Kepalaku sudah menyut. Namun, aku memilih osis untuk menghindari, Adelio yang terus mengikutiku. Aku sebenarnya, sudah kesal dengan tingkahnya. Apalagi sekarang, Adelio seakan ingin dekat denganku. Aku menelungkupkan kepala di ruang osis, acara rapat juga sudah selesai. Dan aku bertemu Frans yang babak belur. Aku merasakan sentuhan di rambutku. Aku mendongak, terkejut melihat siapa melakukannya. "Frans? Belum pulang?" Aku tersenyum, menopang daguku menahan sakit kepala. Frans menggeleng, duduk di sampingku. "Kalo lo? Kenapa nggak pulang sekarang?" tanya Frans, duduk berhadapan denganku. Jujur, aku merasakan. Jika Frans terang-terangan ingin memilikiku. Tapi aku bisa apa? Aku tidak punya perasaan untuknya. "Ohh, bentar lagi kok," jawabku cengengesan, mengusap kening berkeringat. "Soal kemarin, gue minta maaf belum bisa nerima. "Akhirnya aku mengungkapkan sebenarnya. Selama ini, aku juga hanya menganggap Frans adalah seorang teman. Frans mengangguk, aku memperhatikan wajah Fra
"Halo Vivian?" ucapku, menerima telepon dari sahabatku. "Gue tadi jemput lo di rumah, kok nggak ada kata Mama lo," kata Vivian bingung. Aku terkejut, hingga menganga lebar. "Ohh, gue udah pergi tau!" kekehku, mencari alasan bagus. Daripada ketauan, aku langsung bergegas untuk pergi sekolah. Saat ini juga! Aduh, padahal aku memilih ingin di rumah saja tadi. Tapi karena Vivian ke rumah keluargaku, nanti ketauan dong jika aku sebenarnya sudah menikah. "Tapi lo bilang tadi masih di rumah," sahut Vivian, bingung dengan apa yang terjadi. "Ya tadi kan. Sekarang gue, udah di sekolah!" kilahku, langsung mematikan telepon. Bergegas menekan pedal gas, meninggalkan Adelio. Masih tertidur nyenyak di kamar. Bodo amatlah! Semoga dia telat! Aku begini, karena suka kesal sendiri. Jika melihat wajahnya itu. Untung rumah tidak terlalu jauh dari sekolah, aku langsung menuju ke kelas. Aku menghirup banyak-banyak udara. Karena sudah capek berlari, secepat mungkin. "Vivian! Gue belum sembuh, mana
"Loh? Kok sepi sih, di mana Adelio?" Aku meneliti sekeliling rumah. Bahkan di garasi, motor Adelio pun tidak ada. Daripada aku memikirkan yang tidak penting, aku membersihkan diri, dan merebahkan tubuhku. Aku memainkan ponsel, terdapat pesan di WhatsApp. Nomor yang tidak di kenal. Aku membukanya, foto Adelio bermain futsal, dan sekaligus lokasi tertuju. Terus? Siapa sih yang ngirim! Apa peduliku, tapi aku melihatnya terlihat asik. Aku langsung bergerak cepat. "Fiks! Gue juga bosen di rumah," ucapku, memakai baju seadanya. Aku menuju garasi. Menaiki mobil, ke arah tempat tujuan. Sekitar 40 menit, perjalanannya cukup lama karena macet juga. Aku turun di parkiran, berjalan cepat ke tempat Adelio bermain. Setelah masuk, aku duduk paling belakang biar tidak ketauan Adelio. Nanti dia percaya diri lagi! Aku kan hanya bosan. "Banyak yang ganteng ya," gumamku, tersenyum mengembang. Tidak terasa, sebuah gol dimasukkan ke gawang. Siapa lagi kalo Adelio melakukannya, aku melirik sekitara
