Whilliam Adhitama memanggil putra sulungnya, Tristand, dan menantunya, Rindu, ke ruang keluarga. Suasana ruangan yang biasanya penuh kehangatan berubah tegang saat Whilliam menatap Tristand dengan penuh keyakinan. Ia tampak siap untuk menyampaikan sesuatu yang penting. "Tristand," kata Whilliam dengan nada tegas namun lembut, "Papa ada permintaan khusus." Tristand mengangkat alis, tanda bahwa dia siap mendengarkan. Dalam setiap urusan keluarga maupun bisnis, Tristand selalu terlihat tenang dan percaya diri, tak pernah goyah meski menghadapi tekanan. "Kamu harus mewakili Papa menghadiri undangan dari kolega bisnis kita besok malam," lanjut Whilliam. "Papa harus segera menemui ayah Rindu, Pak Surya Hadiwijaya, untuk meminta maaf terkait hilangnya Richard di hari pernikahanmu. Papa tidak mungkin terus menunda ini, atau hubungan kita dengan keluarga Hadiwijaya akan semakin memburuk." Mendengar itu, Rindu menelan ludah, terkejut dengan arah pembicaraan. 'Acara bisnis? Aku harap ini
Tristand berdiri di depan cermin, mengenakan jas hitam yang membalut tubuh tegapnya dengan sempurna. Wajahnya yang serius, dengan potongan rambut pendek yang rapi, memancarkan wibawa yang tak terbantahkan. Di belakangnya, Rindu baru keluar dari kamar mandi, dan pandangannya terhenti di suaminya. Tanpa sadar, ia melongo, terpukau oleh penampilan gagah Tristand.Tristand, yang menyadari pandangan itu, berdehem pelan, suaranya terdengar jelas di antara keheningan. "Heh, ngapain kamu masih di situ? Cepat siap-siap!" katanya, suaranya seperti petir yang mengejutkan Rindu.Rindu tersentak, lalu mengerutkan kening. "Bisa nggak sih gak usah teriak-teriak? Kamu pikir aku budeg, ya?" gumamnya sambil mendekati lemari pakaian. Namun, begitu dia sampai di depan lemari, langkahnya terhenti. Dia memandangi tumpukan bajunya dan baru menyadari sesuatu: selama ini dia selalu abai terhadap penampilannya sendiri.'Ini berbeda,' pikirnya. 'Aku akan diperkenalkan sebagai Nyonya Tristand Adhitama.' Tapi tet
Rindu menatap bayangan dirinya di cermin butik itu. Gaun elegan yang dipilihkan untuknya meluncur sempurna di sepanjang tubuhnya, menonjolkan keanggunan yang selama ini tersembunyi. Riasan tipis di wajahnya memberikan kesan segar namun tetap natural, menonjolkan kecantikan alaminya tanpa terlihat berlebihan. Ia tidak bisa menahan senyum yang perlahan mengembang di bibirnya. Dalam hati, ia tak bisa memungkiri bahwa hasil kerja tangan-tangan terampil di butik ini sungguh luar biasa."Aku terlihat seperti... nyonya besar," gumam Rindu pada dirinya sendiri. Seolah-olah untuk pertama kalinya, ia melihat versi dirinya yang berbeda, seseorang yang selama ini tersembunyi di balik gaun-gaun sederhana dan riasan yang apa adanya. Tapi senyumnya perlahan memudar ketika ingatan tentang suaminya, si iblis bernama Tristand, kembali menyeruak.Senyuman lembut itu berubah menjadi kerutan di kening. "Semua ini hasil kerja orang suruhannya," pikir Rindu, nada suaranya yang terlintas dalam monolognya leb
