Beranda / Rumah Tangga / Suami Tampan Tapi Pelit / Bab 1 : Awal yang Manis

Share

Suami Tampan Tapi Pelit
Suami Tampan Tapi Pelit
Penulis: Alin Andrinaline

Bab 1 : Awal yang Manis

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-07 03:43:47

Luna memandangi cermin di kamarnya, memastikan riasannya sempurna sebelum Ardi pulang dari kantor. Ia selalu ingin terlihat cantik di depan suaminya, pria tampan yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan wajah yang seperti aktor film dan sikapnya yang tenang, Ardi adalah impian banyak wanita. Namun, Luna-lah yang berhasil memenangkan hatinya.

Mereka menikah dua tahun lalu, dan sejak itu, kehidupan Luna berubah drastis. Ardi adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki segalanya: rumah mewah, mobil mahal, dan karisma yang sulit dilawan. Namun, ada satu hal yang tidak dimiliki Ardi: kelapangan hati untuk berbagi.

Luna mulai menyadari sifat pelit suaminya beberapa bulan setelah mereka menikah. Awalnya, ia menganggap itu sebagai kebiasaan Ardi yang hemat dan bijak. Namun, semakin lama, kebiasaan itu berubah menjadi sesuatu yang membuat Luna merasa terkungkung.

Hari ini, Luna memutuskan untuk mencoba berbicara dengan Ardi tentang perasaannya. Ia ingin membahas sesuatu yang sederhana—makan malam romantis di restoran favorit mereka. Sesuatu yang, menurut Luna, sudah lama tidak mereka lakukan.

Saat pintu depan terbuka, Luna segera berdiri dan tersenyum menyambut suaminya. Ardi melangkah masuk dengan setelan jas yang rapi, membawa tas kerjanya. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap memancarkan pesona yang membuat Luna sulit marah padanya.

“Selamat datang, Mas,” sapa Luna dengan suara lembut.

Ardi mengangguk dan membalas senyum tipis. “Hai, sayang. Hari ini capek sekali.”

Luna mengambil tas kerja Ardi dan meletakkannya di meja. “Aku sudah siapkan teh hangat. Duduk dulu, ya.”

Ardi duduk di sofa, melepaskan dasinya. Luna melihat kesempatan untuk memulai pembicaraan. Ia duduk di samping suaminya dan menggenggam tangannya.

“Mas, aku punya ide. Gimana kalau akhir pekan ini kita makan malam di luar? Di restoran favorit kita yang dulu?” tanya Luna dengan nada ceria.

Ardi mengerutkan kening, tampak berpikir. “Restoran itu? Bukannya mahal, ya? Kenapa kita nggak makan di rumah saja? Lebih hemat.”

Luna mencoba menahan kekecewaannya. “Tapi, Mas, kita sudah lama nggak keluar bersama. Aku pikir, sesekali nggak apa-apa, kan? Untuk menyegarkan suasana.”

Ardi menghela napas panjang. “Aku ngerti, Luna. Tapi, menurutku, makan di luar itu buang-buang uang. Kita bisa makan makanan yang sama di rumah, dan jauh lebih murah.”

Luna terdiam. Ia tahu bahwa Ardi tidak akan mengubah pendapatnya dengan mudah. Meski ia mencintai suaminya, sifat pelit Ardi sering membuatnya merasa tidak dihargai.

“Mas, aku hanya ingin kita punya waktu bersama. Bukan soal makanannya, tapi suasananya,” kata Luna, mencoba menjelaskan perasaannya.

Namun, Ardi hanya menggeleng. “Luna, aku kerja keras untuk memastikan kita punya masa depan yang aman. Kalau kita mulai menghabiskan uang untuk hal-hal seperti itu, aku takut kita akan kehilangan kestabilan yang sudah kita bangun.”

Luna merasa dadanya sesak. Ia ingin berdebat, tapi ia tahu bahwa itu tidak akan mengubah apa pun. Dengan senyum yang dipaksakan, ia berkata, “Baiklah, Mas. Kalau itu yang kamu pikir terbaik.”

