Rindu mengerutkan kening, hatinya mulai membara karena sikap Tristand yang lagi-lagi bertindak semaunya. "Kamu nggak bisa sembarangan masuk ke kamarku begitu saja, Tristand!" sergahnya, suaranya lebih tegas dari sebelumnya, tak lagi peduli pada sikap lembut yang selalu berusaha ia pertahankan di depan orang lain.
Tristand, yang sudah berdiri di tengah kamar, menoleh perlahan. Ekspresinya tenang, namun ada kegelapan di balik tatapan matanya. "Kamarmu?" ia mengulang kata itu seolah-olah mengejek. "Rindu, mulai hari ini ini bukan lagi cuma kamarmu. Ini kamar kita." Kata-kata itu membuat Rindu mundur selangkah. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya melemah namun masih jelas berisi kemarahan yang tertahan. Tanpa berkata lebih lanjut, Tristand membuka lemari pakaian Rindu. "Aku tadi menyuruh Tuti untuk memindahkan semua barang-barangku ke sini," jawabnya santai sambil menatap ke dalam lemari. "Orang tuaku akan tinggal beberapa hari, dan kamu tahu betapa tidak mungkin mereka tahu kalau kita tidur di kamar terpisah. Jadi, mulai sekarang kita akan tidur di kamar yang sama." Rindu menatap pakaian-pakaian Tristand yang sudah memenuhi setengah dari lemarinya. Tangannya mengepal di samping tubuhnya, berusaha menahan diri. "Kamu sama sekali nggak tanya dulu? Kamu pikir kamu bisa atur segalanya begitu saja?" Tristand mendesah, tampaknya bosan dengan protes Rindu. "Aku tidak butuh persetujuanmu untuk hal seperti ini, Rindu. Ini keputusan yang harus diambil." "Keputusan yang harus diambil?" Rindu berbalik menghadapi Tristand, matanya kini penuh dengan amarah yang sulit ditahan. "Kamu selalu begitu, kan? Mengambil keputusan tanpa sedikit pun peduli apa yang aku rasakan, apa yang aku inginkan!" Tristand menatapnya dengan tajam, wajahnya yang tadinya tenang kini mengeras. "Aku melakukan ini untuk kebaikan kita berdua. Kita sudah menikah, Rindu. Kamu harus mulai menerima kenyataan itu. Tidak mungkin aku membiarkan orang tua kita tahu bahwa pernikahan kita belum sepenuhnya berjalan seperti seharusnya." Rindu tersentak. "Seharusnya?" ia mengulang dengan nada sinis. "Kamu bicara seolah semua ini hanya formalitas. Pernikahan ini bukan sekadar sandiwara, Tristand. Aku juga punya hak atas hidupku!" Tristand mendekat, wajahnya yang keras bagaikan topeng tak berperasaan. "Hak? Kamu bicara tentang hak setelah semua ini? Kamu tahu betul apa yang sedang kita hadapi. Keluarga kita sedang dalam sorotan. Kamu seharusnya lebih pintar daripada ini." Rindu merasa darahnya mendidih. "Aku tahu betul apa yang sedang terjadi. Tapi itu bukan berarti kamu bisa mengaturku seenaknya! Kamu nggak punya hak buat masuk ke kamarku tanpa ijin, apalagi menyuruh orang lain memindahkan barang-barangmu tanpa memberitahuku!" Tristand menatap Rindu dengan dingin, ekspresinya berubah menjadi lebih keras. "Aku tidak akan berdebat denganmu tentang ini, Rindu. Kamu bisa marah, kamu bisa protes, tapi kenyataannya tidak akan berubah. Orang tua kita ada di sini, dan kita akan berperan sebagai suami istri seperti yang mereka harapkan. Tidak ada pilihan lain." Rindu merasakan amarahnya semakin memuncak, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak lagi merasa takut atau canggung di depan Tristand. "Aku bukan boneka, Tristand," katanya, nadanya rendah namun penuh tekad. "Dan aku nggak akan membiarkan kamu memperlakukanku seperti ini terus-menerus." Tristand mendekat lebih dekat, hingga jarak mereka hanya beberapa inci. "Kamu bisa terus protes, tapi itu tidak akan mengubah kenyataan, Rindu," bisiknya, suaranya mengandung ancaman yang halus. "Ini adalah rumahku, dan kamu akan ikut aturanku." Rindu menatapnya balik tanpa gentar, meski hatinya berdetak kencang. "Kamu boleh berpikir kamu bisa mengontrol semuanya, tapi aku akan melawan. Aku nggak akan diam saja." Tristand tidak berkata apa-apa lagi. Ia menatap Rindu sejenak sebelum berbalik dan berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Rindu berdiri di sana, masih bergulat dengan amarah dan rasa frustasinya. Saat Tristand menghilang dari pandangan, Rindu merasa seolah udara di sekitarnya menebal. Ia tahu ini baru permulaan dari pertarungan yang lebih besar, dan untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk melawan. 