"Mas, kamu ...." Aku menelan ludah, tidak berani melanjutkan.Mas Dewangga hanya tersenyum kecil."Ini uang halal, kan?" Suara itu tiba-tiba terdengar, membuatku dan Mas Dewangga menoleh ke arah sumber suara."Tentu saja itu uang halal. Itu uang kompensasi yang saya terima saat dituduh mencuri," jawab Mas Dewangga sembari menekankan kata terakhir, wajahnya tetap tenang.Akhirnya, ibu tersebut pergi membawa uang ganti rugi yang diberikan Mas Dewangga. Samar-samar aku mendengar gumamannya, tetapi tak jelas apa yang dia katakan."Ayo kita masuk," ajak Mas Dewangga lembut, merangkul bahuku saat kami menuju pintu rumah."Mas ... uang kompensasi itu ... masih ada?" Aku menggigit bibir, awalnya aku tak ingin bertanya, tetapi rasa penasaran terus membuncah. Jadi, aku tak bisa menahannya."Iya," jawabnya singkat, mempersilakan aku masuk lebih dulu.Di ruang tamu, aku menurunkan Abiyan dari gendonganku dan menyuruhnya untuk duduk. Tangisannya masih terdengar pelan, dan air mata terus mengalir d
Aku mengerutkan dahi, menatap suamiku penuh tanya."Kenapa besok aku tidak perlu berjualan, Mas?"Mas Dewangga tersenyum tipis. "Hari ulangan Abiyan semakin dekat. Kamu perlu menemaninya belajar agar dia dapat nilai bagus."Aku mengangguk, paham dengan permintaan suamiku yang tiba-tiba.Dia mendekatkan kepalanya ke telingaku, berbisik dengan suara berat yang menggoda, "Bantu Abiyan agar nilainya bagus. Jadi, dia bisa menagih adik yang akan menjadi hadiahnya."Wajahku langsung memanas. Aku memukul lengannya, tetapi dia hanya tertawa melihat tingkahku. Dari sudut mataku, Abiyan memandang kami bergantian, bingung dengan apa yang terjadi.Setelah menyelesaikan transaksi, kami pulang dengan belanjaan di tangan. Malam itu terasa lebih tenang, tanpa tatapan sinis dari para tetangga. Aku lega, karena gosip pasti akan bermunculan jika aku berbelanja sebanyak ini di siang hari.Setiba di rumah, kami meletakkan belanjaan di ruang tamu."Abiyan, tunggu di sini, ya. Mama mau ke rumah nenek dulu,"
Aku mengusap wajah dan buru-buru mengunci pintu rumah. Ini bukan kali terakhir dia akan muncul. Pikiran itu terus berputar dalam kepalaku, memaksaku untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang tak kuinginkan. Setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat, aku menghela napas panjang. Rumah terasa sunyi, hampir menyesakkan. Dalam keheningan ini, pikiranku sibuk, tetapi aku tahu aku harus mengalihkan perhatian. Dapur adalah tempat yang tepat. Kegiatan beres-beres bisa sedikit menenangkan pikiran yang kacau. Setiap peralatan yang kubersihkan seolah menjadi caraku mengusir kegelisahan. Aku mencoba fokus, tetapi bayang-bayang Kak Dirfan masih terasa begitu kuat. Jam di dinding berdenting saat mendekati waktu pulang sekolah Abiyan. Aku cepat-cepat merapikan diri dan bergegas menjemputnya. Setidaknya, dengan Abiyan di rumah, ada sesuatu yang bisa memberiku rasa damai. Setibanya kami di rumah, Abiyan langsung berlari ke kamarnya dan segera belajar. Melihatnya begitu tekun, ad
Akhirnya, aku memutuskan untuk berjalan pulang ke rumah dengan kepala dipenuhi oleh banyak tanda tanya setelah melihat Mas Dewangga memasuki mobil mewah.Apa yang suamiku sembunyikan selama ini? Ingin rasanya aku berpikir positif. Namun, sepertinya aku terlalu naif jika terus berpikir seperti itu.Potongan puzzle yang terlalu banyak sudah mengumpul di kepala, membuatku pusing memikirkannya.Tiiin!Aku terlonjak kaget saat mendengar suara yang nyaring di belakangku. Tubuhku gemetar, dan tanpa sadar, aku sudah berdiri di tengah jalan. Sebuah mobil berada tepat di belakangku, mendekat dengan kecepatan yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak.Seketika, tangan seseorang mencengkeram lenganku dan menarikku dengan paksa ke tepi jalan. Aku menoleh, dan ternyata pelakunya yang tak lain adalah Kak Dirfan. Tatapannya beralih dari pengendara mobil ke arahku, khawatir.Aku buru-buru melepaskan tanganku dari genggamannya. Setelah mobil itu pergi, aku bisa merasakan jantungku masih berdegup
