Aku mengusap wajah dan buru-buru mengunci pintu rumah. Ini bukan kali terakhir dia akan muncul. Pikiran itu terus berputar dalam kepalaku, memaksaku untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang tak kuinginkan. Setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat, aku menghela napas panjang. Rumah terasa sunyi, hampir menyesakkan. Dalam keheningan ini, pikiranku sibuk, tetapi aku tahu aku harus mengalihkan perhatian. Dapur adalah tempat yang tepat. Kegiatan beres-beres bisa sedikit menenangkan pikiran yang kacau. Setiap peralatan yang kubersihkan seolah menjadi caraku mengusir kegelisahan. Aku mencoba fokus, tetapi bayang-bayang Kak Dirfan masih terasa begitu kuat. Jam di dinding berdenting saat mendekati waktu pulang sekolah Abiyan. Aku cepat-cepat merapikan diri dan bergegas menjemputnya. Setidaknya, dengan Abiyan di rumah, ada sesuatu yang bisa memberiku rasa damai. Setibanya kami di rumah, Abiyan langsung berlari ke kamarnya dan segera belajar. Melihatnya begitu tekun, ad
Akhirnya, aku memutuskan untuk berjalan pulang ke rumah dengan kepala dipenuhi oleh banyak tanda tanya setelah melihat Mas Dewangga memasuki mobil mewah.Apa yang suamiku sembunyikan selama ini? Ingin rasanya aku berpikir positif. Namun, sepertinya aku terlalu naif jika terus berpikir seperti itu.Potongan puzzle yang terlalu banyak sudah mengumpul di kepala, membuatku pusing memikirkannya.Tiiin!Aku terlonjak kaget saat mendengar suara yang nyaring di belakangku. Tubuhku gemetar, dan tanpa sadar, aku sudah berdiri di tengah jalan. Sebuah mobil berada tepat di belakangku, mendekat dengan kecepatan yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak.Seketika, tangan seseorang mencengkeram lenganku dan menarikku dengan paksa ke tepi jalan. Aku menoleh, dan ternyata pelakunya yang tak lain adalah Kak Dirfan. Tatapannya beralih dari pengendara mobil ke arahku, khawatir.Aku buru-buru melepaskan tanganku dari genggamannya. Setelah mobil itu pergi, aku bisa merasakan jantungku masih berdegup
"Aku yakin rencana ini akan berhasil," gumamku sambil tersenyum tipis, membayangkan betapa mulusnya rencana ini akan berjalan. Namun, di balik senyumku, ada sedikit keraguan yang membayang—bagaimana jika Mas Dewangga menyadarinya?Aku menggeleng cepat, menepis keraguan itu. "Tidak, ini pasti berhasil."Dengan langkah cepat, aku menuju warung. Di sana, aku membeli bahan-bahan untuk membuat donat: tepung, keju, cokelat batangan, meses, susu kental manis, ragi, dan beberapa bahan lain yang kubutuhkan. Rencanaku adalah membuat donat sebagai alasan untuk meminjam ponsel Mas Dewangga. Aku akan berpura-pura mencari resep, lalu diam-diam memeriksa isi ponselnya untuk menemukan petunjuk yang aku cari."Rencana ini pasti tidak akan dicurigai oleh Mas Dewangga," bisikku sambil tersenyum penuh percaya diri. Meski begitu, aku punya rencana cadangan jika ini gagal. Bahkan aku punya rencana B dan C jika semua tak berjalan sesuai rencana.Setelah selesai berbelanja, aku segera pulang. Sambil menungg
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Mas Dewangga kembali. Wajahnya terlihat lebih tenang dibanding sebelumnya, seolah beban yang tadi sempat tampak di wajahnya kini menghilang. Aku berusaha memasang wajah setenang mungkin meskipun di dalam hati, rasa curiga tak pernah benar-benar hilang."Sudah selesai, Mas?" tanyaku basa-basi.Namun, alih-alih mengangguk, Mas Dewangga malah menggeleng pelan. Aku menatapnya dengan bingung."Sebenarnya aku belum selesai menelepon," ucapnya sambil menyelipkan seutas helai rambutku ke belakang telinga. "Sambungan teleponnya tiba-tiba terputus karena kuotaku habis."Aku terdiam sejenak, tidak yakin apakah aku mendengarnya dengan benar."Habis?" tanyaku memastikan."Iya, habis," jawabnya dengan senyum yang tampak sedikit canggung. "Maaf ya, Sayang. Besok aku akan beli kuota lagi, dan kamu bisa mencari resep donat dengan tenang." Aku terdiam setelah mendengar penjelasannya."Tadinya aku mau keluar untuk beli kuota sekarang, tapi di luar gerimis," lan
