"Apa yang kamu tahu tentang kampanye ini, Zoya? Tidak usah sok tahu!" kata Bu Ida, nadanya terdengar lebih dingin dari biasanya.Beberapa ibu-ibu lainnya tertawa kecil, tetapi aku tidak goyah. Aku tetap tersenyum lebar, menatap Bu Ida dengan tenang."Soal kampanye, kalau ibu-ibu tertarik, kita bisa kerja sama untuk jualan makanan ringan atau minuman. Pasti laris. Orang-orang akan berkumpul, jadi kenapa kita tidak manfaatkan kesempatan ini?" jelasku, suaraku terdengar lebih percaya diri.Ibu-ibu yang awalnya tidak terlalu peduli kini mulai memperhatikanku dengan lebih serius. Beberapa dari mereka berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju.Bu Ida merengut, terlihat tidak puas. "Ya, tapi kita tidak tahu siapa saja yang akan datang. Apa benar banyak yang tertarik?"Aku tersenyum tipis, tak kehilangan ketenangan. "Justru itulah, Bu. Calon presiden biasanya punya pendukung fanatik. Acara besar seperti ini selalu punya peluang."Aku bisa melihat keterkejutan di wajah ibu-ibu lainnya. Mereka b
Meski Mas Dewangga masih terdiam, aku tetap setia menunggunya, meskipun detak jantungku semakin cepat. Apa lagi kali ini? Aku merasa seakan menunggu sebuah bom waktu yang akan segera meledak.Akhirnya, suamiku mulai bersuara."Orang itu sedang survei tempat untuk kampanye. Katanya ... kemungkinan salah satu calon presiden akan kampanye di daerah sekitar sini. Kami hanya ngobrol sebentar, lalu dia pergi," jawab Mas Dewangga. Senyumnya tipis, terlihat sedikit dipaksakan, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan singkat itu.Aku terdiam. Penjelasan Mas Dewangga terdengar masuk akal, mengingat tadi siang aku juga sempat mendengar obrolan ibu-ibu soal rencana kampanye calon presiden. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di pikiranku. "Tapi kenapa kamu harus menemani dia? Bukankah kamu seharusnya tetap di parkiran untuk menjaga kendaraan?" Aku tahu pertanyaanku seakan memojokkan suamiku, tetapi aku tak punya pilihan lain. Aku perlu tahu lebih banyak.Mas Dewangga menghela na
"Mas, kamu ...." Aku menelan ludah, tidak berani melanjutkan.Mas Dewangga hanya tersenyum kecil."Ini uang halal, kan?" Suara itu tiba-tiba terdengar, membuatku dan Mas Dewangga menoleh ke arah sumber suara."Tentu saja itu uang halal. Itu uang kompensasi yang saya terima saat dituduh mencuri," jawab Mas Dewangga sembari menekankan kata terakhir, wajahnya tetap tenang.Akhirnya, ibu tersebut pergi membawa uang ganti rugi yang diberikan Mas Dewangga. Samar-samar aku mendengar gumamannya, tetapi tak jelas apa yang dia katakan."Ayo kita masuk," ajak Mas Dewangga lembut, merangkul bahuku saat kami menuju pintu rumah."Mas ... uang kompensasi itu ... masih ada?" Aku menggigit bibir, awalnya aku tak ingin bertanya, tetapi rasa penasaran terus membuncah. Jadi, aku tak bisa menahannya."Iya," jawabnya singkat, mempersilakan aku masuk lebih dulu.Di ruang tamu, aku menurunkan Abiyan dari gendonganku dan menyuruhnya untuk duduk. Tangisannya masih terdengar pelan, dan air mata terus mengalir d
Aku mengerutkan dahi, menatap suamiku penuh tanya."Kenapa besok aku tidak perlu berjualan, Mas?"Mas Dewangga tersenyum tipis. "Hari ulangan Abiyan semakin dekat. Kamu perlu menemaninya belajar agar dia dapat nilai bagus."Aku mengangguk, paham dengan permintaan suamiku yang tiba-tiba.Dia mendekatkan kepalanya ke telingaku, berbisik dengan suara berat yang menggoda, "Bantu Abiyan agar nilainya bagus. Jadi, dia bisa menagih adik yang akan menjadi hadiahnya."Wajahku langsung memanas. Aku memukul lengannya, tetapi dia hanya tertawa melihat tingkahku. Dari sudut mataku, Abiyan memandang kami bergantian, bingung dengan apa yang terjadi.Setelah menyelesaikan transaksi, kami pulang dengan belanjaan di tangan. Malam itu terasa lebih tenang, tanpa tatapan sinis dari para tetangga. Aku lega, karena gosip pasti akan bermunculan jika aku berbelanja sebanyak ini di siang hari.Setiba di rumah, kami meletakkan belanjaan di ruang tamu."Abiyan, tunggu di sini, ya. Mama mau ke rumah nenek dulu,"
