Beranda / Rumah Tangga / Suami Tampan Tapi Pelit / Bab 7 : Menjemput Harapan Baru

Share

Bab 7 : Menjemput Harapan Baru

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-24 07:51:19

****

Luna menghabiskan malam itu dengan pikiran yang tidak tenang. Ia duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar laptop. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: Haruskah aku bertahan atau pergi?

Keesokan paginya, Luna bangun dengan mata sembab. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari konfrontasi ini lebih lama lagi. Ketika ia keluar dari kamar, Ardi sudah duduk di meja makan bersama Bu Ratna.

"Luna, kenapa wajahmu seperti itu? Jangan-jangan kamu habis menangis semalaman? Istri kok lemah begitu," komentar Bu Ratna dengan nada menyindir.

Luna tidak menjawab. Ia hanya duduk diam sambil menuangkan teh ke cangkirnya.

"Luna," panggil Ardi pelan, mencoba mengajaknya bicara.

Namun sebelum Ardi bisa melanjutkan, Luna memotong. "Mas, aku ingin bicara empat mata. Sekarang."

Bu Ratna langsung menatap mereka dengan curiga. "Ada apa ini? Kalau ada masalah, aku juga berhak tahu. Aku ibunya Ardi."

Luna menoleh ke arah Bu Ratna. "Maaf, Bu. Tapi ini urusan antara saya dan suami saya."

Bu Ratna tampak tidak senang, tapi ia tidak membalas. Luna dan Ardi kemudian masuk ke kamar, meninggalkan Bu Ratna di ruang makan.

Di dalam kamar, Luna menatap Ardi dengan tajam. "Mas, aku sudah memikirkan semuanya. Aku nggak bisa hidup seperti ini lagi. Aku nggak bisa terus bertahan dengan seseorang yang mengkhianatiku."

Ardi menghela napas panjang. "Luna, aku tahu aku salah. Aku tahu aku sudah menyakitimu. Tapi aku nggak mau kita berpisah. Aku masih sayang sama kamu."

"Sayang?" Luna tertawa pahit. "Kalau Mas benar-benar sayang, Mas nggak akan selingkuh. Mas nggak akan menghancurkan kepercayaan yang sudah aku berikan."

Ardi mencoba mendekati Luna, tapi ia mundur. "Aku akan berubah, Luna. Aku janji. Aku akan putus hubungan dengan Maya. Aku akan melakukan apa saja untuk memperbaiki semuanya."

Luna menatap Ardi dengan mata berkaca-kaca. "Mas, aku sudah terlalu lelah. Selama ini aku selalu berusaha memahami Mas, menerima kekurangan Mas, bahkan ketika Mas dan Ibu membuat hidupku terasa seperti beban. Tapi kali ini, aku nggak bisa lagi."

"Luna, tolong beri aku kesempatan. Aku nggak mau kehilangan kamu," pinta Ardi dengan suara penuh penyesalan.

Luna menggeleng pelan. "Aku butuh waktu, Mas. Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkanmu. Tapi yang jelas, aku butuh ruang untuk diriku sendiri."

Ardi terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi.

Hari itu, Luna memutuskan untuk pergi sementara waktu. Ia mengemas beberapa pakaian dan memutuskan untuk tinggal di rumah Rina. Sebelum pergi, ia menatap Ardi dan berkata, "Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan, Mas. Tapi aku harap, ini jadi pelajaran buat kita berdua."

Ketika Luna keluar dari rumah, Bu Ratna langsung menghampiri Ardi. "Apa-apaan ini, Ardi? Kenapa istrimu pergi begitu saja? Apa yang kamu lakukan sampai dia marah seperti itu?"

Ardi hanya menggeleng, tidak mampu menjawab.

Di rumah Rina, Luna merasa sedikit lebih tenang. Ia menceritakan semuanya kepada sahabatnya, termasuk tentang perselingkuhan Ardi.