Aku merasakan kehangatan. Tidak seperti biasanya, aku membalas pelukan erat tubuh? Eh tubuh? Mataku langsung membelalak. Dalam keadaan intim, mengingat ketiduran saat menonton film horor. Aku menggigit bibir bawah, pelan-pelan melepaskan pelukan Adelio. Bukan terlepas, Adelio makin mengeratkan-nya. "Gimana ini?" gumamku, mulai ketar-ketir. Sekuat tenaga, aku menabok wajahnya. "Bangun nggak lo?!" Selain menabok, aku juga mendorong tubuh Adelio menjauh. Adelio terasa terganggu, membuka matanya perlahan. "Berisik lo! Tinggal tidur aja kok ribet," protes Adelio, kembali tidur. Aku melotot marah. "Lepasin gue!" pekikku, cemberut memukuli tangannya. Tidak lama kemudian, Adelio melepaskan pelukan. Aku langsung berdiri, berkacak pinggang. "Awas lo, ya! Najis banget tidur berdua sama lo," kataku pergi ke kamar. Mau siap-siap ke sekolah. Sekitar 35 menit, aku keluar dari kamar memakai baju sekolah. Jepitan rambut kupu-kupu di kepalaku menambah kecantikanku. Aku berj
"Mau bicarain apa di ruang osis?" Aku bertanya, ke Frans yang fokus ke jalan. Frans menoleh, dengan senyum mengembang. "Nanti lo juga bakal tau," jawab Frans, sedikit aneh. Biasanya Frans akan menjawab pertanyaanku, secara langsung. Sekarang, seperti ada disembunyikan?Mungkin, perasaanku aja. Di sana memang tempat anak osis berkumpul, ada ruangan khusus dibuat untuk kami. Aku masuk terlebih dahulu diikuti Frans. Namun, ruangan itu terlihat sepi. Tidak ada kehidupan, aku melirik Frans. "Lo, nggak bohongi gue kan?" Wajahku berubah merah, menatap lekat Frans. Bukan merasa bersalah, Frans tersenyum. "Kalo iya, kenapa? Lo serius nolak gue waktu itu?" ucap Frans, mempertanyakan keputusanku. "Seriuslah, nggak budekkan telinga lo?" Aku bertanya kembali kepadanya. Frans mencengkram tanganku, mendorong tubuhku ke dinding. "Berani-beraninya lo nolak gue," murka Frans, menampar wajahku. Sementara, aku merasa tidak percaya yang aku rasakan sekarang. Jantungku berdetak lebih cepat dari seb
Di dalam mobil aku masih terdiam, di mana Adelio menjadi supirnya. Motor yang di bawanya pagi tadi, ditinggalkannya begitu saja di sekolah. Kami sudah pulang sekolah beberapa menit lalu. Yang aku pikirkan sekarang, Adelio mau membawaku kemana? Sementara, jalan ke arah rumah bukan lewat sini. Cukup jauh sekitar 2 jam. Aku sampai bosan di dalam mobil. Aku melihat ke arah Adelio yang mengangguk. Sebuah taman yang sangat indah, aku turun dari mobil. "Bagus banget," pujiku, masih memakai baju sekolah. Adelio tersenyum samar dibelakang, aku berlari memasuki lebih dalam. Tidak terlalu ramai, menenangkan hatiku saat ini. "Liat deh, ada kolam ikan," seruku mendekat, memotretnya dengan heboh. Selain itu, aku juga duduk menatap langit cerah. Aku tidak sengaja memperhatikan Adelio. Karena kurang fokus, aku memotret Adelio. Gayanya lumayan oke, dan aku kaget. "Apaan sih, kenapa gue foto dia?" gumamku, ingin menghapus. Tapi, langsung ditarik oleh Adelio. Sejak kapan, dia ada di depanku? B
"Lo kenapa?" panik Adelio, menoleh ke belakang. Aku terbelalak karena diperhatikan. Intens oleh teman Adelio, aduh malunya aku. Kenapa mulut ini tidak bisa ngerem sih?"Nggak kok," balasku, menggeser posisi mendekati Adelio. Ada beberapa orang akan bermain, dua teman Adelio salah satunya. Aku melirik Adelio, terlihat fokus menyemangati mereka. "Lo pasti bisa bro!" seru Adelio, menepuk kedua teman yang tak lain Angga, dan Pasya. Aku sekarang di samping Adelio. Melirik temannya Pasya, sementara Angga sedang berbicara dengan Adelio. "Kakak Pasya semangat!" kataku, tersenyum amat manis. Pasya mendengar, dukunganku langsung tersenyum lebar. "Makasih banyak, doain gue menang ya!" "Pasti Kak!" tuturku, Pasya tiba-tiba saja mengelus kepalaku. Adelio melihat itu, menarik tangan Pasya. "Astaga, posesif sekali kawan," kekeh Pasya, menggoda Adelio. "Bacot, sono tanding jangan godain anak orang," usir Adelio, aku menggeleng saja dengan tingkah mereka. Adelio mendekatiku, aku dan Adelio
