengejarnya, Adelio tertawa karena aku terjatuh. Terpleset, bukannya menolong dia mengejekku. "Makanya, kaki tuh panjangin lagi. Pendek sih!" ledek Adelio, aku menatap tajam dirinya. Seketika, air mataku jatuh. Mengalihkan pandang, aku kesal dan kembali duduk. Merajuk membela
Aku kali ini, pergi bersama Ibu Aini. Perlombaan olimpiade sains. Awalnya memang berdua. Namun, Adelio memaksa untuk ikut. Jadilah kami bertiga, di sana sangat ramai. Aku gugup, apakah aku bisa mendapatkan juara pertama?Adelio memegang bahuku, kami saling bertatapan di depan Ibu Aini. "Percayalah, lo pasti bisa! Semuanya ada di tangan lo. Perjuangan kali ini pasti berhasil," tutur Adelio, aku menatap haru kata-kata dia lontarkan. Ibu Aini mengelus pundakku. "Semua ada di tanganmu Ranesya, kamu bisa mendapatkan juara pertama," harap Ibu Aini. Aku mengangguk semangat. Semua peserta masuk keruangan, termasuk aku. Jujur, sebenarnya aku deg-degan. Apalagi banyak siswa-siswi dari berbagai sekolah. "Semoga aku bisa!" Aku menyemangati diri sendiri, aku duduk paling depan. Sesuai urutan. Saat sudah dikasih lembaran soal, aku mengerjakannya dengan teliti. "Banyak juga, gue yakin bisa," gumamku kembali fokus, aku yakin semua jawaban itu benar. Iyalah, aku belajar terus setiap harinya.
"Hoam, udah jam berapa ya?" Aku mengusap mataku, mengambil jam di nakas. Saat aku liat, jam setengah 8. Aduh aku telat! Aku cepat-cepat, memakai baju sekolah tanpa mandi. Bodo amat! Sekolah itu penting, saat aku keluar bertemu Adelio duduk di ruang santai. Terlihat tidak panik, bahkan aku menatapnya heran. Kenapa dia di sini? Bukannya, sekolah dia bersantai ria. "Nggak usah sekolah, udah telat juga," ucap Adelio, berdiri menghampiriku. Aku berkedip beberapa kali, dia terkekeh mengusap kepalaku. "Kita pergi aja mau?" ajak Adelio, aku menggeleng. Tapi dengan ancaman membuatku menurut. "Pergi atau gue aduin ke Bunda? Lo bandel," ancam Adelio, aku menghela napas mengangguk. Astaga, kenapa dia ini! Suka sekali mengadu, aku sering kesal dengannya. Walaupun masih memakai baju sekolah, kami tetap pergi! Aku memberi kabar kepada kedua sahabatku, jika hari ini aku ada urusan keluarga. Aku menaiki mobil, kami meluncur entah kemana. Aku melirik Adelio, sangat serius. Sampai di tempat s
"Astaga, kenapa dia di sini sih?" gerutuku, aku masih terdiam di dalam mobil. Melihat keadaan jika ada Ghifari menungguku, bagaimana ini? Setahuku, pengumuman pemenang Olimpiade Sains diumumkan besok. Aku menutup mata sekejap, menghirup udara banyak-banyak. Aku membuka pintu, Ghifari langsung menghampiriku. "Gimana lomba lo?" tanya Ghifari tersenyum, aku menutup pintu mobil. Membenarkan rambutku yang sedikit kurang rapi, menatapnya sebentar. "Mudah, gue bisa menjawab semuanya," balasku, kami berjalan beriringan. Mataku, tidak sengaja melihat Adelio menatap sinis ke arahku. Aduh, mana aku ingat perkataannya. Jika ada cowok mendekatiku, pasti dia akan memukulnya. Aku mendorong Ghifari menjauh, sembari aku berlari. Menghiraukan, kebingungan Ghifari kepadaku. Bagaimana ya? Aku hanya menolongnya dari maut, aku sampai di kelas dengan napas tidak beraturan. Jam pertama, olahraga. Aku tidak terlalu semangat, apalagi lari. Astaga! Aku menatap jam bentar lagi masuk, bunyi bel terdenga
