Meski kedua sosok itu sudah hilang di tikungan, suaranya masih memenuhi pikiranku. Ucapan mereka terus terngiang, rasa cemas semakin menghimpit dadaku. Apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentang kami?Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan cemas itu tak mau pergi.Beberapa meter di depan, aku melihat suami dan anakku berjalan bersama. Sekilas, aku melihat Abiyan mengatakan sesuatu pada ayahnya, sebelum tiba-tiba berlari ke arahku dengan penuh semangat.Refleks, aku langsung meletakkan ember dan gayung di tanganku, lalu berjalan cepat menghampiri anakku, khawatir dia akan terjatuh di jalan yang sedikit berbatu itu."Mama!" seru Abiyan ceria.“Abiyan, pelan-pelan saja agar tidak tersandung,” kataku lembut sambil mengelus pucuk kepalanya. "Ma, Abiyan mau main. Boleh, ya?" tanyanya dengan mata penuh harap.Aku tersenyum. Seperti biasa, anakku selalu meminta izin dengan cara yang manis. “Boleh, tapi makan dulu dan jangan lupa kerjakan tugas sekolah, ya.”Men
Aku berusaha menenangkan diri sambil melangkah cepat menuju rumah. Pikiran tentang pria yang tadi aku temui masih berkecamuk. Ada sesuatu yang aneh tentang pertemuan itu."Mungkin dia teman Mas Dewangga," batinku mencoba berpikir positif, meskipun masih ada sedikit rasa tidak nyaman yang terus mengusik, tetapi kenapa wajahnya terasa familiar? Pikiranku mulai teralihkan ke masa-masa sebelumnya. Apakah aku pernah bertemu pria itu sebelumnya? Atau mungkin dia pernah muncul di sekitar sini tanpa aku sadari? Ada sesuatu di wajahnya yang membuatku merasa pernah melihatnya, tetapi aku tak bisa mengingat kapan dan di mana.Sesampainya di rumah, Mas Dewangga sedang duduk di teras dengan pandangan fokus ke ponsel bututnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghampiri suamiku dan menceritakan pertemuan tadi. “Mas, tadi aku bertemu dengan seseorang. Dia memborong daganganku dan menitipkan salam untuk kamu.”Mas Dewangga menoleh, wajahnya sedikit terkejut sebelum senyum tipis terlukis di bibirn
Aku berlari tergesa-gesa menuju jalan raya, napasku tersengal-sengal. Begitu menoleh ke belakang, jantungku seolah berhenti. Kak Dirfan berdiri tak jauh dariku, senyum tipisnya membuat bulu kudukku meremang.Tanpa sadar aku tersandung, hampir jatuh, tetapi dia dengan cepat menangkapku. Tubuhku membeku dalam pelukannya, kehangatannya malah membuatku semakin waspada.“Zoya, kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut, seakan tak ada yang salah.Dengan gerakan cepat, aku melepaskan diri. “Iya,” jawabku dingin, lalu melangkah mundur.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, aku berbalik dan melangkah pergi, berusaha melanjutkan berjualan. Namun, aku bisa merasakan bahwa langkah Kak Dirfan terus mengikuti di belakang.“Kak, tolong jangan ikuti aku!” seruku tegas, tetapi langkahnya tetap terdengar.“Aku hanya ingin memastikan kamu aman,” katanya tenang seolah ingin membuatku nyaman.Aku menghentikan langkah dan menoleh, berusaha menahan gemuruh di dadaku. Dengan suara yang bergetar, aku mencoba meng
Aku memutuskan untuk menunggu sampai Mas Dewangga selesai. Setelah selesai menelepon, aku mendekatinya."Siapa yang menelepon, Mas?" tanyaku, mencoba terdengar tenang meski di dalam hati ada ketegangan yang sulit dijelaskan.Mas Dewangga menoleh cepat, tampak terkejut. "Sayang ... mengagetkan saja." Suamiku tersenyum, tetapi senyumnya terlalu cepat. "Cuma teman biasa kok," lanjutnya santai, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.Namun, aku tak yakin. Perasaan itu masih menggantung di dadaku, membuatku ragu. "Jangan-jangan ... kamu selingkuh, ya?" ucapku tanpa berpikir panjang, suaraku penuh curiga. Aku tahu ini mungkin terdengar kasar, tetapi aku tak bisa menahan diri.Mas Dewangga tertawa kecil, seolah pertanyaanku lucu. "Selingkuh? Aku ini hanya tukang parkir, Sayang. Mana ada yang tertarik sama aku?"Aku diam, mencoba mencerna kata-katanya. Namun, aku masih merasakan sesuatu yang tak wajar. "Tapi kamu kan tampan, Mas. Siapa tahu ada yang mendekati kamu."Ekspresinya berubah sek
