Sebulan kemudian, besok adalah hari di mana. Aku akan lomba olimpiade sains. Selama ini, Adelio selalu menemaniku. Tidak tau, setan apa yang dirasuki Adelio. Dia benar-benar mengakui, jika dirinya mulai menerimaku. Aku jadi bimbang, akan tetap seperti ini, atau menerima pernikahanku dengan Adelio. "Geser dikit Adelio," kataku, mendorong Adelio duduk di sebelahku. Kami berada di kantin bersama kedua sahabatku. Tiba-tiba saja Adelio datang, langsung menyempil di sebelahku. Tidak ada yang lebih menyebalkan dari ini. Sekarangpun, jika ada cowok mendekat. Adelio akan, paling pertama mengusir mereka. "Besok lo lomba ya kan," ucap Gita, menyeruput es alpukatnya. Vivian mengangguk membenarkan. Aku menoleh ke mereka berdua. "Iya, doain ya! Gue udah belajar terus tau, semoga hasilnya memuaskan," sahutku, ingin menyuapkan nasgor ke mulutku. Tapi Adelio merebutnya, aku mendorong kepala Adelio. "Jangan ganggu gue, lo bisa pesan sendiri Adelio," sesalku, Adelio tidak peduli, menarik pirin
"Ihh, jangan ganggu gue!" teriakku, menabok Adelio. Aku sedang memasak untuk makan siang. Aku kesal, dia menganggu bukan menolong. Adelio mengotori dapur, belum lagi dia bernyanyi-nyanyi. Telingaku, sakit mendengarnya. Aku orangnya cepat risih, apalagi diganggu tanpa henti. "Berhenti nggak lo?! Sebelum sendok itu terbang ke kepala lo!" ancamku, bukan mendengar. Adelio makin menggila, aku memijit kepalaku mulai menyut. Untungnya, masakan yang aku buat hampir selesai. "Wihh, enak tuh!" Adelio merebut sendok, dan mencicipi masakanku. Tempe sambel dan sayur tumis kangkung, dia mencicipi dengan bahagia. "Berhenti! Itu untuk di makan, lo malah ngabisin!" sesalku, menaboknya dengan ganggang sapu. Kali ini aku mengejarnya, Adelio tertawa karena aku terjatuh. Terpleset, bukannya menolong dia mengejekku. "Makanya, kaki tuh panjangin lagi. Pendek sih!" ledek Adelio, aku menatap tajam dirinya. Seketika, air mataku jatuh. Mengalihkan pandang, aku kesal dan kembali duduk. Merajuk membela
Aku kali ini, pergi bersama Ibu Aini. Perlombaan olimpiade sains. Awalnya memang berdua. Namun, Adelio memaksa untuk ikut. Jadilah kami bertiga, di sana sangat ramai. Aku gugup, apakah aku bisa mendapatkan juara pertama?Adelio memegang bahuku, kami saling bertatapan di depan Ibu Aini. "Percayalah, lo pasti bisa! Semuanya ada di tangan lo. Perjuangan kali ini pasti berhasil," tutur Adelio, aku menatap haru kata-kata dia lontarkan. Ibu Aini mengelus pundakku. "Semua ada di tanganmu Ranesya, kamu bisa mendapatkan juara pertama," harap Ibu Aini. Aku mengangguk semangat. Semua peserta masuk keruangan, termasuk aku. Jujur, sebenarnya aku deg-degan. Apalagi banyak siswa-siswi dari berbagai sekolah. "Semoga aku bisa!" Aku menyemangati diri sendiri, aku duduk paling depan. Sesuai urutan. Saat sudah dikasih lembaran soal, aku mengerjakannya dengan teliti. "Banyak juga, gue yakin bisa," gumamku kembali fokus, aku yakin semua jawaban itu benar. Iyalah, aku belajar terus setiap harinya.