Ardi mengangguk, tampak puas dengan jawaban Luna. Ia kemudian beranjak ke kamar, meninggalkan Luna sendirian di ruang tamu.

Luna menatap kosong ke arah cangkir teh yang masih mengepul di atas meja. Ia merasa lelah, bukan karena pekerjaan rumah atau rutinitas sehari-hari, tetapi karena perjuangan untuk mempertahankan pernikahannya.

Ia mencintai Ardi, tapi ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan dengan sifat suaminya yang selalu menghitung segalanya. Dalam hati, Luna bertanya-tanya: apakah cinta saja cukup untuk mengisi kekosongan yang ia rasakan?

Di luar, malam semakin larut. Namun, di hati Luna, badai baru saja dimulai.

Luna mencoba mengalihkan pikirannya dengan membereskan ruang tamu. Namun, pikirannya tetap berputar pada percakapan dengan Ardi tadi. Ia merasa lelah karena selalu harus mengalah. Sifat pelit Ardi bukan hanya soal uang, tetapi juga perhatian.

Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, dan mengeluarkan bahan-bahan untuk makan malam. Saat ia mulai memotong sayuran, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Rina.

“Luna, besok ada acara kumpul teman-teman lama di kafe baru. Kamu ikut, kan? Jangan bilang nggak bisa lagi!”

Luna membaca pesan itu dengan senyum pahit. Ia tahu, jika ia meminta izin pada Ardi untuk pergi, jawaban suaminya kemungkinan besar adalah penolakan. “Buat apa keluar kalau bisa ngumpul di rumah?” Begitulah cara Ardi berpikir.

Namun, kali ini Luna merasa ingin melawan rasa tertekan itu. Ia membalas pesan Rina.

“Aku akan coba datang. Jam berapa?”

Tak lama kemudian, Rina membalas. “Jam 7 malam. Jangan sampai nggak datang ya! Aku kangen ngobrol sama kamu.”

Luna menghela napas, mencoba menenangkan hatinya. Ia tahu keputusannya untuk datang akan memicu perdebatan, tapi ia merasa harus melakukannya demi dirinya sendiri.

Malam itu, saat makan malam, Luna mencoba mencari momen untuk membicarakan rencananya. Ardi duduk di meja makan, menikmati sup yang ia buat, sementara Luna menatapnya dengan hati-hati.

“Mas, besok aku mau ketemu teman-teman lama. Mereka ngajak kumpul di kafe baru,” kata Luna, suaranya terdengar hati-hati.

Ardi mengangkat alis, meletakkan sendoknya. “Kumpul di kafe? Buat apa? Kan lebih hemat kalau mereka datang ke sini.”

Luna sudah menduga jawaban itu. Ia mencoba menjelaskan. “Mas, ini acara yang sudah lama direncanakan. Aku juga jarang keluar rumah. Sesekali, nggak apa-apa, kan?”

Ardi menggeleng pelan. “Luna, aku nggak mau kamu buang-buang uang untuk hal yang nggak penting. Kalau memang mau kumpul, kenapa nggak di rumah saja? Lebih murah, dan kamu nggak perlu keluar malam-malam.”

Luna merasakan emosi mulai membara di dadanya. Ia meletakkan sendoknya, menatap Ardi dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Mas, kenapa semuanya harus soal uang? Aku nggak minta banyak. Aku cuma ingin punya waktu untuk diriku sendiri, untuk merasa seperti diriku lagi. Apa itu terlalu sulit?”

Ardi terdiam, tampak terkejut dengan nada suara Luna yang jarang ia dengar. Namun, ia tetap bersikeras. “Aku hanya ingin kita hidup sederhana, Luna. Aku pikir kamu mengerti itu.”

Luna berdiri, merasa tidak sanggup lagi menahan emosinya. “Mas, hidup sederhana itu bukan berarti mengorbankan kebahagiaan. Aku hanya ingin sedikit ruang untuk bernapas, sedikit kebebasan untuk merasa hidup.”