Matahari masuk dari sela-sela jendela, aku mengusap mataku. Aku melirik jam di nakas, oke otw sekolah!Aku melakukan aktivitas seperti biasa, sekarang turun untuk sarapan. Adeli, berada di sana terlebih dahulu, aku ikut duduk. Kami saling diam satu sama lain, Adelio melirikku. "Gimana keadaan lo?" tanya Adelio, memasukkan roti ke dalam mulutnya. Aku mendongak, mengoleskan selai ke roti. "Lumayan," jawabku, seadanya tidak ada obrolan lagi. Sementara, Adelio menuangkan susu diberikan kepadaku. Aku begitu kaget."Buat lo, gue lagi baik hati." Adelio tersenyum hangat. Please, aku sedang mimpi bukan? Dia tersenyum? Pasti Adelio ada maunya, seperti itu!"Makan yang banyak Ranesya. Soal tantangan itu, nggak usah aja ya?" ucap Adelio puppy eyes. Seketika aku menyadari, bahwa Adelio melakukan ini. Hanya ingin menghindari tantangan, aku hanya manggut-manggut. Kali ini aku tersenyum lebar. "Gimana ya?" kataku, menopang daguku Adelio sekarangpun, mengoleskan selai ke roti, dan diberika
Aku melangkah di lorong sekolah, karena pagi sekali Adelio sudah rajin membangunkan aku. Hanya tidak aku sangka, terdapat ketiga cabe-cabean di depanku. Tidak lain Tasya, Trisya dan Zara. "Minggir bisa nggak?" hardikku menatap ketiganya malas. Bukannya mikir, tidak ada akalnya mereka menghadang diriku. Lebih gilanya Zara masih sanggup berjalan?Sudah tidak waras Zara itu, aku berdecak mendorong Trisya. Apa mereka tidak mengerti aku sedang malas bertengkar. "Berani banget lo!" kesal Tasya menarik tanganku. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana, aku menoleh kebelakang. Bahkan Zara masih bisa tersenyum, apa dia tidak merasa bersalah?"Iyalah, lo juga bukan siapa-siapa di sini jangan ngatur gue," kataku menarik paksa tanganku dari cengkalnya. "Takut ya lo sama kita?" kata Trisya tiba-tiba tersenyum miring. Aku melihat senyum itu, ingin ngamuk rasanya. Siapa yang takut dengannya? Aku bisa lawan mereka sekaligus. "Kenapa mata lo, mau keluar ya?" ejek Zara tertawa kecil. Trisya maupun
"Haha, nggak bakal ada Adelio," kata Ghifari mengejekku. Tatapannya sangat mengerikan, tubuhku menegang dengan hawa panas dingin. Padahal ruangan begitu dingin, hanya aku merasakan hal berbeda. Apalagi Ghifari makin mendekat. "Gue udah lama ingin dapatin lo." Ghifari berkata sambil menarik tanganku. Gilanya, dia menarik hanya untuk memelukku. Jujur, ini hal menyiksa bagiku. Rasa takut mendalam di mana Ghifari mengelus helai rambutku secara perlahan. "Apa gue harus lakuin sesuatu, biar lo jadi sepenuh milik gue, Ranesya?" Ghifari mengecup puncak kepalaku. Tidak menjawab, aku mendorong dadanya untuk menjauh tapi ditahan oleh Ghifari. "Lo mau kemana, lo nggak ada niatan sama gue aja?" tanya Ghifari memelas. Aku melonggarkan pelukan, mendongak menatapnya intens. "Nggak, soalnya Adelio itu cowok gue dan orang spesial gue punya," jawabku begitu menusuk. Tiba-tiba saja pipiku di tekan hingga seperti ikan buntal, Ghifari seolah tidak terima apa yang aku katakan. "Spesial kata lo,
