Share

Egois

Pagi itu, Rindu tenggelam dalam pekerjaannya. Jari-jarinya dengan lincah mengetik di atas keyboard, sementara matanya terpaku pada layar monitor. Deadline yang menumpuk membuatnya tak punya waktu untuk berpikir tentang hal-hal lain, termasuk tentang pernikahan yang baru saja ia jalani dengan Tristand. Untuk sejenak, pekerjaannya adalah pelarian dari kenyataan yang rumit.

Namun, di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar di atas meja, mengirimkan notifikasi pesan baru. Tanpa berpikir panjang, Rindu meraih ponsel itu, berharap pesan tersebut berasal dari salah satu klien atau rekan kerjanya yang membutuhkan konfirmasi cepat. Namun, alisnya berkerut ketika melihat nomor tak dikenal di layar.

Pesan itu singkat namun langsung membuatnya tertegun.

“Kita makan siang bersama hari ini. Aku akan menjemputmu saat istirahat. – T”

Rindu menghela napas panjang. Hanya satu orang yang mungkin mengirim pesan dengan inisial itu: Tristand. Pria itu baru saja masuk ke kehidupannya sebagai suami, dan sekarang tiba-tiba memutuskan bahwa mereka harus makan siang bersama tanpa bertanya terlebih dahulu.

'Iblis ini bagaimana dia tahu segalanya? pertama dia tau tempat kerjaku dan sekarang nomor handphoneku, aku harus berhati-hati dengannya' monolog Rindu dalam hati melihat Tristand yang selalu tau segalanya.

"Pesan dari siapa? kenapa hanya bengong?" tanya Sari teman kantornya yang melihat Rindu terbengong memegang Hp nya setelah membaca sebuah pesan.

"Ah... tidak penting. Orang iseng saja sepertinya" jawab Rindu singkat dan disambut dengan anggukan kepala oleh Sari.

“Sepertinya dia tidak pernah bertanya apakah aku mau atau tidak,” gumam Rindu pelan sambil meletakkan ponselnya kembali di meja. Rasa kesal mulai merayap di hatinya. Bagaimana bisa Tristand begitu saja memutuskan sesuatu tanpa meminta persetujuannya? Padahal, mereka hampir tidak mengenal satu sama lain, dan sekarang ia harus mengikuti keinginan pria itu tanpa diberi pilihan.

Rindu kembali mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terganggu. Ia memikirkan bagaimana seharusnya ia merespons pesan itu. Haruskah ia menolaknya? Namun, bagaimana jika itu akan membuat pria itu marah? Tetapi, di sisi lain, mengapa Tristand tidak memberinya ruang untuk menolak?

Pikiran-pikiran itu berputar-putar di kepala Rindu, membuatnya tanpa sadar mulai mengomel pada dirinya sendiri. “Apa dia pikir aku ini bonekanya yang bisa diatur sesuka hati? Apa dia tidak paham aku sedang sibuk? Dasar laki-laki tidak berpendirian, kemarin bilang jalani hidup masing-masing tanpa saling mengganggu dan sekarang dia malah mengganggu hidupku! Dasar Egois”

Suara kecil yang terus menggerutu di dalam dirinya akhirnya terdengar oleh seseorang di dekatnya. Sari yang duduk di meja sebelah, mendongak dari pekerjaannya. Ia menatap Rindu dengan tatapan penasaran yang bercampur geli.

“Rindu,” panggil Sari dengan nada menggoda, “dari tadi aku dengar kamu ngomel sendiri. Ada apa?”

Rindu tersentak, baru sadar kalau dia telah berbicara keras-keras. Ia segera memalingkan wajahnya dari layar monitor dan berusaha tersenyum pada Sari, meskipun senyum itu lebih terlihat seperti cengiran canggung.

“Ah, Sari, maaf ya. Aku nggak sadar ngomong sendiri. Banyak hal yang... ah, gimana ya, bikin kepalaku pusing,” jawab Rindu, mencoba meredam kegelisahan yang tiba-tiba terasa begitu besar.

Sari menatap Rindu lebih lekat, lalu menarik kursinya lebih dekat. “Ada apa sih? kamu ada masalah?”

Rindu menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Sari memang selalu bisa menangkap perubahan kecil dalam sikapnya, dan Rindu tahu, sahabatnya itu tidak akan berhenti bertanya sampai ia mendapat jawaban yang memuaskan.

“Tristand ngajak makan siang” jawab Rindu ketus

Mata Sari melebar sedikit. “Oh, jadi kamu sudah sering diajak makan siang sama suami kamu? Wah, romantis dong! Eh, tunggu… tapi kok kamu jutek gitu? Bukannya itu bagus?”

Rindu menggeleng. “Bukan itu masalahnya. Laki-laki itu tidak berprinsip. Kemarin bilang apa sekarang bilang apa. Aneh...” jawab Rindu sambil terus melanjutkan pekerjaannya

Sari tersenyum, mencoba memahami situasi yang diceritakan Rindu. “Oo... gitu. Eh ngomong-ngomong Richard kemana? apa Tristand sudah cerita kemana perginya adiknya itu”

Rindu hanya menggeleng pasrah, mengingat setiap ia bertanya tentang Richard, selalu diikuti oleh kemarahan dari Tristand.

Sari menepuk bahu Rindu pelan, memberikan dukungan yang tak terucap. “Mungkin Tristand memang yang terbaik untuk kamu Rindu, apalagi rumor tentang Richard yang sudah menghamili Renata” Sari segera menutup mulutnya. Ia lagi-lagi keceplosan di depan sahabatnya itu. Rindu sangat percaya kepada Richard dan tentang rumor itu, beberapa kali Richard sudah menjelaskan bahwa itu hanya fitnah yang ditujukan kepadanya.

***

Saat jam istirahat tiba, Rindu keluar dari kantor dan melihat Tristand sudah menunggu di depan gedung dengan mobil hitamnya. Rindu merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Kita akan pulang sekarang!" ucap Tristand tiba-tiba saat Rindu baru saja masuk ke dalam mobil.

"Pulang? ini belum waktunya pulang. Kamu bilang kita akan makan siang, bukan pulang" Rindu mengernyitkan dahinya melihat ke arah Tristand yang mulai melajukan mobilnya.

Melihat Tristand tidak merespon pertanyaannya membuat Rindu semakin kesal.

"Kamu pikir kamu siapa? seenaknya menentukan hidup orang. Kemarin kamu bilang kita jalani hidup masing-masing tapi sekarang apa? heh... Dasar pria tidak punya pendirian" Umpat Rindu kepada Tristand namun tidak digubris olehnya, dia tetap dengan wajah datar dan fokus mengemudi.

'aku akan membuat perhitungan denganmu Tristand, kamu pikir aku akan diam saja diperlakukan seperti bonekamu' pikir Rindu yang merasa sangat kesal dengan sikap Tristand.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status