"Luna, kamu sudah melakukan hal yang benar dengan pergi," kata Rina sambil menggenggam tangan Luna. "Kamu butuh waktu untuk menyembuhkan dirimu sendiri. Jangan biarkan siapa pun memaksamu untuk kembali sebelum kamu siap."

Malam itu, Luna menulis lagi. Kali ini, ia menulis sebuah cerita tentang seorang wanita yang menemukan kekuatan dalam dirinya untuk bangkit dari keterpurukan.

Ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia memiliki kendali atas hidupnya sendiri. Dan itu adalah langkah pertama menuju kebebasan yang ia impikan.

Luna memulai harinya dengan tekad baru. Setelah beberapa hari tinggal di rumah Rina, ia menyadari bahwa ia tidak bisa terus-menerus bergantung pada sahabatnya. Ia harus berdiri di atas kakinya sendiri, tidak hanya untuk membuktikan bahwa ia mampu, tetapi juga untuk membangun kembali kehidupannya.

Pagi itu, Luna duduk di depan laptop dengan segelas kopi. Ia mulai mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya. Sebagai seorang yang pernah menulis artikel dan cerita pendek, ia memutuskan untuk fokus pada bidang yang ia kuasai: menulis dan konten kreatif.

Rina, yang sedang menyiapkan sarapan, menghampirinya. "Gimana, Lu? Udah dapat sesuatu?"

Luna menggeleng pelan. "Masih cari-cari. Tapi aku yakin, pasti ada jalan."

Rina tersenyum. "Kamu itu pintar, Luna. Jangan pernah ragu sama dirimu sendiri. Kalau butuh bantuan, aku selalu ada."

Luna merasa terharu mendengar dukungan sahabatnya. Ia merasa bersyukur memiliki Rina di sisinya, terutama di saat-saat sulit seperti ini.

Setelah beberapa jam mencari, Luna menemukan beberapa lowongan sebagai penulis lepas. Ia segera mengirimkan lamaran dan portofolio tulisannya. Tidak hanya itu, ia juga mendaftar di beberapa platform freelance untuk memperluas peluangnya.

Di sore harinya, Luna menerima email balasan dari salah satu perusahaan media online. Mereka tertarik dengan tulisannya dan ingin mengundangnya untuk wawancara daring. Luna merasa lega sekaligus gugup. Ini adalah langkah pertama menuju kemandiriannya.

---

Luna mengenakan blus putih sederhana dan merapikan rambutnya. Meskipun wawancara dilakukan secara daring, ia ingin memberikan kesan yang baik.

Wawancara berlangsung lancar. Perwakilan perusahaan terlihat terkesan dengan pengalaman Luna, terutama dengan kemampuannya menulis cerita yang emosional dan relevan.

"Bu Luna, kami suka dengan gaya tulisan Anda. Kami rasa Anda bisa membawa perspektif yang segar untuk konten kami. Selamat, Anda diterima sebagai penulis lepas," kata pewawancara dengan senyum hangat.

Luna hampir tidak percaya. "Terima kasih banyak. Saya akan bekerja sebaik mungkin," jawabnya dengan penuh semangat.

Setelah wawancara berakhir, Luna melompat kegirangan. Ia langsung mengabari Rina, yang ikut senang mendengar kabar baik itu.

"Ini baru awal, Lu. Aku yakin kamu akan sukses," kata Rina sambil memeluknya.

---

Dalam minggu-minggu berikutnya, Luna mulai bekerja dengan penuh semangat. Ia menulis artikel, cerita pendek, dan konten kreatif lainnya untuk perusahaan media tersebut. Setiap kali ia menerima pembayaran, ia merasa bangga karena uang itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri.

Namun, perjalanan Luna tidak sepenuhnya mulus. Ada hari-hari di mana ia merasa lelah dan rindu dengan kehidupan lamanya, meskipun penuh dengan luka. Ia sering bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang benar.

Di tengah kesibukannya, Luna juga mulai memikirkan langkah selanjutnya. Ia ingin menyewa tempat tinggal sendiri agar tidak terlalu merepotkan Rina. Ia juga mulai menyisihkan uang untuk tabungan, karena ia tahu bahwa kemandirian finansial adalah kunci kebebasan yang sesungguhnya.

