Sebulan kemudian, tepat hari minggu biasanya untuk bersantai bersama keluarga. Berbeda dengan aku yang harus bangun pagi hanya untuk berhias. Waktu tidurku terganggu!
Aku menguap, selagi orang rias memberi bedak di wajahku, sedikit lagi selesai dan aku benar-benar membenci hari ini. Pernikahan yang tidak pernah aku harapkan! Sialnya aku menikah dengan seorang berandal sekolah. “Mbak, udah selesai?” Mama Cahaya menghampiriku, mengusap kepalaku dengan lembut. Tukang rias itu mengangguk pergi dari hadapanku. Aku menghindari tatapan Mama Cahaya, aku tau jika ini semua untuk perusahaan. Tapi kenapa harus aku jadi korban yang diinginkan keluarga Andres? Mama Cahaya menyadari aku yang berbeda, mencangkup pipiku. “Sayang, maafin Mama. Nggak bisa bantu apa-apa,” ucap Mama Cahaya sendu. Aku geleng-geleng, tidak mau terlihat rapuh. “Ranesya? Kamu kenapa?” Mama Cahaya panik, melihat tetesan air mataku jatuh. Aku tidak menjawab, mulutku terasa kelu untuk berucap. Perasaanku tidak karuan, tidak menyangka akan secepat ini, kehidupan baru yang aku jalani. Tanpa sadar, aku dipeluk erat oleh Mama Cahaya. “Sayang, jangan marah sama Mama.” Tiba-tiba Papa Guntur datang, melihat apa yang terjadi kepadaku. “Ayo kita harus pergi sekarang,” perintah Papa Guntur, membuat Mama Cahaya menghela napas panjang. “Ayo sayang,” kata Mama Cahaya, aku digandeng menuju rombongan mobil. Aku hanya diam selama diperjalanan, semua ini seakan mimpi. Cukup 30 menit sampai ke rumah keluarga Andres, aku menarik napas dalam-dalam melirik sekeliling ramai, hanya orang dari pihak keluarga besar yang datang. Aku disambut dengan senyum oleh Ayah Liam dan Bunda Delyna. Aku masuk ke rumah, terlihat Adelio berpakaian rapi dan peci tertempel di kepalanya. Aku digandeng Mama Cahaya untuk duduk berdampingan dengan Adelio, aku melirik Adelio yang tegang. Tangan Adelio dan Papa Guntur berjabatan. “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Adelio Andres dengan anak saya Ranesya Adipurna binti Guntur Adipurna dengan mas kawin uang tunai sebesar 20 juta 50 ribu rupiah dibayar tunai,” ucap Papa Guntur menatap tegas Adelio. Sejujurnya, aku deg-degan berada di sini. Namun, aku hanya bisa diam mendengarkan. Adelio menarik napas panjang. “Saya terima nikahnya dan kawinnya Ranesya Adipurna binti Guntur Adipurna dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai,” kata Adelio satu tarikan. “Sah,” ucap saksi dan penghulu mengangguk. “Sah.” Semua orang berteriak bahagia. Aku merasa napasku berhenti saat itu juga. Kehidupanku akan bersama Adelio, aku tidak kuat Tuhan. “Sayang, salam suamimu,” kata Bunda Delyna, memberi instruksi yang berada di belakangku. Aku berhadapan dengan Adelio, mencium punggung tangannya. “Nah, ini baru Istriku yang baik,” seru Adelio, disoraki orang-orang. “Aduh yang udah nikah, romantis banget sama Istrinya,” goda Bunda Delyna terkekeh kecil. Mama Cahaya menyahut, “Iya dong, kita udah besan.” Terlihat Mama Cahaya dan Bunda Delyna saling berpelukan, aku hanya bisa menatap datar apa yang terjadi. Tanpa aku izinkan, Adelio menggenggam tanganku biar terlihat pasangan romantis di depan orang. Tapi aku enggan bersandiwara. “Jangan berharap bisa sentuh gue lagi!” kesalku melepaskan genggaman, pergi dari tempat itu tanpa memedulikan, orang-orang memperhatikanku. *** “Astaga! Kapan selesainya!” gerutuku, memijit kepala yang menyut. Selama seharian full, aku memilih tidur, tanpa peduli acara masih berjalan. Sehingga malamnya aku harus stay untuk acara dansa. Bahkan, aku dinasehati oleh Mama Cahaya karena meninggalkan Adelio sendiri di acara salam-salaman. Bodo amat, emang gue pikirin?! Adelio