Pagi itu, Rindu terbangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya terasa pegal dan sakit semua, terutama di punggung dan bahu. Ini bukan kali pertama ia mengalami hal semacam itu. Sejak menikah dengan Tristand, tidur nyenyak seolah menjadi kemewahan yang tidak lagi ia miliki. Setiap malam, ia terpaksa tidur di sofa, bukan karena tak ada tempat di ranjang, tapi karena kehadiran Tristand di ranjang selalu membuatnya merasa tertekan. “Kenapa semua terasa begitu berat? Sejak jadi istrinya, rasanya tak pernah ada waktu untuk sekadar bernapas lega,” gumamnya sambil berusaha menggerakkan bahunya yang kaku. Ia melirik ke arah Tristand yang masih tertidur lelap di ranjang, dengan suara dengkurannya yang halus. ‘Dia tidur seperti bayi, sementara aku...’ Rindu menghela napas panjang. Hatinya perih setiap kali menyadari perbedaan mereka. Tristand selalu tampak begitu santai, sementara dirinya terus-menerus dibebani tekanan dan ketidaknyamanan. Tanpa membuang waktu, Rindu segera bangun dan berjalan
Rindu memegang bibirnya yang masih terasa panas oleh sentuhan Tristand. ‘Apa yang barusan terjadi? Kenapa dia... Kenapa dia menci—‘ pikirannya terputus, tak mampu melanjutkan. Matanya memandang kosong ke arah Tristand yang berjalan menjauh, punggungnya tegap dan sikapnya seperti tak ada beban. Di sudut ruangan, Tristand menoleh sekali lagi ke arah Rindu yang masih terpaku di tempat. Dalam hati, ia tersenyum kecil. 'Kau pikir bisa tahu segalanya hanya dengan menguping, Rindu? Kita lihat nanti, seberapa jauh kau berani melangkah,' batinnya sebelum melangkah keluar dari pandangannya, meninggalkan Rindu yang masih gemetar. Rindu berdiri kaku di tempatnya, napasnya masih tersengal. Perasaan antara marah, malu, dan kebingungan berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Bibirnya masih terasa hangat dari ciuman tiba-tiba Tristand. Ia tak bisa memahami sepenuhnya apa yang baru saja terjadi. Mengapa pria itu selalu membuatnya merasa terjebak dalam permainan yang tak pernah ia mengerti? “Apa mak
Pagi itu suasana di dalam mobil terasa penuh ketegangan. Tristand, seperti biasanya, tetap menyetir dengan ekspresi dingin. Sementara itu, Rindu merasa tidak nyaman dengan keheningan yang terasa semakin berat. Ia tidak tahan lagi dengan sikap suaminya yang terlalu tidak jelas setiap harinya. "Tristand, besok aku akan berangkat sendiri. Kamu tidak perlu lagi mengantarku" suara Rindu memecah keheningan di antara mereka. "Tidak!" jawaban singkat Tristand dengan wajah tanpa ekspresinya. "Tristand tolong. Ini sudah kesekian kalinya aku bilang, aku bisa pergi sendiri. Aku sudah terbiasa naik motor atau transportasi umum. Kau tidak perlu selalu mengantar," ujar Rindu dengan nada protes. Rindu memang putri di keluarga Surya Hadiwijaya pemilik Vitalis Medica namun ia benar-benar tidak nampak seperti seorang putri. Berangkat kerja dengan mengendari motor matic tanpa pengawal, bahkan memilih bekerja di bidang yang jauh dengan latar belakang keluarganya. Tanpa sedikit pun menoleh, Tristand
Saat Rindu baru saja membuka pintu mobil dan hendak turun, telinganya menangkap suara nada dering ponsel Tristand yang tiba-tiba berdering. Ia tak bermaksud untuk menguping, namun sebelum sepenuhnya keluar, ia sempat melihat sekelebat nama di layar ponsel itu—nama seorang perempuan. Sesuatu di dalam hatinya langsung berdesir, tapi ia tidak bisa memastikan apa yang sebenarnya ia rasakan. Tristand dengan cepat mengangkat telepon tanpa peduli bahwa Rindu masih setengah keluar dari mobil. Suaranya terdengar tenang, namun sarat dengan nada formal dan sedikit misterius. "Ya, bagaimana perkembangannya?" Tristand berbicara dengan singkat, mengabaikan Rindu yang kini berdiri ragu di luar mobil, pintu masih terbuka. "Baiklah, atasi dulu. Besok kita akan melihat wajah frustasinya." Rindu mengernyit, mencoba mendengar lebih jelas, meski ia tahu tak seharusnya mendengarkan pembicaraan itu. Frustasi? Siapa yang akan frustasi? pikirnya, merasa gelisah. "Oke, bye," suara Tristand terdengar lag