'Baiklah Rindu Anindya Hadiwijaya, sepertinya sekarang kau punya lawan yang seimbang. Tristand kau mungkin seorang Iblis tapi melawanku, bukanlah keputusan yang tepat'Makan siang itu berlangsung dalam suasana yang canggung. Rindu duduk di ujung meja bersama Tristand, Whilliam, dan Laura. Aroma makanan lezat memenuhi ruangan, namun tak satu pun dari mereka terlihat sepenuhnya menikmati hidangan. Laura, seperti biasa, duduk dengan angkuh, pandangannya tak pernah jauh dari Rindu. Ketegangan terasa ketika Laura membuka percakapan. "Jadi, Rindu," suara dingin itu terdengar, membuat semua mata menoleh padanya. "Kamu sekarang sudah berstatus istri dari Tristand." Ia mengucapkannya dengan nada seolah-olah Rindu telah mendapat posisi yang tidak layak baginya. Rindu, yang sudah terbiasa dengan sindiran dari wanita itu, hanya tersenyum tipis. "Iya, Ma," jawabnya sopan, meski dalam hati ia tahu bahwa ini akan menuju ke arah yang lebih tajam. Laura menatapnya dengan tajam, bibirnya menipis dalam ekspresi ketidaksukaan yang tak ia sembunyikan. "Sebenarnya, aku selalu penasaran. Selama kau berpacaran dengan Richard, dia tidak pernah memperkenalkanmu pada kelua
Rindu mendesah pelan, merasa benar-benar geram dengan kehadiran Tristand yang seenaknya. "Kau memang tak sebanding dengan Richard. Richard sangat lembut, sedangkan kamu... jelmaan lelembut," gumam Rindu pelan, tapi cukup keras untuk Tristand mendengarnya.Tristand menghentikan gerakannya sejenak, menolehkan kepalanya dan menatap Rindu dengan dingin. "Lihat sampai kau menarik kata-katamu lagi," jawabnya singkat, suaranya terdengar dingin dan penuh ancaman, membuat Rindu merinding.Dengan sikap santai yang selalu ia tunjukkan, Tristand mulai membuka lemari dan mengambil satu baju tidurnya. Ia mengganti baju begitu saja di hadapan Rindu. Seketika, Rindu merasa canggung, pipinya memerah. Ia buru-buru menutup sebagian wajahnya dengan tangan, namun tak bisa sepenuhnya menahan rasa kikuk yang menghantui."Hey! Apa yang kamu lakukan?!" seru Rindu kaget, tapi suaranya bergetar. "Apa kau tidak punya malu?""Berhentilah berpikir mesum terhadapku. Aku tidak tergoda olehmu" jawab Tristand datar, b
Whilliam Adhitama memanggil putra sulungnya, Tristand, dan menantunya, Rindu, ke ruang keluarga. Suasana ruangan yang biasanya penuh kehangatan berubah tegang saat Whilliam menatap Tristand dengan penuh keyakinan. Ia tampak siap untuk menyampaikan sesuatu yang penting. "Tristand," kata Whilliam dengan nada tegas namun lembut, "Papa ada permintaan khusus." Tristand mengangkat alis, tanda bahwa dia siap mendengarkan. Dalam setiap urusan keluarga maupun bisnis, Tristand selalu terlihat tenang dan percaya diri, tak pernah goyah meski menghadapi tekanan. "Kamu harus mewakili Papa menghadiri undangan dari kolega bisnis kita besok malam," lanjut Whilliam. "Papa harus segera menemui ayah Rindu, Pak Surya Hadiwijaya, untuk meminta maaf terkait hilangnya Richard di hari pernikahanmu. Papa tidak mungkin terus menunda ini, atau hubungan kita dengan keluarga Hadiwijaya akan semakin memburuk." Mendengar itu, Rindu menelan ludah, terkejut dengan arah pembicaraan. 'Acara bisnis? Aku harap ini
Tristand berdiri di depan cermin, mengenakan jas hitam yang membalut tubuh tegapnya dengan sempurna. Wajahnya yang serius, dengan potongan rambut pendek yang rapi, memancarkan wibawa yang tak terbantahkan. Di belakangnya, Rindu baru keluar dari kamar mandi, dan pandangannya terhenti di suaminya. Tanpa sadar, ia melongo, terpukau oleh penampilan gagah Tristand.Tristand, yang menyadari pandangan itu, berdehem pelan, suaranya terdengar jelas di antara keheningan. "Heh, ngapain kamu masih di situ? Cepat siap-siap!" katanya, suaranya seperti petir yang mengejutkan Rindu.Rindu tersentak, lalu mengerutkan kening. "Bisa nggak sih gak usah teriak-teriak? Kamu pikir aku budeg, ya?" gumamnya sambil mendekati lemari pakaian. Namun, begitu dia sampai di depan lemari, langkahnya terhenti. Dia memandangi tumpukan bajunya dan baru menyadari sesuatu: selama ini dia selalu abai terhadap penampilannya sendiri.'Ini berbeda,' pikirnya. 'Aku akan diperkenalkan sebagai Nyonya Tristand Adhitama.' Tapi tet