menghampiriku. “Cepetan turun, enak ya yang tidur siang,” sindir Adelio menatapku kesal. “Enaklah, gue juga ogah kali mau nikah sama lo!” Aku membalas tatapannya lebih tajam. “Apalagi gue! Nggak banget sama otak udang,” timpal Adelio mengejekku. Aku menggeram ingin memukul wajah sok tampan itu, keadaan dalam kamar juga sepi hanya kami berdua. Terpaksa aku turun bersama Adelio, aku juga muak dengan acara pernikahan ini. Semua tertuju kepada aku dan Adelio. Turun perlahan sesuai tujuan kami ditengah kerumunan. “Baiklah, karena mempelai sudah ada di sini. Kita mulai sekarang.” Suara Mc menggema, aku menghela napas berat. Tangan Adelio menyodorkan ke arahku, tapi aku hanya melihat dan mengabaikan. Suara alunan lagu terdengar, aku berdansa dengan caraku, tanpa memedulikan Adelio akan malu. “Sialan,” umpat Adelio mengikutiku, setiap kali Adelio ingin memegang aku selalu menghindar. “Nggak sudi gue dipegang lo,” ucapku menatap sinis Adelio berdecak kesal. Aku tertawa dalam hati bisa membuatnya kesal. Tidak hanya kami, semua orang ikut berdansa dengan pasangan. Sampailah, semua orang sibuk sendiri. Aku diam-diam pergi masuk kembali dalam kamar, sementara Adelio mengikutiku. “Ngapain lo ngikutin gue?!” ketusku berkacak pinggang menatap dirinya. Adelio mengangkat satu alisnya. “Gue mau tidur kali,” seru Adelio, langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur. Aku yang tidak terima menariknya. “Turun nggak lo?! Gue mau tidur!” tukasku hingga Adelio terjatuh. “Gue tidur di mana,” kata Adelio berusaha berdiri. “Itu bukan urusan gue!” sergah mendorong Adelio keluar dari kamar. Pokoknya, aku harus tidur nyenyak tanpa ada gangguan Adelio!“Tante, Om aku pergi dulu,” pamitku mencium punggung tangan mereka. Bunda Delyna menatapku dalam. “Sayang, panggil Ayah sama Bunda aja. Kita udah jadi keluarga kamu,” pintanya, tersenyum lembut mengusap kepalaku. Aku membalas senyumannya sambil menggaruk tengkukku. “Iya Bunda,” balasku berhadapan keduanya di meja makan. “Kamu nggak bareng Adelio?” Ayah Liam bersuara, mencari-cari keberadaan Adelio.Aku berdeham pelan. “Adelio susah dibangunin,” kilaku padahal aslinya. Aku sama sekali tidak membangunkannya. Pagi sekali, aku bangun begitu kaget karena ada Adelio di sampingku. Untungnya aku tidak berteriak, sehingga aku langsung mempersiapkan diri ke sekolah. Aku marah sekali dengan mereka, karena sudah menikahkan aku dengan berandalan seperti Adelio. Aku mengingat saat surat panggilan itu, aku tidak sama sekali ke BK menemui orang tuaku. Aku pergi menggunakan mobil bersama Pak Danang, sopir pribadi keluarga Andres. Diperjalanan aku hanya diam tanpa menyahuti ocehan Pak Danang, se
Saat pulang sekolah, tiba-tiba saja Adelio menghampiriku ke kelas. Padahal kelas masih ramai. Aku menatap tajam dari kejauhan. Adelio di depan pintu, bersedekap dada sok keren. Hingga orang-orang menebak. Jika Adelio memiliki seorang pacar, Adelio tahan menunggu lama. "Woy otak udang, cepetan!" teriak Adelio, menghela napas berat. Aku yang diteriakin diam, aku takut anak sekolah. Banyak yang tau hubunganku dengan Adelio. Bahkan, mereka yang masih ada di kelas, mengedarkan pandangan. Siapa yang dicari oleh Adelio. "Keluar lo pada!" usir Adelio, sehingga semuanya kocar-kacir kecuali aku. Aku memasuki buku dalam tas, aku tidak peduli apa yang terjadi. Dipertanyakan adalah, Adelio ngapain ke kelasku? Adelio menghampiriku menggebrak meja. "Cepetan! Gue ke sini cuma disuruh Bunda, ogah banget jemput lo!" sergah Adelio dengan wajah datar. Aku terkejut menatap sinis. "Nggak usah jemput, gue juga ogah kali!" jawabku, meninggalkan Adelio sendiri. Aku menghentakkan kaki dengan kesal.
