"Kenapa kamu tahu kalau aku mau menanyakan itu, Mas?" Aku mengerutkan dahi, penasaran.Suamiku tersenyum tipis, lalu menjelaskan, "Pria yang kemarin menyambut kita adalah Pak Anton, teman baik ayahku ketika ayahku masih hidup. Saat dia tahu aku akan berkunjung ke kebun binatang, dia sangat senang. Itu sebabnya dia menghampiriku."Aku mengangguk pelan, mencoba memahami penjelasannya. Namun, masih ada sesuatu yang mengganggu pikiranku."Lalu ... bagaimana dengan karyawan yang membungkuk hormat saat kita lewat? Apakah mereka selalu bersikap seperti itu pada pengunjung? Rasanya agak berlebihan," tanyaku, mengingat kejadian tadi siang.Mas Dewangga tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih lebar. "Kebetulan saja pimpinan kebun binatang itu memang mau datang ke sana hari ini, dan mereka salah mengira aku sebagai dia. Nama kami sama. Dewangga. Dia juga punya istri dan anak. Jadi, mereka salah paham waktu Pak Anton menyambut kita. Sangat kebetulan, kan?"Penjelasan itu terdengar masuk akal, dan
"Hei, kamu membuat istriku tidak nyaman. Pergilah!" ujar Mas Dewangga dengan nada dingin. Tangannya melepaskan genggaman dari tanganku dan berpindah ke pinggangku, menandakan klaim kepemilikan yang tegas.Aku melihat mata Kak Dirfan melirik ke arah tangan Mas Dewangga yang kini berada di pinggangku, dengan ekspresi yang tidak bisa menyembunyikan kekesalan."Aku hanya khawatir pada Zoya. Apa itu salah?" Kak Dirfan mencoba membela diri, suaranya terdengar mencari pembenaran."Tentu saja salah. Seorang pria tidak berhak mengkhawatirkan istri pria lain," jawab Mas Dewangga dengan tenang, meski aku bisa merasakan ketegangan yang dia sembunyikan. Sentuhan erat di pinggangku semakin jelas menunjukkan perasaannya.Kak Dirfan mendecih pelan, lalu berkata lagi, "Aku senior Zoya saat di sekolah. Aku mengenalnya jauh sebelum dia bertemu denganmu."Mas Dewangga menatapnya tajam. "Apakah itu mengubah kenyataan bahwa Zoya sekarang adalah istriku? Tidak, kan? Mau seberapa lama pun kamu mengenal Zoya,
Aku akui meski Mas Dewangga memang terlihat mencurigakan akhir-akhir ini, tetapi aku tidak pernah berpikir jika suamiku bermain judi online."Jadi ... tadi Ibu membicarakan hal ini dengan Kak Dirfan?" tanyaku sekali lagi, memastikan."Iya. Zoya, Dirfan itu peduli dan khawatir padamu. Kamu pikir saja, tidak mungkin Dewangga mendapatkan uang kompensasi sebanyak itu, padahal dia hanya tukang parkir biasa," jawab Ibu dengan nada sedikit mengejek pekerjaan suamiku.Dadaku terasa sesak mendengar ejekan Ibu, tetapi aku memilih diam. Aku tidak ingin memperkeruh suasana, meski rasa kesal mulai merayap di dalam diriku."Mau sebanyak apa pun uang kompensasi yang dia terima, pasti akan habis juga jika tidak digunakan untuk membuka bisnis," lanjut Ibu.Untuk kali ini, aku setuju dengan apa yang Ibu ucapkan. Selama ini Mas Dewangga terus memberiku uang tanpa aku tahu apa yang dia lakukan dengan sisanya. Pikiran itu kembali menghantuiku, membuat rasa curiga sedikit demi sedikit muncul dalam benakku.