"Aku yakin rencana ini akan berhasil," gumamku sambil tersenyum tipis, membayangkan betapa mulusnya rencana ini akan berjalan. Namun, di balik senyumku, ada sedikit keraguan yang membayang—bagaimana jika Mas Dewangga menyadarinya?Aku menggeleng cepat, menepis keraguan itu. "Tidak, ini pasti berhasil."Dengan langkah cepat, aku menuju warung. Di sana, aku membeli bahan-bahan untuk membuat donat: tepung, keju, cokelat batangan, meses, susu kental manis, ragi, dan beberapa bahan lain yang kubutuhkan. Rencanaku adalah membuat donat sebagai alasan untuk meminjam ponsel Mas Dewangga. Aku akan berpura-pura mencari resep, lalu diam-diam memeriksa isi ponselnya untuk menemukan petunjuk yang aku cari."Rencana ini pasti tidak akan dicurigai oleh Mas Dewangga," bisikku sambil tersenyum penuh percaya diri. Meski begitu, aku punya rencana cadangan jika ini gagal. Bahkan aku punya rencana B dan C jika semua tak berjalan sesuai rencana.Setelah selesai berbelanja, aku segera pulang. Sambil menungg
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Mas Dewangga kembali. Wajahnya terlihat lebih tenang dibanding sebelumnya, seolah beban yang tadi sempat tampak di wajahnya kini menghilang. Aku berusaha memasang wajah setenang mungkin meskipun di dalam hati, rasa curiga tak pernah benar-benar hilang."Sudah selesai, Mas?" tanyaku basa-basi.Namun, alih-alih mengangguk, Mas Dewangga malah menggeleng pelan. Aku menatapnya dengan bingung."Sebenarnya aku belum selesai menelepon," ucapnya sambil menyelipkan seutas helai rambutku ke belakang telinga. "Sambungan teleponnya tiba-tiba terputus karena kuotaku habis."Aku terdiam sejenak, tidak yakin apakah aku mendengarnya dengan benar."Habis?" tanyaku memastikan."Iya, habis," jawabnya dengan senyum yang tampak sedikit canggung. "Maaf ya, Sayang. Besok aku akan beli kuota lagi, dan kamu bisa mencari resep donat dengan tenang." Aku terdiam setelah mendengar penjelasannya."Tadinya aku mau keluar untuk beli kuota sekarang, tapi di luar gerimis," lan
Aku memutuskan untuk mencoba sekali lagi, kali ini dengan lebih hati-hati agar tidak membangunkan Mas Dewangga. Perlahan-lahan, aku mengangkat tangannya yang melingkar di pinggangku, berusaha memindahkannya tanpa membuat gerakan yang terlalu kentara.Namun, saat tangannya hampir berhasil kuangkat, tiba-tiba Mas Dewangga bergerak dan kembali memeluk pinggangku erat, seolah tidak ingin aku pergi. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sambil bersabar. Perlahan, aku kembali mencoba, berharap kali ini berhasil.Tepat saat aku hendak menggeser tangannya lagi, suara serak terdengar dari dekat telingaku."Sayang ...."Aku terkejut dan langsung menoleh. Mas Dewangga memandangku dengan mata setengah terbuka, bibirnya membentuk senyum tipis yang membuatku bingung."Mas?" bisikku, setengah berharap bahwa suamiku belum sepenuhnya terbangun. Namun, tidak ada jawaban. Hanya napas pelan yang terdengar, tetapi aku bisa merasakan gerakannya. Dengan hati-hati, aku mencoba sekali lagi menga
Cuaca yang cerah ditambah lalu-lalang pengunjung yang ramai menyambut kedatangan kami di kebun binatang. Kami berempat turun dari mobil dan melangkah menuju loket pembayaran untuk membeli tiket.Setelah mendapatkan tiket, aku menggandeng Abiyan masuk ke dalam. Namun, saat kami memasuki area kebun binatang, mataku langsung tertuju pada para karyawan yang berbaris rapi di sepanjang jalan masuk. Mereka membungkuk hormat saat aku, ibu, Abiyan, dan Mas Dewangga berjalan melewati mereka.Aku hanya mengangguk dan tersenyum, meski perasaan tak nyaman mulai menyelimutiku. "Mengapa ini terasa begitu berlebihan? Apakah setiap kebun binatang memperlakukan pengunjung seperti ini?" batinku bertanya-tanya, tetapi aku memilih untuk diam dan terus berjalan."Pak Dewangga, senang melihat Anda datang," tiba-tiba seorang pria paruh baya bertubuh tinggi dan berisi melangkah mendekat. Dengan senyum lebar, dia menjabat tangan Mas Dewangga dengan erat.Suamiku membalas jabatan tangan itu dengan tenang, seol
