Rindu menghela napas panjang, merasakan beban berat di dadanya saat mobil hitam yang mereka tumpangi melaju ke arah rumah baru yang kini harus ia sebut sebagai "rumah." Rumah itu besar dan megah, persis seperti istana di cerita-cerita. Tapi, semakin mendekat, perasaan cemas dan takut semakin menyelimuti hatinya. Apakah ia benar-benar akan bisa hidup dengan pria ini?
Sesaat sebelum mereka tiba, bayangan keluarganya kembali menghantui pikirannya. Momen perpisahan dengan kedua orang tuanya terasa lebih berat dari yang pernah ia bayangkan. Mereka berusaha kuat, tetapi air mata ibunya tak bisa disembunyikan. “Rindu…” wanita setengah baya yang terlihat anggun itu menyeka beberapa bulir air mata yang luruh di wajah ayunya. Rita Hadiwijaya, Ibu Rindu menggenggam tangan putrinya erat sebelum ia masuk ke mobil. “Ibu… hanya ingin kau bahagia. Tapi kenapa semua harus seperti ini…”Rindu menunduk, menggigit bibirnya. Dia tak ingin membuat ibunya semakin sedih. “Aku akan baik-baik saja, Bu…,” jawabnya, meski dalam hatinya dia ragu. Bagaimana mungkin dia bisa baik-baik saja menikah dengan seseorang seperti Tristand? Ayahnya hanya menepuk bahunya pelan, memberi kekuatan yang dia tahu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rindu merasa hatinya hampir hancur, tetapi dia tahu, dia tidak punya pilihan lain. Mobil hitam yang membawa Rindu dan Tristand perlahan memasuki sebuah halaman besar yang tampak megah di bawah cahaya lampu-lampu taman. Rindu memandang sekeliling dengan hati yang bercampur aduk—antara kekaguman pada kemewahan rumah itu dan kegelisahan yang terus merayap di dalam dirinya. Rumah ini begitu berbeda dari tempat yang selama ini ia sebut sebagai rumah, begitu asing dan dingin. Ketika mobil berhenti di depan pintu utama, Tristand keluar lebih dulu, kemudian membuka pintu untuk Rindu. “Ayo,” katanya singkat, tanpa ekspresi yang dapat dibaca di wajahnya. Rindu hanya mengangguk pelan dan keluar dari mobil, mengikuti langkah Tristand yang tegap menuju pintu masuk rumah besar itu. Begitu pintu besar rumah terbuka, udara dingin langsung menyambut mereka. Interior rumah itu memang sangat mewah, dengan lampu kristal bergelantungan di langit-langit dan marmer mengkilap yang menyelimuti seluruh lantai. Tapi, seperti penghuninya, rumah itu dingin dan tanpa kehidupan. “Kau bisa menyesuaikan diri nanti,” ucap Tristand tiba-tiba, menghentikan langkah di tengah ruang tamu. “Aku tidak punya waktu untuk penjelasan panjang lebar. Kamarmu ada di atas. Ikuti aku.” Rindu, yang merasa tenggelam dalam keheningan dan ketidaknyamanan, hanya bisa mengangguk. Dia mengikuti Tristand yang mulai menaiki tangga melingkar menuju lantai atas. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan dia sedang mendaki menuju nasib yang tidak ia inginkan. Sesampainya di lantai atas, Tristand berhenti di depan sebuah pintu kayu besar. Dia membuka pintu itu tanpa banyak basa-basi, memperlihatkan sebuah kamar luas yang tampak mewah dan megah. Tempat tidur besar berdiri di tengah ruangan dengan tirai sutra di sekelilingnya. Namun, kehangatan yang seharusnya ada di dalam kamar pengantin, tidak ada di sini. “Ini kamarmu,” kata Tristand, nadanya masih sama—datar dan dingin. “Jika kau butuh sesuatu, ada pelayan yang bisa melayanimu.” Rindu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencoba mencerna situasi. "Kau... tidak akan tinggal di sini?" tanyanya pelan, meski sudah bisa menebak jawabannya. Tristand menoleh dengan cepat, matanya menatap tajam ke arah Rindu. “Untuk apa? Pernikahan ini hanya formalitas. Kau dan aku tidak ada ikatan lain. Aku akan tidur di kamarku sendiri di ujung koridor ini.” Wajahnya kaku, tak menunjukkan emosi apa pun. “Kau jangan berharap lebih.” Rindu