Sebulan kemudian, tepat hari minggu biasanya untuk bersantai bersama keluarga. Berbeda dengan aku yang harus bangun pagi hanya untuk berhias. Waktu tidurku terganggu!
Aku menguap, selagi orang rias memberi bedak di wajahku, sedikit lagi selesai dan aku benar-benar membenci hari ini. Pernikahan yang tidak pernah aku harapkan! Sialnya aku menikah dengan seorang berandal sekolah. “Mbak, udah selesai?” Mama Cahaya menghampiriku, mengusap kepalaku dengan lembut. Tukang rias itu mengangguk pergi dari hadapanku. Aku menghindari tatapan Mama Cahaya, aku tau jika ini semua untuk perusahaan. Tapi kenapa harus aku jadi korban yang diinginkan keluarga Andres? Mama Cahaya menyadari aku yang berbeda, mencangkup pipiku. “Sayang, maafin Mama. Nggak bisa bantu apa-apa,” ucap Mama Cahaya sendu. Aku geleng-geleng, tidak mau terlihat rapuh. “Ranesya? Kamu kenapa?” Mama Cahaya panik, melihat tetesan air mataku jatuh. Aku tidak menjawab, mulutku terasa kelu untuk berucap. Perasaanku tidak karuan, tidak menyangka akan secepat ini, kehidupan baru yang aku jalani. Tanpa sadar, aku dipeluk erat oleh Mama Cahaya. “Sayang, jangan marah sama Mama.” Tiba-tiba Papa Guntur datang, melihat apa yang terjadi kepadaku. “Ayo kita harus pergi sekarang,” perintah Papa Guntur, membuat Mama Cahaya menghela napas panjang. “Ayo sayang,” kata Mama Cahaya, aku digandeng menuju rombongan mobil. Aku hanya diam selama diperjalanan, semua ini seakan mimpi. Cukup 30 menit sampai ke rumah keluarga Andres, aku menarik napas dalam-dalam melirik sekeliling ramai, hanya orang dari pihak keluarga besar yang datang. Aku disambut dengan senyum oleh Ayah Liam dan Bunda Delyna. Aku masuk ke rumah, terlihat Adelio berpakaian rapi dan peci tertempel di kepalanya. Aku digandeng Mama Cahaya untuk duduk berdampingan dengan Adelio, aku melirik Adelio yang tegang. Tangan Adelio dan Papa Guntur berjabatan. “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Adelio Andres dengan anak saya Ranesya Adipurna binti Guntur Adipurna dengan mas kawin uang tunai sebesar 20 juta 50 ribu rupiah dibayar tunai,” ucap Papa Guntur menatap tegas Adelio. Sejujurnya, aku deg-degan berada di sini. Namun, aku hanya bisa diam mendengarkan. Adelio menarik napas panjang. “Saya terima nikahnya dan kawinnya Ranesya Adipurna binti Guntur Adipurna dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai,” kata Adelio satu tarikan. “Sah,” ucap saksi dan penghulu mengangguk. “Sah.” Semua orang berteriak bahagia. Aku merasa napasku berhenti saat itu juga. Kehidupanku akan bersama Adelio, aku tidak kuat Tuhan. “Sayang, salam suamimu,” kata Bunda Delyna, memberi instruksi yang berada di belakangku. Aku berhadapan dengan Adelio, mencium punggung tangannya. “Nah, ini baru Istriku yang baik,” seru Adelio, disoraki orang-orang. “Aduh yang udah nikah, romantis banget sama Istrinya,” goda Bunda Delyna terkekeh kecil. Mama Cahaya menyahut, “Iya dong, kita udah besan.” Terlihat Mama Cahaya dan Bunda Delyna saling berpelukan, aku hanya bisa menatap datar apa yang terjadi. Tanpa aku izinkan, Adelio menggenggam tanganku biar terlihat pasangan romantis di depan orang. Tapi aku enggan bersandiwara. “Jangan berharap bisa sentuh gue lagi!” kesalku melepaskan genggaman, pergi dari tempat itu tanpa memedulikan, orang-orang memperhatikanku. *** “Astaga! Kapan selesainya!” gerutuku, memijit kepala yang menyut. Selama seharian full, aku memilih tidur, tanpa peduli acara masih berjalan. Sehingga malamnya aku harus stay untuk acara dansa. Bahkan, aku dinasehati oleh Mama Cahaya karena meninggalkan Adelio sendiri di acara salam-salaman. Bodo amat, emang gue pikirin?! Adelio