Rindu menatap bayangan dirinya di cermin butik itu. Gaun elegan yang dipilihkan untuknya meluncur sempurna di sepanjang tubuhnya, menonjolkan keanggunan yang selama ini tersembunyi. Riasan tipis di wajahnya memberikan kesan segar namun tetap natural, menonjolkan kecantikan alaminya tanpa terlihat berlebihan. Ia tidak bisa menahan senyum yang perlahan mengembang di bibirnya. Dalam hati, ia tak bisa memungkiri bahwa hasil kerja tangan-tangan terampil di butik ini sungguh luar biasa."Aku terlihat seperti... nyonya besar," gumam Rindu pada dirinya sendiri. Seolah-olah untuk pertama kalinya, ia melihat versi dirinya yang berbeda, seseorang yang selama ini tersembunyi di balik gaun-gaun sederhana dan riasan yang apa adanya. Tapi senyumnya perlahan memudar ketika ingatan tentang suaminya, si iblis bernama Tristand, kembali menyeruak.Senyuman lembut itu berubah menjadi kerutan di kening. "Semua ini hasil kerja orang suruhannya," pikir Rindu, nada suaranya yang terlintas dalam monolognya leb
Aula megah hotel bintang lima dipenuhi para tamu undangan dari kalangan bisnis elit. Malam itu, acara berlangsung meriah dengan berbagai percakapan formal dan tawa ringan terdengar dari segala sudut ruangan. Di tengah keramaian itu, Tristand menggandeng Rindu dengan erat, berjalan mantap ke arah beberapa kolega bisnisnya. Senyum tipis menghiasi wajah dingin pria itu, dan untuk sesaat, semua orang di sana melihatnya sebagai suami yang penuh perhatian. Rindu melangkah di samping Tristand, perasaan tidak nyaman menggulung di dadanya. Dia tahu ini hanya bagian dari sandiwara Tristand—menampilkan citra suami yang sempurna di depan orang-orang. Para wanita di ruangan itu memandangnya dengan tatapan iri, melihat sosok Tristand yang begitu mempesona dan tak tersentuh. ‘Jika saja mereka tahu siapa Tristand sebenarnya,’ Rindu bermonolog dalam hatinya. ‘Dia bisa menipu dunia dengan topeng ini, tapi aku tahu kegelapan yang tersembunyi di balik senyum itu.’ Ketika mereka berhenti di sebuah ke
Acara malam itu berlangsung dengan megah, penuh dengan lampu-lampu berkilauan dan musik lembut yang mengisi ruangan. Tristand dan Rindu duduk bersama dengan beberapa kolega di meja besar, sementara di meja sebelahnya, Mario Roman dan seorang wanita setengah baya duduk dengan anggun. Rindu merasa sedikit canggung di tengah-tengah orang-orang yang tampak begitu berkelas, terutama karena di sebelah mereka ada Mario yang tampak begitu berwibawa, duduk dengan santai di samping wanita yang wajahnya sangat mirip dengannya.Setelah beberapa sambutan pembuka, sang MC memanggil nama Tristand. “Kami undang Tristand Adhitama untuk memberikan sambutan, menggantikan ayahnya yang tidak dapat hadir malam ini.”Tristand bangkit dengan tenang. Setiap gerakannya terukur dan penuh kepercayaan diri. Saat Tristand naik ke atas panggung dan mulai berbicara, semua perhatian tertuju padanya. Gaya bicaranya lancar, cerdas, dan penuh kharisma. Rindu, yang terbiasa melihat sisi dingin dan kasar dari suaminya, te
.Setelah acara resmi berakhir, Tristand tampak gelisah. Rindu, yang sudah bisa membaca bahasa tubuh suaminya, merasakan hawa dingin yang memancar dari pria itu. Namun ia memilih diam, berharap bisa menghindari ledakan yang pasti akan datang. Mereka berdiri di depan pintu hotel, menunggu valet membawa mobil mereka. Mario Roman melirik ke arah mereka, tersenyum tipis ke Rindu, dan itu cukup membuat kemarahan Tristand semakin meruncing.“Sudah cukup pamer lagakmu malam ini,” gumam Tristand dengan nada rendah yang nyaris tak terdengar, namun penuh ancaman. Dia menggenggam lengan Rindu dengan kuat, nyaris seperti mencengkeram, dan menariknya menuju mobil dengan kasar."Tristand, lepaskan! Apa yang kamu lakukan?!" seru Rindu, suaranya bergetar antara kaget dan marah. Namun, pria itu tidak peduli. Dia terus menyeret Rindu hingga mereka sampai di mobil.Tanpa sepatah kata lagi, Tristand membuka pintu mobil, mendorong Rindu masuk, dan menutupnya dengan keras. Begitu mereka berdua berada di dal
