Bab 2 : Kumpul bersama teman

Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan campur aduk. Ia memutuskan untuk tetap pergi ke acara bersama teman-temannya, meski tahu Ardi mungkin akan keberatan. Sambil menyiapkan sarapan, ia mencoba mencari cara untuk membicarakannya lagi tanpa memicu pertengkaran.

Ardi muncul di dapur dengan kemeja kerja yang rapi. Ia tampak tenang, seperti biasa, dan Luna merasa sedikit lega karena suasana tidak seburuk yang ia bayangkan setelah percakapan mereka semalam.

“Mas, sarapannya sudah siap,” kata Luna sambil meletakkan sepiring nasi goreng di meja.

Ardi duduk dan mulai makan tanpa banyak bicara. Luna menunggu beberapa saat sebelum mencoba membuka topik lagi.

“Mas, soal acara teman-temanku malam ini... aku tetap mau pergi. Aku butuh waktu untuk bersosialisasi juga,” kata Luna dengan suara lembut, namun tegas.

Ardi meletakkan sendoknya, menatap Luna dengan serius. “Luna, aku sudah bilang, kan? Buat apa pergi ke kafe kalau itu hanya menghabiskan uang? Kalau mereka benar-benar temanmu, mereka pasti mau datang ke sini.”

Luna menghela napas panjang. Ia mencoba menahan emosinya agar tidak meledak. “Mas, ini bukan soal uang. Ini soal aku butuh waktu untuk diriku sendiri, untuk merasa normal. Aku nggak selalu bisa mengundang mereka ke rumah. Kadang, aku juga ingin menikmati suasana di luar.”

Ardi terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Kalau memang itu yang kamu mau, ya sudah. Tapi jangan lama-lama, dan jangan terlalu boros, Luna.”

Luna terkejut dengan jawaban Ardi. Ia tidak menyangka suaminya akan setuju, meskipun dengan syarat yang terasa seperti batasan. Namun, ia memilih untuk tidak memperpanjang pembicaraan.

“Terima kasih, Mas. Aku janji nggak akan lama,” jawab Luna dengan senyum kecil.

Hari itu berlalu dengan cepat. Luna merasa sedikit lebih bersemangat saat bersiap-siap untuk acara malam itu. Ia memilih gaun sederhana namun elegan, memastikan tampilannya rapi tanpa terlihat berlebihan.

Ketika malam tiba, Luna berpamitan pada Ardi yang sedang duduk di ruang tamu dengan laptopnya. “Mas, aku berangkat dulu, ya. Aku nggak akan lama.”

Ardi mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Hati-hati di jalan.”

Luna keluar rumah dengan perasaan lega. Udara malam yang sejuk membuatnya merasa lebih bebas, meskipun ia tahu kebebasan ini hanya sementara.

Di kafe, suasana riuh dengan tawa dan percakapan hangat. Luna bertemu dengan teman-teman lamanya, termasuk Rina yang langsung memeluknya begitu ia tiba.

“Luna! Akhirnya kamu datang juga. Aku kira kamu bakal batal lagi,” kata Rina dengan nada bercanda.

Luna tersenyum. “Aku juga kangen, Rin. Maaf ya, belakangan ini aku jarang keluar.”

Mereka menghabiskan malam itu dengan cerita dan tawa, sesuatu yang sudah lama tidak Luna rasakan. Ia merasa seperti dirinya yang dulu—bebas, ceria, dan penuh semangat.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, Luna tidak bisa sepenuhnya menghilangkan bayangan Ardi dari pikirannya. Ia tahu, sesampainya di rumah nanti, ia harus kembali ke realitas yang sering membuatnya merasa terkekang.

Malam itu, saat Luna kembali ke rumah, ia menemukan Ardi sudah tidur di kamar. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap suaminya yang tampak damai dalam tidurnya.

“Mas, aku tahu kamu ingin yang terbaik untuk kita. Tapi aku juga ingin merasa hidup, merasa bahagia,” bisik Luna pelan, meskipun ia tahu Ardi tidak mendengarnya.

