Rindu mendesah pelan, merasa benar-benar geram dengan kehadiran Tristand yang seenaknya. "Kau memang tak sebanding dengan Richard. Richard sangat lembut, sedangkan kamu... jelmaan lelembut," gumam Rindu pelan, tapi cukup keras untuk Tristand mendengarnya.Tristand menghentikan gerakannya sejenak, menolehkan kepalanya dan menatap Rindu dengan dingin. "Lihat sampai kau menarik kata-katamu lagi," jawabnya singkat, suaranya terdengar dingin dan penuh ancaman, membuat Rindu merinding.Dengan sikap santai yang selalu ia tunjukkan, Tristand mulai membuka lemari dan mengambil satu baju tidurnya. Ia mengganti baju begitu saja di hadapan Rindu. Seketika, Rindu merasa canggung, pipinya memerah. Ia buru-buru menutup sebagian wajahnya dengan tangan, namun tak bisa sepenuhnya menahan rasa kikuk yang menghantui."Hey! Apa yang kamu lakukan?!" seru Rindu kaget, tapi suaranya bergetar. "Apa kau tidak punya malu?""Berhentilah berpikir mesum terhadapku. Aku tidak tergoda olehmu" jawab Tristand datar, b
Whilliam Adhitama memanggil putra sulungnya, Tristand, dan menantunya, Rindu, ke ruang keluarga. Suasana ruangan yang biasanya penuh kehangatan berubah tegang saat Whilliam menatap Tristand dengan penuh keyakinan. Ia tampak siap untuk menyampaikan sesuatu yang penting. "Tristand," kata Whilliam dengan nada tegas namun lembut, "Papa ada permintaan khusus." Tristand mengangkat alis, tanda bahwa dia siap mendengarkan. Dalam setiap urusan keluarga maupun bisnis, Tristand selalu terlihat tenang dan percaya diri, tak pernah goyah meski menghadapi tekanan. "Kamu harus mewakili Papa menghadiri undangan dari kolega bisnis kita besok malam," lanjut Whilliam. "Papa harus segera menemui ayah Rindu, Pak Surya Hadiwijaya, untuk meminta maaf terkait hilangnya Richard di hari pernikahanmu. Papa tidak mungkin terus menunda ini, atau hubungan kita dengan keluarga Hadiwijaya akan semakin memburuk." Mendengar itu, Rindu menelan ludah, terkejut dengan arah pembicaraan. 'Acara bisnis? Aku harap ini
Tristand berdiri di depan cermin, mengenakan jas hitam yang membalut tubuh tegapnya dengan sempurna. Wajahnya yang serius, dengan potongan rambut pendek yang rapi, memancarkan wibawa yang tak terbantahkan. Di belakangnya, Rindu baru keluar dari kamar mandi, dan pandangannya terhenti di suaminya. Tanpa sadar, ia melongo, terpukau oleh penampilan gagah Tristand.Tristand, yang menyadari pandangan itu, berdehem pelan, suaranya terdengar jelas di antara keheningan. "Heh, ngapain kamu masih di situ? Cepat siap-siap!" katanya, suaranya seperti petir yang mengejutkan Rindu.Rindu tersentak, lalu mengerutkan kening. "Bisa nggak sih gak usah teriak-teriak? Kamu pikir aku budeg, ya?" gumamnya sambil mendekati lemari pakaian. Namun, begitu dia sampai di depan lemari, langkahnya terhenti. Dia memandangi tumpukan bajunya dan baru menyadari sesuatu: selama ini dia selalu abai terhadap penampilannya sendiri.'Ini berbeda,' pikirnya. 'Aku akan diperkenalkan sebagai Nyonya Tristand Adhitama.' Tapi tet
Rindu menatap bayangan dirinya di cermin butik itu. Gaun elegan yang dipilihkan untuknya meluncur sempurna di sepanjang tubuhnya, menonjolkan keanggunan yang selama ini tersembunyi. Riasan tipis di wajahnya memberikan kesan segar namun tetap natural, menonjolkan kecantikan alaminya tanpa terlihat berlebihan. Ia tidak bisa menahan senyum yang perlahan mengembang di bibirnya. Dalam hati, ia tak bisa memungkiri bahwa hasil kerja tangan-tangan terampil di butik ini sungguh luar biasa."Aku terlihat seperti... nyonya besar," gumam Rindu pada dirinya sendiri. Seolah-olah untuk pertama kalinya, ia melihat versi dirinya yang berbeda, seseorang yang selama ini tersembunyi di balik gaun-gaun sederhana dan riasan yang apa adanya. Tapi senyumnya perlahan memudar ketika ingatan tentang suaminya, si iblis bernama Tristand, kembali menyeruak.Senyuman lembut itu berubah menjadi kerutan di kening. "Semua ini hasil kerja orang suruhannya," pikir Rindu, nada suaranya yang terlintas dalam monolognya leb