Tanpa menunggu jawaban Ardi, Luna melangkah pergi ke kamar. Air mata mengalir di pipinya, bukan karena marah, tetapi karena kecewa. Ia merasa suaminya tidak pernah benar-benar memahami apa yang ia butuhkan.

Di dalam kamar, Luna duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, pernikahan tidak pernah mudah, tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa cinta saja tidak cukup untuk membuatnya bahagia.

Malam itu, Luna memutuskan untuk tetap pergi ke pertemuan dengan teman-temannya. Ia tahu Ardi mungkin tidak akan setuju, tetapi untuk pertama kalinya, Luna memilih untuk mendengarkan dirinya sendiri.

Dan di dalam hatinya, ia bertanya-tanya: apakah ini awal dari perubahan, ataukah awal dari perpisahan?

Bab terkait

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 2 : Kumpul bersama teman

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan campur aduk. Ia memutuskan untuk tetap pergi ke acara bersama teman-temannya, meski tahu Ardi mungkin akan keberatan. Sambil menyiapkan sarapan, ia mencoba mencari cara untuk membicarakannya lagi tanpa memicu pertengkaran. Ardi muncul di dapur dengan kemeja kerja yang rapi. Ia tampak tenang, seperti biasa, dan Luna merasa sedikit lega karena suasana tidak seburuk yang ia bayangkan setelah percakapan mereka semalam. “Mas, sarapannya sudah siap,” kata Luna sambil meletakkan sepiring nasi goreng di meja. Ardi duduk dan mulai makan tanpa banyak bicara. Luna menunggu beberapa saat sebelum mencoba membuka topik lagi. “Mas, soal acara teman-temanku malam ini... aku tetap mau pergi. Aku butuh waktu untuk bersosialisasi juga,” kata Luna dengan suara lembut, namun tegas. Ardi meletakkan sendoknya, menatap Luna dengan serius. “Luna, aku sudah bilang, kan? Buat apa pergi ke kafe kalau itu hanya menghabiskan uang? Kalau mereka benar-benar temanmu, mereka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 3 : Luka di Balik Cinta

    Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Luna tetap mencoba menjadi istri yang baik, memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, sambil sesekali menyisipkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, takut salah langkah yang bisa memicu pertengkaran dengan Ardi. Pagi itu, Luna sedang membereskan ruang tamu ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rina masuk. “Luna, aku ada kabar baik! Minggu depan kita mau adain reuni kecil-kecilan di villa salah satu teman kita. Kamu harus ikut, ya. Ini bakal seru banget!” Luna membaca pesan itu dengan campuran perasaan. Ia ingin sekali ikut, tapi ia tahu bahwa meminta izin pada Ardi untuk pergi selama akhir pekan akan menjadi tantangan besar. Ketika Ardi pulang malam itu, Luna memutuskan untuk membicarakannya. Ia menyajikan makan malam seperti biasa, berusaha menciptakan suasana yang nyaman sebelum mengutarakan keinginannya. “Mas, aku dapat kabar dari teman-teman. Mereka mau adain reuni kecil

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 4 : Kejolak Hati

    Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan yang campur aduk. Suasana villa yang damai membuatnya merasa nyaman, namun pikirannya terus memikirkan apa yang menunggunya di rumah. Teman-temannya masih tertidur, jadi Luna memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa, menikmati udara pagi yang segar. Saat ia duduk di bawah pohon besar di dekat taman, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ardi masuk. “Luna, kamu sudah bangun? Jangan lupa, jangan terlalu lama di sana. Pulanglah sebelum malam.” Pesan itu membuat Luna merasa seperti sedang diingatkan bahwa kebebasannya hanyalah sementara. Ia membalas pesan itu dengan singkat. “Iya, Mas. Aku nggak akan lama.” Setelah sarapan bersama teman-temannya, Luna membantu membereskan villa. Ia merasa bersyukur memiliki momen ini, meskipun singkat. Sebelum berpisah, Rina mendekatinya. “Luna, aku senang kamu bisa datang. Tapi aku harap ini bukan terakhir kalinya kita kumpul. Kamu harus lebih sering keluar dari rutinitasmu,” kata Rina s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 5 : Awal dari Perubahan