menghampiriku. “Cepetan turun, enak ya yang tidur siang,” sindir Adelio menatapku kesal. “Enaklah, gue juga ogah kali mau nikah sama lo!” Aku membalas tatapannya lebih tajam. “Apalagi gue! Nggak banget sama otak udang,” timpal Adelio mengejekku. Aku menggeram ingin memukul wajah sok tampan itu, keadaan dalam kamar juga sepi hanya kami berdua. Terpaksa aku turun bersama Adelio, aku juga muak dengan acara pernikahan ini. Semua tertuju kepada aku dan Adelio. Turun perlahan sesuai tujuan kami ditengah kerumunan. “Baiklah, karena mempelai sudah ada di sini. Kita mulai sekarang.” Suara Mc menggema, aku menghela napas berat. Tangan Adelio menyodorkan ke arahku, tapi aku hanya melihat dan mengabaikan. Suara alunan lagu terdengar, aku berdansa dengan caraku, tanpa memedulikan Adelio akan malu. “Sialan,” umpat Adelio mengikutiku, setiap kali Adelio ingin memegang aku selalu menghindar. “Nggak sudi gue dipegang lo,” ucapku menatap sinis Adelio berdecak kesal. Aku tertawa dalam hati bisa membuatnya kesal. Tidak hanya kami, semua orang ikut berdansa dengan pasangan. Sampailah, semua orang sibuk sendiri. Aku diam-diam pergi masuk kembali dalam kamar, sementara Adelio mengikutiku. “Ngapain lo ngikutin gue?!” ketusku berkacak pinggang menatap dirinya. Adelio mengangkat satu alisnya. “Gue mau tidur kali,” seru Adelio, langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur. Aku yang tidak terima menariknya. “Turun nggak lo?! Gue mau tidur!” tukasku hingga Adelio terjatuh. “Gue tidur di mana,” kata Adelio berusaha berdiri. “Itu bukan urusan gue!” sergah mendorong Adelio keluar dari kamar. Pokoknya, aku harus tidur nyenyak tanpa ada gangguan Adelio!“Tante, Om aku pergi dulu,” pamitku mencium punggung tangan mereka. Bunda Delyna menatapku dalam. “Sayang, panggil Ayah sama Bunda aja. Kita udah jadi keluarga kamu,” pintanya, tersenyum lembut mengusap kepalaku. Aku membalas senyumannya sambil menggaruk tengkukku. “Iya Bunda,” balasku berhadapan keduanya di meja makan. “Kamu nggak bareng Adelio?” Ayah Liam bersuara, mencari-cari keberadaan Adelio.Aku berdeham pelan. “Adelio susah dibangunin,” kilaku padahal aslinya. Aku sama sekali tidak membangunkannya. Pagi sekali, aku bangun begitu kaget karena ada Adelio di sampingku. Untungnya aku tidak berteriak, sehingga aku langsung mempersiapkan diri ke sekolah. Aku marah sekali dengan mereka, karena sudah menikahkan aku dengan berandalan seperti Adelio. Aku mengingat saat surat panggilan itu, aku tidak sama sekali ke BK menemui orang tuaku. Aku pergi menggunakan mobil bersama Pak Danang, sopir pribadi keluarga Andres. Diperjalanan aku hanya diam tanpa menyahuti ocehan Pak Danang, se
Saat pulang sekolah, tiba-tiba saja Adelio menghampiriku ke kelas. Padahal kelas masih ramai. Aku menatap tajam dari kejauhan. Adelio di depan pintu, bersedekap dada sok keren. Hingga orang-orang menebak. Jika Adelio memiliki seorang pacar, Adelio tahan menunggu lama. "Woy otak udang, cepetan!" teriak Adelio, menghela napas berat. Aku yang diteriakin diam, aku takut anak sekolah. Banyak yang tau hubunganku dengan Adelio. Bahkan, mereka yang masih ada di kelas, mengedarkan pandangan. Siapa yang dicari oleh Adelio. "Keluar lo pada!" usir Adelio, sehingga semuanya kocar-kacir kecuali aku. Aku memasuki buku dalam tas, aku tidak peduli apa yang terjadi. Dipertanyakan adalah, Adelio ngapain ke kelasku? Adelio menghampiriku menggebrak meja. "Cepetan! Gue ke sini cuma disuruh Bunda, ogah banget jemput lo!" sergah Adelio dengan wajah datar. Aku terkejut menatap sinis. "Nggak usah jemput, gue juga ogah kali!" jawabku, meninggalkan Adelio sendiri. Aku menghentakkan kaki dengan kesal.