Karena merasa geli, aku langsung terjaga dan mencubit tangan Mas Dewangga yang nakal."Mas, geli tahu!" seruku sambil mencoba menyingkirkan tangannya yang terus menyentuh pinggangku. "Aku jadi tidak bisa tidur!"Bukannya meminta maaf, Mas Dewangga malah tertawa kecil."Aku harus apa agar kamu tidak marah lagi, hm?" Suaranya berat dan terdengar menyenangkan di telingaku."Menjauh dariku. Aku mau tidur, Mas!" jawabku ketus, meski ujung bibirku tak bisa sepenuhnya menahan senyum.Dia menghela napas pelan. "Ya sudah, tidur saja. Aku akan menemanimu di sini."Aku membalikkan badan, menghadap ke arah suamiku dan mendorongnya sedikit menjauh. "Tidak mau, aku mau tidur sendiri saja."Tangannya yang sebelumnya melingkar di pinggangku kini terlepas. Rasanya sedikit aneh, tetapi aku harus tetap melakukannya.Setelah posisi Mas Dewangga dirasa sudah cukup jauh, aku kembali memunggunginya dan mencoba memejamkan mata. "Baiklah, istriku yang cantik," katanya sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
"Mas, jadi kamu tidak mau memberitahuku?" tanyaku lagi, kali ini dengan nada yang lebih pelan.Mas Dewangga hanya diam, lalu tersenyum tipis, seakan jawaban itu cukup. Karena tak mendapat jawaban yang kuharapkan, aku memutuskan untuk bangkit dan beranjak tidur saja, meninggalkannya sendirian di ruang tamu.Aku berusaha menulikan telinga saat suamiku memanggilku berulang kali dari ruang tamu. Ketika masuk ke kamar, Abiyan sudah tertidur pulas. Aku langsung menggendong anakku, menempatkannya dekat denganku. Tujuanku jelas, aku tidak ingin Mas Dewangga tidur di sebelahku malam ini. Setelah itu, aku berbaring, memaksa diri untuk segera terlelap.***Esok harinya, suasana masih sama—hening. Aku memutuskan untuk tidak bicara dengan Mas Dewangga setelah pembicaraan kemarin. Kami duduk di ruangan yang sama, tetapi keheningan itu membuat jarak antara kami terasa seperti ribuan kilometer.Dalam keheningan ini, aku berusaha mengabaikan sosok suamiku yang duduk di sudut ruang tamu, sibuk dengan
Saat hari menjelang malam, barulah Mas Dewangga pulang. Aku masih diam memerhatikannya dari sudut mata, meski sebenarnya aku ingin sekali bertanya ke mana dia pergi tadi. Rasa ingin tahuku terbentur oleh rasa marah yang masih berkecamuk di dadaku.Hingga malam semakin larut, aku masih mendiamkannya. Mas Dewangga juga sepertinya tidak ada niatan untuk membujukku.Aku menghela napas panjang, merasakan kecewa merayap dalam diriku. Karena tidak ingin terlalu memikirkan hal ini, aku memutuskan untuk tidur bersama Abiyan yang sudah lebih dulu terlelap. Dengan lembut, aku menempatkannya di dekatku dan menarik selimut untuk menutupi tubuh kecilnya.Baru saja sedetik berbaring, Mas Dewangga masuk ke kamar. Aku menatapnya sekilas, tetapi aku buru-buru memalingkan wajah, berusaha mengabaikan keberadaannya."Sayang," panggilnya dengan suara yang lembut dan menenangkan, "saat hari kampanye calon presiden, mungkin aku akan pulang agak malam. Aku mau jadi tukang parkir di alun-alun. Akan ada banyak
Aku menatap Mas Dewangga dengan kening berkerut, masih tak percaya. "Jadi ... kamu benar-benar berbohong selama ini? Kamu sebenarnya mafia?" Suaraku bergetar, campuran marah dan takut menghiasi setiap kata.Dunia seakan berhenti sejenak. Aku ingin bicara, tetapi bibirku seakan terkunci. Hatiku bergetar, dingin menjalar ke seluruh tubuh. Apa selama ini aku hidup dengan seorang penjahat? Namun, Mas Dewangga tiba-tiba mengubah nada bicaranya. "Ya, aku mafia ... mafia hatimu!" serunya sambil membentuk tanda hati dengan kedua tangannya. Senyumnya melebar tanpa beban.Aku tersentak, bingung sejenak. Namun, rasa kesal segera menyeruak. "Kamu bercanda? Kenapa main-main soal ini?" Aku memukul dada bidang Mas Dewangga dengan tangan yang gemetar. Namun, pukulanku lemah, tak ada tenaga di balik emosiku yang tertahan. "Kenapa kamu mempermainkanku seperti ini?" Suaraku hampir pecah, air mata mulai menggenang.Mas Dewangga tersadar aku benar-benar terluka. Dia mendekat, mencoba memelukku. "Maa
