“Tristand, Rindu!” seru seseorang suara bariton yang hangat, melangkah maju dengan senyum lebar. Ia langsung memeluk Tristand dengan penuh kebanggaan, sebelum menatap Rindu dengan pandangan lembut. Pria itu adalah Whilliam Adhitama, ayah Tristand.
Whilliam adalah pria paruh baya dengan rambut yang khas seorang bule, badannya tegap dan berwibawa. Di belakangnya, terlihat Istrinya yaitu Nyonya Laura, yang tampak anggun dengan pakaian elegan berwarna latte. Memiliki wajah indo membuat usianya yang sudah berumur tidak menampakkan kerutan dan tetap segar. Rindu tersenyum, merasa sedikit lega melihat sambutan hangat dari ayah mertuanya. “Selamat datang, Pa,” katanya sopan, sambil menunduk hormat. Whilliam mengangguk, dan tanpa ragu ia meraih tangan Rindu, mengajaknya lebih dekat. “Terima kasih, Rindu. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Maafkan kami yang tidak bisa hadir di pernikahan kalian.” “Tidak apa-apa, Pa. Rindu mengerti,” jawab Rindu sambil tersenyum. "Apa papa sudah tiba dari tadi?" tanya Tristand datar. "Lumayan. Kalian sudah pulang?" Whilliam heran karena menantu dan putranya sudah pulang di jam makan siang. Tristand hanya mengakat kedua bahunya menanggapi pertanyaan ayahnya. Melihat seorang wanita berparas cantik di belakang ayah mertuanya membuat Rindu yakin bahwa itu adalah Laura, mama mertuanya. “Selamat datang ma-,” Sapa Rindu memberikan senyum dan salam hormat kepada wanita yang telah menjadi mertuanya itu. "Heh... Cari muka" kata Laura dengan nada dingin,dan tatapan sinis membuat Rindu tertegun. Wanita itu memandang Rindu dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan penuh penilaian, seolah sedang menilai sesuatu yang tidak layak. Rindu merasa darahnya berdesir dingin. Ia menatap Laura dengan bingung, mencoba mencari alasan di balik sikap sinis tersebut, namun hanya mendapati tatapan penuh antipati. “Kalian memang pantas bersama,” lanjut Nyonya Laura, suaranya mengandung nada sindiran yang tajam. “Untung saja anakku sadar dan tidak jadi menikahi perempuan sepertimu. Kalian berdua cocok, sama-sama tidak tahu diri.” Kata-kata itu bagaikan tamparan yang tak terduga bagi Rindu. Ia bisa merasakan wajahnya memanas, antara marah dan bingung. Keningnya berkerut, dan tanpa sadar, ia menoleh ke arah Tristand, mencari penjelasan dari pria yang berdiri diam di sampingnya. Tristand, seperti biasa, tetap tenang. Ia hanya menatap ibunya dengan pandangan datar, seolah kata-kata pedas itu tidak mengganggunya sedikit pun. “Cukup, tante,” katanya singkat, namun tegas. Suaranya tidak meninggi, namun ada ketegasan di baliknya yang membuat Nyonya Laura berhenti berbicara. Rindu semakin bingung. Apa maksud dari semua ini? Mengapa Nyonya Laura terlihat begitu tidak suka padanya? Dan apa yang dimaksud dengan ‘tidak jadi menikahi’? Whilliam yang sejak tadi memperhatikan, mencoba meredakan ketegangan. “Ma, tidak perlu berkata seperti itu. Ini rumah Tristand, dan kita adalah tamu jadi jangan membuat keributan di sini” Nyonya Laura hanya menghela napas panjang, namun tidak berkata apa-apa lagi. Ia melangkah masuk ke dalam rumah dengan angkuh, meninggalkan Rindu dan Tristand di depan pintu. "Rindu, " suara Whilliam membuat Rindu terkejut dan menoleh ke arahnya. "Maafkan Richard yang