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan yang berbeda. Percakapannya dengan Ardi semalam terus terngiang di pikirannya. Kata-kata suaminya, "Kalau kamu merasa nggak bahagia, aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap di sini," terdengar seperti ancaman sekaligus tantangan. Luna menghela napas panjang. Ia tahu ia harus mulai mengambil langkah untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpedulian suaminya. Hari itu, Luna memutuskan untuk mengunjungi temannya, Rina. Rina adalah salah satu dari sedikit orang yang selalu mendukungnya tanpa syarat. "Rin, aku butuh bantuanmu," kata Luna begitu ia tiba di rumah Rina. Rina yang sedang membuat teh di dapur menoleh dengan wajah khawatir. "Luna, kamu kelihatan capek. Ada apa? Cerita aja." Luna duduk di kursi dapur dan mulai menceritakan semuanya—dari sikap Ardi yang pelit hingga perasaannya yang semakin tertekan. Rina mendengarkan dengan serius, tanpa menyela sedikit pun. "Luna," kata Rina akhirnya, "kamu nggak bis

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 6 : Rahasia yang terungkap

    Kata-kata Ardi membuat Luna terdiam. Ia menatap suaminya dengan rasa kecewa yang sulit disembunyikan. "Mas, ini bukan soal menghormati. Aku tetap istri Mas, aku tetap melakukan tugasku di rumah. Tapi aku juga punya hak untuk berkembang," jawab Luna dengan suara bergetar. Ardi menggeleng pelan. "Aku nggak mau ribut, Luna. Tapi coba pikirkan lagi, apa yang lebih penting: pekerjaanmu atau keharmonisan keluarga kita?" Luna merasa seolah ia ditikam dari belakang. Ia tahu bahwa keharmonisan yang dimaksud Ardi hanyalah tentang memenuhi ekspektasi Bu Ratna, bukan tentang kebahagiaan mereka sebagai pasangan. Hari itu, Luna menjalani aktivitasnya dengan hati yang berat. Kehadiran Bu Ratna di rumah membuatnya merasa seperti berada di bawah pengawasan ketat. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan kecil yang ia buat, selalu dikomentari oleh ibu mertuanya. "Luna, kenapa lampu di ruang tamu masih nyala siang-siang begini? Listrik itu mahal, tahu!" tegur Bu Ratna saat Luna sedang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 7 : Menjemput Harapan Baru

    **** Luna menghabiskan malam itu dengan pikiran yang tidak tenang. Ia duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar laptop. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: Haruskah aku bertahan atau pergi? Keesokan paginya, Luna bangun dengan mata sembab. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari konfrontasi ini lebih lama lagi. Ketika ia keluar dari kamar, Ardi sudah duduk di meja makan bersama Bu Ratna. "Luna, kenapa wajahmu seperti itu? Jangan-jangan kamu habis menangis semalaman? Istri kok lemah begitu," komentar Bu Ratna dengan nada menyindir. Luna tidak menjawab. Ia hanya duduk diam sambil menuangkan teh ke cangkirnya. "Luna," panggil Ardi pelan, mencoba mengajaknya bicara. Namun sebelum Ardi bisa melanjutkan, Luna memotong. "Mas, aku ingin bicara empat mata. Sekarang." Bu Ratna langsung menatap mereka dengan curiga. "Ada apa ini? Kalau ada masalah, aku juga berhak tahu. Aku ibunya Ardi." Luna

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-24
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 8 : Cahaya di Tengah Gelap