Aku sempat ditawarkan kembali osis, aku menolak. Karena sudah mulai muak dengan keadaan. Harus jadi contoh yang baik. Namun, saat aku kena masalah, malah dihujat habis-habisan. Huh! Aku tidak mau!"Nggak mau lagi gue," gerutuku, berjalan ke arah keluar. Menunggu Adelio di pagar, aku berharap Adelio cepat ke sini. Aku memijat kening yang pening. "Mau muntah gue, nggak mungkinkan hamil?" parnoku sembarangan, apa-apain aja nggak pernah. Hanya aku berpikir negatif saja, sampai aku tersadar ada yang menepuk bahuku. "Adelio?" panggilku kaget, aku cengengesan. "Lo mikirin apa? Sampe ngelamun di sini," tanya Adelio bingung. Kini Adelio menyentil jidatku. Dih, kok malah nyebelin sih?! Aku mendengus kesal dengan melipatkan tangan di dada. Aku membenarkan poni yang berantakan, aku berjalan lebih dulu mengabaikan Adelio. "Eh, tungguin. Ngambek ya?" tanya Adelio, mengejarku. Aku menghentakkan kaki, benar sangat tidak estetik. Aku kan tidak mau di sentil dulu, seharusnya puk puk gitu loh.
Sekarang aku dan Adelio saling bertatapan, memegang tangan ingin pergi bersama. Bedanya, kali ini pergi berangkat dengan bus. Sebenernya aku hanya pengen, sempat melihat anak sekolah naik bareng sama temannya. "Ayo berangkat," ajak Adelio menarikku, menuju halte tidak jauh dari rumah. Aku mengangguk, tersenyum lebar. Padahal jelas-jelas, rumah kami dekat dengan sekolah. Liatlah, kurang kerjaan memilih naik bus. Aku terkekeh membayangkan berapa seru di sana. "Tuh liat busnya," kata Adelio, menarikku duduk di pertengahan. Aku duduk dekat kaca, memperhatikan banyak melintas, ternyata seru juga. Sampai aku menghembuskan udara dari mulut ke kaca, aku dengan jahil menuliskan namaku love Adelio. "Ucul banget," kataku terkekeh, aku mengeluarkan hp memotretnya. Adelio sadar menoleh ke arahku, begitu kaget dengan tingkah bocilku ini. "Lucunya, keliatan anak SD kita," celetuk Adelio, membuatku terkejut. Aku menghalanginya dengan tangan karena malu, Adelio meminggirkan pelan. Jujur, s
Malam ini, aku berniat pergi ke rumah keluargaku, karena ingin meminta saran atas perubahan Zara. Aku tidak pernah menceritakan ini, hanya aku ingin mempertimbangkan saja. "Adelio, lo mau naik motor atau mobil?" tanyaku, melirik Adelio merangkul diriku. Adelio menoleh kesamping. "Mobil aja nggak sih?" "Oke, gue masih bingung soal itu," kataku, menghela napas berat. "Gapapa, nanti tanya sama Mama ya? Lo jangan bingung gini, pasti ada jalan keluarnya kok," papar Adelio, mempersilahkan aku masuk ke mobil. Adelio jalan memutar, masuk ke dalam mobil. Aku melirik, jika ada sesuatu dibelakang. "Adelio, lo beli apa?" tanyaku ke Adelio, sedang menyetir. "Catur, biar bisa main sama Papa," balas Adelio, tersenyum lebar. "Bisa-bisanya lo, pasti karena Papa pernah bilang ya," kataku, memperhatikan Adelio mengangguk. "Papa cerita kalo suka main catur, cuma Jean nggak mau. Jadi Papa, suka kesepian di rumah," jelas Adelio dengan nada sedih. Aku tersentuh olehnya. Aduh punya suami begini tu