Calon presiden itu hanya tertawa kecil, seolah-olah apa yang dikatakan oleh bapak-bapak tadi hanyalah lelucon. Kemudian calon presiden itu merangkul Mas Dewangga dengan penuh percaya diri."Kita tidak boleh menghakimi tanpa tahu cerita lengkapnya. Mantan narapidana pun tetap manusia yang punya masa depan," ucapnya dengan nada tenang, penuh karisma.Warga yang mendengar respon itu ada yang terlihat kecewa karena merasa tidak mendapat tanggapan sesuai ekspektasi, sementara sebagian yang lain mengangguk pelan, mungkin setuju dengan kata-kata bijak calon presiden itu.Aku mengamati semuanya dengan hati yang campur aduk. Sebagian dari diriku merasa lega, tetapi rasa khawatir masih menggantung. Namun, apa yang dikatakan calon presiden selanjutnya membuatku benar-benar tercengang."Saya permisi dulu, Pak Dewangga. Saya mau melanjutkan perjalanan," katanya sembari menepuk lengan suamiku sebelum beranjak pergi.Aku terpaku. Bagaimana bisa seorang calon presiden tahu nama suamiku? Jantungku ber
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban
Beberapa menit setelah Mas Dewangga keluar dari kamar, aku memutuskan untuk berendam di bathtub. Kata itu selalu terdengar elegan, meskipun kenyataannya aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam air hangat untuk mengusir beban pikiran. Suara gemericik air yang mengisi bathtub membuat suasana kamar mandi terasa damai. Aku menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan aroma lavender, berharap wangi itu bisa menenangkan pikiranku yang masih gelisah.Sambil berendam, aku menyusun rencana untuk pergi ke tokoku hari ini. Sudah cukup aku menuruti larangan Mas Dewangga selama beberapa hari terakhir. Dia mungkin berpikir itu untuk kebaikanku, tetapi aku butuh ruang sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk melakukannya tanpa izin darinya.Setelah selesai bersiap-siap, aku melirik jam dinding, tepat pukul sembilan pagi.Dengan langkah mantap, aku meminta sopir untuk mengantarku ke toko kue. Dalam perjalanan, aku membayangkan aroma manis dan suasana hangat yang selalu kurindukan dari tokok
Keesokan harinya, sikap Mas Dewangga tidak berubah. Aku mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya, tetapi sepertinya dia sengaja menjaga jarak. Setiap kali aku mendekat, ada saja alasannya untuk menghindar.Hari itu, aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan remote TV tanpa benar-benar menonton. Pikiran tentang Mas Dewangga terus menggangguku. Beberapa hari terakhir, dia seperti orang lain—dingin dan seolah menghindariku."Apa benar karena parfum Alex?" gumamku pelan.Aku tahu seharusnya aku bertanya langsung, tetapi rasanya tidak mudah ketika dia terlihat begitu ... jauh.Akhirnya aku kembali ke kamar untuk menunggunya pulang.Saat Mas Dewangga akhirnya pulang, aku mencoba menyapanya seperti biasa."Mas, sudah makan? Mau aku buatkan sup kesukaanmu?" tanyaku dengan nada yang kubuat sehangat mungkin.Dia hanya mengangguk singkat, berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun."Mas, aku sedang bicara, lho!" tegurku, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba naik."Hmm," gumamnya, tanpa men
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Mas Dewangga selesai mandi. Suara air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi cukup untuk membuat pikiranku semakin bising. Aku memainkan ujung pakaian yang kupakai, menggulung-gulung kainnya dengan gelisah.Tadi, aku sempat merasa yakin kalau Mas Dewangga tidak akan mencium aroma itu. Namun, setelah melihat sikap Mas Dewangga yang berubah dingin, aku mulai meragukan semuanya.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Mas Dewangga keluar. Rambutnya masih sedikit basah, sementara handuk tergantung di bahunya. Namun, kali ini dia bahkan tidak menoleh ke arahku.Biasanya, meski sekilas, dia akan melirikku atau memberikan senyum kecil, tetapi sekarang dia bersikap seolah aku tidak ada. Dadaku terasa sesak melihatnya."Apa dia mencium aroma parfum Alex di pakaianku?" gumamku pelan. Pikiran itu terus berputar, menambah beban di benakku. Aku ingin bertanya, ingin memastikan. Namun, ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, niat itu
Aku segera membalikkan badan, memunggunginya, berusaha agar tidak dikenali oleh sosok itu. Dengan langkah pelan, aku bergeser ke arah rak yang berisi tumpukan barang agar tubuhku terlindungi dari pandangan Alex. "Jika saja aku tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Alex dan Mas Dewangga di masa lalu, mungkin aku akan menyapanya dengan santai," batinku.Beberapa saat kemudian Mirna akhirnya datang dengan keranjang belanja. Aku langsung memasukkan buah yang sudah kupilih ke dalam keranjang. "Ayo, kita lihat-lihat ke sana," bisikku sambil melangkah dengan cepat.Kami sampai di rak yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari. Mataku langsung tertuju pada satu produk di rak atas, yang kebetulan aku butuhkan. Sayangnya, posisinya terlalu tinggi. Aku mencoba menjangkau, tetapi jari-jariku masih jauh dari produk itu."Mirna, bisa bantu aku?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.Mirna hanya tertawa kecil. "Saya lebih pendek dari Nyonya. Bagaimana kalau saya panggilan staff tokonya?""I