terdiam, berusaha meredam perasaan sakit di hatinya. "Tapi... apa yang akan dikatakan orang-orang kalau mereka tahu kita tidak tinggal satu kamar?" Suaranya bergetar sedikit, meski ia mencoba untuk tetap tenang. Tristand menghela napas pendek, seolah tidak sabar dengan pertanyaan itu. "Mereka tahu kita sudah menikah. Itu saja yang penting." Dia menatap lurus ke matanya, dingin dan tidak tertarik. “Tidak ada yang perlu dijelaskan. Kau cukup menjalani hidupmu, dan aku akan menjalani hidupku.” “Tapi bagaimana…” Rindu berusaha mencari kata-kata. “Bagaimana kalau… aku butuh bantuan?” Tatapan Tristand berubah tajam, bibirnya terkatup rapat sebelum dia akhirnya berbicara lagi. “Kau tidak perlu bantuan dariku. Kau di sini karena keadaan memaksa. Jangan berharap aku akan menjadi suami yang peduli atau perhatian. Itu tidak akan terjadi.” Kata-kata itu menembus Rindu seperti duri tajam, menyakitkan dan dingin. Dia menunduk, mencoba menahan air mata yang mulai membasahi sudut matanya. “Aku... aku mengerti,” katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Tristand mengangguk dingin, lalu berbalik tanpa sepatah kata lagi. Dia menuju pintu, berhenti sejenak di ambang pintu, lalu menoleh tanpa senyum. “Jika kau memerlukan sesuatu, gunakan pelayan. Jangan menggangguku kecuali sangat mendesak.” Setelah itu, pintu tertutup dengan suara pelan tapi tegas, meninggalkan Rindu sendirian di kamar besar itu. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin, sama dinginnya dengan hati pria yang kini adalah suaminya.Pagi itu, Rindu sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan dress putih yang dipadukan dengan blazer cream, serasi dengan kulit putih dan rambut panjang hitamnya. Heels tinggi menambahkan beberapa centi ukuran tubuhnya yang mungil. Namun, di balik penampilannya yang anggun, hati Rindu terasa berat. Saat ia memasuki ruang makan, Tristand sudah duduk di ujung meja panjang, tampak tenang dengan setelan jasnya. Meja makan dipenuhi berbagai hidangan mewah yang menggiurkan. “Tristand, apa kau makan sebanyak ini setiap pagi?” tanya Rindu, menatap makanan di meja yang terlalu banyak untuk hanya mereka berdua. Tristand tidak langsung menjawab, hanya memandang makanan di depannya dengan ekspresi datar. Sementara itu, Tuti, kepala pelayan di rumah itu, menyahut dari sudut ruangan, “Hari ini Tuan dan Nyonya akan datang, jadi kami menyiapkan makanan untuk menyambut mereka.” Rindu mengangguk pelan, menyadari bahwa Om William dan Tante Laura, orang tua Tristand, akan datang. ‘Jadi
Pagi itu, Rindu tenggelam dalam pekerjaannya. Jari-jarinya dengan lincah mengetik di atas keyboard, sementara matanya terpaku pada layar monitor. Deadline yang menumpuk membuatnya tak punya waktu untuk berpikir tentang hal-hal lain, termasuk tentang pernikahan yang baru saja ia jalani dengan Tristand. Untuk sejenak, pekerjaannya adalah pelarian dari kenyataan yang rumit. Namun, di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar di atas meja, mengirimkan notifikasi pesan baru. Tanpa berpikir panjang, Rindu meraih ponsel itu, berharap pesan tersebut berasal dari salah satu klien atau rekan kerjanya yang membutuhkan konfirmasi cepat. Namun, alisnya berkerut ketika melihat nomor tak dikenal di layar. Pesan itu singkat namun langsung membuatnya tertegun. “Kita makan siang bersama hari ini. Aku akan menjemputmu saat istirahat. – T” Rindu menghela napas panjang. Hanya satu orang yang mungkin mengirim pesan dengan inisial itu: Tristand. Pria itu baru saja masuk ke kehidupannya sebagai suami, dan