meninggalkan pesta pernikahan kalian. Papa merasa sangat malu atas kejadian itu." Whilliam mengungkapkan rasa bersalahnya atas sikap anak bungsunya yang tidak bertanggungjawab. "Besok papa akan menemui pak Surya untuk meminta maaf atas semua kejadian ini. Dan Tristand, terimakasih telah menyelamatkan nama keluarga kita" Whilliam menepuk pundak Tristand. "Beristirahatlah pa, pasti perjalanan papa sangat melelahkan." Jawab Tristand dengan datar. "Apa kamu sudah tau kemana Richard pergi? anak itu tidak pernah puas membuat onar di keluarga ini. aku akan membuat perhitungan dengannya" Whilliam tampak menahan emosi terlihat dari rahangnya yang mengerat dan tangannya yang mengepal. Bola matanya juga memancarkan aura gelap seperti Tristand. 'Keluarga ini memang sangat menyeramkan. Pantas saja Tristand seperti itu ternyata mewarisi sifat ayahnya' baru saja Rindu merasa ngeri melihat ekspresi ayah mertuanya, tiba-tiba terdengar suara dari dalam. "Apa kalian tidak akan masuk ke dalam? apa karena aku datang ke sini? Laura melihat ke arah Rindu dan Tristand yang masih berdiri di luar bersama Whilliam. "Ayo kita masuk" ajak Whilliam yang diikuti oleh Tristand dan Rindu. Whilliam dan Laura tampak sedang menimati makan siang di meja makan sedangkan Tristand sudah menuju ke kamarnya. 'Tunggu! kenapa dia berjalan ke kamarku bukan ke kamarnya?' pikir Rindu saat melihat Tristand membuka pintu kamarnya. Dengan cepat Rindu berlari dan menahan lengan kekarnya. "Hei, ini kamarku. Itu kamarmu!" sambil menunjuk ke ujung koridor tempat kamar Tristand. Tristand memutar bola matanya ke arah Rindu, dan memberikan penekanan di sana. "Ini rumahku dan semua kamar adalah kamarku." jawabnya singkat dan melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar.Rindu mengerutkan kening, hatinya mulai membara karena sikap Tristand yang lagi-lagi bertindak semaunya. "Kamu nggak bisa sembarangan masuk ke kamarku begitu saja, Tristand!" sergahnya, suaranya lebih tegas dari sebelumnya, tak lagi peduli pada sikap lembut yang selalu berusaha ia pertahankan di depan orang lain. Tristand, yang sudah berdiri di tengah kamar, menoleh perlahan. Ekspresinya tenang, namun ada kegelapan di balik tatapan matanya. "Kamarmu?" ia mengulang kata itu seolah-olah mengejek. "Rindu, mulai hari ini ini bukan lagi cuma kamarmu. Ini kamar kita." Kata-kata itu membuat Rindu mundur selangkah. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya melemah namun masih jelas berisi kemarahan yang tertahan. Tanpa berkata lebih lanjut, Tristand membuka lemari pakaian Rindu. "Aku tadi menyuruh Tuti untuk memindahkan semua barang-barangku ke sini," jawabnya santai sambil menatap ke dalam lemari. "Orang tuaku akan tinggal beberapa hari, dan kamu tahu betapa tidak mungkin mereka tahu kalau kita