Aku memutuskan menunggu Mas Dewangga selesai menelepon. Sambil menunggu, aku merebahkan diri di ranjang. Namun, sudah sepuluh menit berlalu dan suamiku tak kunjung kembali.Perasaan tak menentu mulai merambat. Aku bangkit dan melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip keluar. Koridor sepi, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan. Aku melangkah keluar, mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun, sosok yang kucari tidak ada.Ada sedikit kecemasan yang menyelinap di hatiku, tetapi segera kutepis jauh-jauh. Aku mencoba berpikir rasional. "Kira-kira Mas Dewangga akan pergi ke mana di saat-saat begini?" batinku sembari berpikir keras.Bayangan sebuah tempat langsung melintas dalam pikiranku, sebuah taman di dalam ruangan!Dulu, dia pernah menunjukkan tempat itu padaku. Katanya, taman itu adalah tempat favoritnya sejak kecil. Tempat di mana dia merasa damai dan bebas dari segala beban dunia. Mungkin saja dia ada di sana.Langkahku terarah menuju taman itu hingga akhirn
"Nara, ingat ini baik-baik. Istriku harus pulang jam dua belas siang. Jika lewat dari itu, kamu akan saya pecat. Mengerti?" kata Mas Dewangga dengan tegas.Wajah Nara seketika memucat. "Ba-bapak tenang saja. Saya pastikan Bu Zoya pulang tepat waktu."Aku menahan tawa melihat ekspresi Nara yang panik. Setelah memberikan pesan itu, Mas Dewangga kembali ke mobil, memastikan aku baik-baik saja sebelum akhirnya pergi ke kantor.Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menggeleng sambil tersenyum kecil. Di balik sikap tegasnya, aku tahu dia hanya khawatir. Sungguh, memiliki suami seperti Mas Dewangga adalah anugerah sekaligus tantangan tersendiri.Hari ini, aku kembali beraktivitas seperti biasa di toko. Menata barang di rak, mencatat stok, dan sesekali melayani pelanggan yang datang. Semua terasa normal, kecuali satu hal: Nara, asistenku, jadi lebih cerewet dari biasanya."Bu, jangan lupa ya, jam dua belas harus pulang. Jangan sampai terlewat. Ah, iya, Ibu juga jangan terlalu ban
"Mama!" seru Abiyan sambil berlari kecil ke arahku. Dia memelukku erat, seolah tidak bertemu berhari-hari."Abiyan, kamu sudah pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanyaku sambil membelai rambutnya yang sedikit berantakan."Asyik, Ma. Tadi aku dapat nilai bagus di pelajaran Matematika," jawabnya penuh semangat."Hebat sekali anak Mama. Sudah makan belum? Ayo kita makan bersama," ajakku sambil menggandeng tangannya ke meja makan.Aku meminta pelayan untuk menyiapkan makanan juga untuk Abiyan. Kami duduk bersama, menunggu hidangan selesai disiapkan. Tidak lama kemudian, Ibu datang dan ikut bergabung di meja makan."Bagaimana sekolahmu hari ini, Abiyan?" tanya Ibu sambil tersenyum."Bagus, Nek. Abiyan dapat nilai bagus," jawabnya dengan bangga.Ibu mengangguk puas, lalu menatapku dan Abiyan bergantian. Kemudian, dengan nada serius namun penuh kasih, Ibu berkata kepada Abiyan, "Abiyan, mulai sekarang kamu harus menjaga Mama, ya. Mama sedang butuh banyak istirahat."Kata-kata Ibu membu
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lambat. Udara pagi yang sejuk seharusnya membuatku merasa lebih baik, tetapi pusing dan mual ini membuatku lemas. Mas Dewangga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirikku dengan wajah khawatir.Aku melirik jam di dashboard mobil. Baru pukul delapan pagi. Biasanya, aku sudah bersiap-siap ke toko, tetapi hari ini, dengan kondisiku seperti ini, kemungkinan besar Mas Dewangga tidak akan mengizinkanku pergi."Mas, kalau aku tetap pergi ke toko hari ini, boleh tidak?" tanyaku pelan, mencoba mencari celah."Lebih baik kamu istirahat saja setelah kita pulang dari rumah sakit. Kamu sudah terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini, Sayang," jawabnya lembut, tetapi tegas.Sudah kuduga. Sambil menahan pusing, aku meraih ponsel dan menghubungi Nara, asistenku yang selalu bisa diandalkan.Begitu panggilan tersambung, aku segera berkata, "Nara, sepertinya hari ini aku tidak bisa berangkat ke toko. Aku dalam perjalanan ke rumah sakit."["Bu Zoya tidak e