Mas Dewangga pergi tanpa menjelaskan apa pun, meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke kamar dengan perasaan khawatir, kesal, sekaligus sedih. Aku memutuskan untuk beristirahat di sana sambil menunggu suamiku yang entah kapan dia akan pulang.***Aku duduk termenung di atas ranjang sambil memeluk lutut. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Mas Dewangga belum juga pulang. Pikiranku kalut memikirkan ke mana dia pergi sore tadi tanpa memberi penjelasan apa pun. Berbagai skenario buruk berkecamuk dalam benakku, tetapi aku mencoba menepis semuanya."Aku harus tenang," gumamku pada diri sendiri, meski dalam hati aku tahu itu mustahil.Jam sebelas lewat, suara pintu kamar terbuka, menampilkan sosok suamiku yang kutunggu-tunggu kedatangannya. Aku segera bangkit dari ranjang, tak sabar untuk menuntut penjelasan.Aku bisa melihat wajah suamiku yang terlihat lelah. Dia bahkan tak sempat melepas jasnya ketika matanya bertemu dengan tatapanku y
"Bu Zoya?" tanya pria itu sambil tersenyum tipis. "Kenapa berhenti di sini? Ada masalah?"Aku ragu sejenak, lalu menjawab, "Mobilnya mogok, Pak Alex."Dia turun dari mobilnya, menghampiriku dengan langkah santai. "Butuh bantuan? Saya bisa antar," tawarnya.Aku menggeleng cepat. "Tidak perlu. Sopir sudah pesan ojek online."Alex memasukkan tangannya ke saku celana, tampak tidak terganggu oleh penolakanku. "Kalau begitu, saya temani saja sampai ojeknya datang. Bahaya kalau berdiam diri di pinggir jalan begini."Aku hanya tersenyum kaku. Tidak tahu harus berkata apa, aku memilih menatap jalan raya, berharap ojekku segera tiba."Ngomong-ngomong," Alex memecah keheningan. "Dewangga suami Anda, ya?""Iya," jawabku singkat tanpa menoleh padanya."Saya baru tahu jika Dewangga ternyata sudah menikah. Dia tidak mengatakan apa pun pada saya," kata Alex.Aku hanya mengangguk, bingung mau merespons apa."Kalian baik-baik saja, kan?" tanya Alex lagi.Kali ini aku menoleh padanya sambil mengerutkan
Aku membuka mata perlahan, disambut oleh suasana kamar yang sudah gelap. Hanya sedikit cahaya remang dari lampu dinding yang menemani, dan itu membuatku tersadar bahwa hari sudah malam.Kugeser selimut yang menutupi tubuhku dan mendudukkan diri di pinggir ranjang. Pandanganku menyapu seluruh sudut kamar, mencari sosok suamiku. Namun, yang kutemukan hanyalah keheningan dan kekosongan."Mas Dewangga ke mana?" gumamku lirih sambil berdiri.Perutku mulai terasa kosong. Aku memutuskan untuk turun ke ruang makan. Langkahku pelan menuruni tangga, sementara rumah terasa sepi. Mungkin ayah dan ibu sedang sibuk dengan pekerjaan mereka.Saat aku melewati ruang tamu, seorang pelayan menyapaku dengan ramah. Tak lama kemudian, salah satu pelayan tampak muncul dari dapur dan memintaku untuk duduk di meja makan."Nyonya, Nyonya Besar meminta saya untuk menyiapkan makan malam untuk Anda. Kebetulan hari ini Nyonya Besar sedang ada urusan, jadi saya yang akan menyiapkannya," katanya ramah sebelum kemba
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban
Beberapa menit setelah Mas Dewangga keluar dari kamar, aku memutuskan untuk berendam di bathtub. Kata itu selalu terdengar elegan, meskipun kenyataannya aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam air hangat untuk mengusir beban pikiran. Suara gemericik air yang mengisi bathtub membuat suasana kamar mandi terasa damai. Aku menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan aroma lavender, berharap wangi itu bisa menenangkan pikiranku yang masih gelisah.Sambil berendam, aku menyusun rencana untuk pergi ke tokoku hari ini. Sudah cukup aku menuruti larangan Mas Dewangga selama beberapa hari terakhir. Dia mungkin berpikir itu untuk kebaikanku, tetapi aku butuh ruang sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk melakukannya tanpa izin darinya.Setelah selesai bersiap-siap, aku melirik jam dinding, tepat pukul sembilan pagi.Dengan langkah mantap, aku meminta sopir untuk mengantarku ke toko kue. Dalam perjalanan, aku membayangkan aroma manis dan suasana hangat yang selalu kurindukan dari tokok
