Nafeeza menghela napas pendek, lalu melengkungkan bibirnya dalam sebuah senyum tipis, sinis, dingin, sesuatu yang jarang sekali ia pertontonkan sejak meninggalkan Arfan bertahun lalu."Kalau kau pikir aku akan lari hanya karena gertakan, Aurel... berarti kau belum benar-benar mengenalku."Ia melangkah keluar ruangan, kembali bergabung dengan timnya seolah tak ada apa-apa yang terjadi. Namun di dalam kepalanya, sebuah ide perlahan bertunas, liar, berbahaya, dan nyaris terlalu menggoda untuk diabaikan.Malam itu, di kontrakannya yang sederhana, Nafeeza berdiri di depan cermin. Wajah yang dulu lemah dan terluka, kini menatap balik dengan ketegasan dan keanggunan."Arfan..." bisiknya lirih, seolah berbicara pada bayangannya sendiri. "Kau yang harus memilih. Aku tak akan mengejar. Tapi kalau Aurel mulai merasa terancam... mungkin memang seharusnya begitu."Jika Aurel ingin memainkan rasa cemburu sebagai senjata, maka Nafeeza siap menjadikan rasa itu alat perlindungan, bahkan mungkin... ala
Keesokan harinya…Arfan sedang berdiri di balik jendela besar ruangannya, terpaku pada pemandangan di bawah. Matanya kosong, menatap parkiran dengan pandangan yang tak bergerak. Dari kejauhan, ia melihat seorang pria muda berpakaian rapi, mengenakan jas dokter, membuka pintu mobil untuk Nafeeza. Mereka tertawa, tawa yang begitu alami, begitu dekat. Dari jarak yang jauh, Arfan bisa merasakan betul, ada sesuatu antara mereka.Jantungnya berdetak lebih cepat. Cemburu, marah, dan takut bercampur menjadi satu, merasuki setiap sudut tubuhnya. Ia mengepalkan tangan, menahan gejolak yang semakin tak terkendali. Sebuah rasa yang begitu asing, namun begitu kuat, melanda dadanya.Dengan kesal, Arfan berbalik dan melangkah ke meja kerjanya. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, lalu berhenti sejenak. Ada pesan baru dari Aurel:"Sayang, nanti malam dinner bareng keluarga ya. Sekalian membahas tentang rencana pernikahan kita."Arfan mengetik balasan cepat, tanpa benar-benar membaca
"Garis dua?" gumamku lirih saat menatap test pack di tangan yang gemetar.Senyumku merekah perlahan. Tanganku terangkat, mengusap perutku yang masih rata. Rasanya seperti mimpi. Setelah penantian panjang, akhirnya ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam rahimku. Aku membayangkan reaksi mas Arfan, apakah ia akan terkejut? Atau justru menangis haru, seperti di video-video kejutan kehamilan yang sering aku tonton?Dengan hati-hati, kusimpan test pack itu di laci meja rias. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang keempat. Aku sudah menyiapkan semuanya: dekorasi sederhana di ruang makan, hidangan favorit Arfan, dan kue kecil bertuliskan "Happy 4th Anniversary." Malam ini, aku akan memberinya kabar paling bahagia dalam hidup kami.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku sempat ragu, tapi rasa penasaran mengalahkan keraguanku.“Halo?” sapaku hati-hati.Tak ada jawaban. Hanya suara napas berat di ujung sana, sebelum akhirnya terdengar suara