Langit malam di kota tampak kelam ketika Rindu akhirnya melangkah keluar dari kantornya. Hari itu begitu melelahkan, pekerjaan menumpuk, dan tenggat waktu semakin mendesak. Semua harus diselesaikan sebelum ia mengambil cuti selama seminggu. Kakinya terasa berat, setiap langkah seperti menambah beban di pundaknya. Rindu berjalan dengan gontai menuju mobil Tristand yang sudah menunggunya di depan gedung kantor. Lampu mobilnya terang, menyilaukan mata Rindu yang sudah terlalu lelah untuk berpikir jernih.Saat Rindu baru saja membuka pintu mobil dan hendak masuk, suara dingin Tristand langsung menghentikan langkahnya."Kenapa kau lama sekali? Aku sudah dua jam menunggumu di sini," hardik Tristand tanpa basa-basi.Rindu terdiam, rasa lelah yang membebani tubuhnya kini bercampur dengan rasa kesal yang tiba-tiba meluap. Tanpa berkata apa-apa, dia menutup kembali pintu mobil dengan kasar. BRAAKK! Suara pintu yang ditutup keras bergema, menggambarkan perasaannya yang campur aduk.Tristand me
Malam terus beranjak, meninggalkan kota dalam sepi. Di dalam mobil, suasana semakin membeku meski udara dingin dari pendingin ruangan perlahan mengisi kabin. Tristand tetap diam, pikirannya sibuk menimbang-nimbang, sementara Rindu menatap keluar jendela, terlelap dalam pikirannya sendiri.Sesekali, Tristand mencuri pandang ke arah Rindu. Wajah istrinya tampak sangat lelah. Ia tahu bahwa Rindu bekerja keras, bahkan sampai melupakan dirinya sendiri. Namun, ego dan sikap kerasnya kerap kali menutupi rasa peduli yang sebenarnya ia simpan. Hari ini, dua jam menunggu di luar kantor dengan amarah yang memuncak membuatnya meledak, padahal jauh di dalam hati, ia tahu Rindu punya alasan kuat.'Wanita ini… apa aku terlalu keras padanya?' pikir Tristand dalam hati. Ia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Selama ini, ia terbiasa mengendalikan segala hal, termasuk hubungan mereka. Tapi melihat Rindu begitu letih, ada rasa bersalah yang muncul pelan-pelan, menekan sisi egonya.Rindu, di sisi lain, ma
Langit cerah Bali menyambut kedatangan Rindu dan Tristand di sebuah villa mewah di Kuta. Suara ombak di kejauhan dan semilir angin pantai memberi suasana tenang yang sangat kontras dengan kehidupan mereka yang sibuk di kota. Villa itu terlihat sangat indah, asri, dan luas, hampir seperti surga kecil yang tersembunyi di tengah hiruk-pikuk dunia. Dikelilingi pepohonan hijau dengan dekorasi yang artistik, Rindu merasa terkesan sejak mereka melangkah masuk.Rindu mengikuti Tristand yang berjalan ke arah kamar. Namun, perhatian Rindu teralihkan oleh detail-detail kecil dalam villa. Langit-langit tinggi yang dihiasi lampu gantung artistik, lantai kayu yang terasa hangat di bawah kakinya, dan aroma bunga segar yang menguar dari taman kecil di samping ruang tamu membuatnya terpaku. Saking terpesonanya, ia tidak sadar bahwa langkah Tristand terhenti di depan sebuah pintu. Tanpa melihat ke depan, Rindu menabrak punggung suaminya."Aduh!" keluhnya, sambil mundur sedikit.Tristand menoleh perlaha
Setelah panggilan Whilliam berakhir, suasana di meja makan menjadi sunyi. Tristand tetap tenang, mengunyah makanannya, sementara Rindu merasa sedikit canggung. Permintaan ayah mertuanya tentang cucu perempuan masih terngiang di telinganya, menciptakan perasaan aneh di antara mereka.Rindu memainkan garpunya, menatap piring tanpa nafsu makan. Dalam pikirannya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya dipikirkan Tristand tentang permintaan itu. Namun, seperti biasa, ia terlalu enggan untuk bertanya. Tristand, di sisi lain, tampak tidak terlalu memikirkan hal itu, seolah-olah percakapan tadi hanyalah hal kecil yang tak penting.Di tengah keheningan itu, Tristand tiba-tiba berbicara dengan nada datar. "Besok aku akan menghadiri pertemuan. Kau mau ikut atau tidak?"Rindu mendongak, terkejut dengan pertanyaan itu. "Pertemuan?" ulangnya, ingin memastikan ia tidak salah dengar."Iya, pertemuan bisnis," jawab Tristand sambil menyuap nasi goreng, masih tanpa menatap Rindu. "Kau pikir kita di sini