Setelah Nafeeza keluar dari ruang pertemuan, ketegangan di dalam ruangan terasa semakin mencekam. Arfan berdiri tegak di depan jendela besar, matanya tertuju pada hiruk-pikuk kota Jakarta yang tak pernah berhenti berdenyut. Amarah yang sempat membakar dirinya kini mereda, tetapi ada sesuatu yang lain yang mengusik perasaannya, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak, meski ia berusaha menutupinya dengan kebencian yang masih menggerogoti hati. Melisa, yang sejak awal tampak cemas, akhirnya membuka mulut, mencoba meredakan suasana. “Pak, apakah Anda yakin ini keputusan yang tepat? Mungkin kita harus memberi kesempatan pada presentasi itu, terutama jika perusahaan tersebut memiliki potensi besar…” Arfan menatap sekretarisnya dengan tajam, dan tanpa ragu, memotong perkataannya. “Tidak ada yang perlu didengar. Kalau dia ingin bermain-main dengan pekerjaan ini, biarkan dia lihat sendiri akibatnya. Dan kalau perlu, biarkan dia tahu bagaimana rasanya dipermalukan.” Namun, Melisa tahu bet
"Garis dua?" gumamku lirih saat menatap test pack di tangan yang gemetar.Senyumku merekah perlahan. Tanganku terangkat, mengusap perutku yang masih rata. Rasanya seperti mimpi. Setelah penantian panjang, akhirnya ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam rahimku. Aku membayangkan reaksi mas Arfan, apakah ia akan terkejut? Atau justru menangis haru, seperti di video-video kejutan kehamilan yang sering aku tonton?Dengan hati-hati, kusimpan test pack itu di laci meja rias. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang keempat. Aku sudah menyiapkan semuanya: dekorasi sederhana di ruang makan, hidangan favorit Arfan, dan kue kecil bertuliskan "Happy 4th Anniversary." Malam ini, aku akan memberinya kabar paling bahagia dalam hidup kami.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku sempat ragu, tapi rasa penasaran mengalahkan keraguanku.“Halo?” sapaku hati-hati.Tak ada jawaban. Hanya suara napas berat di ujung sana, sebelum akhirnya terdengar suara
Aku menatap ibu mertuaku dengan dada sesak. Air matanya mengalir deras, tapi sorot penuh kebencian itu seolah mengiris hatiku. Aku ingin berteriak bahwa aku juga kehilangan, bahwa aku mencintai Arfan lebih dari apapun. Tapi di matanya, aku hanya pembawa sial."Ibu, aku mohon... jangan menyalahkanku," suaraku hampir berbisik, berusaha tetap tenang meski tubuhku gemetar. "Aku juga ingin Mas Arfan selamat. Aku mencintainya, Bu..."Namun, ibu mertuaku tak mau mendengar. Dengan mata yang menyala amarah, ia menudingku."Kalau kau benar-benar mencintainya, kenapa sejak kau masuk ke dalam hidupnya, selalu ada masalah? Kenapa hidupnya justru penuh musibah setelah menikah denganmu?"Aku ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa aku pun bertanya-tanya siapa yang tega mencelakai suamiku. Tapi sebelum aku sempat berbicara, suara tegas menghentikan kami."Ibu, cukup."Aku menoleh dan melihat seorang pria yang baru saja memasuki ruang ICU. Pak Rudi."Ibu boleh marah, boleh bersedih, tapi ini bukan saat