Malam itu, Luna duduk di depan laptopnya, menatap tulisan yang baru saja ia selesaikan. Cerita itu tentang seorang wanita yang menemukan kekuatannya kembali setelah dikhianati. Luna tersenyum kecil.

Ia tahu bahwa cerita itu adalah refleksi dari dirinya sendiri. Dan meskipun perjalanannya masih panjang, ia merasa bahwa ia sedang menuju ke arah yang benar.

Luna memejamkan mata sejenak, berdoa dalam hati. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah lagi membiarkan orang lain menentukan kebahagiaannya. Karena kini, ia adalah penulis dari kisah hidupnya sendiri.

Bab terkait

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 8 : Cahaya di Tengah Gelap

    *****Hari-hari Luna kini penuh dengan rutinitas baru. Bangun pagi, menyelesaikan artikel untuk klien, mengirimkan email, dan sesekali berdiskusi dengan editor lewat panggilan video. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritme baru. Namun, di sela-sela kesibukannya, rasa sepi kerap menghampiri.Sore itu, Luna duduk di teras rumah Rina, menatap langit yang mulai memerah. Di tangannya, ada secangkir teh hangat. Rina keluar membawakan sepiring kue."Kamu kelihatan capek, Lu," kata Rina sambil duduk di sampingnya.Luna tersenyum tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku senang. Akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri lagi."Rina mengangguk. "Aku bangga sama kamu. Tapi ingat, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Kamu juga butuh waktu untuk istirahat."Luna menghela napas. "Kadang aku merasa takut, Rin. Takut kalau semua ini nggak cukup. Takut kalau aku nggak bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Ardi."Rina menggenggam tangan Luna. "Kamu sudah melangkah sejauh ini, Lu. Jangan biarkan rasa t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 9 : Jalan Berbeda

    ***** Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Ardi. Usahanya untuk berubah terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Ia mulai menghadiri sesi konseling daring tentang hubungan dan introspeksi diri. Setiap kali ia mendengar cerita orang lain, ia merasa semakin sadar betapa banyak kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Luna. Namun, di tengah usaha itu, rasa ragu terus menghantuinya. Ia bertanya-tanya apakah Luna akan pernah memaafkannya atau bahkan mau memberinya kesempatan kedua. --- Suatu sore, Ardi memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Ia butuh udara segar untuk meredakan pikirannya yang penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan. Saat ia sedang duduk di bangku taman, ia melihat sosok yang familiar. Luna. Luna sedang duduk di bawah pohon besar, membaca buku sambil menikmati angin sore. Ardi merasa jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka akan bertemu Luna di tempat ini. Tanpa berpikir panjang, ia mendekatinya. Namun, langkahnya terhenti beberapa meter sebelum

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 10 : Langkah yang Berat

    ***** Pagi itu, Luna berdiri di depan apartemennya, koper besar di sisi kanan dan tas ransel di punggungnya. Tak ada keraguan lagi, hari ini ia akan meninggalkan kota yang menyimpan begitu banyak kenangan—baik dan buruk. Rina datang untuk mengantarnya ke stasiun. "Aku bangga sama kamu, Lu. Kamu berani mengambil keputusan besar ini." Luna tersenyum, meski hatinya terasa berat. "Aku cuma berharap aku nggak salah langkah, Rin. Kadang aku masih merasa takut." Rina menggenggam tangan Luna. "Ketakutan itu wajar, tapi kamu sudah memilih jalan yang benar. Kamu nggak lagi terjebak di masa lalu. Ini hidupmu, Luna. Jalani dengan bangga." --- Di perjalanan menuju stasiun, ponsel Luna bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ardi. "Luna, aku dengar kamu mau pindah. Aku nggak tahu apakah aku punya hak untuk bicara, tapi aku cuma mau bilang... aku bangga sama kamu. Aku harap kamu bahagia di sana. Terima kasih sudah jadi bagian penting dalam hidupku." Mata Luna berkaca-kaca membaca pesan itu. Ia tah