Aula megah hotel bintang lima dipenuhi para tamu undangan dari kalangan bisnis elit. Malam itu, acara berlangsung meriah dengan berbagai percakapan formal dan tawa ringan terdengar dari segala sudut ruangan. Di tengah keramaian itu, Tristand menggandeng Rindu dengan erat, berjalan mantap ke arah beberapa kolega bisnisnya. Senyum tipis menghiasi wajah dingin pria itu, dan untuk sesaat, semua orang di sana melihatnya sebagai suami yang penuh perhatian. Rindu melangkah di samping Tristand, perasaan tidak nyaman menggulung di dadanya. Dia tahu ini hanya bagian dari sandiwara Tristand—menampilkan citra suami yang sempurna di depan orang-orang. Para wanita di ruangan itu memandangnya dengan tatapan iri, melihat sosok Tristand yang begitu mempesona dan tak tersentuh. ‘Jika saja mereka tahu siapa Tristand sebenarnya,’ Rindu bermonolog dalam hatinya. ‘Dia bisa menipu dunia dengan topeng ini, tapi aku tahu kegelapan yang tersembunyi di balik senyum itu.’ Ketika mereka berhenti di sebuah ke
Acara malam itu berlangsung dengan megah, penuh dengan lampu-lampu berkilauan dan musik lembut yang mengisi ruangan. Tristand dan Rindu duduk bersama dengan beberapa kolega di meja besar, sementara di meja sebelahnya, Mario Roman dan seorang wanita setengah baya duduk dengan anggun. Rindu merasa sedikit canggung di tengah-tengah orang-orang yang tampak begitu berkelas, terutama karena di sebelah mereka ada Mario yang tampak begitu berwibawa, duduk dengan santai di samping wanita yang wajahnya sangat mirip dengannya.Setelah beberapa sambutan pembuka, sang MC memanggil nama Tristand. “Kami undang Tristand Adhitama untuk memberikan sambutan, menggantikan ayahnya yang tidak dapat hadir malam ini.”Tristand bangkit dengan tenang. Setiap gerakannya terukur dan penuh kepercayaan diri. Saat Tristand naik ke atas panggung dan mulai berbicara, semua perhatian tertuju padanya. Gaya bicaranya lancar, cerdas, dan penuh kharisma. Rindu, yang terbiasa melihat sisi dingin dan kasar dari suaminya, te
.Setelah acara resmi berakhir, Tristand tampak gelisah. Rindu, yang sudah bisa membaca bahasa tubuh suaminya, merasakan hawa dingin yang memancar dari pria itu. Namun ia memilih diam, berharap bisa menghindari ledakan yang pasti akan datang. Mereka berdiri di depan pintu hotel, menunggu valet membawa mobil mereka. Mario Roman melirik ke arah mereka, tersenyum tipis ke Rindu, dan itu cukup membuat kemarahan Tristand semakin meruncing.“Sudah cukup pamer lagakmu malam ini,” gumam Tristand dengan nada rendah yang nyaris tak terdengar, namun penuh ancaman. Dia menggenggam lengan Rindu dengan kuat, nyaris seperti mencengkeram, dan menariknya menuju mobil dengan kasar."Tristand, lepaskan! Apa yang kamu lakukan?!" seru Rindu, suaranya bergetar antara kaget dan marah. Namun, pria itu tidak peduli. Dia terus menyeret Rindu hingga mereka sampai di mobil.Tanpa sepatah kata lagi, Tristand membuka pintu mobil, mendorong Rindu masuk, dan menutupnya dengan keras. Begitu mereka berdua berada di dal
Malam mulai larut saat mobil yang dikemudikan Tristand berhenti di depan rumah besar mereka. Rindu masih bisa merasakan ketegangan di dalam mobil, suasana yang sudah terbentuk sejak mereka meninggalkan acara itu. Tristand mematikan mesin, namun keduanya tetap diam beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, suara langkah sepatu menghantam jalanan beraspal yang dingin. Ketika Rindu menoleh ke arah suara itu, dia melihat sosok Whilliam yang baru keluar dari mobilnya. Di sebelahnya, Laura tampak anggun meski wajahnya jelas memperlihatkan ketidaksenangan. Mereka berdua baru saja kembali dari rumah kedua orang tua Rindu. "Papa," sapa Tristand dingin namun formal saat keluar dari mobilnya, menutup pintu dengan perlahan. "Kalian baru saja kembali?" Whilliam tersenyum kecil, lalu menjawab, "Ya, kami baru pulang dari tempat Pak Surya dan Ibu Rita. Mereka menanyakanmu, Rindu," katanya sambil melirik sekilas ke arah Rindu yang masih duduk di dalam mobil, tampak canggung
