Beranda / Rumah Tangga / Suami Tampan Tapi Pelit / Bab 3 : Luka di Balik Cinta

Share

Bab 3 : Luka di Balik Cinta

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-07 03:57:27

Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Luna tetap mencoba menjadi istri yang baik, memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, sambil sesekali menyisipkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, takut salah langkah yang bisa memicu pertengkaran dengan Ardi.

Pagi itu, Luna sedang membereskan ruang tamu ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rina masuk.

“Luna, aku ada kabar baik! Minggu depan kita mau adain reuni kecil-kecilan di villa salah satu teman kita. Kamu harus ikut, ya. Ini bakal seru banget!”

Luna membaca pesan itu dengan campuran perasaan. Ia ingin sekali ikut, tapi ia tahu bahwa meminta izin pada Ardi untuk pergi selama akhir pekan akan menjadi tantangan besar.

Ketika Ardi pulang malam itu, Luna memutuskan untuk membicarakannya. Ia menyajikan makan malam seperti biasa, berusaha menciptakan suasana yang nyaman sebelum mengutarakan keinginannya.

“Mas, aku dapat kabar dari teman-teman. Mereka mau adain reuni kecil di villa minggu depan. Aku ingin ikut, kalau Mas nggak keberatan,” kata Luna hati-hati.

Ardi menghentikan gerakan sendoknya, menatap Luna dengan alis terangkat. “Villa? Berarti kamu harus menginap?”

“Iya, Mas. Cuma semalam. Aku janji nggak akan lama,” jawab Luna dengan nada memohon.

Ardi menghela napas panjang, meletakkan sendoknya. “Luna, aku nggak ngerti kenapa kamu harus ikut acara seperti itu. Bukannya lebih baik kamu di rumah saja? Lagi pula, biaya untuk pergi ke sana pasti nggak sedikit.”

Luna mencoba menahan rasa frustrasinya. “Mas, ini cuma sekali-sekali. Aku butuh waktu untuk bersosialisasi. Aku janji nggak akan boros.”

Namun, Ardi menggeleng. “Aku tetap nggak setuju. Aku nggak mau kamu pergi jauh hanya untuk hal yang menurutku nggak penting.”

Luna merasakan air mata mulai menggenang di matanya. Ia tidak ingin menangis, tapi perasaan kecewa dan tertekan begitu kuat.

“Mas, aku nggak minta banyak. Aku cuma ingin sedikit kebebasan. Apa itu terlalu sulit?” tanyanya, suaranya bergetar.

Ardi menatap Luna dengan ekspresi datar. “Luna, aku hanya ingin yang terbaik untuk kita. Kalau kamu merasa itu terlalu mengekang, aku nggak tahu lagi harus bagaimana.”

Luna terdiam. Ia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat lebih jauh. Dengan hati yang berat, ia mengangguk pelan dan membereskan meja makan tanpa berkata apa-apa lagi.

Malam itu, Luna duduk sendirian di kamar, memandangi ponselnya. Ia ingin membalas pesan Rina dan menjelaskan bahwa ia tidak bisa ikut, tapi jari-jarinya terasa berat untuk mengetik.

Di dalam hatinya, Luna merasa seperti seorang tahanan dalam rumahnya sendiri. Cinta yang dulu begitu ia banggakan kini terasa seperti rantai yang mengikatnya.

Ia memandang ke arah Ardi yang sudah tertidur lelap. Pria itu tampak begitu tenang, seolah tidak ada yang salah. Namun, di balik ketenangan itu, Luna merasa ada jarak yang semakin melebar di antara mereka.

“Mas, apa aku benar-benar bahagia denganmu?” bisik Luna dalam hati.

Malam itu, Luna memutuskan untuk tidak menyerah pada keinginannya. Ia tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk memperjuangkan kebahagiaannya, meskipun itu berarti harus melawan arus.

Dan untuk pertama kalinya, Luna merasa bahwa cinta saja mungkin tidak cukup untuk mempertahankan segalanya.

Hari-hari setelah percakapan itu terasa lebih berat bagi Luna. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan dan rutinitas rumah tangga, tapi rasa kecewa terus menghantuinya. Rina, yang belum menerima balasan pesan, kembali menghubungi Luna.

“Luna, kamu nggak balas pesanku. Jadi ikut atau nggak? Semua teman kita sudah konfirmasi. Kamu harus datang!”

Luna memandangi pesan itu lama, merasa bersalah karena belum memberi jawaban. Akhirnya, ia mengetik balasan dengan hati-hati.

“Rina, aku nggak bisa ikut. Ardi nggak setuju. Maaf ya.”

Pesan itu terkirim, dan Luna merasa seperti menelan pahitnya kenyataan. Tidak butuh waktu lama sebelum Rina membalas.