"Hoam, udah jam berapa ya?" Aku mengusap mataku, mengambil jam di nakas. Saat aku liat, jam setengah 8. Aduh aku telat! Aku cepat-cepat, memakai baju sekolah tanpa mandi. Bodo amat! Sekolah itu penting, saat aku keluar bertemu Adelio duduk di ruang santai. Terlihat tidak panik, bahkan aku menatapnya heran. Kenapa dia di sini? Bukannya, sekolah dia bersantai ria. "Nggak usah sekolah, udah telat juga," ucap Adelio, berdiri menghampiriku. Aku berkedip beberapa kali, dia terkekeh mengusap kepalaku. "Kita pergi aja mau?" ajak Adelio, aku menggeleng. Tapi dengan ancaman membuatku menurut. "Pergi atau gue aduin ke Bunda? Lo bandel," ancam Adelio, aku menghela napas mengangguk. Astaga, kenapa dia ini! Suka sekali mengadu, aku sering kesal dengannya. Walaupun masih memakai baju sekolah, kami tetap pergi! Aku memberi kabar kepada kedua sahabatku, jika hari ini aku ada urusan keluarga. Aku menaiki mobil, kami meluncur entah kemana. Aku melirik Adelio, sangat serius. Sampai di tempat s
"Astaga, kenapa dia di sini sih?" gerutuku, aku masih terdiam di dalam mobil. Melihat keadaan jika ada Ghifari menungguku, bagaimana ini? Setahuku, pengumuman pemenang Olimpiade Sains diumumkan besok. Aku menutup mata sekejap, menghirup udara banyak-banyak. Aku membuka pintu, Ghifari langsung menghampiriku. "Gimana lomba lo?" tanya Ghifari tersenyum, aku menutup pintu mobil. Membenarkan rambutku yang sedikit kurang rapi, menatapnya sebentar. "Mudah, gue bisa menjawab semuanya," balasku, kami berjalan beriringan. Mataku, tidak sengaja melihat Adelio menatap sinis ke arahku. Aduh, mana aku ingat perkataannya. Jika ada cowok mendekatiku, pasti dia akan memukulnya. Aku mendorong Ghifari menjauh, sembari aku berlari. Menghiraukan, kebingungan Ghifari kepadaku. Bagaimana ya? Aku hanya menolongnya dari maut, aku sampai di kelas dengan napas tidak beraturan. Jam pertama, olahraga. Aku tidak terlalu semangat, apalagi lari. Astaga! Aku menatap jam bentar lagi masuk, bunyi bel terdenga
"Ini bagus keknya," ucapku memilih baju, untuk dipakai nanti malam, sore ini aku ingin bersantai dalam kamar. Tiba-tiba saja pintu terbuka. "Ranesya!" seru Adelio, aku terkejut meloncat. Aku menoleh kebelakang dengan tatapan tajam. "Apaan sih! Lo ganggu gue aja!" omelku, berkacak pinggang. Adelio masuk ke kamar, dia menarikku keluar. Cukup aneh, karena ada warna baju yang begitu indah. Dan aku merawang, couple? Aku melirik, Adelio tersenyum penuh arti. Dia kenapa? Kok keliatan alay, aku tidak berkata, cuma kepikiran memang sealay itu. "Liat ini, baguskan?" tunjuk Adelio, memutar baju yang dia beli. Ada hoodie, maupun baju kaos couple. Semua couple, aku sampe menganga dibuatnya. "Couple semua?" tanyaku memastikan, Adelio mengangguk cepat. Astaga! Dia ini, padahal aku malu melakukan hal aneh begini. Adelio sepertinya, ingin memulai segalanya dari awal. "Lucu tau! Kita nggak pernah ngelakuin seperti pasangan lain," heboh Adelio, mendekatkan baju itu. Belum lagi dia menyuruhku,
Mengingat kejadian semalam, aku tersenyum sendiri. Bagaimana ya, Ghifari seketika terdiam. Menyuruhku dan Adelio pulang saja, lucu sekali bukan? Aku sekarang duduk di perpustakaan sendiri. Aku mengajak kedua sahabatku itu tidak mau, mereka memilih mengibahi Kakak kelas. Karena bosan sendiri, aku mengirimkan pesan ke Adelio! Biar dia ke sini, pasti sukanya mengacau. "Sendiri keliatan nggak punya temen," gumamku, melirik sekeliling. Kebanyakan dari mereka, duduk berdua. Aku membaca kembali, suara berisik terdengar. Banyak dari mereka, sibuk ingin melihat. Aku yang penasaran, ikut mencari tau. Apa yang terjadi sebenarnya. Di depan pintu perpustakaan, terdapat Adelio ribut dengan Ibu Christy — penjaga perpustakaan. "Kamu ini! Ngapain juga ke sini! Nanti kamu mengacau," omel Ibu Christy, dia hanya mewaspadai Adelio. Siapa yang tidak kenal Adelio? Berandalan yang suka cari keributan, wajar saja jika Ibu Christy khawatir. Adelio memohon, menyatukan dua tangannya. "Ibu, aku nggak ba
