Pagi itu, suasana kantor terasa biasa saja. Rindu sedang duduk di mejanya, fokus menatap layar laptop, menyelesaikan pekerjaan editing novel yang sudah hampir mendekati deadline. Sari, rekannya yang duduk di meja sebelah, juga terlihat sibuk, meski sekali-kali melirik ke arah Rindu yang tampak lebih serius dari biasanya. Tiba-tiba, ponsel Rindu bergetar di atas meja. Sebuah notifikasi pesan muncul di layar, dan Rindu tanpa berpikir panjang membukanya. Namun, apa yang ia lihat di layar membuat matanya melebar. Sebuah gambar tiket pesawat ke Pulau Dewata, lengkap dengan detail pemesanan villa mewah, terpampang jelas. Diikuti dengan pesan dari ayah mertuanya, Whilliam. "Papa sudah pesankan semua. Akhir pekan ini kalian akan berangkat. Satu minggu cukup kan? Papa sengaja memesan tiket lebih awal agar kamu bisa segera mengambil cuti, Rindu." Rindu spontan berteriak, "Hah? Apa? Ini Gila!" Suaranya yang terkejut membuat Sari tersentak, langsung menoleh dengan bingung. "Ada apa, Rindu
Rindu melangkah pelan menuruni tangga, suara langkah kakinya bergema di ruang yang tenang. Sudah jam lima sore, dan Tristand menjemputnya pulang dari kantor. Selama perjalanan, suaminya itu sama sekali tidak menjawab satu pun pertanyaannya tentang tiket bulan madu yang diberikan oleh ayah mertuanya, Whilliam. Kecanggungan di dalam mobil terasa seperti jarum yang menusuk-nusuk, dan Rindu merasa hatinya semakin berat.Kali ini terlihat Laura, sudah duduk di meja makan seorang diri. Rindu agak ragu untuk duduk di sana hanya berdua dengan mama mertuanya itu. Karena dari awal Laura seperti tidak menyukainya bahkan sepertinya juga tidak menyukai tristand, anaknya sendiri. Rindu menoleh ke arah kamarnya, berharap Tristand segera turun, namun sepertinya suaminya itu baru saja membersihkan diri dan pasti masih ada di dalam kamar mandi. Ya.. meskipun kasar dan menyebalkan, adanya Tristand membuat Rindu lebih tenang karena sikap dingin suaminya itu ketika menggapi mamanya. Kemudian Rindu meli
"Jika itu maumu, aku yakin kamu jelas tau jawabanku." jawab Tristand singkat sebelum kemudian melompat ke ranjang tepat di samping Rindu. BUG Rindu terlonjak kaget saat tubuh Tristand menghentak ranjang, getaran di kasur terasa sampai ke tempatnya berbaring. "Apa yang kau lakukan?!" Rindu berseru, setengah marah, setengah terkejut, sementara Tristand hanya memandangnya dengan seringai penuh kemenangan. “Aku? Aku hanya mengikuti aturan permainanmu,” jawab Tristand sambil duduk santai di atas kasur. “Kalau kamu mau main sistem shift, kita lakukan dengan adil. Kalau kau tidur di sofa, kau sendirian di sini. Tapi kalau kau di ranjang, kau harus berbagi ruang denganku,” lanjutnya, masih dengan nada licik yang membuat Rindu semakin bingung."Adil macam apa itu? terdengar hanya menguntungkan dirimu saja!" protes Rindu. Tristand tidak menanggapinya dan terus memejamkan mata menikmati empuknya bantal dan kasur. Rindu merasakan detak jantungnya semakin tidak teratur. Dekatnya wajah Trista
Pagi itu, Rindu terbangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya terasa pegal dan sakit semua, terutama di punggung dan bahu. Ini bukan kali pertama ia mengalami hal semacam itu. Sejak menikah dengan Tristand, tidur nyenyak seolah menjadi kemewahan yang tidak lagi ia miliki. Setiap malam, ia terpaksa tidur di sofa, bukan karena tak ada tempat di ranjang, tapi karena kehadiran Tristand di ranjang selalu membuatnya merasa tertekan. “Kenapa semua terasa begitu berat? Sejak jadi istrinya, rasanya tak pernah ada waktu untuk sekadar bernapas lega,” gumamnya sambil berusaha menggerakkan bahunya yang kaku. Ia melirik ke arah Tristand yang masih tertidur lelap di ranjang, dengan suara dengkurannya yang halus. ‘Dia tidur seperti bayi, sementara aku...’ Rindu menghela napas panjang. Hatinya perih setiap kali menyadari perbedaan mereka. Tristand selalu tampak begitu santai, sementara dirinya terus-menerus dibebani tekanan dan ketidaknyamanan. Tanpa membuang waktu, Rindu segera bangun dan berjalan