Tepat jam 9 malam. Aku duduk di depan televisi, menonton film kusukai. Tapi yang aku heran adalah Adelio. Adelio berpakaian rapi dengan jaket kulit, tertempel di tubuhnya. Aku berpikir, Adelio mau pergi kemana? "Dih, udah malem juga," sindirku, tidak direspon Adelio. Aku berdecak kesal, di mana Adelio langsung keluar tanpa menyahutiku. Wajahku tidak tenang, sungguh kepo. Adelio akan kemana sebenarnya. Daripada aku jadi hantu penasaran. Aku langsung gerak cepat, mengganti baju dan mengambil mobil ke garasi. Selain rumah, aku dan Adelio dikasih juga sebuah mobil. Aku langsung tancap gas, mengikuti Adelio secara diam-diam. "Mau kemana dia?" kesalku, sekitar 35 menit. Ada sebuah keramaian, di sana terlihat orang balap liar. Aku mengerti sekarang. Aku turun dari mobil, bersembunyi di kerumunan, biar tidak ketauan Adelio. Tidak lama datang seseorang menggodaku, aku menepis tangan jelek itu. "Nggak usah sentuh gue!" sergahku, melotot ke arah 3 orang itu. "Cewek cantik kek lo, ngap
Aku menoleh dengan ekspresi terkejut. "Woy, lo bawa buku gue ya?!"Aku deg-degan, ternyata yang berteriak itu adalah Adelio.Wajahku sudah pucat, sementara kedua sahabatku melirik Adelio. "Jangan bilang lo buang buku gue?" tanya Adelio, menatapku sinis. Aku memejamkan mata sejenak. "Haha, lo bercanda kan? Kita beda angkatan," ucapku, cengengesan menepuk bahu Adelio. Adelio menaikkan satu alisnya. "Lo kenapa sih?" tanya Adelio bingung. "Aduh, bentar ya. Gue ada urusan sama nih berandalan," pamitku, menarik Adelio pergi dari parkiran. "Iya, lo hati-hati Ranesya," teriak Gita, melirik Vivian. Sementara Vivian mengangguk saja. Membuatku kesal, ternyata Gita dan Vivian saling berbisik. Saat aku menoleh ke belakang. "Lepasin! Lo apaan sih nyeret gue gini!" teriak Adelio, menarik tangannya. Hingga terlepas dari cengkraman ku. Aku bersedekap dada, dan mendengus. "Lo lupa? Kita itu di sekolah!" kataku, berhadapan dengan Adelio. "Terus kenapa?" Adelio bertanya, sok polos di depanku. T
"Dasar berandalan! Lihat nih, baju gue basah gara-gara lo!" Aku, Ranesya Adipurna, kelas 11 MIPA 1 di SMA Angkasa Jaya Aku siswi teladan dan tercantik di sekolah. Usiaku 17 tahun. Rambutku lurus sebahu dan berwarna hitam kemilau. Kata orang, penampilan yang rapi dapat memberikan kesan positif dan meningkatkan rasa percaya diri. Makanya, aku kesal saat bajuku basah gara-gara siswa berandalan itu menumpahkan minumannya. Siswa berandalan itu namanya Adelio Andres. Dia hobi membuat masalah. Dia tidak tahu aturan dan tidak punya tata krama. Pokoknya, Adelio adalah cowok menyebalkan yang pernah aku temui di sekolah. Adelio menatapku tanpa ekspresi. Sepertinya, dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Aku yakin, dia pasti mau minta maaf. Aku pun menyeringai. Terlintas ide di benakku. Aku berniat untuk tidak akan memaafkannya dengan mudah. "Siapa suruh lo jalan nggak pake mata?!" Aku berhenti memainkan poni, lalu melototi Adelio. Suasana kantin kembali memanas. Siswa dan siswi berdiri