Rindu dan Tristand baru saja masuk ke kamar setelah pertemuan canggung dengan Whilliam dan Laura. Begitu pintu tertutup, Rindu tak bisa lagi menahan pertanyaan yang sejak tadi menghantui pikirannya. Tanpa berpikir panjang, dia menarik lengan besar Tristand, menghentikan langkah pria itu."Kenapa kamu bilang kita akan pergi bulan madu?" tanya Rindu dengan nada keras, suaranya bergetar, tapi tekadnya bulat. "Aku tidak mau! Aku tidak akan pergi denganmu!"Tristand menoleh perlahan, matanya menyala tajam, penuh dengan kemarahan yang tertahan. Dia mendekat, membungkuk sedikit sehingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Rindu. "Apa katamu?" suaranya rendah, berbisik namun terasa seperti pisau yang menusuk.Rindu meneguk ludah, tapi dia tak mau mundur. "Aku bilang aku tidak mau! Aku tidak mau berbulan madu denganmu!" katanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, meski tubuhnya mulai bergetar.Tristand menyipitkan matanya, lalu tertawa kecil, sebuah tawa yang dingin dan penuh ironi. "Kau
Di suatu malam yang sunyi, di dalam kamar villa mereka, Rindu berdiri di dekat jendela, menatap gelapnya langit Bali. Hatinya dipenuhi oleh kelelahan yang menumpuk. Rasa kecewa yang tak pernah ia ungkapkan kini mendesak keluar. Sudah terlalu lama ia merasa tidak dipahami. Malam itu, perasaan itu mencapai puncaknya.Tristand sedang duduk di ranjang, sibuk dengan laptopnya, mengetik pesan atau mungkin menyelesaikan beberapa pekerjaan. Rindu menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.“Tristand,” Rindu memulai dengan suara pelan, namun tegas.Tristand mengangkat kepalanya sebentar, lalu kembali ke layar laptopnya. “Ada apa?” jawabnya singkat, seakan tak terlalu tertarik dengan percakapan ini.Rindu menggigit bibirnya, menahan kemarahan yang sudah menumpuk. Dia mengambil napas dalam lagi sebelum mengatakannya. “Aku sudah lelah. Aku ingin kita bercerai.”Tristand langsung menghentikan aktivitasnya. Dia menutup laptopnya dengan suara keras, menatap Rindu den
Rindu dan Mario melangkah kembali ke dalam aula hotel, setelah insiden di luar tadi. Udara dingin dalam ruangan tak bisa menghilangkan kecanggungan yang menyelimuti Rindu. Pikirannya masih melayang-layang pada kejadian yang baru saja terjadi, bagaimana Mario menyelamatkannya dari serangan pria asing itu. Namun, saat mereka masuk ke aula, tatapan tajam yang datang dari kejauhan menyentakkan Rindu dari lamunannya. Tristand berdiri di sana, memandang mereka dengan wajah dingin.Rindu merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mario tampak lebih tenang, namun saat Tristand mulai melangkah mendekat dengan cepat, Rindu bisa merasakan hawa ketegangan yang akan segera meledak."Darimana saja kamu?" Tristand bertanya dingin begitu sampai di depan Rindu, tanpa menunggu jeda.Rindu terkejut dengan nada bicaranya. "Aku—""Dan kenapa kau malah berjalan bersama Mario?" Tristand melanjutkan, suaranya semakin rendah namun penuh dengan kecurigaan.Mario, yang berdiri di samping Rindu, mencoba menjelaskan si