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 1 : Awal yang Manis

    Luna memandangi cermin di kamarnya, memastikan riasannya sempurna sebelum Ardi pulang dari kantor. Ia selalu ingin terlihat cantik di depan suaminya, pria tampan yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan wajah yang seperti aktor film dan sikapnya yang tenang, Ardi adalah impian banyak wanita. Namun, Luna-lah yang berhasil memenangkan hatinya. Mereka menikah dua tahun lalu, dan sejak itu, kehidupan Luna berubah drastis. Ardi adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki segalanya: rumah mewah, mobil mahal, dan karisma yang sulit dilawan. Namun, ada satu hal yang tidak dimiliki Ardi: kelapangan hati untuk berbagi. Luna mulai menyadari sifat pelit suaminya beberapa bulan setelah mereka menikah. Awalnya, ia menganggap itu sebagai kebiasaan Ardi yang hemat dan bijak. Namun, semakin lama, kebiasaan itu berubah menjadi sesuatu yang membuat Luna merasa terkungkung. Hari ini, Luna memutuskan untuk mencoba berbicara dengan Ardi tentang perasaannya. Ia ingin membahas sesuatu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 2 : Kumpul bersama teman

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan campur aduk. Ia memutuskan untuk tetap pergi ke acara bersama teman-temannya, meski tahu Ardi mungkin akan keberatan. Sambil menyiapkan sarapan, ia mencoba mencari cara untuk membicarakannya lagi tanpa memicu pertengkaran. Ardi muncul di dapur dengan kemeja kerja yang rapi. Ia tampak tenang, seperti biasa, dan Luna merasa sedikit lega karena suasana tidak seburuk yang ia bayangkan setelah percakapan mereka semalam. “Mas, sarapannya sudah siap,” kata Luna sambil meletakkan sepiring nasi goreng di meja. Ardi duduk dan mulai makan tanpa banyak bicara. Luna menunggu beberapa saat sebelum mencoba membuka topik lagi. “Mas, soal acara teman-temanku malam ini... aku tetap mau pergi. Aku butuh waktu untuk bersosialisasi juga,” kata Luna dengan suara lembut, namun tegas. Ardi meletakkan sendoknya, menatap Luna dengan serius. “Luna, aku sudah bilang, kan? Buat apa pergi ke kafe kalau itu hanya menghabiskan uang? Kalau mereka benar-benar temanmu, mereka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 3 : Luka di Balik Cinta

    Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Luna tetap mencoba menjadi istri yang baik, memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, sambil sesekali menyisipkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, takut salah langkah yang bisa memicu pertengkaran dengan Ardi. Pagi itu, Luna sedang membereskan ruang tamu ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rina masuk. “Luna, aku ada kabar baik! Minggu depan kita mau adain reuni kecil-kecilan di villa salah satu teman kita. Kamu harus ikut, ya. Ini bakal seru banget!” Luna membaca pesan itu dengan campuran perasaan. Ia ingin sekali ikut, tapi ia tahu bahwa meminta izin pada Ardi untuk pergi selama akhir pekan akan menjadi tantangan besar. Ketika Ardi pulang malam itu, Luna memutuskan untuk membicarakannya. Ia menyajikan makan malam seperti biasa, berusaha menciptakan suasana yang nyaman sebelum mengutarakan keinginannya. “Mas, aku dapat kabar dari teman-teman. Mereka mau adain reuni kecil