Dari saat pulang, aku mengurungkan diri. Aku sangat sedih, hasil yang tidak memuaskan itu. Selain itu, banyak orang menghujatku lewat sosmed. Mereka semua mengataiku anak bodoh!Bagaimana besok aku sekolah? Apa aku akan mendapatkan cacian? Padahal juara 2 itu sudah keren, tapi menurutku itu lebih dari kata kurang. Adelio masuk, menatapku yang melamun. "Ranesya? Kenapa masih kepikiran?"Aku menoleh ke sumber suara, Adelio di sana menghampiriku. "Nggak usah dipikirin lagi, itu musibah aja. Lo pasti bisa dapatin lagi kok, lain waktu," kata Adelio, memberi semangat kepadaku. Tidak ada kata-kata aku keluarkan, aku masih dalam suasana hati hancur. Tidak mood melakukan apapun. "Keluar yuk, ada Bunda sama Ayah," ajak Adelio, aku langsung menatapnya. Aku tidak percaya, jika Adelio mengajak Bunda Delyna ke sini, apa dia tau. Kalo aku mengalami kegagalan?Karena tidak enak, aku keluar bertemu dengan mereka. Aku menyalami tangan keduanya. "Mata kamu merah, habis nangis sayang?" tanya Bunda
Aku melangkah di lorong sekolah, karena pagi sekali Adelio sudah rajin membangunkan aku. Hanya tidak aku sangka, terdapat ketiga cabe-cabean di depanku. Tidak lain Tasya, Trisya dan Zara. "Minggir bisa nggak?" hardikku menatap ketiganya malas. Bukannya mikir, tidak ada akalnya mereka menghadang diriku. Lebih gilanya Zara masih sanggup berjalan?Sudah tidak waras Zara itu, aku berdecak mendorong Trisya. Apa mereka tidak mengerti aku sedang malas bertengkar. "Berani banget lo!" kesal Tasya menarik tanganku. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana, aku menoleh kebelakang. Bahkan Zara masih bisa tersenyum, apa dia tidak merasa bersalah?"Iyalah, lo juga bukan siapa-siapa di sini jangan ngatur gue," kataku menarik paksa tanganku dari cengkalnya. "Takut ya lo sama kita?" kata Trisya tiba-tiba tersenyum miring. Aku melihat senyum itu, ingin ngamuk rasanya. Siapa yang takut dengannya? Aku bisa lawan mereka sekaligus. "Kenapa mata lo, mau keluar ya?" ejek Zara tertawa kecil. Trisya maupun
"Haha, nggak bakal ada Adelio," kata Ghifari mengejekku. Tatapannya sangat mengerikan, tubuhku menegang dengan hawa panas dingin. Padahal ruangan begitu dingin, hanya aku merasakan hal berbeda. Apalagi Ghifari makin mendekat. "Gue udah lama ingin dapatin lo." Ghifari berkata sambil menarik tanganku. Gilanya, dia menarik hanya untuk memelukku. Jujur, ini hal menyiksa bagiku. Rasa takut mendalam di mana Ghifari mengelus helai rambutku secara perlahan. "Apa gue harus lakuin sesuatu, biar lo jadi sepenuh milik gue, Ranesya?" Ghifari mengecup puncak kepalaku. Tidak menjawab, aku mendorong dadanya untuk menjauh tapi ditahan oleh Ghifari. "Lo mau kemana, lo nggak ada niatan sama gue aja?" tanya Ghifari memelas. Aku melonggarkan pelukan, mendongak menatapnya intens. "Nggak, soalnya Adelio itu cowok gue dan orang spesial gue punya," jawabku begitu menusuk. Tiba-tiba saja pipiku di tekan hingga seperti ikan buntal, Ghifari seolah tidak terima apa yang aku katakan. "Spesial kata lo,