Aku memutuskan untuk mencoba sekali lagi, kali ini dengan lebih hati-hati agar tidak membangunkan Mas Dewangga. Perlahan-lahan, aku mengangkat tangannya yang melingkar di pinggangku, berusaha memindahkannya tanpa membuat gerakan yang terlalu kentara.Namun, saat tangannya hampir berhasil kuangkat, tiba-tiba Mas Dewangga bergerak dan kembali memeluk pinggangku erat, seolah tidak ingin aku pergi. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sambil bersabar. Perlahan, aku kembali mencoba, berharap kali ini berhasil.Tepat saat aku hendak menggeser tangannya lagi, suara serak terdengar dari dekat telingaku."Sayang ...."Aku terkejut dan langsung menoleh. Mas Dewangga memandangku dengan mata setengah terbuka, bibirnya membentuk senyum tipis yang membuatku bingung."Mas?" bisikku, setengah berharap bahwa suamiku belum sepenuhnya terbangun. Namun, tidak ada jawaban. Hanya napas pelan yang terdengar, tetapi aku bisa merasakan gerakannya. Dengan hati-hati, aku mencoba sekali lagi menga
Cuaca yang cerah ditambah lalu-lalang pengunjung yang ramai menyambut kedatangan kami di kebun binatang. Kami berempat turun dari mobil dan melangkah menuju loket pembayaran untuk membeli tiket.Setelah mendapatkan tiket, aku menggandeng Abiyan masuk ke dalam. Namun, saat kami memasuki area kebun binatang, mataku langsung tertuju pada para karyawan yang berbaris rapi di sepanjang jalan masuk. Mereka membungkuk hormat saat aku, ibu, Abiyan, dan Mas Dewangga berjalan melewati mereka.Aku hanya mengangguk dan tersenyum, meski perasaan tak nyaman mulai menyelimutiku. "Mengapa ini terasa begitu berlebihan? Apakah setiap kebun binatang memperlakukan pengunjung seperti ini?" batinku bertanya-tanya, tetapi aku memilih untuk diam dan terus berjalan."Pak Dewangga, senang melihat Anda datang," tiba-tiba seorang pria paruh baya bertubuh tinggi dan berisi melangkah mendekat. Dengan senyum lebar, dia menjabat tangan Mas Dewangga dengan erat.Suamiku membalas jabatan tangan itu dengan tenang, seol
Setelah dua karyawan perempuan itu pergi, aku juga ikut kembali ke meja. Namun, Mas Dewangga tidak ada di sana. Hanya ada Ibu dan Abiyan."Mas Dewangga ke mana, Bu?" tanyaku, masih berdiri di samping meja.Ibu menunjuk ke arah sudut. Kepalaku menoleh mengikuti arah yang Ibu tunjuk, dan di kejauhan aku bisa melihat Mas Dewangga sedang menelepon."Apakah Alvin yang menelepon?" batinku mulai menduga. Sudah beberapa kali aku memerhatikan bahwa setiap kali ada panggilan yang masuk saat aku hendak mengecek ponsel Mas Dewangga, nama "Alvin (Asisten)" selalu muncul di layar. Kecurigaanku semakin tumbuh, tetapi aku berusaha menahannya.Aku duduk dengan mata terus mengikuti gerakan Mas Dewangga dari kejauhan. Tidak jelas siapa yang diajaknya berbicara, tetapi perasaan gelisah dalam diriku kian menguat. Namun, untuk kali ini aku memilih diam, aku tidak ingin memulai pembicaraan.Setelah beberapa menit, akhirnya Mas Dewangga kembali ke meja. Aku tetap diam, tidak menanyakan siapa yang menelepon s
"Kenapa kamu tahu kalau aku mau menanyakan itu, Mas?" Aku mengerutkan dahi, penasaran.Suamiku tersenyum tipis, lalu menjelaskan, "Pria yang kemarin menyambut kita adalah Pak Anton, teman baik ayahku ketika ayahku masih hidup. Saat dia tahu aku akan berkunjung ke kebun binatang, dia sangat senang. Itu sebabnya dia menghampiriku."Aku mengangguk pelan, mencoba memahami penjelasannya. Namun, masih ada sesuatu yang mengganggu pikiranku."Lalu ... bagaimana dengan karyawan yang membungkuk hormat saat kita lewat? Apakah mereka selalu bersikap seperti itu pada pengunjung? Rasanya agak berlebihan," tanyaku, mengingat kejadian tadi siang.Mas Dewangga tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih lebar. "Kebetulan saja pimpinan kebun binatang itu memang mau datang ke sana hari ini, dan mereka salah mengira aku sebagai dia. Nama kami sama. Dewangga. Dia juga punya istri dan anak. Jadi, mereka salah paham waktu Pak Anton menyambut kita. Sangat kebetulan, kan?"Penjelasan itu terdengar masuk akal, dan