Tepat jam 9 malam. Aku duduk di depan televisi, menonton film kusukai. Tapi yang aku heran adalah Adelio. Adelio berpakaian rapi dengan jaket kulit, tertempel di tubuhnya. Aku berpikir, Adelio mau pergi kemana? "Dih, udah malem juga," sindirku, tidak direspon Adelio. Aku berdecak kesal, di mana Adelio langsung keluar tanpa menyahutiku. Wajahku tidak tenang, sungguh kepo. Adelio akan kemana sebenarnya. Daripada aku jadi hantu penasaran. Aku langsung gerak cepat, mengganti baju dan mengambil mobil ke garasi. Selain rumah, aku dan Adelio dikasih juga sebuah mobil. Aku langsung tancap gas, mengikuti Adelio secara diam-diam. "Mau kemana dia?" kesalku, sekitar 35 menit. Ada sebuah keramaian, di sana terlihat orang balap liar. Aku mengerti sekarang. Aku turun dari mobil, bersembunyi di kerumunan, biar tidak ketauan Adelio. Tidak lama datang seseorang menggodaku, aku menepis tangan jelek itu. "Nggak usah sentuh gue!" sergahku, melotot ke arah 3 orang itu. "Cewek cantik kek lo, ngap
Aku menoleh dengan ekspresi terkejut. "Woy, lo bawa buku gue ya?!"Aku deg-degan, ternyata yang berteriak itu adalah Adelio.Wajahku sudah pucat, sementara kedua sahabatku melirik Adelio. "Jangan bilang lo buang buku gue?" tanya Adelio, menatapku sinis. Aku memejamkan mata sejenak. "Haha, lo bercanda kan? Kita beda angkatan," ucapku, cengengesan menepuk bahu Adelio. Adelio menaikkan satu alisnya. "Lo kenapa sih?" tanya Adelio bingung. "Aduh, bentar ya. Gue ada urusan sama nih berandalan," pamitku, menarik Adelio pergi dari parkiran. "Iya, lo hati-hati Ranesya," teriak Gita, melirik Vivian. Sementara Vivian mengangguk saja. Membuatku kesal, ternyata Gita dan Vivian saling berbisik. Saat aku menoleh ke belakang. "Lepasin! Lo apaan sih nyeret gue gini!" teriak Adelio, menarik tangannya. Hingga terlepas dari cengkraman ku. Aku bersedekap dada, dan mendengus. "Lo lupa? Kita itu di sekolah!" kataku, berhadapan dengan Adelio. "Terus kenapa?" Adelio bertanya, sok polos di depanku. T
"Eh, maaf. Lo gapapa?" tanyaku panik, sudah menabrak Fatih anak kelas 3 MIPA 4. Fatih membenarkan kacamatanya, memperhatikanku secara seksama. "Gue gapapa, santai aja," balas Fatih tersenyum tipis. "Tapi gue yang salah, gimana kalo kita bareng aja?" tawarku, tanpa aku sadari penggemarku, membicarakan Fatih dari belakang. Fatih langsung menoleh cepat, dan mengangguk. "Boleh."Aku sempat, terpesona dengan senyum culun itu. Selain pintar, Fatih murid berprestasi. Aku dan Fatih duduk dipojok, menghindari orang-orang. Tidak disangka Fatih, menarik kursi untukku. Aku sedikit kaget, sifatnya yang begitu gentleman. Aku kikuk karena banyak orang melihat. "Duduk aja, gue pesen dulu," kata Fatih, meminta izin dengan senyuman manisnya. Aku mengangguk patuh. "Oke makasih," balasku, dari kejauhan aku memperhatikan Fatih. "Culun-culun romantis," celetukku, mengecek hp-ku penuh notifikasi penggemar. Biasalah, aku memang secantik ini. Siapa yang tidak tergoda. Tidak lama, Fatih datang deng
