Rindu menatap cermin di depannya, bibirnya gemetar. Bayangan gaun pengantin yang seharusnya membuatnya merasa bahagia kini terasa dingin dan tak bernyawa. Dalam keheningan yang menyesakkan, ia mendengar suara ketukan keras di pintu. Napasnya tertahan. Pintu terbuka perlahan, menampakkan sosok pria yang tampak lebih tua dan lelah dari biasanya. Wajahnya begitu serius.
“Rindu, kita harus bicara,” katanya pelan, namun ada nada tegas yang tak biasa. Dia adalah Surya Hadiwijaya, ayah Rindu. “Ayah, apa yang terjadi?” tanya Rindu, hatinya mulai berdegup tak menentu. Ada ketegangan di udara, sesuatu yang aneh dan tak terduga. Ayahnya menarik napas panjang, menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak. “Richard… dia tidak datang, Rindu.” Sejenak, dunia seakan berhenti. Rindu terpaku, merasakan dadanya seolah diremas. “Apa maksud Ayah?” suaranya bergetar, sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Dia pergi, Rindu. Kami sudah mencari ke mana-mana. Dia… hilang. Tidak ada yang tahu di mana dia.” Suara ayahnya terdengar berat, seolah setiap kata yang keluar mengiris hatinya sendiri. Rindu merasa lemas, kakinya nyaris tak mampu menahan tubuhnya. “Tidak mungkin… Richard… tidak mungkin dia pergi begitu saja. Kami… kami sudah merencanakan ini. Dia tidak akan meninggalkanku, Ayah.” Ayahnya menatapnya dengan rasa kasihan yang mendalam. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak punya banyak waktu. Semua orang sudah menunggu, dan kita harus mengambil keputusan sekarang.” “Keputusan apa, Ayah? Apa yang bisa kita lakukan kalau Richard tidak ada?” Rindu mulai menangis, suaranya pecah oleh rasa sakit yang menghantamnya dengan keras. Ayahnya menghela napas panjang sebelum berkata, “Tristand Adhitama, kakaknya, telah menawarkan diri untuk menggantikan Richard.” Mata Rindu membesar, kaget mendengar nama itu disebut. “Tristand? Aku bahkan tidak mengenalnya! Bagaimana mungkin aku menikah dengan seseorang yang tidak pernah berbicara denganku? Ayah, ini gila!” “Ini bukan soal apa yang kau inginkan, Rindu,” tegas ayahnya. “Ini soal menyelamatkan nama keluarga kita. Jika pernikahan ini batal, kehormatan kita akan hancur. Kau tahu bagaimana orang-orang di sini berpikir. Richard telah membuat keputusan yang egois, tapi kita harus memulihkan apa yang dia tinggalkan.” "Ayah pikir Tristand lebih bertanggungjawab dari pada Richard. Dia mengambil alih tanggungjawab Richard demi menyelamatkan nama baik keluarganya. Begitulah cara pria bertanggungjawab" tambah Surya melihat Tristand dari sudut pandangnya. 'Ayah memang benar tapi aku-' sejenak Rindu berpikir tentang ucapan ayahnya, namun ia keberatan jika harus menjadi seperti Tristand yang mengorbakan diri untuk menyelamatkan nama baik keluarganya. Tentu reputasi keluarga Hadiwijaya akan hancur jika acara pernikahan yang digelar secara mewah itu gagal. Dua keluarga besar sedang punya gawe, pernikahan keduanya bukan hanya mengenai ikatan suami dan istri dua insan namun juga kawinnya dua perusahaan besar yaitu 'Vitalis Medica dan Helion MedLabs'. 'Vitalis Medica adalah perusahaan yang menguasai sebagian besar rumah sakit dan memiliki rumah sakit sendiri dengan nama yang sama. Ini adalah perusahaan milik keluarga Surya Hadiwijaya. Sedangkan Helion MedLabs adalah perusahaan milik whilliam Adhitama, ayah dari Richard dan Tristand yang bergerak di bidang penelitian serta pembuatan vaksin virus baru. Rindu mundur, tubuhnya terasa dingin. “Ayah… aku tidak bisa. Aku tidak bisa menikah dengan Tristand. Aku tidak mencintainya, aku bahkan tidak mengenalnya. Bagaimana aku bisa menjalani hidup seperti ini?” “Ini bukan soal cinta sekarang, Nak,” kata ayahnya dengan nada lebih tegas. “Ini soal bertahan. Aku tahu ini sulit, tapi kau harus percaya bahwa ini yang terbaik.” Rindu menggeleng, air matanya terus mengalir. “Ayah… ini tidak adil. Ini pernikahanku. Mengapa aku harus menikahi orang yang tidak aku cintai hanya karena Richard tidak muncul? Apa yang sebenarnya terjadi?” Ayahnya terdiam sesaat, lalu mendekat, menempatkan kedua tangannya di pundak Rindu. “Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Richard. Tapi satu hal yang pasti, kita tidak bisa membiarkan kehormatan keluarga kita hancur. Kau harus kuat.” “Tapi, Ayah—” Rindu ingin protes, tapi tatapan tegas