Makan siang itu berlangsung dalam suasana yang canggung. Rindu duduk di ujung meja bersama Tristand, Whilliam, dan Laura. Aroma makanan lezat memenuhi ruangan, namun tak satu pun dari mereka terlihat sepenuhnya menikmati hidangan. Laura, seperti biasa, duduk dengan angkuh, pandangannya tak pernah jauh dari Rindu. Ketegangan terasa ketika Laura membuka percakapan. "Jadi, Rindu," suara dingin itu terdengar, membuat semua mata menoleh padanya. "Kamu sekarang sudah berstatus istri dari Tristand." Ia mengucapkannya dengan nada seolah-olah Rindu telah mendapat posisi yang tidak layak baginya. Rindu, yang sudah terbiasa dengan sindiran dari wanita itu, hanya tersenyum tipis. "Iya, Ma," jawabnya sopan, meski dalam hati ia tahu bahwa ini akan menuju ke arah yang lebih tajam. Laura menatapnya dengan tajam, bibirnya menipis dalam ekspresi ketidaksukaan yang tak ia sembunyikan. "Sebenarnya, aku selalu penasaran. Selama kau berpacaran dengan Richard, dia tidak pernah memperkenalkanmu pada kelua
Rindu mendesah pelan, merasa benar-benar geram dengan kehadiran Tristand yang seenaknya. "Kau memang tak sebanding dengan Richard. Richard sangat lembut, sedangkan kamu... jelmaan lelembut," gumam Rindu pelan, tapi cukup keras untuk Tristand mendengarnya.Tristand menghentikan gerakannya sejenak, menolehkan kepalanya dan menatap Rindu dengan dingin. "Lihat sampai kau menarik kata-katamu lagi," jawabnya singkat, suaranya terdengar dingin dan penuh ancaman, membuat Rindu merinding.Dengan sikap santai yang selalu ia tunjukkan, Tristand mulai membuka lemari dan mengambil satu baju tidurnya. Ia mengganti baju begitu saja di hadapan Rindu. Seketika, Rindu merasa canggung, pipinya memerah. Ia buru-buru menutup sebagian wajahnya dengan tangan, namun tak bisa sepenuhnya menahan rasa kikuk yang menghantui."Hey! Apa yang kamu lakukan?!" seru Rindu kaget, tapi suaranya bergetar. "Apa kau tidak punya malu?""Berhentilah berpikir mesum terhadapku. Aku tidak tergoda olehmu" jawab Tristand datar, b
Whilliam Adhitama memanggil putra sulungnya, Tristand, dan menantunya, Rindu, ke ruang keluarga. Suasana ruangan yang biasanya penuh kehangatan berubah tegang saat Whilliam menatap Tristand dengan penuh keyakinan. Ia tampak siap untuk menyampaikan sesuatu yang penting. "Tristand," kata Whilliam dengan nada tegas namun lembut, "Papa ada permintaan khusus." Tristand mengangkat alis, tanda bahwa dia siap mendengarkan. Dalam setiap urusan keluarga maupun bisnis, Tristand selalu terlihat tenang dan percaya diri, tak pernah goyah meski menghadapi tekanan. "Kamu harus mewakili Papa menghadiri undangan dari kolega bisnis kita besok malam," lanjut Whilliam. "Papa harus segera menemui ayah Rindu, Pak Surya Hadiwijaya, untuk meminta maaf terkait hilangnya Richard di hari pernikahanmu. Papa tidak mungkin terus menunda ini, atau hubungan kita dengan keluarga Hadiwijaya akan semakin memburuk." Mendengar itu, Rindu menelan ludah, terkejut dengan arah pembicaraan. 'Acara bisnis? Aku harap ini
Tristand berdiri di depan cermin, mengenakan jas hitam yang membalut tubuh tegapnya dengan sempurna. Wajahnya yang serius, dengan potongan rambut pendek yang rapi, memancarkan wibawa yang tak terbantahkan. Di belakangnya, Rindu baru keluar dari kamar mandi, dan pandangannya terhenti di suaminya. Tanpa sadar, ia melongo, terpukau oleh penampilan gagah Tristand.Tristand, yang menyadari pandangan itu, berdehem pelan, suaranya terdengar jelas di antara keheningan. "Heh, ngapain kamu masih di situ? Cepat siap-siap!" katanya, suaranya seperti petir yang mengejutkan Rindu.Rindu tersentak, lalu mengerutkan kening. "Bisa nggak sih gak usah teriak-teriak? Kamu pikir aku budeg, ya?" gumamnya sambil mendekati lemari pakaian. Namun, begitu dia sampai di depan lemari, langkahnya terhenti. Dia memandangi tumpukan bajunya dan baru menyadari sesuatu: selama ini dia selalu abai terhadap penampilannya sendiri.'Ini berbeda,' pikirnya. 'Aku akan diperkenalkan sebagai Nyonya Tristand Adhitama.' Tapi tet