“Luna, kamu nggak bisa terus-terusan begini. Aku ngerti kamu sayang sama suamimu, tapi kamu juga harus pikirin dirimu sendiri. Kamu bahagia nggak?”

Pertanyaan itu menghantam Luna seperti badai. Bahagia? Ia mencintai Ardi, tapi apakah cinta itu cukup untuk membuatnya bahagia?

Sore itu, saat Ardi pulang dari kantor, Luna mencoba bersikap seperti biasa. Ia menyajikan teh hangat dan makanan ringan untuk suaminya. Namun, di dalam hatinya, ada rasa lelah yang sulit ia sembunyikan.

“Mas, gimana harimu?” tanya Luna, mencoba mencairkan suasana.

“Biasa saja, cukup sibuk,” jawab Ardi singkat sambil membuka laptopnya.

Luna duduk di sofa, memperhatikan Ardi yang tenggelam dalam pekerjaannya. Ia ingin berbicara, ingin mengungkapkan perasaannya, tapi ia takut bahwa percakapan itu hanya akan berakhir dengan kekecewaan lagi.

Namun, malam itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Saat mereka sedang makan malam, Ardi tiba-tiba berkata, “Luna, aku pikir-pikir lagi soal reuni temanmu. Kalau kamu memang mau pergi, aku izinkan.”

Luna terkejut, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Mas, serius?”

Ardi mengangguk. “Iya. Tapi aku punya syarat.”

Luna menahan napas, menunggu Ardi melanjutkan.

“Kamu harus memastikan semuanya hemat. Jangan boros, dan jangan terlalu lama di sana. Aku nggak mau ada pengeluaran yang nggak perlu,” kata Ardi dengan nada tegas.

Luna mengangguk cepat, meskipun hatinya sedikit terganjal dengan syarat itu. “Iya, Mas. Aku janji nggak akan boros.”

Malam itu, Luna mengirim pesan pada Rina, memberitahunya bahwa ia akan ikut. Rina membalas dengan antusias, membuat Luna merasa sedikit lebih ringan.

Namun, meskipun Ardi telah memberikan izin, Luna tidak bisa sepenuhnya merasa lega. Ia tahu bahwa izin itu bukanlah tanda bahwa Ardi mulai memahami kebutuhannya, melainkan sekadar kompromi yang penuh batasan.

Di dalam hatinya, Luna berjanji bahwa reuni ini bukan hanya tentang bersenang-senang, tetapi juga tentang menemukan kembali dirinya yang telah lama hilang.

Malam itu, Luna tidur dengan perasaan campur aduk, antara harapan dan kekhawatiran. Ia tahu bahwa perjalanan menuju kebahagiaan masih panjang, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia telah mengambil langkah kecil ke arah yang benar.

Akhir pekan pun tiba. Luna bangun lebih awal dari biasanya, mempersiapkan segala keperluan untuk perjalanan ke villa. Ia memastikan semua barang yang dibawanya sederhana dan tidak berlebihan, sesuai dengan syarat yang Ardi tetapkan.

Sementara itu, Ardi duduk di ruang tamu dengan wajah yang sulit ditebak. Luna mencoba mencairkan suasana sebelum berpamitan.

“Mas, aku sudah siap. Aku pergi dulu, ya,” katanya sambil tersenyum kecil.

Ardi menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari aku kalau sudah sampai.”

Luna mengangguk, merasa sedikit lega. Ia berharap bahwa perjalanan ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih baik, baik untuk dirinya maupun pernikahannya.

Perjalanan ke villa terasa menyenangkan. Luna menikmati udara segar dan pemandangan hijau di sepanjang jalan, sesuatu yang jarang ia rasakan selama ini. Ketika tiba di villa, ia disambut dengan hangat oleh teman-temannya.

“Luna! Aku nggak percaya kamu akhirnya bisa datang,” seru Rina sambil memeluknya erat.

Luna tersenyum lebar. “Aku juga nggak percaya, Rin. Rasanya seperti mimpi bisa keluar rumah dan menikmati waktu bersama kalian.”

Hari itu diisi dengan tawa, cerita, dan nostalgia. Luna merasa seperti dirinya yang dulu—ceria, bebas, dan penuh semangat. Namun, di tengah kebahagiaan itu, pikirannya sesekali kembali pada Ardi. Ia bertanya-tanya apakah suaminya benar-benar ikhlas mengizinkannya pergi, atau hanya melakukannya untuk menghindari konflik.

Malam harinya, setelah makan malam bersama, Rina menarik Luna ke sudut ruangan untuk berbicara.

“Luna, aku senang banget lihat kamu tersenyum lagi. Tapi aku juga bisa lihat ada sesuatu yang masih mengganjal di hatimu. Kamu mau cerita?” tanya Rina dengan nada lembut.