Aku menatap ibu mertuaku dengan dada sesak. Air matanya mengalir deras, tapi sorot penuh kebencian itu seolah mengiris hatiku. Aku ingin berteriak bahwa aku juga kehilangan, bahwa aku mencintai Arfan lebih dari apapun. Tapi di matanya, aku hanya pembawa sial."Ibu, aku mohon... jangan menyalahkanku," suaraku hampir berbisik, berusaha tetap tenang meski tubuhku gemetar. "Aku juga ingin Mas Arfan selamat. Aku mencintainya, Bu..."Namun, ibu mertuaku tak mau mendengar. Dengan mata yang menyala amarah, ia menudingku."Kalau kau benar-benar mencintainya, kenapa sejak kau masuk ke dalam hidupnya, selalu ada masalah? Kenapa hidupnya justru penuh musibah setelah menikah denganmu?"Aku ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa aku pun bertanya-tanya siapa yang tega mencelakai suamiku. Tapi sebelum aku sempat berbicara, suara tegas menghentikan kami."Ibu, cukup."Aku menoleh dan melihat seorang pria yang baru saja memasuki ruang ICU. Pak Rudi."Ibu boleh marah, boleh bersedih, tapi ini bukan saat
"Baik, di mana saya bisa menemui Bapak?" tanyaku tegas. "Datang saja ke kantor polisi," jawabnya. Aku mengangguk, meski tahu Pak Rudi tidak bisa melihatnya. Setelah menutup telepon, aku menatap rumah sakit di depanku. Perasaan campur aduk memenuhi dadaku. Aku ingin kembali masuk, ingin berada di sisi Mas Arfan, tapi kata-kata ibu mertuaku masih menggema di kepalaku. Aku telah diusir, dan jika aku nekat kembali, mereka tidak akan membiarkanku mendekat. Tanganku refleks menyentuh perutku. Aku tidak bisa tinggal diam. Jika ada seseorang yang memang ingin mencelakai suamiku, aku harus mengetahui kebenarannya. Dengan langkah cepat, aku menuju pinggir jalan dan menghentikan taksi pertama yang melintas. Begitu duduk di dalamnya, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, jantungku terus berdebar kencang, dan rasa cemas tak kunjung surut. Perjalanan terasa begitu lama, seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Namun akhirnya, aku tiba di kantor polisi. Pak R
Aku duduk di depan rumah sakit, menatap kosong ke arah lalu lintas yang ramai. Sudah tiga hari berlalu, dan Mas Arfan masih belum sadar. Namun, yang lebih menyakitkan adalah ibu mertuaku yang terus melarangku untuk menemuinya. Setiap kali aku mencoba masuk, para pengawal selalu menghadang dengan alasan yang sama, "Perintah Ibu." Aku tahu ibu mertuaku tidak pernah menyukaiku, tapi aku tak menyangka ia bisa setega ini. Aku menghela nafas panjang, berusaha menenangkan diri. Aku harus menemukan cara untuk menemui Mas Arfan, apapun resikonya. Aku tidak bisa terus menunggu sementara kebenaran tentang kecelakaannya masih menggantung di udara. Ponselku bergetar. Aku segera meraihnya dan melihat nama Pak Rudi di layar. Tanpa ragu, aku menjawab. "Ada kabar, Pak?" tanyaku langsung. "Kami sudah menemukan sopir itu. Setelah penyelidikan, tidak ada hal-hal yang mencurigakan." Aku terdiam sejenak, mencerna kata-kata Pak Rudi. "Tidak ada yang mencurigakan?" ulangku, memastikan aku tidak salah
Aku keluar dari rumah sakit dengan hati penuh kecamuk. Besok pagi, Mas Arfan akan dibawa pergi, dan aku harus mencari cara untuk mencegahnya. Aku tahu, melawan ibu mertuaku secara langsung adalah hal yang mustahil, pengaruh dan kekuasaannya terlalu besar. Namun, aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus berani. Aku harus menemuinya. Dengan langkah tegas, aku menuju rumah keluarga suamiku, tempat ibu mertuaku tinggal. Aku sadar, ini langkah berisiko. Sejak awal pernikahan, ia tak pernah menyukaiku, dan setelah kecelakaan yang menimpa Mas Arfan, kebenciannya semakin jelas. Di depan gerbang rumah megah itu, aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Seorang pelayan membukakan pintu, menatapku dengan ragu. "Saya ingin bertemu dengan Ibu," kataku, berusaha terdengar tegas meskipun hatiku berdebar kencang. Pelayan itu tampak bimbang, tapi sebelum sempat menjawab, suara dingin dari dalam rumah terdengar. "Biarkan dia masuk." Aku menegakkan tubuh dan melangkah masuk ke ruang ta