Rindu merasakan hawa panas yang tidak biasa di lorong tempat dia berjalan. Tubuhnya terasa kaku, dan detak jantungnya berdegup semakin cepat. Malam itu, setelah merasa bosan karena Tristand lebih sibuk dengan urusan bisnisnya, Rindu memutuskan untuk mencari udara segar di luar hotel.Dia berjalan keluar sendirian, mengelilingi taman kecil di belakang hotel. Cahaya remang-remang dari lampu taman tidak terlalu membantu menghilangkan rasa gelisah yang tiba-tiba melanda. Suasana sepi, suara dedaunan yang tertiup angin menggores keheningan, membuatnya merasa sedikit tidak nyaman.Kenapa aku ke sini? Seharusnya aku tetap di dalam ruangan, pikirnya sambil memegang erat gaunnya yang tipis. Perasaan takut tiba-tiba menyergapnya, membuat Rindu merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari balik pepohonan.Langkah Rindu melambat saat dia mendengar suara ranting patah di belakangnya. Matanya menajam, mencoba mencari sumber suara. Namun, ketika ia menoleh, tidak ada siapa pun di sana.Mungkin hanya pe
Rindu akhirnya menyerah pada ketakutannya. Pikirannya masih dilingkupi rasa takut sejak menonton film horor dan mendengar cerita hantu dari Tristand. Villa besar yang tadinya tampak indah kini terasa menyeramkan. Tidak ada pilihan lain, ia memutuskan untuk ikut Tristand ke acara bisnisnya. Daripada harus sendirian di villa, ia lebih baik bosan di acara pertemuan tersebut.Pagi itu, seperti biasa, Tristand membawanya ke sebuah butik mewah untuk makeover. Ia tahu betul bahwa Rindu tidak pernah terlalu peduli dengan penampilan. Sebagai putri kesayangan ayahnya, Pak Surya, Rindu terbiasa dengan kehidupan yang lebih santai dan sederhana. Jiwa bebasnya membuatnya sering kali menolak untuk berdandan, meskipun ia sadar bahwa sebagai istri dari seorang pria sukses seperti Tristand, penampilan sangat penting. Namun, ayahnya tidak pernah memaksanya. Pak Surya membiarkan Rindu menjalani hidup sesuai keinginannya, karena tidak ingin melihat putrinya yang ceria itu tertekan."Kenapa harus ke butik
Pagi itu, Rindu bangun dengan perasaan yang sangat segar. Udara di villa terasa sejuk, dan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela kamar menambah semangatnya. Hari ini adalah hari pertama ia benar-benar bisa bersantai setelah tiba di Bali. Ia memutuskan untuk menikmati fasilitas villa yang luar biasa lengkap, termasuk gym pribadi yang tersedia di sana. Dengan senyum lebar, Rindu langsung berganti pakaian olahraga dan turun ke ruang fitness.Villa ini benar-benar mewah. Tidak hanya besar dan artistik, tetapi juga dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap—dari kolam rena⁵⁵ merasa betapa beruntungnya ia bisa tinggal di tempat seperti ini, setidaknya untuk seminggu ke depan. Di ruang gym, ia memulai rutinitas olahraga dengan menggunakan treadmill dan beberapa alat lainnya.Setelah selesai, tubuhnya terasa segar dan otot-ototnya lebih rileks. Keringat membasahi tubuhnya, tetapi Rindu senang. Dengan tubuh yang lebih bugar, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil sarapan yang sudah
Setelah panggilan Whilliam berakhir, suasana di meja makan menjadi sunyi. Tristand tetap tenang, mengunyah makanannya, sementara Rindu merasa sedikit canggung. Permintaan ayah mertuanya tentang cucu perempuan masih terngiang di telinganya, menciptakan perasaan aneh di antara mereka.Rindu memainkan garpunya, menatap piring tanpa nafsu makan. Dalam pikirannya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya dipikirkan Tristand tentang permintaan itu. Namun, seperti biasa, ia terlalu enggan untuk bertanya. Tristand, di sisi lain, tampak tidak terlalu memikirkan hal itu, seolah-olah percakapan tadi hanyalah hal kecil yang tak penting.Di tengah keheningan itu, Tristand tiba-tiba berbicara dengan nada datar. "Besok aku akan menghadiri pertemuan. Kau mau ikut atau tidak?"Rindu mendongak, terkejut dengan pertanyaan itu. "Pertemuan?" ulangnya, ingin memastikan ia tidak salah dengar."Iya, pertemuan bisnis," jawab Tristand sambil menyuap nasi goreng, masih tanpa menatap Rindu. "Kau pikir kita di sini