ayahnya menutup mulutnya. “Tristand sudah menunggu di luar. Kau harus memutuskan sekarang, Rindu,” kata ayahnya dengan dingin. Rindu berdiri diam, hatinya bergemuruh. Dalam kepalanya, suara-suara berteriak, memprotes apa yang akan terjadi. Tapi di hadapannya, ayahnya berdiri dengan ketegasan yang tidak bisa dia lawan. Perlahan, dia menyadari bahwa ini bukan lagi tentang apa yang dia inginkan. Ini tentang apa yang harus dia lakukan. Dengan suara bergetar, hampir tak terdengar, Rindu akhirnya berkata, “Baik, Ayah… aku akan menikah dengan Tristand.”Pesta pernikahan yang panjang itu akhirnya usai. Berjam-jam Rindu harus menjalani hari itu dengan seorang pria yang tampak seperti iblis di sisinya—Tristand Adhitama. Para tamu telah pergi, ruangan yang tadi penuh dengan keramaian kini sepi dan dingin. Gaun pengantin yang ia kenakan terasa semakin berat, tidak hanya karena lelah fisik, tapi juga beban di hatinya. Ia tahu, tatapan-tatapan penuh pertanyaan dari para tamu tadi tak akan mudah dilupakan. Mereka semua tahu, pria di sampingnya bukan Richard, calon suaminya yang wajahnya tercetak di undangan. Mereka juga tahu, Rindu tidak pernah memilih Tristand. Rindu duduk di kursi rias, menatap bayangannya di cermin. Sekarang, dia harus berhadapan dengan kenyataan yang jauh lebih mengerikan: dia menikah dengan Tristand, kakak kandung Richard, yang sering disebut-sebut sebagai iblis oleh adiknya sendiri. Pintu ruang rias terbuka dengan suara berderit, mengalihkan perhatian Rindu. Jantungnya berdegup kencang saat melihat sosok yang masuk
Rindu menghela napas panjang, merasakan beban berat di dadanya saat mobil hitam yang mereka tumpangi melaju ke arah rumah baru yang kini harus ia sebut sebagai "rumah." Rumah itu besar dan megah, persis seperti istana di cerita-cerita. Tapi, semakin mendekat, perasaan cemas dan takut semakin menyelimuti hatinya. Apakah ia benar-benar akan bisa hidup dengan pria ini? Sesaat sebelum mereka tiba, bayangan keluarganya kembali menghantui pikirannya. Momen perpisahan dengan kedua orang tuanya terasa lebih berat dari yang pernah ia bayangkan. Mereka berusaha kuat, tetapi air mata ibunya tak bisa disembunyikan. “Rindu…” wanita setengah baya yang terlihat anggun itu menyeka beberapa bulir air mata yang luruh di wajah ayunya. Rita Hadiwijaya, Ibu Rindu menggenggam tangan putrinya erat sebelum ia masuk ke mobil. “Ibu… hanya ingin kau bahagia. Tapi kenapa semua harus seperti ini…”Rindu menunduk, menggigit bibirnya. Dia tak ingin membuat ibunya semakin sedih. “Aku akan baik-baik saja, Bu…,”
Pagi itu, Rindu sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan dress putih yang dipadukan dengan blazer cream, serasi dengan kulit putih dan rambut panjang hitamnya. Heels tinggi menambahkan beberapa centi ukuran tubuhnya yang mungil. Namun, di balik penampilannya yang anggun, hati Rindu terasa berat. Saat ia memasuki ruang makan, Tristand sudah duduk di ujung meja panjang, tampak tenang dengan setelan jasnya. Meja makan dipenuhi berbagai hidangan mewah yang menggiurkan. “Tristand, apa kau makan sebanyak ini setiap pagi?” tanya Rindu, menatap makanan di meja yang terlalu banyak untuk hanya mereka berdua. Tristand tidak langsung menjawab, hanya memandang makanan di depannya dengan ekspresi datar. Sementara itu, Tuti, kepala pelayan di rumah itu, menyahut dari sudut ruangan, “Hari ini Tuan dan Nyonya akan datang, jadi kami menyiapkan makanan untuk menyambut mereka.” Rindu mengangguk pelan, menyadari bahwa Om William dan Tante Laura, orang tua Tristand, akan datang. ‘Jadi
Pagi itu, Rindu tenggelam dalam pekerjaannya. Jari-jarinya dengan lincah mengetik di atas keyboard, sementara matanya terpaku pada layar monitor. Deadline yang menumpuk membuatnya tak punya waktu untuk berpikir tentang hal-hal lain, termasuk tentang pernikahan yang baru saja ia jalani dengan Tristand. Untuk sejenak, pekerjaannya adalah pelarian dari kenyataan yang rumit. Namun, di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar di atas meja, mengirimkan notifikasi pesan baru. Tanpa berpikir panjang, Rindu meraih ponsel itu, berharap pesan tersebut berasal dari salah satu klien atau rekan kerjanya yang membutuhkan konfirmasi cepat. Namun, alisnya berkerut ketika melihat nomor tak dikenal di layar. Pesan itu singkat namun langsung membuatnya tertegun. “Kita makan siang bersama hari ini. Aku akan menjemputmu saat istirahat. – T” Rindu menghela napas panjang. Hanya satu orang yang mungkin mengirim pesan dengan inisial itu: Tristand. Pria itu baru saja masuk ke kehidupannya sebagai suami, dan