Di kantin aku sendiri, karena enggan duduk bersama kedua sahabatku. Ada yang mengajak hanya aku malas. Ingin merasakan kesendirian, aku hanya ingin tenang sesaat. Sampai ada dua orang, sangat aku tidak suka duduk. "Keliatan nggak punya temen ya," ejek Tasya, diangguki Trisya. Aku diam saja, menyeruput es teh ku, dan bakso yang sedang aku makan. Abaikan saja orang gila ini. Anggap mereka tidak ada, aku sedang malas bertengkar dengan siapapun. "Biasa mah, dia kan emang mulai dijauhi terus ya? Karena pacaran sama Adelio," balas Trisya, tersenyum miring. Apalah mereka ini, aku merasa keduanya saling menyahut dengan kebencian. "Biasa itu mah, nggak cocok sama Adelio. Tapi dipaksakan bersama," timpal Tasya, terkekeh pelan. Aku berhenti memakan bakso, menatap tajam Tasya. Apa yang dia katakan barusan? Aku tidak cocok dengan Adelio?Nggak cocok dari mana? Aku cocok saja dengannya, bahkan kami saling melengkapi. "Terus cocok sama lo yang pemales? Jadi apa Adelio nanti," sahutku, terta
Aku terbangun di pagi hari, langsung ke dapur menguncir rambut asal. Aku akan memasak mie instan saja. Rasanya ingin memakan itu bersama Adelio, aku dengan lihai memasukkan semua ke dalam wajan. "Masak apa tuh," celetuk Adelio mendekat, mendusel leherku. Aku menoleh dengan kesal. "Nggak usah ngeselin deh, ini masih pagi Adelio.""Kenapa sih? Nggak boleh manja sama lo?" tanya Adelio cemberut, melepaskan pelukannya. Aku memutarkan tubu, menangkup pipi tirusnya, dan tersenyum manis. Mencubit pelan, sambil memainkannya. "Lo udah gede, mending lo mandi aja. Bentar lagi kita pergi sekolah," usirku secara halus. Adelio menggelengkan kepala, menolak mempersiapkan diri. Terus Adelio maunya apa?"Eh, bentar bau apa ini?" Mataku melotot, melihat masakanku yang gosong. Aku menatap tajam Adelio, sudah mengangguku masak mie. Padahal itu mie sisa 2 doang, dan liat sudah tidak bisa dimakan. "Kok gosong?" tanya Adelio sok polos. "Dahlah gue males," kesalku, sudah tidak mood lagi. Memilih unt
"Lo nggak bosen culik gue?" tanyaku ke Ghazi sedang merokok. Hari sudah malam, bisa aku liat karena berada di luar. Lebih tepatnya arena balap. Aku juga tidak tau, apa yang mau Ghazi lakukan. Sampai Ghazi keluarkan hp-nya. "Halo, sini lo selamatin pacar lo ini." Ghazi video call, terdapat Adelio yang kaget. "Woyy! Sialan, dasar pecundang mainnya culik terus," umpat Adelio melototi Ghazi. Ghazi mendekat, memegang daguku. Adelio menatapku lekat. "Cepat bilang sesuatu cantik," kata Ghazi menarik daguku, biar melihatnya. Aku meneguk ludah. "Tolongin gue Adelio," lirihku cemberut. Adelio mengepalkan tangan tidak terima, apalagi aku terlihat sedih begitu. "Gue laper, nggak dikasih makan dari siang. Cuma minum doang," aduku membuat Adelio makin marah. "Hahaha, datang ke sini ke arena balapan biasa lo tanding," ucap Ghazi tersenyum miring. "Woyy, lo culik jangan pacar gue— "Ghazi langsung mematikan video call, aku hanya menghela napas panjang, dipegang tanganku oleh kedua bawahan