"Untung osis," kataku, jujur saja aku malas selalu bertemu Adelio. Sekolah ketemu Adelio, apalagi di rumah. Aku seolah diikuti makhluk halus. Saat aku keluar bersama Frans untuk ke ruangan guru, sebuah bola basket menimpa kepalaku. Aku terduduk meringis. "Gila, siapa sih yang sengaja?!" sungutku. Sementara Frans, melirik kesana-kemari tidak ada siapapun. Serius! Rasa pusing aku rasakan, benar-benar luar biasa. Aku berusaha berdiri dibantu Frans. "Hati-hati, apa mau ke UKS aja?" Frans menoleh ke arahku khawatir, kali ini dia berkata, "Gue gendong aja, ya?" Seketika mataku, melototi Frans yang cengengesan. "Gue bisa sendiri kok," balasku, memegang dinding mengatur keseimbangan. Frans menatap polos. "Serius? Lo kalo kenapa-kenapa, kita bisa ke UKS," kata Frans, memegang tanganku. Aku hanya menggeleng, melanjutkan perjalanan ke ruang guru. Untungnya, Frans berbaik hati memegang aku. "Makasih ya," ucapku, tersenyum tipis.Frans mengangguk, membuang wajah salah tingkah. Di ruan
Pagi sekali, aku sudah bersiap-siap untuk joging! Iya, aku sangat bersemangat. Di tanggal merah yang cerah ini. Aku mencuci tanganku 6 langkah seperti biasa, aku sarapan dengan hikmat. Setelah selesai, aku ingin pergi sekarang. Namun, jalanku terhenti oleh Adelio yang menghadang di depan pintu. "Minggir! Ngapain juga lo hadang gue," kesalku, memancarkan permusuhan. Adelio seperti biasa mengangguku. Entah mengapa, sekarang suka sekali cari gara-gara. "Mau kemana nyonya, rapi bener," goda Adelio, bersiul ke arahku. Aku berdecak kesal. "Bukan, urusan lo!" sergahku, berkacak pinggang hingga mengalihkan pandang malas. Kembali aku melihatnya. Baru aku menyadari kalo Adelio, memakai baju lengan pendek, dan celana training. "Ikut dong," rengek Adelio, bak anak kecil. Aku ketawa renyah, memijit pelipisku. "Dih. Nggak banget, mau ngajak lo. Geser nggak!" teriakku, memberikan isyarat untuk minggir Adelio bukannya minggir, dia menghalangiku dengan dua tangan. "Adelio! Gue mau joging, k
"Woam, udah pagi aja," ujarku mengucek mata. Aku mengambil hp, berbunyi memekakkan telingaku. Alisku berkerut, mendapatkan telepon Papaku. Dia tidak tau saja, aku sedang marah dengan mereka. Pernikahan yang hanya menguntungkan mereka! Aku jadi korban semata, aku mendengus lebih memilih untuk mandi saja. Sekitar 25 menit, aku sudah tertampil begitu cantik. Dengan rambut sebahu, pita pink yang unyu-unyu. "Perfect!" seruku, di depan kaca. Aku juga langsung pergi ke sekolah, tanpa sarapan. Kali ini aku memilih menaiki taksi."Atas nama Mbak Ranesya?" tanya seorang supir taksi, mobilnya berhenti tepat di depanku. Aku mengangguk. "Iya Pak," jawabku, menaiki taksinya. Aku sudah memesannya saat di rumah tadi, biar tidak terlalu lama. "Mbak cantik, gimana kalo jadi pacar saya?" ucap Pak supir, aku yang sedang bermain hp. Mendongak kaget, mataku terasa mau keluar. Aku tertawa karir. "Aku udah punya pacar, Pak," kilahku, cengengesan mengusap kening berkeringat. "Padahal gue ada suami,"