“Tristand, Rindu!” seru seseorang suara bariton yang hangat, melangkah maju dengan senyum lebar. Ia langsung memeluk Tristand dengan penuh kebanggaan, sebelum menatap Rindu dengan pandangan lembut. Pria itu adalah Whilliam Adhitama, ayah Tristand. Whilliam adalah pria paruh baya dengan rambut yang khas seorang bule, badannya tegap dan berwibawa. Di belakangnya, terlihat Istrinya yaitu Nyonya Laura, yang tampak anggun dengan pakaian elegan berwarna latte. Memiliki wajah indo membuat usianya yang sudah berumur tidak menampakkan kerutan dan tetap segar.Rindu tersenyum, merasa sedikit lega melihat sambutan hangat dari ayah mertuanya. “Selamat datang, Pa,” katanya sopan, sambil menunduk hormat. Whilliam mengangguk, dan tanpa ragu ia meraih tangan Rindu, mengajaknya lebih dekat. “Terima kasih, Rindu. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Maafkan kami yang tidak bisa hadir di pernikahan kalian.” “Tidak apa-apa, Pa. Rindu mengerti,” jawab Rindu sambil tersenyum."Apa papa sudah tiba d
Rindu mengerutkan kening, hatinya mulai membara karena sikap Tristand yang lagi-lagi bertindak semaunya. "Kamu nggak bisa sembarangan masuk ke kamarku begitu saja, Tristand!" sergahnya, suaranya lebih tegas dari sebelumnya, tak lagi peduli pada sikap lembut yang selalu berusaha ia pertahankan di depan orang lain. Tristand, yang sudah berdiri di tengah kamar, menoleh perlahan. Ekspresinya tenang, namun ada kegelapan di balik tatapan matanya. "Kamarmu?" ia mengulang kata itu seolah-olah mengejek. "Rindu, mulai hari ini ini bukan lagi cuma kamarmu. Ini kamar kita." Kata-kata itu membuat Rindu mundur selangkah. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya melemah namun masih jelas berisi kemarahan yang tertahan. Tanpa berkata lebih lanjut, Tristand membuka lemari pakaian Rindu. "Aku tadi menyuruh Tuti untuk memindahkan semua barang-barangku ke sini," jawabnya santai sambil menatap ke dalam lemari. "Orang tuaku akan tinggal beberapa hari, dan kamu tahu betapa tidak mungkin mereka tahu kalau kita
Makan siang itu berlangsung dalam suasana yang canggung. Rindu duduk di ujung meja bersama Tristand, Whilliam, dan Laura. Aroma makanan lezat memenuhi ruangan, namun tak satu pun dari mereka terlihat sepenuhnya menikmati hidangan. Laura, seperti biasa, duduk dengan angkuh, pandangannya tak pernah jauh dari Rindu. Ketegangan terasa ketika Laura membuka percakapan. "Jadi, Rindu," suara dingin itu terdengar, membuat semua mata menoleh padanya. "Kamu sekarang sudah berstatus istri dari Tristand." Ia mengucapkannya dengan nada seolah-olah Rindu telah mendapat posisi yang tidak layak baginya. Rindu, yang sudah terbiasa dengan sindiran dari wanita itu, hanya tersenyum tipis. "Iya, Ma," jawabnya sopan, meski dalam hati ia tahu bahwa ini akan menuju ke arah yang lebih tajam. Laura menatapnya dengan tajam, bibirnya menipis dalam ekspresi ketidaksukaan yang tak ia sembunyikan. "Sebenarnya, aku selalu penasaran. Selama kau berpacaran dengan Richard, dia tidak pernah memperkenalkanmu pada kelua
Rindu mendesah pelan, merasa benar-benar geram dengan kehadiran Tristand yang seenaknya. "Kau memang tak sebanding dengan Richard. Richard sangat lembut, sedangkan kamu... jelmaan lelembut," gumam Rindu pelan, tapi cukup keras untuk Tristand mendengarnya.Tristand menghentikan gerakannya sejenak, menolehkan kepalanya dan menatap Rindu dengan dingin. "Lihat sampai kau menarik kata-katamu lagi," jawabnya singkat, suaranya terdengar dingin dan penuh ancaman, membuat Rindu merinding.Dengan sikap santai yang selalu ia tunjukkan, Tristand mulai membuka lemari dan mengambil satu baju tidurnya. Ia mengganti baju begitu saja di hadapan Rindu. Seketika, Rindu merasa canggung, pipinya memerah. Ia buru-buru menutup sebagian wajahnya dengan tangan, namun tak bisa sepenuhnya menahan rasa kikuk yang menghantui."Hey! Apa yang kamu lakukan?!" seru Rindu kaget, tapi suaranya bergetar. "Apa kau tidak punya malu?""Berhentilah berpikir mesum terhadapku. Aku tidak tergoda olehmu" jawab Tristand datar, b
