Share

Sang Iblis

Pesta pernikahan yang panjang itu akhirnya usai. Berjam-jam Rindu harus menjalani hari itu dengan seorang pria yang tampak seperti iblis di sisinya—Tristand Adhitama. Para tamu telah pergi, ruangan yang tadi penuh dengan keramaian kini sepi dan dingin. Gaun pengantin yang ia kenakan terasa semakin berat, tidak hanya karena lelah fisik, tapi juga beban di hatinya. Ia tahu, tatapan-tatapan penuh pertanyaan dari para tamu tadi tak akan mudah dilupakan. Mereka semua tahu, pria di sampingnya bukan Richard, calon suaminya yang wajahnya tercetak di undangan. Mereka juga tahu, Rindu tidak pernah memilih Tristand.

Rindu duduk di kursi rias, menatap bayangannya di cermin. Sekarang, dia harus berhadapan dengan kenyataan yang jauh lebih mengerikan: dia menikah dengan Tristand, kakak kandung Richard, yang sering disebut-sebut sebagai iblis oleh adiknya sendiri.

Pintu ruang rias terbuka dengan suara berderit, mengalihkan perhatian Rindu. Jantungnya berdegup kencang saat melihat sosok yang masuk ke dalam ruangan. Tubuh tinggi besar itu memenuhi pintu, membuat ruangan terasa lebih sempit. Tristand berdiri dengan tenang, tubuhnya tegap dengan bahu lebar yang kokoh. Otot-ototnya terlihat jelas di balik jas hitam yang ia kenakan, membuatnya tampak begitu kuat dan tak tergoyahkan. Wajahnya tegas dengan rahang kotak, alis tebal yang tampak seperti selalu mengernyit, dan brewok yang teratur menghiasi wajahnya. Hidungnya mancung, dan tatapan matanya tajam seperti pisau. Ada aura gelap yang memancar dari dirinya, seolah-olah setiap langkahnya membawa kehancuran.

Rindu menelan ludah, tubuhnya terasa kaku. "Dia benar-benar seperti iblis," pikirnya, teringat kata-kata Richard yang pernah berkata, “Kakakku itu tidak punya hati, Rindu. Dia kejam.”

Tristand melangkah mendekat, langkah kakinya pelan namun tegas, dan berhenti di depannya. Dia memandang Rindu dari atas, seolah-olah menilai sesuatu yang tidak penting. Udara di ruangan terasa mencekam, penuh dengan ketegangan yang membuat Rindu sulit bernapas.

“Kau sudah siap?” suara Tristand rendah, nyaris berbisik, tapi ada ketegasan yang tak bisa ditawar dalam nada bicaranya.

Rindu berusaha mengumpulkan keberanian, meski hatinya gemetar. “Siap untuk apa?” tanyanya, suaranya bergetar. Matanya bertemu dengan mata Tristand yang hitam kelam, seperti jurang tanpa dasar.

“Untuk pergi,” jawab Tristand dengan singkat. “Aku suamimu sekarang. Kau ikut denganku.”

Rindu menatapnya, mencoba mencari sedikit kelembutan, sedikit kemanusiaan di balik tatapan dingin itu. Tapi yang ia temukan hanyalah kehampaan. Wajah Tristand seolah diukir dari batu, tak menunjukkan emosi apa pun. Rindu menunduk, merasa tak berdaya.

“Aku… aku bahkan tidak mengenalmu,” gumamnya, berusaha untuk berbicara meski hatinya diliputi ketakutan. “Ini semua terasa salah. Aku seharusnya menikah dengan Richard… bukan denganmu.”

Tristand mendengus, sebuah senyuman dingin menghiasi bibirnya yang tipis. “Richard adalah pengecut. Dia selalu membuat onar dan aku selalu harus membereskannya. Jangan menyebut namanya lagi.”

Rindu merasakan gelombang kemarahan dan kesedihan bercampur dalam dirinya. Bagaimana bisa Tristand berbicara tentang Richard dengan begitu dingin, seolah-olah dia tidak lebih dari sekadar masalah kecil? “Dia kabur di hari pernikahan kami,” gumam Rindu, suaranya bergetar, air mata mulai menggenang di matanya. “Dia meninggalkanku begitu saja…”

Tristand mendekat, tubuhnya yang kekar semakin mendominasi ruang kecil di sekeliling Rindu. Tangannya terulur dan dengan cepat menangkap dagu Rindu, mengangkat wajahnya untuk menatapnya langsung. Sentuhannya tidak kasar, tapi juga jauh dari lembut. Ada kekuatan yang membuat Rindu tak mampu melawan.

“Lupakan Richard,” ucap Tristand, suaranya lebih rendah dan lebih tajam. “Sekarang, aku suamimu. Kau milikku. Itu satu-satunya hal yang harus kau ingat.”

Rindu menelan ludah, matanya bergetar saat bertemu dengan tatapan dingin Tristand. “Tapi… bagaimana bisa aku menjalani hidup dengan seseorang yang tidak aku cintai? Kau… kau bahkan hampir tidak pernah berbicara denganku sebelumnya.”

Tristand melepaskan dagunya dengan gerakan cepat, lalu berbalik, punggungnya yang besar dan kokoh tampak seolah-olah dia membawa beban dunia. “Kau tidak perlu mencintaiku. Pernikahan ini hanya soal kewajiban dan kehormatan. Aku tidak peduli apa yang kau rasakan. Ini bukan tentang cinta.”

Rindu merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Pernikahan ini, yang seharusnya menjadi hari bahagianya, kini terasa seperti penjara yang dingin dan tanpa harapan. “Bagaimana bisa kau berkata seperti itu?” desaknya, perasaan kecewa membanjiri hatinya. “Pernikahan adalah tentang dua orang yang saling mencintai, bukan hanya tentang kehormatan atau kewajiban.”

Tristand menoleh sedikit, cukup untuk memperlihatkan setengah dari wajahnya yang keras dan berbayang di bawah lampu. “Itu hanya dalam dongeng, Rindu. Aku bukan pria yang kau inginkan, dan aku tidak peduli apakah kau menginginkanku atau tidak. Ini sudah selesai. Sekarang, kita harus melanjutkan hidup dengan apa yang kita miliki.”

Rindu menahan napas, merasakan dinginnya malam itu meresap ke dalam tulang-tulangnya. “Bagaimana aku bisa hidup dengan pria seperti ini?” pikirnya, menggigil dalam hati. Tatapan Tristand tidak pernah memberinya kehangatan, tidak pernah menunjukkan rasa empati.

Dia teringat lagi pada Richard. Senyum hangatnya, suaranya yang lembut saat mereka berdua merencanakan masa depan bersama. Tetapi kini, semuanya telah berubah. Richard telah pergi, dan yang tersisa hanyalah Tristand—seorang pria yang dingin, kejam, dan tak berperasaan.

Rindu menunduk, merasa air mata mulai mengalir di pipinya. Dalam hati, dia tahu bahwa hidupnya kini akan berubah selamanya. Tristand adalah suaminya, dan dia tidak bisa lari dari kenyataan itu.

“Baik,” gumam Rindu, suaranya hampir tidak terdengar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status