Kami berada di rumah setelah beberapa jam di RS, mengingat perkataan Bunda Delyna aku sedikit terkejut. Orang sekalem Bunda Delyna berkata seperti itu? Siapa tidak terkejut coba, aku saja di sana langsung menganga dengan mata melotot. "Lo kenapa?" tanya Adelio menepuk bahuku. Sekarang kami berada di ruang makan, tidak sempat memasak jadi sebelum pulang kami mampir membeli pizza. Aku tersenyum kecil. "Cuma keinget Bunda aja sih, gue kaget loh pas Bunda bilang gitu.""Bilang apa emangnya?" tanya Adelio mendongak ke arahku. "Masukin orang ke penjara terlihat sadis tau, kan Bunda lo kalem tuh," balasku menyuapi Adelio. Adelio dengan senang hati menerima sodoran pizza dariku, dan hanya terkekeh. "Namanya juga orang tersayang, semisal gue digituin kayak Ayah. Apa lo lakuin diem aja atau cari tau sebenernya?" papar Adelio menatapku begitu lekat. Tatapan kami bertemu, dih mana ada aku biarkan. Jika Adelio terjadi sesuatu, kan dia suamiku. "Cari tau sebenernya, dan gue masukin ke penj
Mataku melototi mendengar suara tersebut, kami berdua menoleh secara bersamaan. Di mana Ibu Aini sudah berkacak pinggang. "Gimana rasanya?" tanya Ibu Aini tersenyum kecil. "Ibu mau?" tawar Adelio menyodorkan susu kotak. Aku meneguk ludah, memilih memakan kembali bakso tersebut. Dan pura-pura tidak terjadi sesuatu. "Nggak!" sentak Ibu Aini kepada Adelio. Dengan mengelus dada, aku kembali menoleh dan mengedipkan mata beberapa kali. "Kenapa kalian berdua ke kantin di jam segini?!" Bingung ingin menjawab apa, aku melirik Adelio tersenyum tidak merasa bersalah. "Jam berapa ya?" tanya Adelio kepadaku. "Nggak tau," jawabku menggigit bibir bawah. Ibu Aini seketika emosi dengan jawaban kami berdua, aku bisa merasakan aura gelap yang keluar dari tubuhnya. "Jam aja nggak tau! Ini jam pelajaran, seharusnya kalian berdua di dalam kelas," jelas Ibu Aini menghela napas berat. Kami berdua saling menoleh, aku sedikit khawatir akan dihukum kembali. Sehingga aku berbisik ke telinga Adelio b
Di hari yang cerah, aku memilih pergi sekolah sendiri padahal Adelio memaksa meminta pergi bersama. Aku enggan karena ingin sendiri dulu, mengingat kejadian kemarin huh! Hal tidak terduga, saat aku masih dalam mobil melihat Zara turun dari mobil seseorang. "Ngapain dia?" kataku menyipitkan mata memperhatikan gerak-geriknya.Cara jalannya sangat berbeda, sedikit mengangkang. Aku menganga tidak percaya, jadi itu seriusan di aborsi?Astaga, Zara tidak punya hati please! Tapi dari wajahnya juga sangat pucat. "Dih, manusia paling jahat sih," ucapku merinding dengan tingkah Zara. Aku turun dari mobil berjalan dibelakang Zara, tidak ada yang mengibah dirinya. Padahal masalah Zara sangat besar, apa ada sesuatu membungkam mereka semua?"Kalo gue aja, di gosipin sampe seminggu lebih dih," gumamku kesal. Karena tidak ingin Zara terlihat tenang, akupun berjalan cepat dan menyenggol bahunya. "Aduh, sakit banget," keluh Zara meringis kecil melirikku tajam. Zara bergeser beberapa langkah, ak
Aku menoleh kebelakang terdapat Ibu sosialita, bahkan emasnya bertumpuk banyak di pergelangan tangan. "Nggak Bu, aku hanya bawa dia jalan-jalan aja. Soalnya anak Ibu tadi jalan sendiri samperin aku," paparku terlihat Ibu itu tidak percaya. "Bohong kamu," ucap Ibu tersebut melirik sekeliling. "Tolong ada yang mau culik anak saya."Aku menggeleng, apa banget sih. Mana mungkin aku menculik anak kecil ini, aduh gimana kalo aku ditangkap?Mana Adelio ya, aku menurunkan anak kecil itu lalu membekap mulut Ibu tersebut. "Bu, aku nggak culik anak Ibu. Kenapa sih nuduh terus?" kesalku menekan bekapan itu. Ibu itu meronta, melepaskan tanganku dari mulutnya. Ada beberapa orang mendekat memperhatikan kami. "Ini Pak, dia tadi culik anak saya," tuduh Ibu itu menunjuk ke arahku. Aku menggeleng cepat. "Kenapa Ibu nuduh aku? Coba tanya anaknya, ini tuh hanya salah paham," kataku begitu emosi. Jujur ini hal merugikan untukku, mana dituduh segala. Apa pikirannya tidak ada?"Bohong kamu, mana ada s
