Malam mulai larut saat mobil yang dikemudikan Tristand berhenti di depan rumah besar mereka. Rindu masih bisa merasakan ketegangan di dalam mobil, suasana yang sudah terbentuk sejak mereka meninggalkan acara itu. Tristand mematikan mesin, namun keduanya tetap diam beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, suara langkah sepatu menghantam jalanan beraspal yang dingin. Ketika Rindu menoleh ke arah suara itu, dia melihat sosok Whilliam yang baru keluar dari mobilnya. Di sebelahnya, Laura tampak anggun meski wajahnya jelas memperlihatkan ketidaksenangan. Mereka berdua baru saja kembali dari rumah kedua orang tua Rindu. "Papa," sapa Tristand dingin namun formal saat keluar dari mobilnya, menutup pintu dengan perlahan. "Kalian baru saja kembali?" Whilliam tersenyum kecil, lalu menjawab, "Ya, kami baru pulang dari tempat Pak Surya dan Ibu Rita. Mereka menanyakanmu, Rindu," katanya sambil melirik sekilas ke arah Rindu yang masih duduk di dalam mobil, tampak canggung
Rindu dan Tristand baru saja masuk ke kamar setelah pertemuan canggung dengan Whilliam dan Laura. Begitu pintu tertutup, Rindu tak bisa lagi menahan pertanyaan yang sejak tadi menghantui pikirannya. Tanpa berpikir panjang, dia menarik lengan besar Tristand, menghentikan langkah pria itu."Kenapa kamu bilang kita akan pergi bulan madu?" tanya Rindu dengan nada keras, suaranya bergetar, tapi tekadnya bulat. "Aku tidak mau! Aku tidak akan pergi denganmu!"Tristand menoleh perlahan, matanya menyala tajam, penuh dengan kemarahan yang tertahan. Dia mendekat, membungkuk sedikit sehingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Rindu. "Apa katamu?" suaranya rendah, berbisik namun terasa seperti pisau yang menusuk.Rindu meneguk ludah, tapi dia tak mau mundur. "Aku bilang aku tidak mau! Aku tidak mau berbulan madu denganmu!" katanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, meski tubuhnya mulai bergetar.Tristand menyipitkan matanya, lalu tertawa kecil, sebuah tawa yang dingin dan penuh ironi. "Kau
Rindu duduk dalam diam sepanjang perjalanan di dalam mobil yang dikendarai oleh Tristand. Keheningan itu terasa begitu tebal dan menyesakkan. Ketika mobil hitam itu berhenti di depan gedung kantornya, Rindu membuka pintu dengan cepat, hampir terburu-buru untuk melarikan diri dari atmosfer penuh tekanan di dalam mobil. Tapi sebelum melangkah keluar, sebuah pikiran tiba-tiba menghantamnya. Bagaimana Tristand tahu kalau aku bekerja di sini? Dia belum pernah bercerita tentang tempat kerjanya pada suaminya, bahkan dihari pertama Rindu bekerja setelah ia menikah, Tristand sudah tau tempat kerjanya. Dia menatap suaminya yang masih memegang setir, matanya tak beranjak dari jalanan. "Tristand," katanya pelan namun cukup tegas. Tristand meliriknya sekilas tanpa ekspresi, menunggu kelanjutan pertanyaannya. "Aku belum pernah bilang di mana aku bekerja... dari mana kamu tahu aku bekerja di sini?" tanyanya, sedikit bingung dan cemas. Pria itu menoleh perlahan, menatapnya dingin dengan tatapan
Pagi itu, suasana kantor terasa biasa saja. Rindu sedang duduk di mejanya, fokus menatap layar laptop, menyelesaikan pekerjaan editing novel yang sudah hampir mendekati deadline. Sari, rekannya yang duduk di meja sebelah, juga terlihat sibuk, meski sekali-kali melirik ke arah Rindu yang tampak lebih serius dari biasanya. Tiba-tiba, ponsel Rindu bergetar di atas meja. Sebuah notifikasi pesan muncul di layar, dan Rindu tanpa berpikir panjang membukanya. Namun, apa yang ia lihat di layar membuat matanya melebar. Sebuah gambar tiket pesawat ke Pulau Dewata, lengkap dengan detail pemesanan villa mewah, terpampang jelas. Diikuti dengan pesan dari ayah mertuanya, Whilliam. "Papa sudah pesankan semua. Akhir pekan ini kalian akan berangkat. Satu minggu cukup kan? Papa sengaja memesan tiket lebih awal agar kamu bisa segera mengambil cuti, Rindu." Rindu spontan berteriak, "Hah? Apa? Ini Gila!" Suaranya yang terkejut membuat Sari tersentak, langsung menoleh dengan bingung. "Ada apa, Rindu
