Share

Tempat Asing

Rindu menghela napas panjang, merasakan beban berat di dadanya saat mobil hitam yang mereka tumpangi melaju ke arah rumah baru yang kini harus ia sebut sebagai "rumah." Rumah itu besar dan megah, persis seperti istana di cerita-cerita. Tapi, semakin mendekat, perasaan cemas dan takut semakin menyelimuti hatinya. Apakah ia benar-benar akan bisa hidup dengan pria ini?

Sesaat sebelum mereka tiba, bayangan keluarganya kembali menghantui pikirannya. Momen perpisahan dengan kedua orang tuanya terasa lebih berat dari yang pernah ia bayangkan. Mereka berusaha kuat, tetapi air mata ibunya tak bisa disembunyikan.

“Rindu…” wanita setengah baya yang terlihat anggun itu menyeka beberapa bulir air mata yang luruh di wajah ayunya. Rita Hadiwijaya, Ibu Rindu menggenggam tangan putrinya erat sebelum ia masuk ke mobil. “Ibu… hanya ingin kau bahagia. Tapi kenapa semua harus seperti ini…”Rindu menunduk, menggigit bibirnya. Dia tak ingin membuat ibunya semakin sedih.

“Aku akan baik-baik saja, Bu…,” jawabnya, meski dalam hatinya dia ragu. Bagaimana mungkin dia bisa baik-baik saja menikah dengan seseorang seperti Tristand?

Ayahnya hanya menepuk bahunya pelan, memberi kekuatan yang dia tahu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rindu merasa hatinya hampir hancur, tetapi dia tahu, dia tidak punya pilihan lain.

Mobil hitam yang membawa Rindu dan Tristand perlahan memasuki sebuah halaman besar yang tampak megah di bawah cahaya lampu-lampu taman. Rindu memandang sekeliling dengan hati yang bercampur aduk—antara kekaguman pada kemewahan rumah itu dan kegelisahan yang terus merayap di dalam dirinya. Rumah ini begitu berbeda dari tempat yang selama ini ia sebut sebagai rumah, begitu asing dan dingin.

Ketika mobil berhenti di depan pintu utama, Tristand keluar lebih dulu, kemudian membuka pintu untuk Rindu. “Ayo,” katanya singkat, tanpa ekspresi yang dapat dibaca di wajahnya. Rindu hanya mengangguk pelan dan keluar dari mobil, mengikuti langkah Tristand yang tegap menuju pintu masuk rumah besar itu.

Begitu pintu besar rumah terbuka, udara dingin langsung menyambut mereka. Interior rumah itu memang sangat mewah, dengan lampu kristal bergelantungan di langit-langit dan marmer mengkilap yang menyelimuti seluruh lantai. Tapi, seperti penghuninya, rumah itu dingin dan tanpa kehidupan.

“Kau bisa menyesuaikan diri nanti,” ucap Tristand tiba-tiba, menghentikan langkah di tengah ruang tamu. “Aku tidak punya waktu untuk penjelasan panjang lebar. Kamarmu ada di atas. Ikuti aku.”

Rindu, yang merasa tenggelam dalam keheningan dan ketidaknyamanan, hanya bisa mengangguk. Dia mengikuti Tristand yang mulai menaiki tangga melingkar menuju lantai atas. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan dia sedang mendaki menuju nasib yang tidak ia inginkan.

Sesampainya di lantai atas, Tristand berhenti di depan sebuah pintu kayu besar. Dia membuka pintu itu tanpa banyak basa-basi, memperlihatkan sebuah kamar luas yang tampak mewah dan megah. Tempat tidur besar berdiri di tengah ruangan dengan tirai sutra di sekelilingnya. Namun, kehangatan yang seharusnya ada di dalam kamar pengantin, tidak ada di sini.

“Ini kamarmu,” kata Tristand, nadanya masih sama—datar dan dingin. “Jika kau butuh sesuatu, ada pelayan yang bisa melayanimu.”

Rindu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencoba mencerna situasi. "Kau... tidak akan tinggal di sini?" tanyanya pelan, meski sudah bisa menebak jawabannya.

Tristand menoleh dengan cepat, matanya menatap tajam ke arah Rindu. “Untuk apa? Pernikahan ini hanya formalitas. Kau dan aku tidak ada ikatan lain. Aku akan tidur di kamarku sendiri di ujung koridor ini.” Wajahnya kaku, tak menunjukkan emosi apa pun. “Kau jangan berharap lebih.”

Rindu terdiam, berusaha meredam perasaan sakit di hatinya. "Tapi... apa yang akan dikatakan orang-orang kalau mereka tahu kita tidak tinggal satu kamar?" Suaranya bergetar sedikit, meski ia mencoba untuk tetap tenang.

Tristand menghela napas pendek, seolah tidak sabar dengan pertanyaan itu. "Mereka tahu kita sudah menikah. Itu saja yang penting." Dia menatap lurus ke matanya, dingin dan tidak tertarik. “Tidak ada yang perlu dijelaskan. Kau cukup menjalani hidupmu, dan aku akan menjalani hidupku.”

“Tapi bagaimana…” Rindu berusaha mencari kata-kata. “Bagaimana kalau… aku butuh bantuan?”

Tatapan Tristand berubah tajam, bibirnya terkatup rapat sebelum dia akhirnya berbicara lagi. “Kau tidak perlu bantuan dariku. Kau di sini karena keadaan memaksa. Jangan berharap aku akan menjadi suami yang peduli atau perhatian. Itu tidak akan terjadi.”

Kata-kata itu menembus Rindu seperti duri tajam, menyakitkan dan dingin. Dia menunduk, mencoba menahan air mata yang mulai membasahi sudut matanya. “Aku... aku mengerti,” katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

Tristand mengangguk dingin, lalu berbalik tanpa sepatah kata lagi. Dia menuju pintu, berhenti sejenak di ambang pintu, lalu menoleh tanpa senyum. “Jika kau memerlukan sesuatu, gunakan pelayan. Jangan menggangguku kecuali sangat mendesak.”

Setelah itu, pintu tertutup dengan suara pelan tapi tegas, meninggalkan Rindu sendirian di kamar besar itu. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin, sama dinginnya dengan hati pria yang kini adalah suaminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status