Whilliam Adhitama memanggil putra sulungnya, Tristand, dan menantunya, Rindu, ke ruang keluarga. Suasana ruangan yang biasanya penuh kehangatan berubah tegang saat Whilliam menatap Tristand dengan penuh keyakinan. Ia tampak siap untuk menyampaikan sesuatu yang penting. "Tristand," kata Whilliam dengan nada tegas namun lembut, "Papa ada permintaan khusus." Tristand mengangkat alis, tanda bahwa dia siap mendengarkan. Dalam setiap urusan keluarga maupun bisnis, Tristand selalu terlihat tenang dan percaya diri, tak pernah goyah meski menghadapi tekanan. "Kamu harus mewakili Papa menghadiri undangan dari kolega bisnis kita besok malam," lanjut Whilliam. "Papa harus segera menemui ayah Rindu, Pak Surya Hadiwijaya, untuk meminta maaf terkait hilangnya Richard di hari pernikahanmu. Papa tidak mungkin terus menunda ini, atau hubungan kita dengan keluarga Hadiwijaya akan semakin memburuk." Mendengar itu, Rindu menelan ludah, terkejut dengan arah pembicaraan. 'Acara bisnis? Aku harap ini
Tristand berdiri di depan cermin, mengenakan jas hitam yang membalut tubuh tegapnya dengan sempurna. Wajahnya yang serius, dengan potongan rambut pendek yang rapi, memancarkan wibawa yang tak terbantahkan. Di belakangnya, Rindu baru keluar dari kamar mandi, dan pandangannya terhenti di suaminya. Tanpa sadar, ia melongo, terpukau oleh penampilan gagah Tristand.Tristand, yang menyadari pandangan itu, berdehem pelan, suaranya terdengar jelas di antara keheningan. "Heh, ngapain kamu masih di situ? Cepat siap-siap!" katanya, suaranya seperti petir yang mengejutkan Rindu.Rindu tersentak, lalu mengerutkan kening. "Bisa nggak sih gak usah teriak-teriak? Kamu pikir aku budeg, ya?" gumamnya sambil mendekati lemari pakaian. Namun, begitu dia sampai di depan lemari, langkahnya terhenti. Dia memandangi tumpukan bajunya dan baru menyadari sesuatu: selama ini dia selalu abai terhadap penampilannya sendiri.'Ini berbeda,' pikirnya. 'Aku akan diperkenalkan sebagai Nyonya Tristand Adhitama.' Tapi tet
Di suatu malam yang sunyi, di dalam kamar villa mereka, Rindu berdiri di dekat jendela, menatap gelapnya langit Bali. Hatinya dipenuhi oleh kelelahan yang menumpuk. Rasa kecewa yang tak pernah ia ungkapkan kini mendesak keluar. Sudah terlalu lama ia merasa tidak dipahami. Malam itu, perasaan itu mencapai puncaknya.Tristand sedang duduk di ranjang, sibuk dengan laptopnya, mengetik pesan atau mungkin menyelesaikan beberapa pekerjaan. Rindu menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.“Tristand,” Rindu memulai dengan suara pelan, namun tegas.Tristand mengangkat kepalanya sebentar, lalu kembali ke layar laptopnya. “Ada apa?” jawabnya singkat, seakan tak terlalu tertarik dengan percakapan ini.Rindu menggigit bibirnya, menahan kemarahan yang sudah menumpuk. Dia mengambil napas dalam lagi sebelum mengatakannya. “Aku sudah lelah. Aku ingin kita bercerai.”Tristand langsung menghentikan aktivitasnya. Dia menutup laptopnya dengan suara keras, menatap Rindu den
Rindu dan Mario melangkah kembali ke dalam aula hotel, setelah insiden di luar tadi. Udara dingin dalam ruangan tak bisa menghilangkan kecanggungan yang menyelimuti Rindu. Pikirannya masih melayang-layang pada kejadian yang baru saja terjadi, bagaimana Mario menyelamatkannya dari serangan pria asing itu. Namun, saat mereka masuk ke aula, tatapan tajam yang datang dari kejauhan menyentakkan Rindu dari lamunannya. Tristand berdiri di sana, memandang mereka dengan wajah dingin.Rindu merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mario tampak lebih tenang, namun saat Tristand mulai melangkah mendekat dengan cepat, Rindu bisa merasakan hawa ketegangan yang akan segera meledak."Darimana saja kamu?" Tristand bertanya dingin begitu sampai di depan Rindu, tanpa menunggu jeda.Rindu terkejut dengan nada bicaranya. "Aku—""Dan kenapa kau malah berjalan bersama Mario?" Tristand melanjutkan, suaranya semakin rendah namun penuh dengan kecurigaan.Mario, yang berdiri di samping Rindu, mencoba menjelaskan si