    *****Hari-hari Luna kini penuh dengan rutinitas baru. Bangun pagi, menyelesaikan artikel untuk klien, mengirimkan email, dan sesekali berdiskusi dengan editor lewat panggilan video. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritme baru. Namun, di sela-sela kesibukannya, rasa sepi kerap menghampiri.Sore itu, Luna duduk di teras rumah Rina, menatap langit yang mulai memerah. Di tangannya, ada secangkir teh hangat. Rina keluar membawakan sepiring kue."Kamu kelihatan capek, Lu," kata Rina sambil duduk di sampingnya.Luna tersenyum tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku senang. Akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri lagi."Rina mengangguk. "Aku bangga sama kamu. Tapi ingat, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Kamu juga butuh waktu untuk istirahat."Luna menghela napas. "Kadang aku merasa takut, Rin. Takut kalau semua ini nggak cukup. Takut kalau aku nggak bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Ardi."Rina menggenggam tangan Luna. "Kamu sudah melangkah sejauh ini, Lu. Jangan biarkan rasa t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 9 : Jalan Berbeda

    ***** Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Ardi. Usahanya untuk berubah terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Ia mulai menghadiri sesi konseling daring tentang hubungan dan introspeksi diri. Setiap kali ia mendengar cerita orang lain, ia merasa semakin sadar betapa banyak kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Luna. Namun, di tengah usaha itu, rasa ragu terus menghantuinya. Ia bertanya-tanya apakah Luna akan pernah memaafkannya atau bahkan mau memberinya kesempatan kedua. --- Suatu sore, Ardi memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Ia butuh udara segar untuk meredakan pikirannya yang penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan. Saat ia sedang duduk di bangku taman, ia melihat sosok yang familiar. Luna. Luna sedang duduk di bawah pohon besar, membaca buku sambil menikmati angin sore. Ardi merasa jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka akan bertemu Luna di tempat ini. Tanpa berpikir panjang, ia mendekatinya. Namun, langkahnya terhenti beberapa meter sebelum

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26

Bab terbaru

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 11 : Langkah yang semakin jauh

    ******Di sisi lain, Ardi akhirnya memutuskan untuk menghadiri sesi konseling pribadi. Ia merasa bahwa meskipun ia telah banyak berubah, ada banyak hal yang masih belum tuntas dalam dirinya. Ia perlu memahami lebih dalam tentang mengapa ia melakukan kesalahan di masa lalu dan bagaimana cara memperbaiki dirinya.Selama beberapa bulan, Ardi menjalani sesi konseling dan mulai lebih terbuka dengan perasaannya. Ia belajar untuk melepaskan rasa bersalah yang selama ini membebani dirinya dan menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu.Pada suatu sesi, terapisnya berkata, "Ardi, kamu sudah melakukan banyak hal untuk memperbaiki dirimu. Tapi yang paling penting adalah bagaimana kamu menerima dirimu sendiri, dengan segala kesalahan dan kekurangan yang ada. Itu adalah langkah pertama menuju kedamaian."Ardi mulai menyadari bahwa untuk melangkah maju, ia harus berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Ia harus menerima bahwa hidupnya adalah hasil dari pilihan-pilihan yang telah ia buat

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 10 : Langkah yang Berat

    ***** Pagi itu, Luna berdiri di depan apartemennya, koper besar di sisi kanan dan tas ransel di punggungnya. Tak ada keraguan lagi, hari ini ia akan meninggalkan kota yang menyimpan begitu banyak kenangan—baik dan buruk. Rina datang untuk mengantarnya ke stasiun. "Aku bangga sama kamu, Lu. Kamu berani mengambil keputusan besar ini." Luna tersenyum, meski hatinya terasa berat. "Aku cuma berharap aku nggak salah langkah, Rin. Kadang aku masih merasa takut." Rina menggenggam tangan Luna. "Ketakutan itu wajar, tapi kamu sudah memilih jalan yang benar. Kamu nggak lagi terjebak di masa lalu. Ini hidupmu, Luna. Jalani dengan bangga." --- Di perjalanan menuju stasiun, ponsel Luna bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ardi. "Luna, aku dengar kamu mau pindah. Aku nggak tahu apakah aku punya hak untuk bicara, tapi aku cuma mau bilang... aku bangga sama kamu. Aku harap kamu bahagia di sana. Terima kasih sudah jadi bagian penting dalam hidupku." Mata Luna berkaca-kaca membaca pesan itu. Ia tah

