Beranda / Romansa / Suami tanpa Pilihan / Rindu Anindya Hadiwijaya

Share

Rindu Anindya Hadiwijaya

Rindu mengerutkan kening, hatinya mulai membara karena sikap Tristand yang lagi-lagi bertindak semaunya. "Kamu nggak bisa sembarangan masuk ke kamarku begitu saja, Tristand!" sergahnya, suaranya lebih tegas dari sebelumnya, tak lagi peduli pada sikap lembut yang selalu berusaha ia pertahankan di depan orang lain.

Tristand, yang sudah berdiri di tengah kamar, menoleh perlahan. Ekspresinya tenang, namun ada kegelapan di balik tatapan matanya. "Kamarmu?" ia mengulang kata itu seolah-olah mengejek. "Rindu, mulai hari ini ini bukan lagi cuma kamarmu. Ini kamar kita."

Kata-kata itu membuat Rindu mundur selangkah. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya melemah namun masih jelas berisi kemarahan yang tertahan.

Tanpa berkata lebih lanjut, Tristand membuka lemari pakaian Rindu. "Aku tadi menyuruh Tuti untuk memindahkan semua barang-barangku ke sini," jawabnya santai sambil menatap ke dalam lemari. "Orang tuaku akan tinggal beberapa hari, dan kamu tahu betapa tidak mungkin mereka tahu kalau kita tidur di kamar terpisah. Jadi, mulai sekarang kita akan tidur di kamar yang sama."

Rindu menatap pakaian-pakaian Tristand yang sudah memenuhi setengah dari lemarinya. Tangannya mengepal di samping tubuhnya, berusaha menahan diri. "Kamu sama sekali nggak tanya dulu? Kamu pikir kamu bisa atur segalanya begitu saja?"

Tristand mendesah, tampaknya bosan dengan protes Rindu. "Aku tidak butuh persetujuanmu untuk hal seperti ini, Rindu. Ini keputusan yang harus diambil."

"Keputusan yang harus diambil?" Rindu berbalik menghadapi Tristand, matanya kini penuh dengan amarah yang sulit ditahan. "Kamu selalu begitu, kan? Mengambil keputusan tanpa sedikit pun peduli apa yang aku rasakan, apa yang aku inginkan!"

Tristand menatapnya dengan tajam, wajahnya yang tadinya tenang kini mengeras. "Aku melakukan ini untuk kebaikan kita berdua. Kita sudah menikah, Rindu. Kamu harus mulai menerima kenyataan itu. Tidak mungkin aku membiarkan orang tua kita tahu bahwa pernikahan kita belum sepenuhnya berjalan seperti seharusnya."

Rindu tersentak. "Seharusnya?" ia mengulang dengan nada sinis. "Kamu bicara seolah semua ini hanya formalitas. Pernikahan ini bukan sekadar sandiwara, Tristand. Aku juga punya hak atas hidupku!"

Tristand mendekat, wajahnya yang keras bagaikan topeng tak berperasaan. "Hak? Kamu bicara tentang hak setelah semua ini? Kamu tahu betul apa yang sedang kita hadapi. Keluarga kita sedang dalam sorotan. Kamu seharusnya lebih pintar daripada ini."

Rindu merasa darahnya mendidih. "Aku tahu betul apa yang sedang terjadi. Tapi itu bukan berarti kamu bisa mengaturku seenaknya! Kamu nggak punya hak buat masuk ke kamarku tanpa ijin, apalagi menyuruh orang lain memindahkan barang-barangmu tanpa memberitahuku!"

Tristand menatap Rindu dengan dingin, ekspresinya berubah menjadi lebih keras. "Aku tidak akan berdebat denganmu tentang ini, Rindu. Kamu bisa marah, kamu bisa protes, tapi kenyataannya tidak akan berubah. Orang tua kita ada di sini, dan kita akan berperan sebagai suami istri seperti yang mereka harapkan. Tidak ada pilihan lain."

Rindu merasakan amarahnya semakin memuncak, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak lagi merasa takut atau canggung di depan Tristand. "Aku bukan boneka, Tristand," katanya, nadanya rendah namun penuh tekad. "Dan aku nggak akan membiarkan kamu memperlakukanku seperti ini terus-menerus."

Tristand mendekat lebih dekat, hingga jarak mereka hanya beberapa inci. "Kamu bisa terus protes, tapi itu tidak akan mengubah kenyataan, Rindu," bisiknya, suaranya mengandung ancaman yang halus. "Ini adalah rumahku, dan kamu akan ikut aturanku."

Rindu menatapnya balik tanpa gentar, meski hatinya berdetak kencang. "Kamu boleh berpikir kamu bisa mengontrol semuanya, tapi aku akan melawan. Aku nggak akan diam saja."

Tristand tidak berkata apa-apa lagi. Ia menatap Rindu sejenak sebelum berbalik dan berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Rindu berdiri di sana, masih bergulat dengan amarah dan rasa frustasinya.

Saat Tristand menghilang dari pandangan, Rindu merasa seolah udara di sekitarnya menebal. Ia tahu ini baru permulaan dari pertarungan yang lebih besar, dan untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk melawan.

'Baiklah Rindu Anindya Hadiwijaya, sepertinya sekarang kau punya lawan yang seimbang. Tristand kau mungkin seorang Iblis tapi melawanku, bukanlah keputusan yang tepat'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status