Aku berdiri terpaku, dada sesak seolah dihimpit beban berat. Jika benar yang dikatakan ibu mertua, maka aku harus bertindak sekarang. Aku tidak bisa membiarkan Mas Arfan melupakan aku begitu saja.Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan penuh tekad. “Aku tidak akan menyerah,” kataku tegas.Ibu mertuaku hanya terkekeh kecil, nadanya penuh ejekan. “Dan apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya wanita biasa tanpa kekuasaan dan pengaruh. Bahkan jika kau mencoba menghentikanku, kau tak akan berhasil.”Aku mengepalkan tangan, menahan gemetar yang menjalar di tubuhku. Aku tahu ibu mertuaku bukan sekadar mengancam, dia benar-benar bisa melakukan semua yang ia katakan. Tapi aku masih punya satu harapan.“Aku ingin menemui Mas Arfan,” ujarku mantap.Tatapannya mengeras. “Tidak mungkin. Dia berada di bawah pengawasan ketat. Bahkan kau pun tak akan bisa mendekatinya. Lagi pula, dia belum sadar. Ia tidak akan mendengarkanmu. Lebih baik kau menyerah sekarang. Jika kau pergi, aku akan membawanya berobat
Keesokan harinya…Arfan sedang berdiri di balik jendela besar ruangannya, terpaku pada pemandangan di bawah. Matanya kosong, menatap parkiran dengan pandangan yang tak bergerak. Dari kejauhan, ia melihat seorang pria muda berpakaian rapi, mengenakan jas dokter, membuka pintu mobil untuk Nafeeza. Mereka tertawa, tawa yang begitu alami, begitu dekat. Dari jarak yang jauh, Arfan bisa merasakan betul, ada sesuatu antara mereka.Jantungnya berdetak lebih cepat. Cemburu, marah, dan takut bercampur menjadi satu, merasuki setiap sudut tubuhnya. Ia mengepalkan tangan, menahan gejolak yang semakin tak terkendali. Sebuah rasa yang begitu asing, namun begitu kuat, melanda dadanya.Dengan kesal, Arfan berbalik dan melangkah ke meja kerjanya. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, lalu berhenti sejenak. Ada pesan baru dari Aurel:"Sayang, nanti malam dinner bareng keluarga ya. Sekalian membahas tentang rencana pernikahan kita."Arfan mengetik balasan cepat, tanpa benar-benar membaca
Nafeeza menghela napas pendek, lalu melengkungkan bibirnya dalam sebuah senyum tipis, sinis, dingin, sesuatu yang jarang sekali ia pertontonkan sejak meninggalkan Arfan bertahun lalu."Kalau kau pikir aku akan lari hanya karena gertakan, Aurel... berarti kau belum benar-benar mengenalku."Ia melangkah keluar ruangan, kembali bergabung dengan timnya seolah tak ada apa-apa yang terjadi. Namun di dalam kepalanya, sebuah ide perlahan bertunas, liar, berbahaya, dan nyaris terlalu menggoda untuk diabaikan.Malam itu, di kontrakannya yang sederhana, Nafeeza berdiri di depan cermin. Wajah yang dulu lemah dan terluka, kini menatap balik dengan ketegasan dan keanggunan."Arfan..." bisiknya lirih, seolah berbicara pada bayangannya sendiri. "Kau yang harus memilih. Aku tak akan mengejar. Tapi kalau Aurel mulai merasa terancam... mungkin memang seharusnya begitu."Jika Aurel ingin memainkan rasa cemburu sebagai senjata, maka Nafeeza siap menjadikan rasa itu alat perlindungan, bahkan mungkin... ala