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 4 : Kejolak Hati

    Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan yang campur aduk. Suasana villa yang damai membuatnya merasa nyaman, namun pikirannya terus memikirkan apa yang menunggunya di rumah. Teman-temannya masih tertidur, jadi Luna memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa, menikmati udara pagi yang segar. Saat ia duduk di bawah pohon besar di dekat taman, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ardi masuk. “Luna, kamu sudah bangun? Jangan lupa, jangan terlalu lama di sana. Pulanglah sebelum malam.” Pesan itu membuat Luna merasa seperti sedang diingatkan bahwa kebebasannya hanyalah sementara. Ia membalas pesan itu dengan singkat. “Iya, Mas. Aku nggak akan lama.” Setelah sarapan bersama teman-temannya, Luna membantu membereskan villa. Ia merasa bersyukur memiliki momen ini, meskipun singkat. Sebelum berpisah, Rina mendekatinya. “Luna, aku senang kamu bisa datang. Tapi aku harap ini bukan terakhir kalinya kita kumpul. Kamu harus lebih sering keluar dari rutinitasmu,” kata Rina s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 5 : Awal dari Perubahan

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan yang berbeda. Percakapannya dengan Ardi semalam terus terngiang di pikirannya. Kata-kata suaminya, "Kalau kamu merasa nggak bahagia, aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap di sini," terdengar seperti ancaman sekaligus tantangan. Luna menghela napas panjang. Ia tahu ia harus mulai mengambil langkah untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpedulian suaminya. Hari itu, Luna memutuskan untuk mengunjungi temannya, Rina. Rina adalah salah satu dari sedikit orang yang selalu mendukungnya tanpa syarat. "Rin, aku butuh bantuanmu," kata Luna begitu ia tiba di rumah Rina. Rina yang sedang membuat teh di dapur menoleh dengan wajah khawatir. "Luna, kamu kelihatan capek. Ada apa? Cerita aja." Luna duduk di kursi dapur dan mulai menceritakan semuanya—dari sikap Ardi yang pelit hingga perasaannya yang semakin tertekan. Rina mendengarkan dengan serius, tanpa menyela sedikit pun. "Luna," kata Rina akhirnya, "kamu nggak bis

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07

Bab terbaru

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 10 : Langkah yang Berat

    ***** Pagi itu, Luna berdiri di depan apartemennya, koper besar di sisi kanan dan tas ransel di punggungnya. Tak ada keraguan lagi, hari ini ia akan meninggalkan kota yang menyimpan begitu banyak kenangan—baik dan buruk. Rina datang untuk mengantarnya ke stasiun. "Aku bangga sama kamu, Lu. Kamu berani mengambil keputusan besar ini." Luna tersenyum, meski hatinya terasa berat. "Aku cuma berharap aku nggak salah langkah, Rin. Kadang aku masih merasa takut." Rina menggenggam tangan Luna. "Ketakutan itu wajar, tapi kamu sudah memilih jalan yang benar. Kamu nggak lagi terjebak di masa lalu. Ini hidupmu, Luna. Jalani dengan bangga." --- Di perjalanan menuju stasiun, ponsel Luna bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ardi. "Luna, aku dengar kamu mau pindah. Aku nggak tahu apakah aku punya hak untuk bicara, tapi aku cuma mau bilang... aku bangga sama kamu. Aku harap kamu bahagia di sana. Terima kasih sudah jadi bagian penting dalam hidupku." Mata Luna berkaca-kaca membaca pesan itu. Ia tah

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 9 : Jalan Berbeda

    ***** Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Ardi. Usahanya untuk berubah terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Ia mulai menghadiri sesi konseling daring tentang hubungan dan introspeksi diri. Setiap kali ia mendengar cerita orang lain, ia merasa semakin sadar betapa banyak kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Luna. Namun, di tengah usaha itu, rasa ragu terus menghantuinya. Ia bertanya-tanya apakah Luna akan pernah memaafkannya atau bahkan mau memberinya kesempatan kedua. --- Suatu sore, Ardi memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Ia butuh udara segar untuk meredakan pikirannya yang penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan. Saat ia sedang duduk di bangku taman, ia melihat sosok yang familiar. Luna. Luna sedang duduk di bawah pohon besar, membaca buku sambil menikmati angin sore. Ardi merasa jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka akan bertemu Luna di tempat ini. Tanpa berpikir panjang, ia mendekatinya. Namun, langkahnya terhenti beberapa meter sebelum

