Share

Bab 5. Surat Panggilan

“Duh, bau banget lagi,” gerutuku membersihkan wc perempuan.

Sebelumnya, aku dan Adelio sudah berlomba memasuki wc siswa siswi. Aku sudah menasehati, supaya tidak membersihkan wc perempuan. Namun, Adelio enggan mendengarkan aku.

Tidak lama terdengar, suara keributan dari luar.

“Aaaaa, ihh mesum banget sih!”

“Ngapain di siniii!”

Aku pun membuka pintu wc yang aku bersihkan. Aku menganga lebar, terdapat Adelio dipukul-pukul dua siswi.

Aku tertawa terbahak-bahak, karena Adelio menderita di sana, namun Adelio berhenti di depanku.

“Udah dong, gue Cuma disuruh doang sama Ranesya,” tunjuk Adelio ke arahku.

Dua siswi itu berhenti memukuli Adelio, beralih mendekatiku. Sementara Adelio menjulurkan lidahnya, hendak pergi meninggalkan aku sendiri.

“Adelio, lo mau kemana!” Aku ingin mengejar, namun ditarik dua siswi itu.

“Ranesya, ini ternyata sifat asli lo yang suka cari perhatian ke guru,” kata Hani menghalangiku.

Anggita memberi tatapan sinis kepadaku. “Siswi pintar katanya, tapi bersihin wc.”

Hani dan Anggita adalah anak siswi kelas 11 MIPA 4. Cuma kali ini sepertinya nasib sial mengiringiku.

“Kenapa kalo gue bersihin wc? Itu bukan urusan kalian!” sergahku berkacak pinggang.

“Haha, nggak mencerminkan Ratu yang dipuji penggemar lo.” Hani memegang rambutku sambil tersenyum miring.

Anggita mengangguk setuju. “Sebagai Ratu di puja-puja seharusnya memberi contoh yang baik,” sahut Anggita bersedekap dada.

Belum aku membalas omongan mereka, Hani dan Anggita tiba-tiba saja menarik rambutku. Aku merasa sial jika berdekatan dengan Adelio.

Aku yang tidak terima menarik rambut mereka.

“Lo sembarangan nuduh gue!” teriakku bertatapan langsung dengan Hani.

“Kenyataan emang lo kan yang nyuruh Adelio!” tukas Hani tidak tau kebenarannya yang terjadi.

“Emang munafik kayak lo, seharusnya nggak ada di sekolah ini!” hina Anggita mendorong tubuhku ke dinding.

Aku tersudut apalagi melawan dua orang sekaligus.

Tiba-tiba, terdengar suara yang sangat aku kenal mendekat.

“Ibu, itu mereka berantem,” tunjuk Adelio membawa Ibu Aini menghampiri kami bertiga.

Adelio berusaha memisahkan aku. Ikut kena getahnya, aku menarik sekuat mungkin rambut Adelio karena emosi.

“Gara-gara lo! Gue selalu nasib sial! Adelio!” sesalku melampiaskan semuanya.

“Jangan tarik rambut gue, botak nih lama-lama.” Adelio meringis, ternyata Hani dan Anggita ikut membantuku.

“Rambut gue,” keluh Adelio melirik Ibu Aini memijit pelipisnya.

“Jika nggak ada yang mau berhenti, Ibu akan memberi tau kepala sekolah,” ancam Ibu Aini seketika aku, Hani dan Anggita berhenti.

Aku melirik Adelio berjongkok sambil memijit kepalanya, aku menahan tawa karena dia kesakitan. Tidak berlangsung lama karena Ibu Aini benar-benar marah.

“Kalian ini kayak anak kecil! Ranesya, Ibu nyuruh kamu membersihkan wc, bukan bertengkar!” sergah Ibu Aini melototi diriku.

“Ini bukan salah aku, Bu. Tapi karena Adelio,” ucapku memberitahu, aku menunduk takut.

“Nggak usah menyalahkan orang lain! Kalian semua ikut ke BK sekarang!” Ibu Aini berjalan terlebih dahulu. Aku berjalan beriringan dengan Hani, dan Anggita yang saling melirik sinis ke arahku.

Di ruang BK, hanya ada Ibu Aini mengintrogasi aku, Adelio, Hani, dan Anggita.

“Siapa yang salah di sini!” teriak Ibu Aini memainkan pena yang berada di tangannya.

“Ranesya!” tunjuk mereka bertiga ke arahku.

Aku yang disalahkan menyipitkan mata ke mereka secara bergantian.

“Bukan aku, Bu. Tapi Adelio duluan yang ingin membersihkan wc perempuan,” belaku karena tidak mau kena getah lagi.

“Fitnah Bu, dia yang nyuruh aku membersihkan wc perempuan biar cepat selesai!” balas Adelio tersenyum miring.

“Benar Bu, kami saksi di sini,” timpal Hani diangguki Anggita.

“Nggak benar ini Bu, aku— “

Ibu Aini memotong perkataanku. “Ini surat panggilan orang tua, kamu bermasalah kali ini Ranesya.”

Aku menganga menerima surat itu, sementara Adelio tersenyum ke arahku.

Adelio sialan!

***

Aku pulang sekolah dengan lesu, menenteng surat panggilan. Tidak terasa hidupku berubah semenjak kenal Adelio.

Selama ini hidupku tentram, aku selalu dibanggakan di sekolah. Sekarang, aku jadi korban fitnah karena Adelio!

Masuk ke rumah melihat kedua orang tuaku duduk di ruang tamu. Aku menghampiri mereka, duduk samping Mama Cahaya.

“Sayang, kenapa kamu cemberut gitu?” tanya Mama Cahaya mengelus rambutku.

Aku manyun ingin menangis saja, Adelio demi apapun. Lo itu bikin gue sial!

“Mama, jangan marah ya,” ujarku memberi surat panggilan itu.

Mama Cahaya membuka, membaca keseluruhan, setelah itu melihatku dengan teliti.

“Mama, Ranesya kenapa?” tanya Papa Guntur ke Mama Cahaya karena kepo.

“Tanya aja ke anaknya sendiri.” Mama Cahaya langsung melirikku menunduk dalam.

“Aku dipanggil karena berantem sama temen kelas 11 MIPA 4 karena Adelio,” ucapku jujur menatap mereka berkaca-kaca.

Papa Guntur menoleh ke arahku. “Bagus dong!”

Aku mendengar seruannya melongo tidak percaya. “Papa nggak marah?”

“Nggak sayang, Papa senang kamu bisa nakal juga ternyata,” kelakar Papa Guntur, sementara Mama Cahaya tersenyum.

“Iya, tumben lo bikin masalah,” seru Jean tiba-tiba nongol dari belakang.

“Diem ah, ishh aku hampir nangis padahal,” sahutku cemberut diketawain keluargaku.

“Ihh, nyebelin!” lanjutku bersedekap dada memutarkan badan membelakangi mereka.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status