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 9 : Jalan Berbeda

    ***** Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Ardi. Usahanya untuk berubah terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Ia mulai menghadiri sesi konseling daring tentang hubungan dan introspeksi diri. Setiap kali ia mendengar cerita orang lain, ia merasa semakin sadar betapa banyak kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Luna. Namun, di tengah usaha itu, rasa ragu terus menghantuinya. Ia bertanya-tanya apakah Luna akan pernah memaafkannya atau bahkan mau memberinya kesempatan kedua. --- Suatu sore, Ardi memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Ia butuh udara segar untuk meredakan pikirannya yang penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan. Saat ia sedang duduk di bangku taman, ia melihat sosok yang familiar. Luna. Luna sedang duduk di bawah pohon besar, membaca buku sambil menikmati angin sore. Ardi merasa jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka akan bertemu Luna di tempat ini. Tanpa berpikir panjang, ia mendekatinya. Namun, langkahnya terhenti beberapa meter sebelum

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 8 : Cahaya di Tengah Gelap

    *****Hari-hari Luna kini penuh dengan rutinitas baru. Bangun pagi, menyelesaikan artikel untuk klien, mengirimkan email, dan sesekali berdiskusi dengan editor lewat panggilan video. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritme baru. Namun, di sela-sela kesibukannya, rasa sepi kerap menghampiri.Sore itu, Luna duduk di teras rumah Rina, menatap langit yang mulai memerah. Di tangannya, ada secangkir teh hangat. Rina keluar membawakan sepiring kue."Kamu kelihatan capek, Lu," kata Rina sambil duduk di sampingnya.Luna tersenyum tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku senang. Akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri lagi."Rina mengangguk. "Aku bangga sama kamu. Tapi ingat, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Kamu juga butuh waktu untuk istirahat."Luna menghela napas. "Kadang aku merasa takut, Rin. Takut kalau semua ini nggak cukup. Takut kalau aku nggak bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Ardi."Rina menggenggam tangan Luna. "Kamu sudah melangkah sejauh ini, Lu. Jangan biarkan rasa t

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 7 : Menjemput Harapan Baru

    **** Luna menghabiskan malam itu dengan pikiran yang tidak tenang. Ia duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar laptop. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: Haruskah aku bertahan atau pergi? Keesokan paginya, Luna bangun dengan mata sembab. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari konfrontasi ini lebih lama lagi. Ketika ia keluar dari kamar, Ardi sudah duduk di meja makan bersama Bu Ratna. "Luna, kenapa wajahmu seperti itu? Jangan-jangan kamu habis menangis semalaman? Istri kok lemah begitu," komentar Bu Ratna dengan nada menyindir. Luna tidak menjawab. Ia hanya duduk diam sambil menuangkan teh ke cangkirnya. "Luna," panggil Ardi pelan, mencoba mengajaknya bicara. Namun sebelum Ardi bisa melanjutkan, Luna memotong. "Mas, aku ingin bicara empat mata. Sekarang." Bu Ratna langsung menatap mereka dengan curiga. "Ada apa ini? Kalau ada masalah, aku juga berhak tahu. Aku ibunya Ardi." Luna