Langit cerah Bali menyambut kedatangan Rindu dan Tristand di sebuah villa mewah di Kuta. Suara ombak di kejauhan dan semilir angin pantai memberi suasana tenang yang sangat kontras dengan kehidupan mereka yang sibuk di kota. Villa itu terlihat sangat indah, asri, dan luas, hampir seperti surga kecil yang tersembunyi di tengah hiruk-pikuk dunia. Dikelilingi pepohonan hijau dengan dekorasi yang artistik, Rindu merasa terkesan sejak mereka melangkah masuk.Rindu mengikuti Tristand yang berjalan ke arah kamar. Namun, perhatian Rindu teralihkan oleh detail-detail kecil dalam villa. Langit-langit tinggi yang dihiasi lampu gantung artistik, lantai kayu yang terasa hangat di bawah kakinya, dan aroma bunga segar yang menguar dari taman kecil di samping ruang tamu membuatnya terpaku. Saking terpesonanya, ia tidak sadar bahwa langkah Tristand terhenti di depan sebuah pintu. Tanpa melihat ke depan, Rindu menabrak punggung suaminya."Aduh!" keluhnya, sambil mundur sedikit.Tristand menoleh perlaha
Malam terus beranjak, meninggalkan kota dalam sepi. Di dalam mobil, suasana semakin membeku meski udara dingin dari pendingin ruangan perlahan mengisi kabin. Tristand tetap diam, pikirannya sibuk menimbang-nimbang, sementara Rindu menatap keluar jendela, terlelap dalam pikirannya sendiri.Sesekali, Tristand mencuri pandang ke arah Rindu. Wajah istrinya tampak sangat lelah. Ia tahu bahwa Rindu bekerja keras, bahkan sampai melupakan dirinya sendiri. Namun, ego dan sikap kerasnya kerap kali menutupi rasa peduli yang sebenarnya ia simpan. Hari ini, dua jam menunggu di luar kantor dengan amarah yang memuncak membuatnya meledak, padahal jauh di dalam hati, ia tahu Rindu punya alasan kuat.'Wanita ini… apa aku terlalu keras padanya?' pikir Tristand dalam hati. Ia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Selama ini, ia terbiasa mengendalikan segala hal, termasuk hubungan mereka. Tapi melihat Rindu begitu letih, ada rasa bersalah yang muncul pelan-pelan, menekan sisi egonya.Rindu, di sisi lain, ma
Langit malam di kota tampak kelam ketika Rindu akhirnya melangkah keluar dari kantornya. Hari itu begitu melelahkan, pekerjaan menumpuk, dan tenggat waktu semakin mendesak. Semua harus diselesaikan sebelum ia mengambil cuti selama seminggu. Kakinya terasa berat, setiap langkah seperti menambah beban di pundaknya. Rindu berjalan dengan gontai menuju mobil Tristand yang sudah menunggunya di depan gedung kantor. Lampu mobilnya terang, menyilaukan mata Rindu yang sudah terlalu lelah untuk berpikir jernih.Saat Rindu baru saja membuka pintu mobil dan hendak masuk, suara dingin Tristand langsung menghentikan langkahnya."Kenapa kau lama sekali? Aku sudah dua jam menunggumu di sini," hardik Tristand tanpa basa-basi.Rindu terdiam, rasa lelah yang membebani tubuhnya kini bercampur dengan rasa kesal yang tiba-tiba meluap. Tanpa berkata apa-apa, dia menutup kembali pintu mobil dengan kasar. BRAAKK! Suara pintu yang ditutup keras bergema, menggambarkan perasaannya yang campur aduk.Tristand me