Di sebuah restoran mewah di pusat kota,Aurel duduk anggun di balik meja marmer, mengenakan gaun pastel lembut yang menonjolkan keanggunannya. Di hadapannya, Randy berdiri dengan ragu. Jemarinya gelisah di dalam saku jas sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.“Nona Aurel... saya baru kembali dari kantor pusat Veranza,” ucapnya hati-hati.Aurel menyesap kopi perlahan, lalu menatap Randy dengan alis terangkat. “Lalu?”“Di sana... saya melihat seseorang yang mungkin Anda kenal.” Ia jeda sejenak. “Nafeeza.”Gerakan Aurel terhenti. Cangkir kopi menggantung di udara, dan tatapannya langsung mengunci wajah Randy, tajam, penuh curiga.“Nafeeza? Maksudmu... Nafeeza itu?”Randy mengangguk pelan. “Iya. Mantan istri Tuan Arfan. Sekarang dia klien Avila Desain, bekerja sama dengan perusahaan kita. Bahkan, katanya sedang menangani proyek untuk brand terbaru Veranza.”Dahi Aurel berkerut. Ia tertawa kecil, sinis.“Lucu sekali. Nafeeza? Seorang desainer? Jangan bercanda, Randy. Dia bahka
Ponsel di tangan Nafeeza bergetar pelan, layarnya menyala menampilkan nama yang sudah sangat ia kenal, Rafa.“Fezza, aku sudah di depan. Kamu sudah selesai?”Nafeeza membalas singkat, “Iya. Aku turun sekarang.”Ia menarik napas panjang, menyeka sisa air mata yang belum sempat kering, lalu mencoba menyusun kembali raut wajah profesionalnya. Tapi getaran di dadanya... belum juga mereda.Langkahnya mantap menuruni anak tangga darurat menuju lobi. Ia sengaja memilih jalur itu agar tak harus berpapasan dengan banyak orang. Nafeeza tahu, hari itu ia tak sanggup melempar senyum basa-basi, apalagi menjelaskan mata sembabnya.Begitu keluar dari pintu samping gedung, angin sore menyapu lembut wajahnya. Di seberang jalan, sebuah mobil hitam melambat, lalu berhenti. Pintu sopir terbuka, dan Rafa turun, kemeja putihnya digulung hingga siku, jas dokter tergantung di jok belakang.“Feeza.”Nada suaranya hangat, penuh perhatian. Seolah tahu betul, Nafeeza sedang sangat membutuhkan tempat untuk berlab
Setelah Nafeeza keluar dari ruang pertemuan, ketegangan di dalam ruangan terasa semakin mencekam. Arfan berdiri tegak di depan jendela besar, matanya tertuju pada hiruk-pikuk kota Jakarta yang tak pernah berhenti berdenyut. Amarah yang sempat membakar dirinya kini mereda, tetapi ada sesuatu yang lain yang mengusik perasaannya, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak, meski ia berusaha menutupinya dengan kebencian yang masih menggerogoti hati. Melisa, yang sejak awal tampak cemas, akhirnya membuka mulut, mencoba meredakan suasana. “Pak, apakah Anda yakin ini keputusan yang tepat? Mungkin kita harus memberi kesempatan pada presentasi itu, terutama jika perusahaan tersebut memiliki potensi besar…” Arfan menatap sekretarisnya dengan tajam, dan tanpa ragu, memotong perkataannya. “Tidak ada yang perlu didengar. Kalau dia ingin bermain-main dengan pekerjaan ini, biarkan dia lihat sendiri akibatnya. Dan kalau perlu, biarkan dia tahu bagaimana rasanya dipermalukan.” Namun, Melisa tahu bet
Keesokan harinya, langit Jakarta masih diselimuti mendung. Sisa hujan yang mengguyur semalam membasahi jalan-jalan, dan kota kembali bergerak dalam ritme yang tak pernah berhenti, macet, padat, penuh ambisi. Suara klakson dan langkah kaki yang terburu-buru mengisi udara, menggambarkan kegelisahan yang tidak pernah lelah.Di lantai atas gedung pencakar langit milik Veranza Corp, Arfan melangkah masuk ke ruang kerjanya. Jas abu-abu yang membalut tubuh tegapnya tampak rapi, dasi yang terpasang sempurna mengingatkan pada ketegasan yang selalu ia bawa. Di belakangnya, Randy, sang asisten setia, menyusul sambil membawa tablet berisi agenda harian.“Jadwal hari ini padat, Pak,” lapor Randy, suaranya penuh kecepatan. “Pukul sepuluh ada rapat dewan direksi, lalu jam dua siang presentasi dari perusahaan desain yang akan bekerja sama untuk produk baru.”Arfan hanya mengangguk, melepas jasnya dengan gerakan yang terlatih, lalu duduk dibalik meja besar yang menghadap jendela kaca raksasa. Dari san