Keesokan harinya, sikap Mas Dewangga tidak berubah. Aku mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya, tetapi sepertinya dia sengaja menjaga jarak. Setiap kali aku mendekat, ada saja alasannya untuk menghindar.Hari itu, aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan remote TV tanpa benar-benar menonton. Pikiran tentang Mas Dewangga terus menggangguku. Beberapa hari terakhir, dia seperti orang lain—dingin dan seolah menghindariku."Apa benar karena parfum Alex?" gumamku pelan.Aku tahu seharusnya aku bertanya langsung, tetapi rasanya tidak mudah ketika dia terlihat begitu ... jauh.Akhirnya aku kembali ke kamar untuk menunggunya pulang.Saat Mas Dewangga akhirnya pulang, aku mencoba menyapanya seperti biasa."Mas, sudah makan? Mau aku buatkan sup kesukaanmu?" tanyaku dengan nada yang kubuat sehangat mungkin.Dia hanya mengangguk singkat, berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun."Mas, aku sedang bicara, lho!" tegurku, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba naik."Hmm," gumamnya, tanpa men
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Mas Dewangga selesai mandi. Suara air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi cukup untuk membuat pikiranku semakin bising. Aku memainkan ujung pakaian yang kupakai, menggulung-gulung kainnya dengan gelisah.Tadi, aku sempat merasa yakin kalau Mas Dewangga tidak akan mencium aroma itu. Namun, setelah melihat sikap Mas Dewangga yang berubah dingin, aku mulai meragukan semuanya.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Mas Dewangga keluar. Rambutnya masih sedikit basah, sementara handuk tergantung di bahunya. Namun, kali ini dia bahkan tidak menoleh ke arahku.Biasanya, meski sekilas, dia akan melirikku atau memberikan senyum kecil, tetapi sekarang dia bersikap seolah aku tidak ada. Dadaku terasa sesak melihatnya."Apa dia mencium aroma parfum Alex di pakaianku?" gumamku pelan. Pikiran itu terus berputar, menambah beban di benakku. Aku ingin bertanya, ingin memastikan. Namun, ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, niat itu
Aku segera membalikkan badan, memunggunginya, berusaha agar tidak dikenali oleh sosok itu. Dengan langkah pelan, aku bergeser ke arah rak yang berisi tumpukan barang agar tubuhku terlindungi dari pandangan Alex. "Jika saja aku tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Alex dan Mas Dewangga di masa lalu, mungkin aku akan menyapanya dengan santai," batinku.Beberapa saat kemudian Mirna akhirnya datang dengan keranjang belanja. Aku langsung memasukkan buah yang sudah kupilih ke dalam keranjang. "Ayo, kita lihat-lihat ke sana," bisikku sambil melangkah dengan cepat.Kami sampai di rak yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari. Mataku langsung tertuju pada satu produk di rak atas, yang kebetulan aku butuhkan. Sayangnya, posisinya terlalu tinggi. Aku mencoba menjangkau, tetapi jari-jariku masih jauh dari produk itu."Mirna, bisa bantu aku?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.Mirna hanya tertawa kecil. "Saya lebih pendek dari Nyonya. Bagaimana kalau saya panggilan staff tokonya?""I
Aku memutuskan menunggu Mas Dewangga selesai menelepon. Sambil menunggu, aku merebahkan diri di ranjang. Namun, sudah sepuluh menit berlalu dan suamiku tak kunjung kembali.Perasaan tak menentu mulai merambat. Aku bangkit dan melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip keluar. Koridor sepi, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan. Aku melangkah keluar, mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun, sosok yang kucari tidak ada.Ada sedikit kecemasan yang menyelinap di hatiku, tetapi segera kutepis jauh-jauh. Aku mencoba berpikir rasional. "Kira-kira Mas Dewangga akan pergi ke mana di saat-saat begini?" batinku sembari berpikir keras.Bayangan sebuah tempat langsung melintas dalam pikiranku, sebuah taman di dalam ruangan!Dulu, dia pernah menunjukkan tempat itu padaku. Katanya, taman itu adalah tempat favoritnya sejak kecil. Tempat di mana dia merasa damai dan bebas dari segala beban dunia. Mungkin saja dia ada di sana.Langkahku terarah menuju taman itu hingga akhirn