"Baik, di mana saya bisa menemui Bapak?" tanyaku tegas. "Datang saja ke kantor polisi," jawabnya. Aku mengangguk, meski tahu Pak Rudi tidak bisa melihatnya. Setelah menutup telepon, aku menatap rumah sakit di depanku. Perasaan campur aduk memenuhi dadaku. Aku ingin kembali masuk, ingin berada di sisi Mas Arfan, tapi kata-kata ibu mertuaku masih menggema di kepalaku. Aku telah diusir, dan jika aku nekat kembali, mereka tidak akan membiarkanku mendekat. Tanganku refleks menyentuh perutku. Aku tidak bisa tinggal diam. Jika ada seseorang yang memang ingin mencelakai suamiku, aku harus mengetahui kebenarannya. Dengan langkah cepat, aku menuju pinggir jalan dan menghentikan taksi pertama yang melintas. Begitu duduk di dalamnya, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, jantungku terus berdebar kencang, dan rasa cemas tak kunjung surut. Perjalanan terasa begitu lama, seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Namun akhirnya, aku tiba di kantor polisi. Pak R
Aku duduk di depan rumah sakit, menatap kosong ke arah lalu lintas yang ramai. Sudah tiga hari berlalu, dan Mas Arfan masih belum sadar. Namun, yang lebih menyakitkan adalah ibu mertuaku yang terus melarangku untuk menemuinya. Setiap kali aku mencoba masuk, para pengawal selalu menghadang dengan alasan yang sama, "Perintah Ibu." Aku tahu ibu mertuaku tidak pernah menyukaiku, tapi aku tak menyangka ia bisa setega ini. Aku menghela nafas panjang, berusaha menenangkan diri. Aku harus menemukan cara untuk menemui Mas Arfan, apapun resikonya. Aku tidak bisa terus menunggu sementara kebenaran tentang kecelakaannya masih menggantung di udara. Ponselku bergetar. Aku segera meraihnya dan melihat nama Pak Rudi di layar. Tanpa ragu, aku menjawab. "Ada kabar, Pak?" tanyaku langsung. "Kami sudah menemukan sopir itu. Setelah penyelidikan, tidak ada hal-hal yang mencurigakan." Aku terdiam sejenak, mencerna kata-kata Pak Rudi. "Tidak ada yang mencurigakan?" ulangku, memastikan aku tidak salah
Aku keluar dari rumah sakit dengan hati penuh kecamuk. Besok pagi, Mas Arfan akan dibawa pergi, dan aku harus mencari cara untuk mencegahnya. Aku tahu, melawan ibu mertuaku secara langsung adalah hal yang mustahil, pengaruh dan kekuasaannya terlalu besar. Namun, aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus berani. Aku harus menemuinya. Dengan langkah tegas, aku menuju rumah keluarga suamiku, tempat ibu mertuaku tinggal. Aku sadar, ini langkah berisiko. Sejak awal pernikahan, ia tak pernah menyukaiku, dan setelah kecelakaan yang menimpa Mas Arfan, kebenciannya semakin jelas. Di depan gerbang rumah megah itu, aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Seorang pelayan membukakan pintu, menatapku dengan ragu. "Saya ingin bertemu dengan Ibu," kataku, berusaha terdengar tegas meskipun hatiku berdebar kencang. Pelayan itu tampak bimbang, tapi sebelum sempat menjawab, suara dingin dari dalam rumah terdengar. "Biarkan dia masuk." Aku menegakkan tubuh dan melangkah masuk ke ruang ta
Aku berdiri terpaku, dada sesak seolah dihimpit beban berat. Jika benar yang dikatakan ibu mertua, maka aku harus bertindak sekarang. Aku tidak bisa membiarkan Mas Arfan melupakan aku begitu saja.Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan penuh tekad. “Aku tidak akan menyerah,” kataku tegas.Ibu mertuaku hanya terkekeh kecil, nadanya penuh ejekan. “Dan apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya wanita biasa tanpa kekuasaan dan pengaruh. Bahkan jika kau mencoba menghentikanku, kau tak akan berhasil.”Aku mengepalkan tangan, menahan gemetar yang menjalar di tubuhku. Aku tahu ibu mertuaku bukan sekadar mengancam, dia benar-benar bisa melakukan semua yang ia katakan. Tapi aku masih punya satu harapan.“Aku ingin menemui Mas Arfan,” ujarku mantap.Tatapannya mengeras. “Tidak mungkin. Dia berada di bawah pengawasan ketat. Bahkan kau pun tak akan bisa mendekatinya. Lagi pula, dia belum sadar. Ia tidak akan mendengarkanmu. Lebih baik kau menyerah sekarang. Jika kau pergi, aku akan membawanya berobat