Aku pulang dengan perasaan jengkel, mengingat aku dihukum karena ulah Adelio!"Nggak akan lagi gue ketemu dia! Nggak akan pernah!" gerutuku memasuki rumah, namun ada kedua orang tuaku di depan pintu. Kedua orang tuaku bernama Guntur Adipurna dan Cahaya Amerta. Aku menghampiri mereka terlihat wajah tegang. "Kalian kenapa, kok keliatan ada sesuatu disembunyikan?" tanyaku memeluk Papa Guntur dari samping. Papa Guntur mengelus rambutku lembut. "Nggak ada kok sayang, kenapa berpikir seperti itu?"Aku menggeleng saja tanpa mau menjawab. "Kebetulan Papa mau bilang sesuatu," ucap Papa Guntur menghela napas panjang. Sementara aku melirik Mama Cahaya yang tidak berkata-kata tapi raut wajahnya sendu. "Sebelumnya Papa minta maaf sama kamu, apakah kamu mau menikah dengan Adelio Andres?" ucap Papa Guntur, beda denganku langsung melepaskan pelukan Papaku. Aku menganga tidak percaya kejadian ini. "Maksud Papa apa?" "Perusahaan kita tertimpa masalah sayang, Papa minta bantuan dengan keluarga A
Selesai makan, bukannya pulang berlanjut membahas pernikahan. Aku hanya tersenyum terpaksa karena selalu di tanya-tanya tentang Adelio. Aaaa, aku tidak kuat di sini. Di ruang tamu, aku duduk bersebelahan dengan Adelio. Orang tua masih mencocokkan tanggal yang pas. Aku dibuat kesal karena Adelio selalu jahil kepadaku. Adelio mengangkat kakinya mengarah ke diriku. Aku melirik tajam Adelio, bukan diturunkan Adelio mengenai Dress ku. Kepalaku mendekat ke telinganya. "Seumur hidup, gue paling benci sama lo." Adelio sedikit mengundurkan tubuhnya. "Dan seumur hidup lo, bakal selalu sama gue," jawabnya tersenyum manis. Kepalaku mendidih sampai aku menggertakkan gigi karena geram. Orang tua tanpa sengaja melirik aku dan Adelio terlihat romantis. "Aduh, belum nikah udah akrab aja," kata Bunda Delyna tersenyum lebar melihat keharmonisan kami. Mama Cahaya mengangguk setuju. "Ini namanya menjalin hubungan bersama."Aku dan Adelio menoleh, semua orang menatap kami dengan kondisi minim. Aku
Aku menutupi telingaku dengan bantal, suara ketukan pintu berkali-kali menganggu tidurku. “Berisik!” teriakku menghela napas berat. Suara pintu terdengar kembali, Mama Cahaya berteriak, “Sayang, bangun mau sekolah. Nanti kamu telat.”Mataku yang tadi terpejam langsung melotot melirik jam di nakas masih 06.20, astaga Mama! Aku kira sudah 07.40 pasti aku akan dihukum Ibu Aini jika telat. “Iya Ma!” seruku dengan langkah malas-malasan ke kamar mandi. Sekitar 20 menit, aku keluar dengan seragam sekolah. Aku mengambil kaca melihat mataku yang bengkak. “Jelek banget lagi,” kataku khawatir, takut jika penggemarku melihat kecantikan bidadari ini pudar. Aku memberi bedak biar tidak terlalu kentara, jika malam tadi aku menangis. Setelah selesai, aku mengambil tas keluar dari kamar dengan bahagia. Melupakan kejadian malam tadi sesaat. Namun, saat sampai di meja makan mataku melotot tidak percaya. Apa-apaan ini kenapa ketemu dia lagi? Adelio?!“Lo ngapain ke rumah gue!” sesalku menatap Ade