Mereka kembali ke ruang tamu, membawa sisa percakapan hangat dari kamar Danis. Nafeeza duduk di lantai berkarpet tipis, bersandar pada sofa tua yang empuk di satu sisi, sementara Rafa duduk di sampingnya, jarak mereka cukup dekat untuk berbagi kehangatan, namun masih cukup sopan untuk memberi ruang satu sama lain. Televisi dibiarkan menyala sebagai latar. Volume-nya tak terlalu keras, hanya sebagai pelengkap suasana. Nafeeza meraih bantal kecil, memeluknya sambil menatap layar. Rafa melirik sejenak ke wajahnya, lalu ikut mengarahkan pandangannya ke televisi. Hujan di luar mulai reda, menyisakan embun di jendela yang buram. Mereka tertawa kecil saat iklan lucu muncul, kemudian hening kembali. Tapi hening itu bukan hampa, itu tenang, menenangkan. Namun keheningan itu pecah saat layar televisi berubah menampilkan breaking news: “Inilah momen kemewahan pesta pertunangan konglomerat muda Arfan Rahadian dan putri pengusaha, Aurel Ramadhani.” Nafeeza sontak menegakkan tubuhnya, nafasnya
Sejak sore, langit seperti menyimpan tangis yang enggan pecah. Hujan turun perlahan, tak juga usai, seperti luka lama yang belum sempat sembuh. Rintiknya menari di atas atap kontrakan mungil tempat Nafeeza menetap, irama lembut yang mengisi kesepian malam.Di dalam kamar kerjanya, Nafeeza baru saja menyelesaikan desain terakhir untuk klien. Ia bersandar di kursi, memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam relaksasi sejenak, dan membiarkan pikirannya melayang bersama suara hujan yang jatuh satu-satu, seperti bisikan alam yang paling jujur.Getar pelan dari ponsel di atas meja memecah keheningan. Layarnya menyala. Satu pesan masuk. Dari Rafa. Lihat hujan begini, aku jadi pengen duduk bareng kamu sambil minum coklat panas. Bisa?Senyum kecil muncul di sudut bibir Nafeeza, begitu halus tapi nyata. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik balasan. Kalau kamu bawa cokelat panasnya, aku sediain mie rebus. Deal? Hehe.Belum sempat ia beranjak dari kursinya, pintu kamar berderit perlah
Hari-hari berlalu di Studio Avila, dan Nafeeza mulai menemukan ritme barunya. Awalnya canggung, tetapi perlahan ia merasa diterima oleh rekan-rekannya. Ia mendapat kepercayaan untuk menangani proyek desain produk baru untuk lini perlengkapan rumah yang menyasar pasar urban. Ide-idenya, yang sempat diragukan oleh salah satu senior, justru berhasil memukau saat dipresentasikan langsung kepada klien. Malam itu, setelah presentasi yang sukses, ia pulang dengan hati ringan. Di dapur kontrakannya, ia menyeduh teh sambil memandangi Danis yang tertidur lelap. Ada rasa syukur yang menghangatkan dadanya. Namun di sela kebahagiaan itu, pikirannya sesekali kembali pada Arfan, pada tatapan mata pria itu saat terakhir kali mereka bertemu, dan pada pertanyaan yang belum juga ia temukan jawabannya: apakah luka mereka bisa sembuh, atau memang ditakdirkan tinggal sebagai kenangan? Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Nafeeza membuka dengan sedikit heran. Di hadapannya berdiri Rafa, masih mengenakan