"Aku yakin rencana ini akan berhasil," gumamku sambil tersenyum tipis, membayangkan betapa mulusnya rencana ini akan berjalan. Namun, di balik senyumku, ada sedikit keraguan yang membayang—bagaimana jika Mas Dewangga menyadarinya?Aku menggeleng cepat, menepis keraguan itu. "Tidak, ini pasti berhasil."Dengan langkah cepat, aku menuju warung. Di sana, aku membeli bahan-bahan untuk membuat donat: tepung, keju, cokelat batangan, meses, susu kental manis, ragi, dan beberapa bahan lain yang kubutuhkan. Rencanaku adalah membuat donat sebagai alasan untuk meminjam ponsel Mas Dewangga. Aku akan berpura-pura mencari resep, lalu diam-diam memeriksa isi ponselnya untuk menemukan petunjuk yang aku cari."Rencana ini pasti tidak akan dicurigai oleh Mas Dewangga," bisikku sambil tersenyum penuh percaya diri. Meski begitu, aku punya rencana cadangan jika ini gagal. Bahkan aku punya rencana B dan C jika semua tak berjalan sesuai rencana.Setelah selesai berbelanja, aku segera pulang. Sambil menungg
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Mas Dewangga kembali. Wajahnya terlihat lebih tenang dibanding sebelumnya, seolah beban yang tadi sempat tampak di wajahnya kini menghilang. Aku berusaha memasang wajah setenang mungkin meskipun di dalam hati, rasa curiga tak pernah benar-benar hilang."Sudah selesai, Mas?" tanyaku basa-basi.Namun, alih-alih mengangguk, Mas Dewangga malah menggeleng pelan. Aku menatapnya dengan bingung."Sebenarnya aku belum selesai menelepon," ucapnya sambil menyelipkan seutas helai rambutku ke belakang telinga. "Sambungan teleponnya tiba-tiba terputus karena kuotaku habis."Aku terdiam sejenak, tidak yakin apakah aku mendengarnya dengan benar."Habis?" tanyaku memastikan."Iya, habis," jawabnya dengan senyum yang tampak sedikit canggung. "Maaf ya, Sayang. Besok aku akan beli kuota lagi, dan kamu bisa mencari resep donat dengan tenang." Aku terdiam setelah mendengar penjelasannya."Tadinya aku mau keluar untuk beli kuota sekarang, tapi di luar gerimis," lan
Aku memutuskan untuk mencoba sekali lagi, kali ini dengan lebih hati-hati agar tidak membangunkan Mas Dewangga. Perlahan-lahan, aku mengangkat tangannya yang melingkar di pinggangku, berusaha memindahkannya tanpa membuat gerakan yang terlalu kentara.Namun, saat tangannya hampir berhasil kuangkat, tiba-tiba Mas Dewangga bergerak dan kembali memeluk pinggangku erat, seolah tidak ingin aku pergi. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sambil bersabar. Perlahan, aku kembali mencoba, berharap kali ini berhasil.Tepat saat aku hendak menggeser tangannya lagi, suara serak terdengar dari dekat telingaku."Sayang ...."Aku terkejut dan langsung menoleh. Mas Dewangga memandangku dengan mata setengah terbuka, bibirnya membentuk senyum tipis yang membuatku bingung."Mas?" bisikku, setengah berharap bahwa suamiku belum sepenuhnya terbangun. Namun, tidak ada jawaban. Hanya napas pelan yang terdengar, tetapi aku bisa merasakan gerakannya. Dengan hati-hati, aku mencoba sekali lagi menga
Cuaca yang cerah ditambah lalu-lalang pengunjung yang ramai menyambut kedatangan kami di kebun binatang. Kami berempat turun dari mobil dan melangkah menuju loket pembayaran untuk membeli tiket.Setelah mendapatkan tiket, aku menggandeng Abiyan masuk ke dalam. Namun, saat kami memasuki area kebun binatang, mataku langsung tertuju pada para karyawan yang berbaris rapi di sepanjang jalan masuk. Mereka membungkuk hormat saat aku, ibu, Abiyan, dan Mas Dewangga berjalan melewati mereka.Aku hanya mengangguk dan tersenyum, meski perasaan tak nyaman mulai menyelimutiku. "Mengapa ini terasa begitu berlebihan? Apakah setiap kebun binatang memperlakukan pengunjung seperti ini?" batinku bertanya-tanya, tetapi aku memilih untuk diam dan terus berjalan."Pak Dewangga, senang melihat Anda datang," tiba-tiba seorang pria paruh baya bertubuh tinggi dan berisi melangkah mendekat. Dengan senyum lebar, dia menjabat tangan Mas Dewangga dengan erat.Suamiku membalas jabatan tangan itu dengan tenang, seol