Malam mulai larut saat mobil yang dikemudikan Tristand berhenti di depan rumah besar mereka. Rindu masih bisa merasakan ketegangan di dalam mobil, suasana yang sudah terbentuk sejak mereka meninggalkan acara itu. Tristand mematikan mesin, namun keduanya tetap diam beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, suara langkah sepatu menghantam jalanan beraspal yang dingin. Ketika Rindu menoleh ke arah suara itu, dia melihat sosok Whilliam yang baru keluar dari mobilnya. Di sebelahnya, Laura tampak anggun meski wajahnya jelas memperlihatkan ketidaksenangan. Mereka berdua baru saja kembali dari rumah kedua orang tua Rindu. "Papa," sapa Tristand dingin namun formal saat keluar dari mobilnya, menutup pintu dengan perlahan. "Kalian baru saja kembali?" Whilliam tersenyum kecil, lalu menjawab, "Ya, kami baru pulang dari tempat Pak Surya dan Ibu Rita. Mereka menanyakanmu, Rindu," katanya sambil melirik sekilas ke arah Rindu yang masih duduk di dalam mobil, tampak canggung
Rindu dan Tristand baru saja masuk ke kamar setelah pertemuan canggung dengan Whilliam dan Laura. Begitu pintu tertutup, Rindu tak bisa lagi menahan pertanyaan yang sejak tadi menghantui pikirannya. Tanpa berpikir panjang, dia menarik lengan besar Tristand, menghentikan langkah pria itu."Kenapa kamu bilang kita akan pergi bulan madu?" tanya Rindu dengan nada keras, suaranya bergetar, tapi tekadnya bulat. "Aku tidak mau! Aku tidak akan pergi denganmu!"Tristand menoleh perlahan, matanya menyala tajam, penuh dengan kemarahan yang tertahan. Dia mendekat, membungkuk sedikit sehingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Rindu. "Apa katamu?" suaranya rendah, berbisik namun terasa seperti pisau yang menusuk.Rindu meneguk ludah, tapi dia tak mau mundur. "Aku bilang aku tidak mau! Aku tidak mau berbulan madu denganmu!" katanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, meski tubuhnya mulai bergetar.Tristand menyipitkan matanya, lalu tertawa kecil, sebuah tawa yang dingin dan penuh ironi. "Kau
Rindu duduk dalam diam sepanjang perjalanan di dalam mobil yang dikendarai oleh Tristand. Keheningan itu terasa begitu tebal dan menyesakkan. Ketika mobil hitam itu berhenti di depan gedung kantornya, Rindu membuka pintu dengan cepat, hampir terburu-buru untuk melarikan diri dari atmosfer penuh tekanan di dalam mobil. Tapi sebelum melangkah keluar, sebuah pikiran tiba-tiba menghantamnya. Bagaimana Tristand tahu kalau aku bekerja di sini? Dia belum pernah bercerita tentang tempat kerjanya pada suaminya, bahkan dihari pertama Rindu bekerja setelah ia menikah, Tristand sudah tau tempat kerjanya. Dia menatap suaminya yang masih memegang setir, matanya tak beranjak dari jalanan. "Tristand," katanya pelan namun cukup tegas. Tristand meliriknya sekilas tanpa ekspresi, menunggu kelanjutan pertanyaannya. "Aku belum pernah bilang di mana aku bekerja... dari mana kamu tahu aku bekerja di sini?" tanyanya, sedikit bingung dan cemas. Pria itu menoleh perlahan, menatapnya dingin dengan tatapan
Pagi itu, suasana kantor terasa biasa saja. Rindu sedang duduk di mejanya, fokus menatap layar laptop, menyelesaikan pekerjaan editing novel yang sudah hampir mendekati deadline. Sari, rekannya yang duduk di meja sebelah, juga terlihat sibuk, meski sekali-kali melirik ke arah Rindu yang tampak lebih serius dari biasanya. Tiba-tiba, ponsel Rindu bergetar di atas meja. Sebuah notifikasi pesan muncul di layar, dan Rindu tanpa berpikir panjang membukanya. Namun, apa yang ia lihat di layar membuat matanya melebar. Sebuah gambar tiket pesawat ke Pulau Dewata, lengkap dengan detail pemesanan villa mewah, terpampang jelas. Diikuti dengan pesan dari ayah mertuanya, Whilliam. "Papa sudah pesankan semua. Akhir pekan ini kalian akan berangkat. Satu minggu cukup kan? Papa sengaja memesan tiket lebih awal agar kamu bisa segera mengambil cuti, Rindu." Rindu spontan berteriak, "Hah? Apa? Ini Gila!" Suaranya yang terkejut membuat Sari tersentak, langsung menoleh dengan bingung. "Ada apa, Rindu