Share

Bab 6. Pernikahan

Sebulan kemudian, tepat hari minggu biasanya untuk bersantai bersama keluarga. Berbeda dengan aku yang harus bangun pagi hanya untuk berhias. Waktu tidurku terganggu!

Aku menguap, selagi orang rias memberi bedak di wajahku, sedikit lagi selesai dan aku benar-benar membenci hari ini.

Pernikahan yang tidak pernah aku harapkan! Sialnya aku menikah dengan seorang berandal sekolah.

“Mbak, udah selesai?” Mama Cahaya menghampiriku, mengusap kepalaku dengan lembut. Tukang rias itu mengangguk pergi dari hadapanku.

Aku menghindari tatapan Mama Cahaya, aku tau jika ini semua untuk perusahaan. Tapi kenapa harus aku jadi korban yang diinginkan keluarga Andres?

Mama Cahaya menyadari aku yang berbeda, mencangkup pipiku. “Sayang, maafin Mama. Nggak bisa bantu apa-apa,” ucap Mama Cahaya sendu.

Aku geleng-geleng, tidak mau terlihat rapuh.

“Ranesya? Kamu kenapa?” Mama Cahaya panik, melihat tetesan air mataku jatuh.

Aku tidak menjawab, mulutku terasa kelu untuk berucap. Perasaanku tidak karuan, tidak menyangka akan secepat ini, kehidupan baru yang aku jalani.

Tanpa sadar, aku dipeluk erat oleh Mama Cahaya. “Sayang, jangan marah sama Mama.”

Tiba-tiba Papa Guntur datang, melihat apa yang terjadi kepadaku. “Ayo kita harus pergi sekarang,” perintah Papa Guntur, membuat Mama Cahaya menghela napas panjang.

“Ayo sayang,” kata Mama Cahaya, aku digandeng menuju rombongan mobil.

Aku hanya diam selama diperjalanan, semua ini seakan mimpi.

Cukup 30 menit sampai ke rumah keluarga Andres, aku menarik napas dalam-dalam melirik sekeliling ramai, hanya orang dari pihak keluarga besar yang datang.

Aku disambut dengan senyum oleh Ayah Liam dan Bunda Delyna. Aku masuk ke rumah, terlihat Adelio berpakaian rapi dan peci tertempel di kepalanya.

Aku digandeng Mama Cahaya untuk duduk berdampingan dengan Adelio, aku melirik Adelio yang tegang.

Tangan Adelio dan Papa Guntur berjabatan. “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Adelio Andres dengan anak saya Ranesya Adipurna binti Guntur Adipurna dengan mas kawin uang tunai sebesar 20 juta 50 ribu rupiah dibayar tunai,” ucap Papa Guntur menatap tegas Adelio.

Sejujurnya, aku deg-degan berada di sini. Namun, aku hanya bisa diam mendengarkan.

Adelio menarik napas panjang. “Saya terima nikahnya dan kawinnya Ranesya Adipurna binti Guntur Adipurna dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai,” kata Adelio satu tarikan.

“Sah,” ucap saksi dan penghulu mengangguk.

“Sah.” Semua orang berteriak bahagia.

Aku merasa napasku berhenti saat itu juga. Kehidupanku akan bersama Adelio, aku tidak kuat Tuhan.

“Sayang, salam suamimu,” kata Bunda Delyna, memberi instruksi yang berada di belakangku.

Aku berhadapan dengan Adelio, mencium punggung tangannya.

“Nah, ini baru Istriku yang baik,” seru Adelio, disoraki orang-orang.

“Aduh yang udah nikah, romantis banget sama Istrinya,” goda Bunda Delyna terkekeh kecil.

Mama Cahaya menyahut, “Iya dong, kita udah besan.” Terlihat Mama Cahaya dan Bunda Delyna saling berpelukan, aku hanya bisa menatap datar apa yang terjadi.

Tanpa aku izinkan, Adelio menggenggam tanganku biar terlihat pasangan romantis di depan orang. Tapi aku enggan bersandiwara.

“Jangan berharap bisa sentuh gue lagi!” kesalku melepaskan genggaman, pergi dari tempat itu tanpa memedulikan, orang-orang memperhatikanku.

***

“Astaga! Kapan selesainya!” gerutuku, memijit kepala yang menyut.

Selama seharian full, aku memilih tidur, tanpa peduli acara masih berjalan. Sehingga malamnya aku harus stay untuk acara dansa.

Bahkan, aku dinasehati oleh Mama Cahaya karena meninggalkan Adelio sendiri di acara salam-salaman. Bodo amat, emang gue pikirin?!

Adelio menghampiriku. “Cepetan turun, enak ya yang tidur siang,” sindir Adelio menatapku kesal.

“Enaklah, gue juga ogah kali mau nikah sama lo!” Aku membalas tatapannya lebih tajam.

“Apalagi gue! Nggak banget sama otak udang,” timpal Adelio mengejekku.

Aku menggeram ingin memukul wajah sok tampan itu, keadaan dalam kamar juga sepi hanya kami berdua.

Terpaksa aku turun bersama Adelio, aku juga muak dengan acara pernikahan ini.

Semua tertuju kepada aku dan Adelio. Turun perlahan sesuai tujuan kami ditengah kerumunan.

“Baiklah, karena mempelai sudah ada di sini. Kita mulai sekarang.” Suara Mc menggema, aku menghela napas berat.

Tangan Adelio menyodorkan ke arahku, tapi aku hanya melihat dan mengabaikan. Suara alunan lagu terdengar, aku berdansa dengan caraku, tanpa memedulikan Adelio akan malu.

“Sialan,” umpat Adelio mengikutiku, setiap kali Adelio ingin memegang aku selalu menghindar.

“Nggak sudi gue dipegang lo,” ucapku menatap sinis Adelio berdecak kesal.

Aku tertawa dalam hati bisa membuatnya kesal. Tidak hanya kami, semua orang ikut berdansa dengan pasangan.

Sampailah, semua orang sibuk sendiri. Aku diam-diam pergi masuk kembali dalam kamar, sementara Adelio mengikutiku.

“Ngapain lo ngikutin gue?!” ketusku berkacak pinggang menatap dirinya.

Adelio mengangkat satu alisnya. “Gue mau tidur kali,” seru Adelio, langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur.

Aku yang tidak terima menariknya. “Turun nggak lo?! Gue mau tidur!” tukasku hingga Adelio terjatuh.

“Gue tidur di mana,” kata Adelio berusaha berdiri.

“Itu bukan urusan gue!” sergah mendorong Adelio keluar dari kamar. Pokoknya, aku harus tidur nyenyak tanpa ada gangguan Adelio!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status