Luna terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Rin, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku mencintai Ardi, tapi aku merasa terkekang. Dia selalu mengatur segala hal, terutama soal uang. Kadang aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri.”

Rina menggenggam tangan Luna dengan erat. “Luna, kamu harus jujur pada dirimu sendiri. Kalau kamu terus memendam semuanya, kamu yang akan terluka. Pernikahan itu harus saling memahami, bukan hanya satu pihak yang berkorban.”

Kata-kata Rina menusuk hati Luna. Ia tahu sahabatnya itu benar, tapi mengubah keadaan tidak semudah itu.

Malam itu, Luna duduk sendirian di teras villa, memandangi bintang-bintang di langit. Ia merasa tenang, tapi juga penuh keraguan. Apakah Ardi akan pernah benar-benar memahami kebutuhannya? Dan jika tidak, apakah ia harus terus bertahan dalam pernikahan yang membuatnya merasa hampa?

Di kejauhan, suara tawa teman-temannya terdengar, mengingatkannya bahwa ia tidak sendiri. Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa keputusan terbesar dalam hidupnya harus ia ambil sendiri.

Ia menatap langit yang gelap, berharap bahwa di balik kegelapan itu, ada cahaya yang menuntunnya menuju kebahagiaan yang selama ini ia cari.

Bab terkait

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 4 : Kejolak Hati

    Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan yang campur aduk. Suasana villa yang damai membuatnya merasa nyaman, namun pikirannya terus memikirkan apa yang menunggunya di rumah. Teman-temannya masih tertidur, jadi Luna memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa, menikmati udara pagi yang segar. Saat ia duduk di bawah pohon besar di dekat taman, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ardi masuk. “Luna, kamu sudah bangun? Jangan lupa, jangan terlalu lama di sana. Pulanglah sebelum malam.” Pesan itu membuat Luna merasa seperti sedang diingatkan bahwa kebebasannya hanyalah sementara. Ia membalas pesan itu dengan singkat. “Iya, Mas. Aku nggak akan lama.” Setelah sarapan bersama teman-temannya, Luna membantu membereskan villa. Ia merasa bersyukur memiliki momen ini, meskipun singkat. Sebelum berpisah, Rina mendekatinya. “Luna, aku senang kamu bisa datang. Tapi aku harap ini bukan terakhir kalinya kita kumpul. Kamu harus lebih sering keluar dari rutinitasmu,” kata Rina s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 5 : Awal dari Perubahan

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan yang berbeda. Percakapannya dengan Ardi semalam terus terngiang di pikirannya. Kata-kata suaminya, "Kalau kamu merasa nggak bahagia, aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap di sini," terdengar seperti ancaman sekaligus tantangan. Luna menghela napas panjang. Ia tahu ia harus mulai mengambil langkah untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpedulian suaminya. Hari itu, Luna memutuskan untuk mengunjungi temannya, Rina. Rina adalah salah satu dari sedikit orang yang selalu mendukungnya tanpa syarat. "Rin, aku butuh bantuanmu," kata Luna begitu ia tiba di rumah Rina. Rina yang sedang membuat teh di dapur menoleh dengan wajah khawatir. "Luna, kamu kelihatan capek. Ada apa? Cerita aja." Luna duduk di kursi dapur dan mulai menceritakan semuanya—dari sikap Ardi yang pelit hingga perasaannya yang semakin tertekan. Rina mendengarkan dengan serius, tanpa menyela sedikit pun. "Luna," kata Rina akhirnya, "kamu nggak bis

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 6 : Rahasia yang terungkap

    Kata-kata Ardi membuat Luna terdiam. Ia menatap suaminya dengan rasa kecewa yang sulit disembunyikan. "Mas, ini bukan soal menghormati. Aku tetap istri Mas, aku tetap melakukan tugasku di rumah. Tapi aku juga punya hak untuk berkembang," jawab Luna dengan suara bergetar. Ardi menggeleng pelan. "Aku nggak mau ribut, Luna. Tapi coba pikirkan lagi, apa yang lebih penting: pekerjaanmu atau keharmonisan keluarga kita?" Luna merasa seolah ia ditikam dari belakang. Ia tahu bahwa keharmonisan yang dimaksud Ardi hanyalah tentang memenuhi ekspektasi Bu Ratna, bukan tentang kebahagiaan mereka sebagai pasangan. Hari itu, Luna menjalani aktivitasnya dengan hati yang berat. Kehadiran Bu Ratna di rumah membuatnya merasa seperti berada di bawah pengawasan ketat. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan kecil yang ia buat, selalu dikomentari oleh ibu mertuanya. "Luna, kenapa lampu di ruang tamu masih nyala siang-siang begini? Listrik itu mahal, tahu!" tegur Bu Ratna saat Luna sedang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 7 : Menjemput Harapan Baru