Setelah dua karyawan perempuan itu pergi, aku juga ikut kembali ke meja. Namun, Mas Dewangga tidak ada di sana. Hanya ada Ibu dan Abiyan."Mas Dewangga ke mana, Bu?" tanyaku, masih berdiri di samping meja.Ibu menunjuk ke arah sudut. Kepalaku menoleh mengikuti arah yang Ibu tunjuk, dan di kejauhan aku bisa melihat Mas Dewangga sedang menelepon."Apakah Alvin yang menelepon?" batinku mulai menduga. Sudah beberapa kali aku memerhatikan bahwa setiap kali ada panggilan yang masuk saat aku hendak mengecek ponsel Mas Dewangga, nama "Alvin (Asisten)" selalu muncul di layar. Kecurigaanku semakin tumbuh, tetapi aku berusaha menahannya.Aku duduk dengan mata terus mengikuti gerakan Mas Dewangga dari kejauhan. Tidak jelas siapa yang diajaknya berbicara, tetapi perasaan gelisah dalam diriku kian menguat. Namun, untuk kali ini aku memilih diam, aku tidak ingin memulai pembicaraan.Setelah beberapa menit, akhirnya Mas Dewangga kembali ke meja. Aku tetap diam, tidak menanyakan siapa yang menelepon s
"Kenapa kamu tahu kalau aku mau menanyakan itu, Mas?" Aku mengerutkan dahi, penasaran.Suamiku tersenyum tipis, lalu menjelaskan, "Pria yang kemarin menyambut kita adalah Pak Anton, teman baik ayahku ketika ayahku masih hidup. Saat dia tahu aku akan berkunjung ke kebun binatang, dia sangat senang. Itu sebabnya dia menghampiriku."Aku mengangguk pelan, mencoba memahami penjelasannya. Namun, masih ada sesuatu yang mengganggu pikiranku."Lalu ... bagaimana dengan karyawan yang membungkuk hormat saat kita lewat? Apakah mereka selalu bersikap seperti itu pada pengunjung? Rasanya agak berlebihan," tanyaku, mengingat kejadian tadi siang.Mas Dewangga tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih lebar. "Kebetulan saja pimpinan kebun binatang itu memang mau datang ke sana hari ini, dan mereka salah mengira aku sebagai dia. Nama kami sama. Dewangga. Dia juga punya istri dan anak. Jadi, mereka salah paham waktu Pak Anton menyambut kita. Sangat kebetulan, kan?"Penjelasan itu terdengar masuk akal, dan
"Hei, kamu membuat istriku tidak nyaman. Pergilah!" ujar Mas Dewangga dengan nada dingin. Tangannya melepaskan genggaman dari tanganku dan berpindah ke pinggangku, menandakan klaim kepemilikan yang tegas.Aku melihat mata Kak Dirfan melirik ke arah tangan Mas Dewangga yang kini berada di pinggangku, dengan ekspresi yang tidak bisa menyembunyikan kekesalan."Aku hanya khawatir pada Zoya. Apa itu salah?" Kak Dirfan mencoba membela diri, suaranya terdengar mencari pembenaran."Tentu saja salah. Seorang pria tidak berhak mengkhawatirkan istri pria lain," jawab Mas Dewangga dengan tenang, meski aku bisa merasakan ketegangan yang dia sembunyikan. Sentuhan erat di pinggangku semakin jelas menunjukkan perasaannya.Kak Dirfan mendecih pelan, lalu berkata lagi, "Aku senior Zoya saat di sekolah. Aku mengenalnya jauh sebelum dia bertemu denganmu."Mas Dewangga menatapnya tajam. "Apakah itu mengubah kenyataan bahwa Zoya sekarang adalah istriku? Tidak, kan? Mau seberapa lama pun kamu mengenal Zoya,
Aku akui meski Mas Dewangga memang terlihat mencurigakan akhir-akhir ini, tetapi aku tidak pernah berpikir jika suamiku bermain judi online."Jadi ... tadi Ibu membicarakan hal ini dengan Kak Dirfan?" tanyaku sekali lagi, memastikan."Iya. Zoya, Dirfan itu peduli dan khawatir padamu. Kamu pikir saja, tidak mungkin Dewangga mendapatkan uang kompensasi sebanyak itu, padahal dia hanya tukang parkir biasa," jawab Ibu dengan nada sedikit mengejek pekerjaan suamiku.Dadaku terasa sesak mendengar ejekan Ibu, tetapi aku memilih diam. Aku tidak ingin memperkeruh suasana, meski rasa kesal mulai merayap di dalam diriku."Mau sebanyak apa pun uang kompensasi yang dia terima, pasti akan habis juga jika tidak digunakan untuk membuka bisnis," lanjut Ibu.Untuk kali ini, aku setuju dengan apa yang Ibu ucapkan. Selama ini Mas Dewangga terus memberiku uang tanpa aku tahu apa yang dia lakukan dengan sisanya. Pikiran itu kembali menghantuiku, membuat rasa curiga sedikit demi sedikit muncul dalam benakku.