Aku mengusap wajah dan buru-buru mengunci pintu rumah. Ini bukan kali terakhir dia akan muncul. Pikiran itu terus berputar dalam kepalaku, memaksaku untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang tak kuinginkan. Setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat, aku menghela napas panjang. Rumah terasa sunyi, hampir menyesakkan. Dalam keheningan ini, pikiranku sibuk, tetapi aku tahu aku harus mengalihkan perhatian. Dapur adalah tempat yang tepat. Kegiatan beres-beres bisa sedikit menenangkan pikiran yang kacau. Setiap peralatan yang kubersihkan seolah menjadi caraku mengusir kegelisahan. Aku mencoba fokus, tetapi bayang-bayang Kak Dirfan masih terasa begitu kuat. Jam di dinding berdenting saat mendekati waktu pulang sekolah Abiyan. Aku cepat-cepat merapikan diri dan bergegas menjemputnya. Setidaknya, dengan Abiyan di rumah, ada sesuatu yang bisa memberiku rasa damai. Setibanya kami di rumah, Abiyan langsung berlari ke kamarnya dan segera belajar. Melihatnya begitu tekun, ad
Akhirnya, aku memutuskan untuk berjalan pulang ke rumah dengan kepala dipenuhi oleh banyak tanda tanya setelah melihat Mas Dewangga memasuki mobil mewah.Apa yang suamiku sembunyikan selama ini? Ingin rasanya aku berpikir positif. Namun, sepertinya aku terlalu naif jika terus berpikir seperti itu.Potongan puzzle yang terlalu banyak sudah mengumpul di kepala, membuatku pusing memikirkannya.Tiiin!Aku terlonjak kaget saat mendengar suara yang nyaring di belakangku. Tubuhku gemetar, dan tanpa sadar, aku sudah berdiri di tengah jalan. Sebuah mobil berada tepat di belakangku, mendekat dengan kecepatan yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak.Seketika, tangan seseorang mencengkeram lenganku dan menarikku dengan paksa ke tepi jalan. Aku menoleh, dan ternyata pelakunya yang tak lain adalah Kak Dirfan. Tatapannya beralih dari pengendara mobil ke arahku, khawatir.Aku buru-buru melepaskan tanganku dari genggamannya. Setelah mobil itu pergi, aku bisa merasakan jantungku masih berdegup
"Aku yakin rencana ini akan berhasil," gumamku sambil tersenyum tipis, membayangkan betapa mulusnya rencana ini akan berjalan. Namun, di balik senyumku, ada sedikit keraguan yang membayang—bagaimana jika Mas Dewangga menyadarinya?Aku menggeleng cepat, menepis keraguan itu. "Tidak, ini pasti berhasil."Dengan langkah cepat, aku menuju warung. Di sana, aku membeli bahan-bahan untuk membuat donat: tepung, keju, cokelat batangan, meses, susu kental manis, ragi, dan beberapa bahan lain yang kubutuhkan. Rencanaku adalah membuat donat sebagai alasan untuk meminjam ponsel Mas Dewangga. Aku akan berpura-pura mencari resep, lalu diam-diam memeriksa isi ponselnya untuk menemukan petunjuk yang aku cari."Rencana ini pasti tidak akan dicurigai oleh Mas Dewangga," bisikku sambil tersenyum penuh percaya diri. Meski begitu, aku punya rencana cadangan jika ini gagal. Bahkan aku punya rencana B dan C jika semua tak berjalan sesuai rencana.Setelah selesai berbelanja, aku segera pulang. Sambil menungg
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Mas Dewangga kembali. Wajahnya terlihat lebih tenang dibanding sebelumnya, seolah beban yang tadi sempat tampak di wajahnya kini menghilang. Aku berusaha memasang wajah setenang mungkin meskipun di dalam hati, rasa curiga tak pernah benar-benar hilang."Sudah selesai, Mas?" tanyaku basa-basi.Namun, alih-alih mengangguk, Mas Dewangga malah menggeleng pelan. Aku menatapnya dengan bingung."Sebenarnya aku belum selesai menelepon," ucapnya sambil menyelipkan seutas helai rambutku ke belakang telinga. "Sambungan teleponnya tiba-tiba terputus karena kuotaku habis."Aku terdiam sejenak, tidak yakin apakah aku mendengarnya dengan benar."Habis?" tanyaku memastikan."Iya, habis," jawabnya dengan senyum yang tampak sedikit canggung. "Maaf ya, Sayang. Besok aku akan beli kuota lagi, dan kamu bisa mencari resep donat dengan tenang." Aku terdiam setelah mendengar penjelasannya."Tadinya aku mau keluar untuk beli kuota sekarang, tapi di luar gerimis," lan