Rindu merasakan hawa panas yang tidak biasa di lorong tempat dia berjalan. Tubuhnya terasa kaku, dan detak jantungnya berdegup semakin cepat. Malam itu, setelah merasa bosan karena Tristand lebih sibuk dengan urusan bisnisnya, Rindu memutuskan untuk mencari udara segar di luar hotel.Dia berjalan keluar sendirian, mengelilingi taman kecil di belakang hotel. Cahaya remang-remang dari lampu taman tidak terlalu membantu menghilangkan rasa gelisah yang tiba-tiba melanda. Suasana sepi, suara dedaunan yang tertiup angin menggores keheningan, membuatnya merasa sedikit tidak nyaman.Kenapa aku ke sini? Seharusnya aku tetap di dalam ruangan, pikirnya sambil memegang erat gaunnya yang tipis. Perasaan takut tiba-tiba menyergapnya, membuat Rindu merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari balik pepohonan.Langkah Rindu melambat saat dia mendengar suara ranting patah di belakangnya. Matanya menajam, mencoba mencari sumber suara. Namun, ketika ia menoleh, tidak ada siapa pun di sana.Mungkin hanya pe
Rindu akhirnya menyerah pada ketakutannya. Pikirannya masih dilingkupi rasa takut sejak menonton film horor dan mendengar cerita hantu dari Tristand. Villa besar yang tadinya tampak indah kini terasa menyeramkan. Tidak ada pilihan lain, ia memutuskan untuk ikut Tristand ke acara bisnisnya. Daripada harus sendirian di villa, ia lebih baik bosan di acara pertemuan tersebut.Pagi itu, seperti biasa, Tristand membawanya ke sebuah butik mewah untuk makeover. Ia tahu betul bahwa Rindu tidak pernah terlalu peduli dengan penampilan. Sebagai putri kesayangan ayahnya, Pak Surya, Rindu terbiasa dengan kehidupan yang lebih santai dan sederhana. Jiwa bebasnya membuatnya sering kali menolak untuk berdandan, meskipun ia sadar bahwa sebagai istri dari seorang pria sukses seperti Tristand, penampilan sangat penting. Namun, ayahnya tidak pernah memaksanya. Pak Surya membiarkan Rindu menjalani hidup sesuai keinginannya, karena tidak ingin melihat putrinya yang ceria itu tertekan."Kenapa harus ke butik
Pagi itu, Rindu bangun dengan perasaan yang sangat segar. Udara di villa terasa sejuk, dan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela kamar menambah semangatnya. Hari ini adalah hari pertama ia benar-benar bisa bersantai setelah tiba di Bali. Ia memutuskan untuk menikmati fasilitas villa yang luar biasa lengkap, termasuk gym pribadi yang tersedia di sana. Dengan senyum lebar, Rindu langsung berganti pakaian olahraga dan turun ke ruang fitness.Villa ini benar-benar mewah. Tidak hanya besar dan artistik, tetapi juga dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap—dari kolam rena⁵⁵ merasa betapa beruntungnya ia bisa tinggal di tempat seperti ini, setidaknya untuk seminggu ke depan. Di ruang gym, ia memulai rutinitas olahraga dengan menggunakan treadmill dan beberapa alat lainnya.Setelah selesai, tubuhnya terasa segar dan otot-ototnya lebih rileks. Keringat membasahi tubuhnya, tetapi Rindu senang. Dengan tubuh yang lebih bugar, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil sarapan yang sudah