Malam harinya, Adelio mengajakku suatu tempat entah di mana. Yasudahlah, aku hanya mengikuti apa yang Adelio mau. Dengan jaket couple, bahkan kacamata ikut serta dari bagian kami pakai. Terlihat alay, hanya aku mengingat jika Adelio berbeda dari cowok yang lain. "Kek alay ya," celetukku di mana Adelio berpose sok keren. Adelio hanya terkekeh merangkul diriku. "Mana ada alay, lo liat nih keren banget kita," kata Adelio memutarkan diriku yang berdecak kesal. Kali ini Adelio memotret diriku yang tidak memiliki ekspresi, sampai Adelio menarik kedua sudut bibirku biar terlihat tersenyum. "Nah, ginikan cantik," lanjut Adelio kesana-kemari hanya memfotoiku saja. Sangat tidak bisa diam ya ini anak? Sifatnya sudah keluar jametnya, aku sampai tidak habis pikir bisa menikah dengan Adelio. "Bacot lo, yaudah ayo," ajakku menarik pergelangan tangannya. Adelio tidak menjawab hanya terkekeh kecil mengikutiku dari belakang. "Lo pendek ya," ledek Adelio. Aku berhenti tiba-tiba, terjadilah Ad
Pulang sekolah, bukannya balik ke rumah kami. Adelio mengajakku ke rumah keluarganya. Ternyata di sana sudah ada keluargaku juga, dan tidak aku ketahui. Sore ini akan piknik ke taman. "Lo masih pakai baju sekolah?" tanya Jean melirikku dari bawah ke atas. Di ruang tamu hanya kami berdua, karena yang lain asik mempersiapkan apa yang akan dibawa.Adelio juga katanya ingin memilihkan baju yang bagus untukku, jadi aku mengangguk saja. "Kenapa emangnya, nggak suka?" balasku memajukan diri sok songong. "Dih, gue nanya doang," sahut Jean mendorong kepalaku. Tidak sadar, jika Adelio datang menenteng baju untukku. Mana bajunya sengaja banget dilebarkan. "Adelio?! Bajunya kenapa kayak gitu?" pekikku mendekat menggulung biar Jean tidak melihatnya. Gila bajunya terlalu seksi. Mana mungkin aku memakainya untuk piknik, apa dia tidak berpikir dahulu?"Lah kenapa?" tanya Adelio bingung menatapku polos. Aku menabok tangannya, kali ini Adelio meringis sedikit menjauh. "Pake nanya lagi, ini tu
"Ghifari," gumamku menatap tidak percaya. Kali ini Ghifari dengan berani berlari kearahku, dia langsung diserang 3 orang sekaligus. Dan aku tidak bisa lepas karena ditahan, Ghazi dengan senyum miring mendekat memegang daguku. "Gue ngilang bukan berarti nggak akan ngelakuin sesuatu, lo tuh emang kelemahan Adelio," papar Ghazi tertawa mengejek. Tidak menjawab, aku hanya mendengus berfokus ke Ghifari sudah terduduk. Argh, dia pasti kalah kalo seperti ini. Aku mengingat jika Ghifari tidak bisa berkelahi, bagaimana Ghifari mau melawan kalo begitu yang ada dia bisa mati. "Haha, liat teman lo cemen banget." Ghazi mengarah daguku begitu kasar ke Ghifari sedang terluka. Bahkan, anak buah Ghazi masih saja menendang brutal Ghifari itu. "Lepasin Ghifari!" teriakku yang tidak begitu jelas. Ghazi langsung melepaskan tangannya dari daguku, tidak merasa bersalah. Ghazi ikut mendekati Ghifari. Gilanya, Ghazi melakukan tidak pernah aku bayangkan. Di mana Ghazi memukul Ghifari hingga pingsan.