Beberapa hari telah berlalu. Aku tak tahu pasti bagaimana keadaan mas Arfan sekarang. Setelah malam itu, aku benar-benar menepati janjiku: aku pergi. Tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa kunjungan. Hanya doa yang kupanjatkan setiap malam—semoga Mas Arfan selamat… dan bahagia, meski tanpaku.Aku menatap kosong ke luar jendela saat matahari mulai turun perlahan. Langit senja terbakar oleh semburat jingga, seperti harapan yang samar… namun tetap ada. Meski aku tak tahu kemana masa depan akan membawaku, aku tahu satu hal: aku tidak sendiri lagi.Tangan kiriku membelai perut yang mulai terasa hangat, seolah ada kehidupan kecil yang mulai berdenyut di sana. Anugerah ini… adalah bagian dari Mas Arfan. Dan aku akan menjaganya, sepenuh hati.“Nak, mungkin Ayahmu tak akan ada di sisimu saat kau tumbuh nanti… tapi Ibu janji, kau akan tumbuh dikelilingi cinta.”Sebuah ketukan pelan di pintu menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh. Tak ada yang kukenal di tempat ini. Lalu siapa…?Perlahan kubuka pintu.
Setelah Nafeeza keluar dari ruang pertemuan, ketegangan di dalam ruangan terasa semakin mencekam. Arfan berdiri tegak di depan jendela besar, matanya tertuju pada hiruk-pikuk kota Jakarta yang tak pernah berhenti berdenyut. Amarah yang sempat membakar dirinya kini mereda, tetapi ada sesuatu yang lain yang mengusik perasaannya, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak, meski ia berusaha menutupinya dengan kebencian yang masih menggerogoti hati. Melisa, yang sejak awal tampak cemas, akhirnya membuka mulut, mencoba meredakan suasana. “Pak, apakah Anda yakin ini keputusan yang tepat? Mungkin kita harus memberi kesempatan pada presentasi itu, terutama jika perusahaan tersebut memiliki potensi besar…” Arfan menatap sekretarisnya dengan tajam, dan tanpa ragu, memotong perkataannya. “Tidak ada yang perlu didengar. Kalau dia ingin bermain-main dengan pekerjaan ini, biarkan dia lihat sendiri akibatnya. Dan kalau perlu, biarkan dia tahu bagaimana rasanya dipermalukan.” Namun, Melisa tahu bet
Keesokan harinya, langit Jakarta masih diselimuti mendung. Sisa hujan yang mengguyur semalam membasahi jalan-jalan, dan kota kembali bergerak dalam ritme yang tak pernah berhenti, macet, padat, penuh ambisi. Suara klakson dan langkah kaki yang terburu-buru mengisi udara, menggambarkan kegelisahan yang tidak pernah lelah.Di lantai atas gedung pencakar langit milik Veranza Corp, Arfan melangkah masuk ke ruang kerjanya. Jas abu-abu yang membalut tubuh tegapnya tampak rapi, dasi yang terpasang sempurna mengingatkan pada ketegasan yang selalu ia bawa. Di belakangnya, Randy, sang asisten setia, menyusul sambil membawa tablet berisi agenda harian.“Jadwal hari ini padat, Pak,” lapor Randy, suaranya penuh kecepatan. “Pukul sepuluh ada rapat dewan direksi, lalu jam dua siang presentasi dari perusahaan desain yang akan bekerja sama untuk produk baru.”Arfan hanya mengangguk, melepas jasnya dengan gerakan yang terlatih, lalu duduk dibalik meja besar yang menghadap jendela kaca raksasa. Dari san