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 6 : Rahasia yang terungkap

    Kata-kata Ardi membuat Luna terdiam. Ia menatap suaminya dengan rasa kecewa yang sulit disembunyikan. "Mas, ini bukan soal menghormati. Aku tetap istri Mas, aku tetap melakukan tugasku di rumah. Tapi aku juga punya hak untuk berkembang," jawab Luna dengan suara bergetar. Ardi menggeleng pelan. "Aku nggak mau ribut, Luna. Tapi coba pikirkan lagi, apa yang lebih penting: pekerjaanmu atau keharmonisan keluarga kita?" Luna merasa seolah ia ditikam dari belakang. Ia tahu bahwa keharmonisan yang dimaksud Ardi hanyalah tentang memenuhi ekspektasi Bu Ratna, bukan tentang kebahagiaan mereka sebagai pasangan. Hari itu, Luna menjalani aktivitasnya dengan hati yang berat. Kehadiran Bu Ratna di rumah membuatnya merasa seperti berada di bawah pengawasan ketat. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan kecil yang ia buat, selalu dikomentari oleh ibu mertuanya. "Luna, kenapa lampu di ruang tamu masih nyala siang-siang begini? Listrik itu mahal, tahu!" tegur Bu Ratna saat Luna sedang

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 5 : Awal dari Perubahan

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan yang berbeda. Percakapannya dengan Ardi semalam terus terngiang di pikirannya. Kata-kata suaminya, "Kalau kamu merasa nggak bahagia, aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap di sini," terdengar seperti ancaman sekaligus tantangan. Luna menghela napas panjang. Ia tahu ia harus mulai mengambil langkah untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpedulian suaminya. Hari itu, Luna memutuskan untuk mengunjungi temannya, Rina. Rina adalah salah satu dari sedikit orang yang selalu mendukungnya tanpa syarat. "Rin, aku butuh bantuanmu," kata Luna begitu ia tiba di rumah Rina. Rina yang sedang membuat teh di dapur menoleh dengan wajah khawatir. "Luna, kamu kelihatan capek. Ada apa? Cerita aja." Luna duduk di kursi dapur dan mulai menceritakan semuanya—dari sikap Ardi yang pelit hingga perasaannya yang semakin tertekan. Rina mendengarkan dengan serius, tanpa menyela sedikit pun. "Luna," kata Rina akhirnya, "kamu nggak bis

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 4 : Kejolak Hati

    Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan yang campur aduk. Suasana villa yang damai membuatnya merasa nyaman, namun pikirannya terus memikirkan apa yang menunggunya di rumah. Teman-temannya masih tertidur, jadi Luna memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa, menikmati udara pagi yang segar. Saat ia duduk di bawah pohon besar di dekat taman, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ardi masuk. “Luna, kamu sudah bangun? Jangan lupa, jangan terlalu lama di sana. Pulanglah sebelum malam.” Pesan itu membuat Luna merasa seperti sedang diingatkan bahwa kebebasannya hanyalah sementara. Ia membalas pesan itu dengan singkat. “Iya, Mas. Aku nggak akan lama.” Setelah sarapan bersama teman-temannya, Luna membantu membereskan villa. Ia merasa bersyukur memiliki momen ini, meskipun singkat. Sebelum berpisah, Rina mendekatinya. “Luna, aku senang kamu bisa datang. Tapi aku harap ini bukan terakhir kalinya kita kumpul. Kamu harus lebih sering keluar dari rutinitasmu,” kata Rina s

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 3 : Luka di Balik Cinta

    Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Luna tetap mencoba menjadi istri yang baik, memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, sambil sesekali menyisipkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, takut salah langkah yang bisa memicu pertengkaran dengan Ardi. Pagi itu, Luna sedang membereskan ruang tamu ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rina masuk. “Luna, aku ada kabar baik! Minggu depan kita mau adain reuni kecil-kecilan di villa salah satu teman kita. Kamu harus ikut, ya. Ini bakal seru banget!” Luna membaca pesan itu dengan campuran perasaan. Ia ingin sekali ikut, tapi ia tahu bahwa meminta izin pada Ardi untuk pergi selama akhir pekan akan menjadi tantangan besar. Ketika Ardi pulang malam itu, Luna memutuskan untuk membicarakannya. Ia menyajikan makan malam seperti biasa, berusaha menciptakan suasana yang nyaman sebelum mengutarakan keinginannya. “Mas, aku dapat kabar dari teman-teman. Mereka mau adain reuni kecil

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status