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 8 : Cahaya di Tengah Gelap

    *****Hari-hari Luna kini penuh dengan rutinitas baru. Bangun pagi, menyelesaikan artikel untuk klien, mengirimkan email, dan sesekali berdiskusi dengan editor lewat panggilan video. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritme baru. Namun, di sela-sela kesibukannya, rasa sepi kerap menghampiri.Sore itu, Luna duduk di teras rumah Rina, menatap langit yang mulai memerah. Di tangannya, ada secangkir teh hangat. Rina keluar membawakan sepiring kue."Kamu kelihatan capek, Lu," kata Rina sambil duduk di sampingnya.Luna tersenyum tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku senang. Akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri lagi."Rina mengangguk. "Aku bangga sama kamu. Tapi ingat, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Kamu juga butuh waktu untuk istirahat."Luna menghela napas. "Kadang aku merasa takut, Rin. Takut kalau semua ini nggak cukup. Takut kalau aku nggak bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Ardi."Rina menggenggam tangan Luna. "Kamu sudah melangkah sejauh ini, Lu. Jangan biarkan rasa t

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 7 : Menjemput Harapan Baru

    **** Luna menghabiskan malam itu dengan pikiran yang tidak tenang. Ia duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar laptop. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: Haruskah aku bertahan atau pergi? Keesokan paginya, Luna bangun dengan mata sembab. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari konfrontasi ini lebih lama lagi. Ketika ia keluar dari kamar, Ardi sudah duduk di meja makan bersama Bu Ratna. "Luna, kenapa wajahmu seperti itu? Jangan-jangan kamu habis menangis semalaman? Istri kok lemah begitu," komentar Bu Ratna dengan nada menyindir. Luna tidak menjawab. Ia hanya duduk diam sambil menuangkan teh ke cangkirnya. "Luna," panggil Ardi pelan, mencoba mengajaknya bicara. Namun sebelum Ardi bisa melanjutkan, Luna memotong. "Mas, aku ingin bicara empat mata. Sekarang." Bu Ratna langsung menatap mereka dengan curiga. "Ada apa ini? Kalau ada masalah, aku juga berhak tahu. Aku ibunya Ardi." Luna

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 6 : Rahasia yang terungkap

    Kata-kata Ardi membuat Luna terdiam. Ia menatap suaminya dengan rasa kecewa yang sulit disembunyikan. "Mas, ini bukan soal menghormati. Aku tetap istri Mas, aku tetap melakukan tugasku di rumah. Tapi aku juga punya hak untuk berkembang," jawab Luna dengan suara bergetar. Ardi menggeleng pelan. "Aku nggak mau ribut, Luna. Tapi coba pikirkan lagi, apa yang lebih penting: pekerjaanmu atau keharmonisan keluarga kita?" Luna merasa seolah ia ditikam dari belakang. Ia tahu bahwa keharmonisan yang dimaksud Ardi hanyalah tentang memenuhi ekspektasi Bu Ratna, bukan tentang kebahagiaan mereka sebagai pasangan. Hari itu, Luna menjalani aktivitasnya dengan hati yang berat. Kehadiran Bu Ratna di rumah membuatnya merasa seperti berada di bawah pengawasan ketat. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan kecil yang ia buat, selalu dikomentari oleh ibu mertuanya. "Luna, kenapa lampu di ruang tamu masih nyala siang-siang begini? Listrik itu mahal, tahu!" tegur Bu Ratna saat Luna sedang