Sore yang cerah, cocok banget jalan-jalan di pantai. Aku dengan tergesa-gesa menarik tangan Adelio untuk cepat. "Ayolah, lo jangan lama sih!" kesalku mendengus. Adelio menggeleng kepala, saat aku menoleh. Apa dia ikutan kesal denganku? Kan aku hanya tidak ingin ketinggalan ke pantai. "Pelan-pelan aja, pantainya gak berjalan itu," peringat Adelio menahan tawa. Idih, dikira lucu gitu? Aku melepaskan tangan Adelio, bersedekap dada di depannya. Bibir yang merucut kedepan seperti bebek. "Lo kok ketawa? Nggak ada yang lucu tau," hardikku menghentakkan kaki. "Dahlah, nggak jadi aja."Aku berusaha memutarkan badan untuk balik ke kamar, namun tanganku ditahan olehnya. "Mau kemana?" tanya Adelio menatapku lekat. "Gue mau ke kamar aja, lo ngeselin soalnya," kataku mengalihkan pandangan ke tempat lain. Terdengar suara kekehannya. "Gue bercanda doang, ayo kita pergi," ajak Adelio menarikku untuk ke pantai. Tidak menolak, aku hanya mengikuti langkah kakinya turun dari lift. Aku tidak ada
Selama 1 bulan, kami dikasih libur sekolah. Adelio berencana mengajak diriku ke Bali. Sungguh aku sangat senang! Siapa sih yang tidak mau kesana? Sekarang kami bersiap-siap untuk ke bandara. "Gimana, semuanya nggak ketinggalankan?" tanya Adelio melirikku memegang koper. Aku mengangguk semangat, menggandeng tangannya. "Ayok, skuy!" seruku membuat Adelio terkekeh. Kali ini kami di antar oleh supir milik keluarga Andres, karena mengetahui tidak mungkin membawanya sendiri. Saat sampai, kedua orang tua kami sudah berada di bandara. Pasti ingin memberikan salam perpisahan untuk sebulan ini. "Kalian hati-hati ya," kata Bunda Delyna memelukku dan Adelio. Sementara Mama Cahaya menangis, aku merasa geli seolah ditinggal selamanya saja. Tapi aku tahan karena menyadari, jika aku tidak menghargai kesedihan Mamaku. "Ihh, kenapa Mama nangis?" Aku memeluk Mama Cahaya, dan mengelus punggungnya. Setelah memeluk Bunda Delyna, aku beralih ke Mama Cahaya yang kini menangkup pipiku. "Jangan band
Waktu cepat berlalu, di mana aku sudah melewati ulangan ganjil. Kali ini aku berada di depan kantor untuk pengumuman raport. Banyak guru maupun orang tua berkumpul, ini saat menegangkan. Sampai pengumuman siapa yang juara di kelasku. "Seperti biasa, juara 1 didapatkan oleh Ranesya Adipurna," ucap wali kelasku. Urutan tiga maupun dua, sudah disebutkan. Aku tersenyum lebar karena mengetahui pasti aku mendapatkan peringkat pertama. "Lo pasti bisa!" kataku tanpa suara ke arah Adelio, memperhatikanku terlihat bangga. Arghh, aku sangat senang sekali. Setiap kelas memang disebut sampailah di kelas Adelio. "Untuk Bapak Ibu-ibu, ini murid yang bandel astaghfirullah. Dia juga sering banget bolos, hanya semester ini lumayan memberikan hasil memuaskan karena jarang bolos!" jelas wali kelas dengan senyum mengembang. "Semoga kalian nggak kaget, juara ke 3 diberikan kepada Adelio Andres," kata wali kelas bertepuk tangan. Adelio menganga lebar, namun didorong teman sekelasnya.