Rindu memegang bibirnya yang masih terasa panas oleh sentuhan Tristand. ‘Apa yang barusan terjadi? Kenapa dia... Kenapa dia menci—‘ pikirannya terputus, tak mampu melanjutkan. Matanya memandang kosong ke arah Tristand yang berjalan menjauh, punggungnya tegap dan sikapnya seperti tak ada beban. Di sudut ruangan, Tristand menoleh sekali lagi ke arah Rindu yang masih terpaku di tempat. Dalam hati, ia tersenyum kecil. 'Kau pikir bisa tahu segalanya hanya dengan menguping, Rindu? Kita lihat nanti, seberapa jauh kau berani melangkah,' batinnya sebelum melangkah keluar dari pandangannya, meninggalkan Rindu yang masih gemetar. Rindu berdiri kaku di tempatnya, napasnya masih tersengal. Perasaan antara marah, malu, dan kebingungan berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Bibirnya masih terasa hangat dari ciuman tiba-tiba Tristand. Ia tak bisa memahami sepenuhnya apa yang baru saja terjadi. Mengapa pria itu selalu membuatnya merasa terjebak dalam permainan yang tak pernah ia mengerti? “Apa mak
Pagi itu suasana di dalam mobil terasa penuh ketegangan. Tristand, seperti biasanya, tetap menyetir dengan ekspresi dingin. Sementara itu, Rindu merasa tidak nyaman dengan keheningan yang terasa semakin berat. Ia tidak tahan lagi dengan sikap suaminya yang terlalu tidak jelas setiap harinya. "Tristand, besok aku akan berangkat sendiri. Kamu tidak perlu lagi mengantarku" suara Rindu memecah keheningan di antara mereka. "Tidak!" jawaban singkat Tristand dengan wajah tanpa ekspresinya. "Tristand tolong. Ini sudah kesekian kalinya aku bilang, aku bisa pergi sendiri. Aku sudah terbiasa naik motor atau transportasi umum. Kau tidak perlu selalu mengantar," ujar Rindu dengan nada protes. Rindu memang putri di keluarga Surya Hadiwijaya pemilik Vitalis Medica namun ia benar-benar tidak nampak seperti seorang putri. Berangkat kerja dengan mengendari motor matic tanpa pengawal, bahkan memilih bekerja di bidang yang jauh dengan latar belakang keluarganya. Tanpa sedikit pun menoleh, Tristand
Saat Rindu baru saja membuka pintu mobil dan hendak turun, telinganya menangkap suara nada dering ponsel Tristand yang tiba-tiba berdering. Ia tak bermaksud untuk menguping, namun sebelum sepenuhnya keluar, ia sempat melihat sekelebat nama di layar ponsel itu—nama seorang perempuan. Sesuatu di dalam hatinya langsung berdesir, tapi ia tidak bisa memastikan apa yang sebenarnya ia rasakan. Tristand dengan cepat mengangkat telepon tanpa peduli bahwa Rindu masih setengah keluar dari mobil. Suaranya terdengar tenang, namun sarat dengan nada formal dan sedikit misterius. "Ya, bagaimana perkembangannya?" Tristand berbicara dengan singkat, mengabaikan Rindu yang kini berdiri ragu di luar mobil, pintu masih terbuka. "Baiklah, atasi dulu. Besok kita akan melihat wajah frustasinya." Rindu mengernyit, mencoba mendengar lebih jelas, meski ia tahu tak seharusnya mendengarkan pembicaraan itu. Frustasi? Siapa yang akan frustasi? pikirnya, merasa gelisah. "Oke, bye," suara Tristand terdengar lag
Langit malam di kota tampak kelam ketika Rindu akhirnya melangkah keluar dari kantornya. Hari itu begitu melelahkan, pekerjaan menumpuk, dan tenggat waktu semakin mendesak. Semua harus diselesaikan sebelum ia mengambil cuti selama seminggu. Kakinya terasa berat, setiap langkah seperti menambah beban di pundaknya. Rindu berjalan dengan gontai menuju mobil Tristand yang sudah menunggunya di depan gedung kantor. Lampu mobilnya terang, menyilaukan mata Rindu yang sudah terlalu lelah untuk berpikir jernih.Saat Rindu baru saja membuka pintu mobil dan hendak masuk, suara dingin Tristand langsung menghentikan langkahnya."Kenapa kau lama sekali? Aku sudah dua jam menunggumu di sini," hardik Tristand tanpa basa-basi.Rindu terdiam, rasa lelah yang membebani tubuhnya kini bercampur dengan rasa kesal yang tiba-tiba meluap. Tanpa berkata apa-apa, dia menutup kembali pintu mobil dengan kasar. BRAAKK! Suara pintu yang ditutup keras bergema, menggambarkan perasaannya yang campur aduk.Tristand me