Setelah panggilan Whilliam berakhir, suasana di meja makan menjadi sunyi. Tristand tetap tenang, mengunyah makanannya, sementara Rindu merasa sedikit canggung. Permintaan ayah mertuanya tentang cucu perempuan masih terngiang di telinganya, menciptakan perasaan aneh di antara mereka.Rindu memainkan garpunya, menatap piring tanpa nafsu makan. Dalam pikirannya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya dipikirkan Tristand tentang permintaan itu. Namun, seperti biasa, ia terlalu enggan untuk bertanya. Tristand, di sisi lain, tampak tidak terlalu memikirkan hal itu, seolah-olah percakapan tadi hanyalah hal kecil yang tak penting.Di tengah keheningan itu, Tristand tiba-tiba berbicara dengan nada datar. "Besok aku akan menghadiri pertemuan. Kau mau ikut atau tidak?"Rindu mendongak, terkejut dengan pertanyaan itu. "Pertemuan?" ulangnya, ingin memastikan ia tidak salah dengar."Iya, pertemuan bisnis," jawab Tristand sambil menyuap nasi goreng, masih tanpa menatap Rindu. "Kau pikir kita di sini
Langit cerah Bali menyambut kedatangan Rindu dan Tristand di sebuah villa mewah di Kuta. Suara ombak di kejauhan dan semilir angin pantai memberi suasana tenang yang sangat kontras dengan kehidupan mereka yang sibuk di kota. Villa itu terlihat sangat indah, asri, dan luas, hampir seperti surga kecil yang tersembunyi di tengah hiruk-pikuk dunia. Dikelilingi pepohonan hijau dengan dekorasi yang artistik, Rindu merasa terkesan sejak mereka melangkah masuk.Rindu mengikuti Tristand yang berjalan ke arah kamar. Namun, perhatian Rindu teralihkan oleh detail-detail kecil dalam villa. Langit-langit tinggi yang dihiasi lampu gantung artistik, lantai kayu yang terasa hangat di bawah kakinya, dan aroma bunga segar yang menguar dari taman kecil di samping ruang tamu membuatnya terpaku. Saking terpesonanya, ia tidak sadar bahwa langkah Tristand terhenti di depan sebuah pintu. Tanpa melihat ke depan, Rindu menabrak punggung suaminya."Aduh!" keluhnya, sambil mundur sedikit.Tristand menoleh perlaha
Malam terus beranjak, meninggalkan kota dalam sepi. Di dalam mobil, suasana semakin membeku meski udara dingin dari pendingin ruangan perlahan mengisi kabin. Tristand tetap diam, pikirannya sibuk menimbang-nimbang, sementara Rindu menatap keluar jendela, terlelap dalam pikirannya sendiri.Sesekali, Tristand mencuri pandang ke arah Rindu. Wajah istrinya tampak sangat lelah. Ia tahu bahwa Rindu bekerja keras, bahkan sampai melupakan dirinya sendiri. Namun, ego dan sikap kerasnya kerap kali menutupi rasa peduli yang sebenarnya ia simpan. Hari ini, dua jam menunggu di luar kantor dengan amarah yang memuncak membuatnya meledak, padahal jauh di dalam hati, ia tahu Rindu punya alasan kuat.'Wanita ini… apa aku terlalu keras padanya?' pikir Tristand dalam hati. Ia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Selama ini, ia terbiasa mengendalikan segala hal, termasuk hubungan mereka. Tapi melihat Rindu begitu letih, ada rasa bersalah yang muncul pelan-pelan, menekan sisi egonya.Rindu, di sisi lain, ma
Langit malam di kota tampak kelam ketika Rindu akhirnya melangkah keluar dari kantornya. Hari itu begitu melelahkan, pekerjaan menumpuk, dan tenggat waktu semakin mendesak. Semua harus diselesaikan sebelum ia mengambil cuti selama seminggu. Kakinya terasa berat, setiap langkah seperti menambah beban di pundaknya. Rindu berjalan dengan gontai menuju mobil Tristand yang sudah menunggunya di depan gedung kantor. Lampu mobilnya terang, menyilaukan mata Rindu yang sudah terlalu lelah untuk berpikir jernih.Saat Rindu baru saja membuka pintu mobil dan hendak masuk, suara dingin Tristand langsung menghentikan langkahnya."Kenapa kau lama sekali? Aku sudah dua jam menunggumu di sini," hardik Tristand tanpa basa-basi.Rindu terdiam, rasa lelah yang membebani tubuhnya kini bercampur dengan rasa kesal yang tiba-tiba meluap. Tanpa berkata apa-apa, dia menutup kembali pintu mobil dengan kasar. BRAAKK! Suara pintu yang ditutup keras bergema, menggambarkan perasaannya yang campur aduk.Tristand me