“Tristand, Rindu!” seru seseorang suara bariton yang hangat, melangkah maju dengan senyum lebar. Ia langsung memeluk Tristand dengan penuh kebanggaan, sebelum menatap Rindu dengan pandangan lembut. Pria itu adalah Whilliam Adhitama, ayah Tristand. Whilliam adalah pria paruh baya dengan rambut yang khas seorang bule, badannya tegap dan berwibawa. Di belakangnya, terlihat Istrinya yaitu Nyonya Laura, yang tampak anggun dengan pakaian elegan berwarna latte. Memiliki wajah indo membuat usianya yang sudah berumur tidak menampakkan kerutan dan tetap segar.Rindu tersenyum, merasa sedikit lega melihat sambutan hangat dari ayah mertuanya. “Selamat datang, Pa,” katanya sopan, sambil menunduk hormat. Whilliam mengangguk, dan tanpa ragu ia meraih tangan Rindu, mengajaknya lebih dekat. “Terima kasih, Rindu. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Maafkan kami yang tidak bisa hadir di pernikahan kalian.” “Tidak apa-apa, Pa. Rindu mengerti,” jawab Rindu sambil tersenyum."Apa papa sudah tiba d
Rindu mengerutkan kening, hatinya mulai membara karena sikap Tristand yang lagi-lagi bertindak semaunya. "Kamu nggak bisa sembarangan masuk ke kamarku begitu saja, Tristand!" sergahnya, suaranya lebih tegas dari sebelumnya, tak lagi peduli pada sikap lembut yang selalu berusaha ia pertahankan di depan orang lain. Tristand, yang sudah berdiri di tengah kamar, menoleh perlahan. Ekspresinya tenang, namun ada kegelapan di balik tatapan matanya. "Kamarmu?" ia mengulang kata itu seolah-olah mengejek. "Rindu, mulai hari ini ini bukan lagi cuma kamarmu. Ini kamar kita." Kata-kata itu membuat Rindu mundur selangkah. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya melemah namun masih jelas berisi kemarahan yang tertahan. Tanpa berkata lebih lanjut, Tristand membuka lemari pakaian Rindu. "Aku tadi menyuruh Tuti untuk memindahkan semua barang-barangku ke sini," jawabnya santai sambil menatap ke dalam lemari. "Orang tuaku akan tinggal beberapa hari, dan kamu tahu betapa tidak mungkin mereka tahu kalau kita
Makan siang itu berlangsung dalam suasana yang canggung. Rindu duduk di ujung meja bersama Tristand, Whilliam, dan Laura. Aroma makanan lezat memenuhi ruangan, namun tak satu pun dari mereka terlihat sepenuhnya menikmati hidangan. Laura, seperti biasa, duduk dengan angkuh, pandangannya tak pernah jauh dari Rindu. Ketegangan terasa ketika Laura membuka percakapan. "Jadi, Rindu," suara dingin itu terdengar, membuat semua mata menoleh padanya. "Kamu sekarang sudah berstatus istri dari Tristand." Ia mengucapkannya dengan nada seolah-olah Rindu telah mendapat posisi yang tidak layak baginya. Rindu, yang sudah terbiasa dengan sindiran dari wanita itu, hanya tersenyum tipis. "Iya, Ma," jawabnya sopan, meski dalam hati ia tahu bahwa ini akan menuju ke arah yang lebih tajam. Laura menatapnya dengan tajam, bibirnya menipis dalam ekspresi ketidaksukaan yang tak ia sembunyikan. "Sebenarnya, aku selalu penasaran. Selama kau berpacaran dengan Richard, dia tidak pernah memperkenalkanmu pada kelua
Rindu mendesah pelan, merasa benar-benar geram dengan kehadiran Tristand yang seenaknya. "Kau memang tak sebanding dengan Richard. Richard sangat lembut, sedangkan kamu... jelmaan lelembut," gumam Rindu pelan, tapi cukup keras untuk Tristand mendengarnya.Tristand menghentikan gerakannya sejenak, menolehkan kepalanya dan menatap Rindu dengan dingin. "Lihat sampai kau menarik kata-katamu lagi," jawabnya singkat, suaranya terdengar dingin dan penuh ancaman, membuat Rindu merinding.Dengan sikap santai yang selalu ia tunjukkan, Tristand mulai membuka lemari dan mengambil satu baju tidurnya. Ia mengganti baju begitu saja di hadapan Rindu. Seketika, Rindu merasa canggung, pipinya memerah. Ia buru-buru menutup sebagian wajahnya dengan tangan, namun tak bisa sepenuhnya menahan rasa kikuk yang menghantui."Hey! Apa yang kamu lakukan?!" seru Rindu kaget, tapi suaranya bergetar. "Apa kau tidak punya malu?""Berhentilah berpikir mesum terhadapku. Aku tidak tergoda olehmu" jawab Tristand datar, b