Rambutku dijambak oleh Zara, sesuai prediksi. Seketika kelasku ramai, bahkan anak kelas lain ikut melihat kejadian ini. "Lo kurang kerjaan banget, teror gue?!" ketusku, menarik rambutnya juga. Zara menatap tajam ke arahku. "Gue benci sama lo, emang cocok diteror! Biar lo jauh-jauh dari Adelio!" "Gila lo, makanya kalo kurang belaian ke Om lo itu," sindirku, saling beradu kepala. Mana kepalaku sakit ditarik-tarik begini, apa tidak ada yang mau menolongku?Sampai suara teriakan sangat aku kenal mendekat, sepertinya ada yang mengadu jika aku bertengkar dengan Zara. "Berhenti Zara, lepasin sekarang Ranesya!" perintah Adelio, tidak di respon Zara. "Ingat, lo mau gue bongkar rahasia lo di sini, atau lepasin sekarang Ranesya?" ancam Adelio, ditengah-tengah kami berdua. Seketika Zara melepaskan tarikannya, dan dadanya naik turun. Melirik Adelio yang sedang membantuku. "Lo gapapa? Ada yang sakit?" panik Adelio, memeriksa keadaanku. "Gue gapapa kok," balasku tersenyum kecil. Aku meliha
Pagi ini aku diam-diam mengintip dari pintu kamar, berharap tidak ada Adelio. Aku mengelus dada merasa lega, kali ini aku akan pergi sendiri ke sekolah. "Kerjain Zara ahh, bakal aku kasih tau siapa neror dirinya. Jika itu aku haha," kataku tertawa jahat. Sebelum Adelio bangun, aku mau pergi ke sekolah. Takutnya, Adelio akan tau rencana yang aku lakukan. Karena aku sempat di teror bukan? Setelah, kejadian perselingkuhan itu. Zara tidak melakukan lagi. "Takut kali," cibirku, meluncur menuju sekolah menggunakan mobil. Perjalanan pagi hari ini tidak macet, aku langsung turun saat sudah sampai. Terdapat Elgar tersenyum manis kepadaku. Ini Elgar nggak ada kapoknya ya?!"Halo Kakak cantik," sapa Elgar melambaikan tangan mendekat. "Bareng gue yuk."Aku berdecak, menghela napas berat. Elgar ini, suka sekali nyari masalah. Aku saja sudah muak dengannya. Apa Elgar tidak mendengar apa yang Adelio katakan? "Nggak dulu, Adelio lebih menggoda," ucapku, menatapnya tersenyum miring. Setelah
"Bunda, ini taruh di mana bolunya?" Aku memegang bolu yang kami buat, ternyata Bunda Delyna. Ingin memintaku ke sini untuk menemaninya bikin bolu. "Biasa sayang," sahut Bunda Delyna tersenyum lembut. Aku menuju meja makan, di mana ada Adelio menopang dagunya. Ngapain Adelio di situ?"Kiw, cewek cantik," goda Adelio ke arahku. Sebenarnya, aku ingin ketawa. Kenapa Adelio melakukan itu. Biar apa coba? Adelio mendekat, mencium keningku dengan romantis. Ada apa dengannya? Tiba-tiba saja begini, aku merasa jika Adelio tidak mau melepaskan aku sedikitpun. "Lo kenapa sih," kataku mendorong pelan dengan siku. Adelio menggeleng. "Nggak boleh? Romantis sama Istri sendiri?""Bukan gitu, lo kayak lebih manja aja," sahutku pelan, takut kedengaran orang lain. "Lo kan Istri gue, wajar aja sih. Kecuali gue sama yang lain," ucap Adelio, membuatku melotot. "Dih, enak aja lo bilang gitu." Aku memutarkan tubuh, menatapnya dalam. Aku terdiam sesaat memikirkan apa Adelio maksud, jadi kalo semisal