Aula megah hotel bintang lima dipenuhi para tamu undangan dari kalangan bisnis elit. Malam itu, acara berlangsung meriah dengan berbagai percakapan formal dan tawa ringan terdengar dari segala sudut ruangan. Di tengah keramaian itu, Tristand menggandeng Rindu dengan erat, berjalan mantap ke arah beberapa kolega bisnisnya. Senyum tipis menghiasi wajah dingin pria itu, dan untuk sesaat, semua orang di sana melihatnya sebagai suami yang penuh perhatian. Rindu melangkah di samping Tristand, perasaan tidak nyaman menggulung di dadanya. Dia tahu ini hanya bagian dari sandiwara Tristand—menampilkan citra suami yang sempurna di depan orang-orang. Para wanita di ruangan itu memandangnya dengan tatapan iri, melihat sosok Tristand yang begitu mempesona dan tak tersentuh. ‘Jika saja mereka tahu siapa Tristand sebenarnya,’ Rindu bermonolog dalam hatinya. ‘Dia bisa menipu dunia dengan topeng ini, tapi aku tahu kegelapan yang tersembunyi di balik senyum itu.’ Ketika mereka berhenti di sebuah ke
Acara malam itu berlangsung dengan megah, penuh dengan lampu-lampu berkilauan dan musik lembut yang mengisi ruangan. Tristand dan Rindu duduk bersama dengan beberapa kolega di meja besar, sementara di meja sebelahnya, Mario Roman dan seorang wanita setengah baya duduk dengan anggun. Rindu merasa sedikit canggung di tengah-tengah orang-orang yang tampak begitu berkelas, terutama karena di sebelah mereka ada Mario yang tampak begitu berwibawa, duduk dengan santai di samping wanita yang wajahnya sangat mirip dengannya.Setelah beberapa sambutan pembuka, sang MC memanggil nama Tristand. “Kami undang Tristand Adhitama untuk memberikan sambutan, menggantikan ayahnya yang tidak dapat hadir malam ini.”Tristand bangkit dengan tenang. Setiap gerakannya terukur dan penuh kepercayaan diri. Saat Tristand naik ke atas panggung dan mulai berbicara, semua perhatian tertuju padanya. Gaya bicaranya lancar, cerdas, dan penuh kharisma. Rindu, yang terbiasa melihat sisi dingin dan kasar dari suaminya, te
.Setelah acara resmi berakhir, Tristand tampak gelisah. Rindu, yang sudah bisa membaca bahasa tubuh suaminya, merasakan hawa dingin yang memancar dari pria itu. Namun ia memilih diam, berharap bisa menghindari ledakan yang pasti akan datang. Mereka berdiri di depan pintu hotel, menunggu valet membawa mobil mereka. Mario Roman melirik ke arah mereka, tersenyum tipis ke Rindu, dan itu cukup membuat kemarahan Tristand semakin meruncing.“Sudah cukup pamer lagakmu malam ini,” gumam Tristand dengan nada rendah yang nyaris tak terdengar, namun penuh ancaman. Dia menggenggam lengan Rindu dengan kuat, nyaris seperti mencengkeram, dan menariknya menuju mobil dengan kasar."Tristand, lepaskan! Apa yang kamu lakukan?!" seru Rindu, suaranya bergetar antara kaget dan marah. Namun, pria itu tidak peduli. Dia terus menyeret Rindu hingga mereka sampai di mobil.Tanpa sepatah kata lagi, Tristand membuka pintu mobil, mendorong Rindu masuk, dan menutupnya dengan keras. Begitu mereka berdua berada di dal
Malam mulai larut saat mobil yang dikemudikan Tristand berhenti di depan rumah besar mereka. Rindu masih bisa merasakan ketegangan di dalam mobil, suasana yang sudah terbentuk sejak mereka meninggalkan acara itu. Tristand mematikan mesin, namun keduanya tetap diam beberapa saat, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, suara langkah sepatu menghantam jalanan beraspal yang dingin. Ketika Rindu menoleh ke arah suara itu, dia melihat sosok Whilliam yang baru keluar dari mobilnya. Di sebelahnya, Laura tampak anggun meski wajahnya jelas memperlihatkan ketidaksenangan. Mereka berdua baru saja kembali dari rumah kedua orang tua Rindu. "Papa," sapa Tristand dingin namun formal saat keluar dari mobilnya, menutup pintu dengan perlahan. "Kalian baru saja kembali?" Whilliam tersenyum kecil, lalu menjawab, "Ya, kami baru pulang dari tempat Pak Surya dan Ibu Rita. Mereka menanyakanmu, Rindu," katanya sambil melirik sekilas ke arah Rindu yang masih duduk di dalam mobil, tampak canggung