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 5 : Awal dari Perubahan

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan yang berbeda. Percakapannya dengan Ardi semalam terus terngiang di pikirannya. Kata-kata suaminya, "Kalau kamu merasa nggak bahagia, aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap di sini," terdengar seperti ancaman sekaligus tantangan. Luna menghela napas panjang. Ia tahu ia harus mulai mengambil langkah untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpedulian suaminya. Hari itu, Luna memutuskan untuk mengunjungi temannya, Rina. Rina adalah salah satu dari sedikit orang yang selalu mendukungnya tanpa syarat. "Rin, aku butuh bantuanmu," kata Luna begitu ia tiba di rumah Rina. Rina yang sedang membuat teh di dapur menoleh dengan wajah khawatir. "Luna, kamu kelihatan capek. Ada apa? Cerita aja." Luna duduk di kursi dapur dan mulai menceritakan semuanya—dari sikap Ardi yang pelit hingga perasaannya yang semakin tertekan. Rina mendengarkan dengan serius, tanpa menyela sedikit pun. "Luna," kata Rina akhirnya, "kamu nggak bis

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 4 : Kejolak Hati

    Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan yang campur aduk. Suasana villa yang damai membuatnya merasa nyaman, namun pikirannya terus memikirkan apa yang menunggunya di rumah. Teman-temannya masih tertidur, jadi Luna memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa, menikmati udara pagi yang segar. Saat ia duduk di bawah pohon besar di dekat taman, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ardi masuk. “Luna, kamu sudah bangun? Jangan lupa, jangan terlalu lama di sana. Pulanglah sebelum malam.” Pesan itu membuat Luna merasa seperti sedang diingatkan bahwa kebebasannya hanyalah sementara. Ia membalas pesan itu dengan singkat. “Iya, Mas. Aku nggak akan lama.” Setelah sarapan bersama teman-temannya, Luna membantu membereskan villa. Ia merasa bersyukur memiliki momen ini, meskipun singkat. Sebelum berpisah, Rina mendekatinya. “Luna, aku senang kamu bisa datang. Tapi aku harap ini bukan terakhir kalinya kita kumpul. Kamu harus lebih sering keluar dari rutinitasmu,” kata Rina s

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 3 : Luka di Balik Cinta

    Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Luna tetap mencoba menjadi istri yang baik, memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, sambil sesekali menyisipkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, takut salah langkah yang bisa memicu pertengkaran dengan Ardi. Pagi itu, Luna sedang membereskan ruang tamu ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rina masuk. “Luna, aku ada kabar baik! Minggu depan kita mau adain reuni kecil-kecilan di villa salah satu teman kita. Kamu harus ikut, ya. Ini bakal seru banget!” Luna membaca pesan itu dengan campuran perasaan. Ia ingin sekali ikut, tapi ia tahu bahwa meminta izin pada Ardi untuk pergi selama akhir pekan akan menjadi tantangan besar. Ketika Ardi pulang malam itu, Luna memutuskan untuk membicarakannya. Ia menyajikan makan malam seperti biasa, berusaha menciptakan suasana yang nyaman sebelum mengutarakan keinginannya. “Mas, aku dapat kabar dari teman-teman. Mereka mau adain reuni kecil

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 2 : Kumpul bersama teman

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan campur aduk. Ia memutuskan untuk tetap pergi ke acara bersama teman-temannya, meski tahu Ardi mungkin akan keberatan. Sambil menyiapkan sarapan, ia mencoba mencari cara untuk membicarakannya lagi tanpa memicu pertengkaran. Ardi muncul di dapur dengan kemeja kerja yang rapi. Ia tampak tenang, seperti biasa, dan Luna merasa sedikit lega karena suasana tidak seburuk yang ia bayangkan setelah percakapan mereka semalam. “Mas, sarapannya sudah siap,” kata Luna sambil meletakkan sepiring nasi goreng di meja. Ardi duduk dan mulai makan tanpa banyak bicara. Luna menunggu beberapa saat sebelum mencoba membuka topik lagi. “Mas, soal acara teman-temanku malam ini... aku tetap mau pergi. Aku butuh waktu untuk bersosialisasi juga,” kata Luna dengan suara lembut, namun tegas. Ardi meletakkan sendoknya, menatap Luna dengan serius. “Luna, aku sudah bilang, kan? Buat apa pergi ke kafe kalau itu hanya menghabiskan uang? Kalau mereka benar-benar temanmu, mereka

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status