Rindu melangkah pelan menuruni tangga, suara langkah kakinya bergema di ruang yang tenang. Sudah jam lima sore, dan Tristand menjemputnya pulang dari kantor. Selama perjalanan, suaminya itu sama sekali tidak menjawab satu pun pertanyaannya tentang tiket bulan madu yang diberikan oleh ayah mertuanya, Whilliam. Kecanggungan di dalam mobil terasa seperti jarum yang menusuk-nusuk, dan Rindu merasa hatinya semakin berat.Kali ini terlihat Laura, sudah duduk di meja makan seorang diri. Rindu agak ragu untuk duduk di sana hanya berdua dengan mama mertuanya itu. Karena dari awal Laura seperti tidak menyukainya bahkan sepertinya juga tidak menyukai tristand, anaknya sendiri. Rindu menoleh ke arah kamarnya, berharap Tristand segera turun, namun sepertinya suaminya itu baru saja membersihkan diri dan pasti masih ada di dalam kamar mandi. Ya.. meskipun kasar dan menyebalkan, adanya Tristand membuat Rindu lebih tenang karena sikap dingin suaminya itu ketika menggapi mamanya. Kemudian Rindu meli
"Jika itu maumu, aku yakin kamu jelas tau jawabanku." jawab Tristand singkat sebelum kemudian melompat ke ranjang tepat di samping Rindu. BUG Rindu terlonjak kaget saat tubuh Tristand menghentak ranjang, getaran di kasur terasa sampai ke tempatnya berbaring. "Apa yang kau lakukan?!" Rindu berseru, setengah marah, setengah terkejut, sementara Tristand hanya memandangnya dengan seringai penuh kemenangan. “Aku? Aku hanya mengikuti aturan permainanmu,” jawab Tristand sambil duduk santai di atas kasur. “Kalau kamu mau main sistem shift, kita lakukan dengan adil. Kalau kau tidur di sofa, kau sendirian di sini. Tapi kalau kau di ranjang, kau harus berbagi ruang denganku,” lanjutnya, masih dengan nada licik yang membuat Rindu semakin bingung."Adil macam apa itu? terdengar hanya menguntungkan dirimu saja!" protes Rindu. Tristand tidak menanggapinya dan terus memejamkan mata menikmati empuknya bantal dan kasur. Rindu merasakan detak jantungnya semakin tidak teratur. Dekatnya wajah Trista
Pagi itu, Rindu terbangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya terasa pegal dan sakit semua, terutama di punggung dan bahu. Ini bukan kali pertama ia mengalami hal semacam itu. Sejak menikah dengan Tristand, tidur nyenyak seolah menjadi kemewahan yang tidak lagi ia miliki. Setiap malam, ia terpaksa tidur di sofa, bukan karena tak ada tempat di ranjang, tapi karena kehadiran Tristand di ranjang selalu membuatnya merasa tertekan. “Kenapa semua terasa begitu berat? Sejak jadi istrinya, rasanya tak pernah ada waktu untuk sekadar bernapas lega,” gumamnya sambil berusaha menggerakkan bahunya yang kaku. Ia melirik ke arah Tristand yang masih tertidur lelap di ranjang, dengan suara dengkurannya yang halus. ‘Dia tidur seperti bayi, sementara aku...’ Rindu menghela napas panjang. Hatinya perih setiap kali menyadari perbedaan mereka. Tristand selalu tampak begitu santai, sementara dirinya terus-menerus dibebani tekanan dan ketidaknyamanan. Tanpa membuang waktu, Rindu segera bangun dan berjalan
Rindu memegang bibirnya yang masih terasa panas oleh sentuhan Tristand. ‘Apa yang barusan terjadi? Kenapa dia... Kenapa dia menci—‘ pikirannya terputus, tak mampu melanjutkan. Matanya memandang kosong ke arah Tristand yang berjalan menjauh, punggungnya tegap dan sikapnya seperti tak ada beban. Di sudut ruangan, Tristand menoleh sekali lagi ke arah Rindu yang masih terpaku di tempat. Dalam hati, ia tersenyum kecil. 'Kau pikir bisa tahu segalanya hanya dengan menguping, Rindu? Kita lihat nanti, seberapa jauh kau berani melangkah,' batinnya sebelum melangkah keluar dari pandangannya, meninggalkan Rindu yang masih gemetar. Rindu berdiri kaku di tempatnya, napasnya masih tersengal. Perasaan antara marah, malu, dan kebingungan berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Bibirnya masih terasa hangat dari ciuman tiba-tiba Tristand. Ia tak bisa memahami sepenuhnya apa yang baru saja terjadi. Mengapa pria itu selalu membuatnya merasa terjebak dalam permainan yang tak pernah ia mengerti? “Apa mak