Rindu menatap bayangan dirinya di cermin butik itu. Gaun elegan yang dipilihkan untuknya meluncur sempurna di sepanjang tubuhnya, menonjolkan keanggunan yang selama ini tersembunyi. Riasan tipis di wajahnya memberikan kesan segar namun tetap natural, menonjolkan kecantikan alaminya tanpa terlihat berlebihan. Ia tidak bisa menahan senyum yang perlahan mengembang di bibirnya. Dalam hati, ia tak bisa memungkiri bahwa hasil kerja tangan-tangan terampil di butik ini sungguh luar biasa."Aku terlihat seperti... nyonya besar," gumam Rindu pada dirinya sendiri. Seolah-olah untuk pertama kalinya, ia melihat versi dirinya yang berbeda, seseorang yang selama ini tersembunyi di balik gaun-gaun sederhana dan riasan yang apa adanya. Tapi senyumnya perlahan memudar ketika ingatan tentang suaminya, si iblis bernama Tristand, kembali menyeruak.Senyuman lembut itu berubah menjadi kerutan di kening. "Semua ini hasil kerja orang suruhannya," pikir Rindu, nada suaranya yang terlintas dalam monolognya leb
Aula megah hotel bintang lima dipenuhi para tamu undangan dari kalangan bisnis elit. Malam itu, acara berlangsung meriah dengan berbagai percakapan formal dan tawa ringan terdengar dari segala sudut ruangan. Di tengah keramaian itu, Tristand menggandeng Rindu dengan erat, berjalan mantap ke arah beberapa kolega bisnisnya. Senyum tipis menghiasi wajah dingin pria itu, dan untuk sesaat, semua orang di sana melihatnya sebagai suami yang penuh perhatian. Rindu melangkah di samping Tristand, perasaan tidak nyaman menggulung di dadanya. Dia tahu ini hanya bagian dari sandiwara Tristand—menampilkan citra suami yang sempurna di depan orang-orang. Para wanita di ruangan itu memandangnya dengan tatapan iri, melihat sosok Tristand yang begitu mempesona dan tak tersentuh. ‘Jika saja mereka tahu siapa Tristand sebenarnya,’ Rindu bermonolog dalam hatinya. ‘Dia bisa menipu dunia dengan topeng ini, tapi aku tahu kegelapan yang tersembunyi di balik senyum itu.’ Ketika mereka berhenti di sebuah ke
Acara malam itu berlangsung dengan megah, penuh dengan lampu-lampu berkilauan dan musik lembut yang mengisi ruangan. Tristand dan Rindu duduk bersama dengan beberapa kolega di meja besar, sementara di meja sebelahnya, Mario Roman dan seorang wanita setengah baya duduk dengan anggun. Rindu merasa sedikit canggung di tengah-tengah orang-orang yang tampak begitu berkelas, terutama karena di sebelah mereka ada Mario yang tampak begitu berwibawa, duduk dengan santai di samping wanita yang wajahnya sangat mirip dengannya.Setelah beberapa sambutan pembuka, sang MC memanggil nama Tristand. “Kami undang Tristand Adhitama untuk memberikan sambutan, menggantikan ayahnya yang tidak dapat hadir malam ini.”Tristand bangkit dengan tenang. Setiap gerakannya terukur dan penuh kepercayaan diri. Saat Tristand naik ke atas panggung dan mulai berbicara, semua perhatian tertuju padanya. Gaya bicaranya lancar, cerdas, dan penuh kharisma. Rindu, yang terbiasa melihat sisi dingin dan kasar dari suaminya, te
.Setelah acara resmi berakhir, Tristand tampak gelisah. Rindu, yang sudah bisa membaca bahasa tubuh suaminya, merasakan hawa dingin yang memancar dari pria itu. Namun ia memilih diam, berharap bisa menghindari ledakan yang pasti akan datang. Mereka berdiri di depan pintu hotel, menunggu valet membawa mobil mereka. Mario Roman melirik ke arah mereka, tersenyum tipis ke Rindu, dan itu cukup membuat kemarahan Tristand semakin meruncing.“Sudah cukup pamer lagakmu malam ini,” gumam Tristand dengan nada rendah yang nyaris tak terdengar, namun penuh ancaman. Dia menggenggam lengan Rindu dengan kuat, nyaris seperti mencengkeram, dan menariknya menuju mobil dengan kasar."Tristand, lepaskan! Apa yang kamu lakukan?!" seru Rindu, suaranya bergetar antara kaget dan marah. Namun, pria itu tidak peduli. Dia terus menyeret Rindu hingga mereka sampai di mobil.Tanpa sepatah kata lagi, Tristand membuka pintu mobil, mendorong Rindu masuk, dan menutupnya dengan keras. Begitu mereka berdua berada di dal