Kami berada di rumah setelah beberapa jam di RS, mengingat perkataan Bunda Delyna aku sedikit terkejut. Orang sekalem Bunda Delyna berkata seperti itu? Siapa tidak terkejut coba, aku saja di sana langsung menganga dengan mata melotot. "Lo kenapa?" tanya Adelio menepuk bahuku. Sekarang kami berada di ruang makan, tidak sempat memasak jadi sebelum pulang kami mampir membeli pizza. Aku tersenyum kecil. "Cuma keinget Bunda aja sih, gue kaget loh pas Bunda bilang gitu.""Bilang apa emangnya?" tanya Adelio mendongak ke arahku. "Masukin orang ke penjara terlihat sadis tau, kan Bunda lo kalem tuh," balasku menyuapi Adelio. Adelio dengan senang hati menerima sodoran pizza dariku, dan hanya terkekeh. "Namanya juga orang tersayang, semisal gue digituin kayak Ayah. Apa lo lakuin diem aja atau cari tau sebenernya?" papar Adelio menatapku begitu lekat. Tatapan kami bertemu, dih mana ada aku biarkan. Jika Adelio terjadi sesuatu, kan dia suamiku. "Cari tau sebenernya, dan gue masukin ke penj
Mataku melototi mendengar suara tersebut, kami berdua menoleh secara bersamaan. Di mana Ibu Aini sudah berkacak pinggang. "Gimana rasanya?" tanya Ibu Aini tersenyum kecil. "Ibu mau?" tawar Adelio menyodorkan susu kotak. Aku meneguk ludah, memilih memakan kembali bakso tersebut. Dan pura-pura tidak terjadi sesuatu. "Nggak!" sentak Ibu Aini kepada Adelio. Dengan mengelus dada, aku kembali menoleh dan mengedipkan mata beberapa kali. "Kenapa kalian berdua ke kantin di jam segini?!" Bingung ingin menjawab apa, aku melirik Adelio tersenyum tidak merasa bersalah. "Jam berapa ya?" tanya Adelio kepadaku. "Nggak tau," jawabku menggigit bibir bawah. Ibu Aini seketika emosi dengan jawaban kami berdua, aku bisa merasakan aura gelap yang keluar dari tubuhnya. "Jam aja nggak tau! Ini jam pelajaran, seharusnya kalian berdua di dalam kelas," jelas Ibu Aini menghela napas berat. Kami berdua saling menoleh, aku sedikit khawatir akan dihukum kembali. Sehingga aku berbisik ke telinga Adelio b
Di hari yang cerah, aku memilih pergi sekolah sendiri padahal Adelio memaksa meminta pergi bersama. Aku enggan karena ingin sendiri dulu, mengingat kejadian kemarin huh! Hal tidak terduga, saat aku masih dalam mobil melihat Zara turun dari mobil seseorang. "Ngapain dia?" kataku menyipitkan mata memperhatikan gerak-geriknya.Cara jalannya sangat berbeda, sedikit mengangkang. Aku menganga tidak percaya, jadi itu seriusan di aborsi?Astaga, Zara tidak punya hati please! Tapi dari wajahnya juga sangat pucat. "Dih, manusia paling jahat sih," ucapku merinding dengan tingkah Zara. Aku turun dari mobil berjalan dibelakang Zara, tidak ada yang mengibah dirinya. Padahal masalah Zara sangat besar, apa ada sesuatu membungkam mereka semua?"Kalo gue aja, di gosipin sampe seminggu lebih dih," gumamku kesal. Karena tidak ingin Zara terlihat tenang, akupun berjalan cepat dan menyenggol bahunya. "Aduh, sakit banget," keluh Zara meringis kecil melirikku tajam. Zara bergeser beberapa langkah, ak