Dalam hati, Luna berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mencari cara untuk menjembatani perbedaan di antara mereka. Namun, ia juga sadar bahwa perjalanan itu tidak akan mudah.

Malam itu, Luna tidur dengan pikiran yang penuh, bertanya-tanya apakah ia akan mampu menemukan kebahagiaan tanpa harus kehilangan dirinya sendiri.

Keesokan paginya, Luna bangun lebih awal dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi dengan perasaan lega sekaligus kekhawatiran setelah malam yang menyenangkan bersama teman-temannya. Ia ingin memulai hari dengan suasana yang lebih baik, meskipun ia tahu bahwa percakapannya dengan Ardi semalam mungkin belum benar-benar selesai.

Luna berjalan ke dapur, membuat sarapan seperti biasa. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi rumah saat Ardi muncul dari kamar, wajahnya masih terlihat mengantuk.

“Pagi, Mas,” sapa Luna sambil menyajikan secangkir kopi untuknya.

“Pagi,” jawab Ardi singkat. Ia duduk di meja makan, mengambil koran yang tergeletak di sana, dan mulai membaca tanpa banyak bicara.

Luna memperhatikan Ardi dari sudut matanya. Ia ingin berbicara, tapi ragu apakah ini waktu yang tepat. Setelah beberapa menit hening, akhirnya ia memberanikan diri.

“Mas, aku ingin bilang terima kasih karena sudah mengizinkan aku pergi semalam. Aku merasa lebih baik setelah bertemu teman-temanku,” kata Luna dengan hati-hati.

Ardi meletakkan korannya, menatap Luna dengan ekspresi datar. “Ya, aku lihat kamu pulang tepat waktu. Itu bagus.”

Luna mengangguk, meskipun nada suara Ardi membuatnya merasa bahwa persetujuan itu hanya setengah hati. “Aku harap Mas nggak merasa keberatan. Aku cuma ingin sesekali menikmati waktu di luar rumah.”

Ardi menghela napas, meletakkan cangkir kopinya. “Luna, aku nggak keberatan selama itu masuk akal. Tapi aku tetap berharap kamu bisa lebih bijak. Kita ini harus hidup hemat. Kamu tahu sendiri, aku bekerja keras untuk memastikan masa depan kita aman.”

Kata-kata itu lagi. Luna merasa seperti sedang mendengar rekaman yang terus diulang. Namun, ia menahan diri untuk tidak berdebat.

“Aku ngerti, Mas. Aku juga nggak mau boros. Tapi aku juga butuh sedikit kebebasan, sedikit ruang untuk merasa seperti diriku sendiri,” jawab Luna dengan suara lembut.

Ardi menatap Luna sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, aku akan mencoba lebih memahami. Tapi kamu juga harus ingat, semua yang aku lakukan ini untuk kita.”

Luna tersenyum tipis, meskipun hatinya masih terasa berat. Ia tahu bahwa perubahan tidak akan terjadi dalam semalam, dan ia harus bersabar.

Setelah sarapan, Ardi berangkat ke kantor seperti biasa. Luna, yang bekerja dari rumah sebagai penulis lepas, mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus melayang pada pernikahannya.

Di sela-sela pekerjaannya, Luna menerima pesan dari Rina.

“Luna, aku senang banget kamu datang semalam. Kamu kelihatan lebih bahagia. Semoga kamu bisa sering-sering ikut kumpul lagi.”

Luna membaca pesan itu dengan senyum kecil. Ia merasa dihargai, sesuatu yang jarang ia rasakan belakangan ini.

Namun, senyum itu perlahan memudar saat ia kembali memikirkan Ardi. Luna mencintai suaminya, tapi ia tidak bisa mengabaikan perasaan kosong yang semakin sering menghantuinya.

Di dalam hati, Luna bertanya-tanya: sampai kapan ia bisa bertahan dalam pernikahan yang terasa seperti kurungan? Dan apakah Ardi benar-benar memahami apa yang ia butuhkan untuk merasa bahagia?

Hari itu berlalu dengan cepat, tapi pertanyaan-pertanyaan itu terus mengisi pikiran Luna, seperti badai kecil yang tidak kunjung reda.