"Nanti lo nangis darah, kalo gue bisa dapatin Ranesya," ledek Rayyen terkekeh kecil. Sebelah alisku terangkat, percaya diri sekali dirinya. Apa orang gila ini, terlalu pede bisa mendapatkan sesuatu yang dia mau?"Maaf Rayyen, gue tetap sayang Adelio," sahutku membuat keduanya menoleh. "Lo hanya orang baru dalam hidup gue, sementara Adelio udah gue kenal sejak kecil cuma waktu itu berpisah aja," jelasku membuat Adelio tersenyum puas. Sebaliknya, Rayyen begitu muram karena mengetahui pernyataan yang aku berikan. Siapa yang senang, penolakan begitu jelas. Bahkan, ini di depan banyak orang. "Gue nggak akan biarin itu terjadi, selama gue masih hidup lo harus jadi milik gue Ranesya!" kata Rayyen berdiri menatapku begitu lekat. Tidak merespon, aku hanya diam karena malas untuk menyahuti perkataan Rayyen itu. "Dan gue yang akan buat lo kehilangan segalanya," timpal Adelio ikut berdiri. Tanpa segan menarik kerah Rayyen, mereka saling bertatapan begitu tajam. "Silakan! Gue akan ambil R
Aku menatap kaget mendengar lontaran Adelio itu, aku menunduk karena kelopak mataku terasa mengeluarkan buliran bening yang jatuh. Tiba-tiba saja seseorang memeluk, aku mendongak menatap tidak percaya. "Bercanda sayang, aku percaya sama kamu," kata Adelio dengan kekehan kecilnya. Aku mengusap hidung yang basah, aku mendorong dada Adelio. "Nggak usah ngeselin deh! Gue nangis ini," omelku dengan tangisan makin keras. Adelio yang ketar-ketir mendekat, mengusap pipiku yang basah. Apa dia merasa bersalah? Sehingga mendekatiku, dih ngeselin banget sumpah. "Eh, jangan nangis dong. Aku cuma bercanda doang," kata Adelio menarikku dalam pelukannya. "Tapi bercanda lo, nggak lucu tau!" kesalku memukul dada Adelio. Lebih mengesalkan di mana Adelio terkekeh pelan, apa lucunya sih? Aku di sini dituduh loh, malah dia ikut-ikutan buat aku nangis begini. "Ngapain juga lo ketawa?" tanyaku melepaskan diri dari pelukannya. "Lo aja kalo nangis makin menggemaskan," balas Adelio mencubit pipiku. A
Saat pertanyaan Vivian terlontar, aku meneguk ludah. Untungnya aku bisa menjawab semua dengan enteng. Setelah menghadapi masalah besar, mereka berdua akhirnya pulang di jam 7 malam."Gue nggak sanggup asli," keluhku ke Adelio yang duduk di ruang santai. Adelio terkekeh mengelus puncak kepalaku. "Lo pasti ketar-ketir ye kan.""Pake nanya lagi, gue beneran takut tadi," kesalku menabok lengan Adelio. Bayangkan pertanyaan Vivian itu sangat mematikan belum lagi waktu di kamar, ada satu foto ketinggalan di meja belajar. Untungnya aku bisa menyembunyikan tepat waktu, aduh ini Tuhan lagi baik sama aku sih. "Asal mereka nggak taukan? Kita bisa berhasil," seru Adelio tersenyum manis. Alah, itu juga karena aku banyak alasan. Coba Adelio ikut kasih alasan? Mungkin sudah ketauan karena jawaban kami pasti berbeda. "Iya serah lo aja deh," balasku malas. "Ehem, lagi ngapain nih peluk-peluk," sindir seseorang dengan suara nge-bas. Aku yang menyadari orang tersebut cepat bertegak, menoleh kebe