"Apa yang kamu tahu tentang kampanye ini, Zoya? Tidak usah sok tahu!" kata Bu Ida, nadanya terdengar lebih dingin dari biasanya.Beberapa ibu-ibu lainnya tertawa kecil, tetapi aku tidak goyah. Aku tetap tersenyum lebar, menatap Bu Ida dengan tenang."Soal kampanye, kalau ibu-ibu tertarik, kita bisa kerja sama untuk jualan makanan ringan atau minuman. Pasti laris. Orang-orang akan berkumpul, jadi kenapa kita tidak manfaatkan kesempatan ini?" jelasku, suaraku terdengar lebih percaya diri.Ibu-ibu yang awalnya tidak terlalu peduli kini mulai memperhatikanku dengan lebih serius. Beberapa dari mereka berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju.Bu Ida merengut, terlihat tidak puas. "Ya, tapi kita tidak tahu siapa saja yang akan datang. Apa benar banyak yang tertarik?"Aku tersenyum tipis, tak kehilangan ketenangan. "Justru itulah, Bu. Calon presiden biasanya punya pendukung fanatik. Acara besar seperti ini selalu punya peluang."Aku bisa melihat keterkejutan di wajah ibu-ibu lainnya. Mereka b
Meski Mas Dewangga masih terdiam, aku tetap setia menunggunya, meskipun detak jantungku semakin cepat. Apa lagi kali ini? Aku merasa seakan menunggu sebuah bom waktu yang akan segera meledak.Akhirnya, suamiku mulai bersuara."Orang itu sedang survei tempat untuk kampanye. Katanya ... kemungkinan salah satu calon presiden akan kampanye di daerah sekitar sini. Kami hanya ngobrol sebentar, lalu dia pergi," jawab Mas Dewangga. Senyumnya tipis, terlihat sedikit dipaksakan, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan singkat itu.Aku terdiam. Penjelasan Mas Dewangga terdengar masuk akal, mengingat tadi siang aku juga sempat mendengar obrolan ibu-ibu soal rencana kampanye calon presiden. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di pikiranku. "Tapi kenapa kamu harus menemani dia? Bukankah kamu seharusnya tetap di parkiran untuk menjaga kendaraan?" Aku tahu pertanyaanku seakan memojokkan suamiku, tetapi aku tak punya pilihan lain. Aku perlu tahu lebih banyak.Mas Dewangga menghela na
"Mas, kamu ...." Aku menelan ludah, tidak berani melanjutkan.Mas Dewangga hanya tersenyum kecil."Ini uang halal, kan?" Suara itu tiba-tiba terdengar, membuatku dan Mas Dewangga menoleh ke arah sumber suara."Tentu saja itu uang halal. Itu uang kompensasi yang saya terima saat dituduh mencuri," jawab Mas Dewangga sembari menekankan kata terakhir, wajahnya tetap tenang.Akhirnya, ibu tersebut pergi membawa uang ganti rugi yang diberikan Mas Dewangga. Samar-samar aku mendengar gumamannya, tetapi tak jelas apa yang dia katakan."Ayo kita masuk," ajak Mas Dewangga lembut, merangkul bahuku saat kami menuju pintu rumah."Mas ... uang kompensasi itu ... masih ada?" Aku menggigit bibir, awalnya aku tak ingin bertanya, tetapi rasa penasaran terus membuncah. Jadi, aku tak bisa menahannya."Iya," jawabnya singkat, mempersilakan aku masuk lebih dulu.Di ruang tamu, aku menurunkan Abiyan dari gendonganku dan menyuruhnya untuk duduk. Tangisannya masih terdengar pelan, dan air mata terus mengalir d
Aku mengerutkan dahi, menatap suamiku penuh tanya."Kenapa besok aku tidak perlu berjualan, Mas?"Mas Dewangga tersenyum tipis. "Hari ulangan Abiyan semakin dekat. Kamu perlu menemaninya belajar agar dia dapat nilai bagus."Aku mengangguk, paham dengan permintaan suamiku yang tiba-tiba.Dia mendekatkan kepalanya ke telingaku, berbisik dengan suara berat yang menggoda, "Bantu Abiyan agar nilainya bagus. Jadi, dia bisa menagih adik yang akan menjadi hadiahnya."Wajahku langsung memanas. Aku memukul lengannya, tetapi dia hanya tertawa melihat tingkahku. Dari sudut mataku, Abiyan memandang kami bergantian, bingung dengan apa yang terjadi.Setelah menyelesaikan transaksi, kami pulang dengan belanjaan di tangan. Malam itu terasa lebih tenang, tanpa tatapan sinis dari para tetangga. Aku lega, karena gosip pasti akan bermunculan jika aku berbelanja sebanyak ini di siang hari.Setiba di rumah, kami meletakkan belanjaan di ruang tamu."Abiyan, tunggu di sini, ya. Mama mau ke rumah nenek dulu,"