Aku menoleh kebelakang terdapat Ibu sosialita, bahkan emasnya bertumpuk banyak di pergelangan tangan. "Nggak Bu, aku hanya bawa dia jalan-jalan aja. Soalnya anak Ibu tadi jalan sendiri samperin aku," paparku terlihat Ibu itu tidak percaya. "Bohong kamu," ucap Ibu tersebut melirik sekeliling. "Tolong ada yang mau culik anak saya."Aku menggeleng, apa banget sih. Mana mungkin aku menculik anak kecil ini, aduh gimana kalo aku ditangkap?Mana Adelio ya, aku menurunkan anak kecil itu lalu membekap mulut Ibu tersebut. "Bu, aku nggak culik anak Ibu. Kenapa sih nuduh terus?" kesalku menekan bekapan itu. Ibu itu meronta, melepaskan tanganku dari mulutnya. Ada beberapa orang mendekat memperhatikan kami. "Ini Pak, dia tadi culik anak saya," tuduh Ibu itu menunjuk ke arahku. Aku menggeleng cepat. "Kenapa Ibu nuduh aku? Coba tanya anaknya, ini tuh hanya salah paham," kataku begitu emosi. Jujur ini hal merugikan untukku, mana dituduh segala. Apa pikirannya tidak ada?"Bohong kamu, mana ada s
Malam harinya, Adelio mengajakku suatu tempat entah di mana. Yasudahlah, aku hanya mengikuti apa yang Adelio mau. Dengan jaket couple, bahkan kacamata ikut serta dari bagian kami pakai. Terlihat alay, hanya aku mengingat jika Adelio berbeda dari cowok yang lain. "Kek alay ya," celetukku di mana Adelio berpose sok keren. Adelio hanya terkekeh merangkul diriku. "Mana ada alay, lo liat nih keren banget kita," kata Adelio memutarkan diriku yang berdecak kesal. Kali ini Adelio memotret diriku yang tidak memiliki ekspresi, sampai Adelio menarik kedua sudut bibirku biar terlihat tersenyum. "Nah, ginikan cantik," lanjut Adelio kesana-kemari hanya memfotoiku saja. Sangat tidak bisa diam ya ini anak? Sifatnya sudah keluar jametnya, aku sampai tidak habis pikir bisa menikah dengan Adelio. "Bacot lo, yaudah ayo," ajakku menarik pergelangan tangannya. Adelio tidak menjawab hanya terkekeh kecil mengikutiku dari belakang. "Lo pendek ya," ledek Adelio. Aku berhenti tiba-tiba, terjadilah Ad
Pulang sekolah, bukannya balik ke rumah kami. Adelio mengajakku ke rumah keluarganya. Ternyata di sana sudah ada keluargaku juga, dan tidak aku ketahui. Sore ini akan piknik ke taman. "Lo masih pakai baju sekolah?" tanya Jean melirikku dari bawah ke atas. Di ruang tamu hanya kami berdua, karena yang lain asik mempersiapkan apa yang akan dibawa.Adelio juga katanya ingin memilihkan baju yang bagus untukku, jadi aku mengangguk saja. "Kenapa emangnya, nggak suka?" balasku memajukan diri sok songong. "Dih, gue nanya doang," sahut Jean mendorong kepalaku. Tidak sadar, jika Adelio datang menenteng baju untukku. Mana bajunya sengaja banget dilebarkan. "Adelio?! Bajunya kenapa kayak gitu?" pekikku mendekat menggulung biar Jean tidak melihatnya. Gila bajunya terlalu seksi. Mana mungkin aku memakainya untuk piknik, apa dia tidak berpikir dahulu?"Lah kenapa?" tanya Adelio bingung menatapku polos. Aku menabok tangannya, kali ini Adelio meringis sedikit menjauh. "Pake nanya lagi, ini tu
"Ghifari," gumamku menatap tidak percaya. Kali ini Ghifari dengan berani berlari kearahku, dia langsung diserang 3 orang sekaligus. Dan aku tidak bisa lepas karena ditahan, Ghazi dengan senyum miring mendekat memegang daguku. "Gue ngilang bukan berarti nggak akan ngelakuin sesuatu, lo tuh emang kelemahan Adelio," papar Ghazi tertawa mengejek. Tidak menjawab, aku hanya mendengus berfokus ke Ghifari sudah terduduk. Argh, dia pasti kalah kalo seperti ini. Aku mengingat jika Ghifari tidak bisa berkelahi, bagaimana Ghifari mau melawan kalo begitu yang ada dia bisa mati. "Haha, liat teman lo cemen banget." Ghazi mengarah daguku begitu kasar ke Ghifari sedang terluka. Bahkan, anak buah Ghazi masih saja menendang brutal Ghifari itu. "Lepasin Ghifari!" teriakku yang tidak begitu jelas. Ghazi langsung melepaskan tangannya dari daguku, tidak merasa bersalah. Ghazi ikut mendekati Ghifari. Gilanya, Ghazi melakukan tidak pernah aku bayangkan. Di mana Ghazi memukul Ghifari hingga pingsan.