Aku tertawa mengingat kejadian pulang sekolah, sekarang aku berada di rumah memainkan ponsel. Cuma sedikit kaget di mana dalam grup, jika Gita dan Vivian ingin berkunjung ke rumah. Asli ya, aku langsung deg-degan karena mereka sudah berada di rumah orang tuaku. "Adelio, cepetan!" teriakku menggedor pintu kamar. Pintu tersebut buka, terlihat Adelio mengusap mata sepertinya baru bangun tidur. Aku tanpa berkata, menarik tangannya. Adelio terkaget-kaget dari rautnya, ingin tertawa tapi situasi sekarang lagi tidak bagus. "Kenapa lo?" tanya Adelio menarik tanganku sesaat. "Jangan banyak tanya deh, gue gini juga mau cepat ke rumah orang tua gue. Ada Gita sama Vivian di sana," ungkapku membuat Adelio sebaliknya menarikku. Eh, kok malah aku yang ditarik-tarik. Sepertinya Adelio menyadari ketar-ketir diriku. "Ayok, cuss kita harus cepat ke rumah Papa Mama," seru Adelio mendorongku ke dalam mobil. Kasar banget sih, dasar emang ya. Apa karena ingin cepat sehingga begini jadinya. Adelio
"Maksudnya apa Om?" tanya Adelio menarikku kebelakang. Senyum miring tertampil di bibirnya. "Kamukan sudah melukai Zara? Sekarang dia berada di rumah sakit," tuduh Om tua sambil mengepalkan tangan. Eh, sejak kapan please. Aku saja selalu bersama Adelio, kapan melukai Zara murahan itu? Sampai orang tua ini menuduh Adelio. "Astaga Om, aku mana pernah melukai dia. Nggak pengen soalnya, kan aku udah ada ini," kata Adelio menoleh ke arahku sebentar. Aku tersenyum kecil, saat Adelio memberitahu kalo aku adalah pacarnya. "Alasan aja kamu! Apa saya laporkan aja kamu ke kepala sekolah," kata Om tua mendekat menarik kerah Adelio. Hal gilanya, Om tua itu mengangkat dengan mudah tubuh Adelio. Aku menganga tidak percaya, setua ini tenaganya masih oke. "Jangan sembarangan ya, aku juga nggak akan ngelakuin itu karena Zara bukan siapa-siapa," papar Adelio masih berusaha sabar. Aku menggeleng, ya untuk apa bertengkar dengan orang tua? Dia tidak akan mendengarkan. Daripada mak
Aku pergi sendiri dengan mobil ke sekolah, awalnya Adelio tidak terima. Namun, aku ngambek jika tidak diizinkan sehingga Adelio pasrah, dan mengalah. Di lorong tanpa sengaja aku melihat Gracia bersedekap dada berdiri di depan kelas, aku abaikan Gracia itu.Hal yang diriku ingin mengamuk karena Gracia sengaja memajukan kakinya sehingga aku tersungkur. Aku mendengus, berdiri berhadapan dengan Gracia. "Sengajakan lo?""Hah, lo nuduh gue?" tanya Gracia tidak terima. Dengan kepalan tangan, gigi menggeletuk rasanya ingin menampol orang gila ini. "Dahlah, males gue sama lo. Kalah saingkan, makanya lo nyari masalah terus sama gue," tanggapku membuat Gracia melotot. Apa dia tidak terima? Sehingga seperti itu? Heh, Gracia memang penggoda. Ihh, aku saja jijik dengannya. Apalah dia ini, banyak cowok tampan tapi malah merebut punya orang lain. "Ngapain juga kalah saing sama lo, gue cantik kok," kata Gracia begitu percaya diri. Mendengar itu, aku memperhatikan wajahnya. Seketika aku tertawa