Mereka kembali ke ruang tamu, membawa sisa percakapan hangat dari kamar Danis. Nafeeza duduk di lantai berkarpet tipis, bersandar pada sofa tua yang empuk di satu sisi, sementara Rafa duduk di sampingnya, jarak mereka cukup dekat untuk berbagi kehangatan, namun masih cukup sopan untuk memberi ruang satu sama lain. Televisi dibiarkan menyala sebagai latar. Volume-nya tak terlalu keras, hanya sebagai pelengkap suasana. Nafeeza meraih bantal kecil, memeluknya sambil menatap layar. Rafa melirik sejenak ke wajahnya, lalu ikut mengarahkan pandangannya ke televisi. Hujan di luar mulai reda, menyisakan embun di jendela yang buram. Mereka tertawa kecil saat iklan lucu muncul, kemudian hening kembali. Tapi hening itu bukan hampa, itu tenang, menenangkan. Namun keheningan itu pecah saat layar televisi berubah menampilkan breaking news: “Inilah momen kemewahan pesta pertunangan konglomerat muda Arfan Rahadian dan putri pengusaha, Aurel Ramadhani.” Nafeeza sontak menegakkan tubuhnya, nafasnya
Sejak sore, langit seperti menyimpan tangis yang enggan pecah. Hujan turun perlahan, tak juga usai, seperti luka lama yang belum sempat sembuh. Rintiknya menari di atas atap kontrakan mungil tempat Nafeeza menetap, irama lembut yang mengisi kesepian malam.Di dalam kamar kerjanya, Nafeeza baru saja menyelesaikan desain terakhir untuk klien. Ia bersandar di kursi, memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam relaksasi sejenak, dan membiarkan pikirannya melayang bersama suara hujan yang jatuh satu-satu, seperti bisikan alam yang paling jujur.Getar pelan dari ponsel di atas meja memecah keheningan. Layarnya menyala. Satu pesan masuk. Dari Rafa. Lihat hujan begini, aku jadi pengen duduk bareng kamu sambil minum coklat panas. Bisa?Senyum kecil muncul di sudut bibir Nafeeza, begitu halus tapi nyata. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik balasan. Kalau kamu bawa cokelat panasnya, aku sediain mie rebus. Deal? Hehe.Belum sempat ia beranjak dari kursinya, pintu kamar berderit perlah
Hari-hari berlalu di Studio Avila, dan Nafeeza mulai menemukan ritme barunya. Awalnya canggung, tetapi perlahan ia merasa diterima oleh rekan-rekannya. Ia mendapat kepercayaan untuk menangani proyek desain produk baru untuk lini perlengkapan rumah yang menyasar pasar urban. Ide-idenya, yang sempat diragukan oleh salah satu senior, justru berhasil memukau saat dipresentasikan langsung kepada klien. Malam itu, setelah presentasi yang sukses, ia pulang dengan hati ringan. Di dapur kontrakannya, ia menyeduh teh sambil memandangi Danis yang tertidur lelap. Ada rasa syukur yang menghangatkan dadanya. Namun di sela kebahagiaan itu, pikirannya sesekali kembali pada Arfan, pada tatapan mata pria itu saat terakhir kali mereka bertemu, dan pada pertanyaan yang belum juga ia temukan jawabannya: apakah luka mereka bisa sembuh, atau memang ditakdirkan tinggal sebagai kenangan? Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Nafeeza membuka dengan sedikit heran. Di hadapannya berdiri Rafa, masih mengenakan
Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Arfan dan Aurel, akhirnya Nafeeza memutuskan menerima tawaran Rafa.Pagi-pagi sekali, Nafeeza berdiri di depan cermin kecil di kontrakannya, merapikan jilbab dan blazer hitam yang telah lama tergantung di lemari. Danis masih tertidur lelap, dan Bibi Rara berjanji akan menjaganya hari ini. Nafeeza menarik napas panjang, lalu meraih map cokelat berisi portofolio lamanya. Ia tahu ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini tentang mengembalikan kendali atas hidupnya.Pagi itu, ia melangkah ke kantor perusahaan desain milik teman Rafa dengan langkah mantap. Suasana kantor modern itu terasa asing tapi menyenangkan. Dindingnya dihiasi hasil karya desain produk yang elegan dan kreatif.Seorang resepsionis menyambutnya ramah. “Selamat pagi, Ibu Nafeeza. Silakan tunggu, HRD kami akan segera menemui Anda.”Tak lama, seorang perempuan muda berdandan rapi datang menghampirinya. “Halo, saya Putri dari tim HR. Mari ikut saya, Bu.”Mereka memasuki ruang kecil den