Rindu menatap bayangan dirinya di cermin butik itu. Gaun elegan yang dipilihkan untuknya meluncur sempurna di sepanjang tubuhnya, menonjolkan keanggunan yang selama ini tersembunyi. Riasan tipis di wajahnya memberikan kesan segar namun tetap natural, menonjolkan kecantikan alaminya tanpa terlihat berlebihan. Ia tidak bisa menahan senyum yang perlahan mengembang di bibirnya. Dalam hati, ia tak bisa memungkiri bahwa hasil kerja tangan-tangan terampil di butik ini sungguh luar biasa."Aku terlihat seperti... nyonya besar," gumam Rindu pada dirinya sendiri. Seolah-olah untuk pertama kalinya, ia melihat versi dirinya yang berbeda, seseorang yang selama ini tersembunyi di balik gaun-gaun sederhana dan riasan yang apa adanya. Tapi senyumnya perlahan memudar ketika ingatan tentang suaminya, si iblis bernama Tristand, kembali menyeruak.Senyuman lembut itu berubah menjadi kerutan di kening. "Semua ini hasil kerja orang suruhannya," pikir Rindu, nada suaranya yang terlintas dalam monolognya leb
Aula megah hotel bintang lima dipenuhi para tamu undangan dari kalangan bisnis elit. Malam itu, acara berlangsung meriah dengan berbagai percakapan formal dan tawa ringan terdengar dari segala sudut ruangan. Di tengah keramaian itu, Tristand menggandeng Rindu dengan erat, berjalan mantap ke arah beberapa kolega bisnisnya. Senyum tipis menghiasi wajah dingin pria itu, dan untuk sesaat, semua orang di sana melihatnya sebagai suami yang penuh perhatian. Rindu melangkah di samping Tristand, perasaan tidak nyaman menggulung di dadanya. Dia tahu ini hanya bagian dari sandiwara Tristand—menampilkan citra suami yang sempurna di depan orang-orang. Para wanita di ruangan itu memandangnya dengan tatapan iri, melihat sosok Tristand yang begitu mempesona dan tak tersentuh. ‘Jika saja mereka tahu siapa Tristand sebenarnya,’ Rindu bermonolog dalam hatinya. ‘Dia bisa menipu dunia dengan topeng ini, tapi aku tahu kegelapan yang tersembunyi di balik senyum itu.’ Ketika mereka berhenti di sebuah ke
Acara malam itu berlangsung dengan megah, penuh dengan lampu-lampu berkilauan dan musik lembut yang mengisi ruangan. Tristand dan Rindu duduk bersama dengan beberapa kolega di meja besar, sementara di meja sebelahnya, Mario Roman dan seorang wanita setengah baya duduk dengan anggun. Rindu merasa sedikit canggung di tengah-tengah orang-orang yang tampak begitu berkelas, terutama karena di sebelah mereka ada Mario yang tampak begitu berwibawa, duduk dengan santai di samping wanita yang wajahnya sangat mirip dengannya.Setelah beberapa sambutan pembuka, sang MC memanggil nama Tristand. “Kami undang Tristand Adhitama untuk memberikan sambutan, menggantikan ayahnya yang tidak dapat hadir malam ini.”Tristand bangkit dengan tenang. Setiap gerakannya terukur dan penuh kepercayaan diri. Saat Tristand naik ke atas panggung dan mulai berbicara, semua perhatian tertuju padanya. Gaya bicaranya lancar, cerdas, dan penuh kharisma. Rindu, yang terbiasa melihat sisi dingin dan kasar dari suaminya, te