Keesokan harinya, Nafeeza melangkah masuk ke restoran tempatnya bekerja dengan langkah yang pelan namun teratur. Di balik senyum tipis yang coba ia pasang, hatinya masih diguncang pertemuan mendalam bersama Rafa malam sebelumnya. Ada sesuatu yang menggantung di udara pagi itu, tekanan yang sulit dijelaskan, seolah alam pun tahu akan datangnya badai kecil dalam hidupnya.Ia baru saja mengganti seragamnya ketika suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu utama. Refleks, Nafeeza menoleh. Dan di sanalah mereka, Arfan dan Aurel, berdiri di ambang pintu, kontras dengan hiruk-pikuk pelanggan pagi itu. Arfan tampak gagah dalam balutan jas gelap, wajahnya tegang dan dingin. Di sampingnya, Aurel tersenyum anggun, mengenakan gaun kasual yang mahal, namun di balik senyumnya, Nafeeza bisa membaca keraguan samar yang bersembunyi di matanya. Ada sesuatu yang ingin disembunyikan, tapi Nafeeza mengenal bahasa tubuh itu."Apa yang mereka lakukan di sini?" Nafeeza bertanya dalam hati, buru-bu
Nafeeza terpaku. Nama itu datang seperti angin, tanpa aba-aba, langsung mengguncang ketenangan yang baru saja berhasil ia bangun. Tangannya gemetar saat membuka pesan berikutnya: “Kalian ada di mana? Aku sudah cari-cari kalian di rumah sakit, tapi kata perawat, Danis sudah lama dipindahkan. Apa Arfan melakukan sesuatu pada kalian? Maaf waktu itu… aku ditekan untuk pindah ke rumah sakit lain. Tapi sekarang aku sudah kembali.” Nafeeza menatap layar ponselnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Jemarinya nyaris mengetik balasan, namun pikirannya menahan. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba meredam gelombang emosi yang mendadak menyerbu. Pesan dari Rafa membangkitkan kembali kenangan pahit, saat Arfan memaksa rumah sakit menghentikan pengobatan Danis. Nafeeza tahu, kepindahan Rafa ke luar kota bukan pilihan. Semua karena Arfan. “Arfan… aku sangat membencimu.” Tangannya menggenggam erat ponsel. “Ada apa, Bu?” tanya Bibi Rara dengan lembut. Nafeeza menggeleng pelan. “
Pagi menyelinap perlahan di sudut sempit kontrakan itu, membawa embusan udara yang dingin namun menyegarkan. Di balik tirai tipis yang menari perlahan, Nafeeza membuka mata. Masih gelap. Tapi ia tahu, inilah waktu yang tepat,waktu saat dunia masih sunyi dan harapan bisa tumbuh diam-diam.Ia bangkit pelan, menjaga agar suara kasur tak membangunkan Danis yang masih terlelap. Wajah anak itu begitu damai, seolah dunia diluar sana tak punya hak untuk menyakitinya. Nafeeza menatapnya sejenak, lalu melangkah ke dapur kecil dan menyeduh kopi sachet terakhir. Aroma kopi hangat memenuhi udara, tapi lebih dari itu, ada aroma tekad yang mulai menguat.Di depan cermin kecil yang tergantung dekat jendela, Nafeeza menatap dirinya sendiri. Wajahnya tampak letih, kulitnya pucat, namun sorot matanya... ada sesuatu yang berbeda. Ada nyala. Ada keberanian. Ada keteguhan yang hanya dimiliki seorang ibu yang memutuskan untuk tidak menyerah.Ia menggenggam ponselnya, menelusuri halaman demi halaman lowongan