    **** Luna menghabiskan malam itu dengan pikiran yang tidak tenang. Ia duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar laptop. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: Haruskah aku bertahan atau pergi? Keesokan paginya, Luna bangun dengan mata sembab. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari konfrontasi ini lebih lama lagi. Ketika ia keluar dari kamar, Ardi sudah duduk di meja makan bersama Bu Ratna. "Luna, kenapa wajahmu seperti itu? Jangan-jangan kamu habis menangis semalaman? Istri kok lemah begitu," komentar Bu Ratna dengan nada menyindir. Luna tidak menjawab. Ia hanya duduk diam sambil menuangkan teh ke cangkirnya. "Luna," panggil Ardi pelan, mencoba mengajaknya bicara. Namun sebelum Ardi bisa melanjutkan, Luna memotong. "Mas, aku ingin bicara empat mata. Sekarang." Bu Ratna langsung menatap mereka dengan curiga. "Ada apa ini? Kalau ada masalah, aku juga berhak tahu. Aku ibunya Ardi." Luna

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-24
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 8 : Cahaya di Tengah Gelap

    *****Hari-hari Luna kini penuh dengan rutinitas baru. Bangun pagi, menyelesaikan artikel untuk klien, mengirimkan email, dan sesekali berdiskusi dengan editor lewat panggilan video. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritme baru. Namun, di sela-sela kesibukannya, rasa sepi kerap menghampiri.Sore itu, Luna duduk di teras rumah Rina, menatap langit yang mulai memerah. Di tangannya, ada secangkir teh hangat. Rina keluar membawakan sepiring kue."Kamu kelihatan capek, Lu," kata Rina sambil duduk di sampingnya.Luna tersenyum tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku senang. Akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri lagi."Rina mengangguk. "Aku bangga sama kamu. Tapi ingat, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Kamu juga butuh waktu untuk istirahat."Luna menghela napas. "Kadang aku merasa takut, Rin. Takut kalau semua ini nggak cukup. Takut kalau aku nggak bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Ardi."Rina menggenggam tangan Luna. "Kamu sudah melangkah sejauh ini, Lu. Jangan biarkan rasa t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 9 : Jalan Berbeda

    ***** Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Ardi. Usahanya untuk berubah terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Ia mulai menghadiri sesi konseling daring tentang hubungan dan introspeksi diri. Setiap kali ia mendengar cerita orang lain, ia merasa semakin sadar betapa banyak kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Luna. Namun, di tengah usaha itu, rasa ragu terus menghantuinya. Ia bertanya-tanya apakah Luna akan pernah memaafkannya atau bahkan mau memberinya kesempatan kedua. --- Suatu sore, Ardi memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Ia butuh udara segar untuk meredakan pikirannya yang penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan. Saat ia sedang duduk di bangku taman, ia melihat sosok yang familiar. Luna. Luna sedang duduk di bawah pohon besar, membaca buku sambil menikmati angin sore. Ardi merasa jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka akan bertemu Luna di tempat ini. Tanpa berpikir panjang, ia mendekatinya. Namun, langkahnya terhenti beberapa meter sebelum

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 10 : Langkah yang Berat

    ***** Pagi itu, Luna berdiri di depan apartemennya, koper besar di sisi kanan dan tas ransel di punggungnya. Tak ada keraguan lagi, hari ini ia akan meninggalkan kota yang menyimpan begitu banyak kenangan—baik dan buruk. Rina datang untuk mengantarnya ke stasiun. "Aku bangga sama kamu, Lu. Kamu berani mengambil keputusan besar ini." Luna tersenyum, meski hatinya terasa berat. "Aku cuma berharap aku nggak salah langkah, Rin. Kadang aku masih merasa takut." Rina menggenggam tangan Luna. "Ketakutan itu wajar, tapi kamu sudah memilih jalan yang benar. Kamu nggak lagi terjebak di masa lalu. Ini hidupmu, Luna. Jalani dengan bangga." --- Di perjalanan menuju stasiun, ponsel Luna bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ardi. "Luna, aku dengar kamu mau pindah. Aku nggak tahu apakah aku punya hak untuk bicara, tapi aku cuma mau bilang... aku bangga sama kamu. Aku harap kamu bahagia di sana. Terima kasih sudah jadi bagian penting dalam hidupku." Mata Luna berkaca-kaca membaca pesan itu. Ia tah

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 1 : Awal yang Manis

    Luna memandangi cermin di kamarnya, memastikan riasannya sempurna sebelum Ardi pulang dari kantor. Ia selalu ingin terlihat cantik di depan suaminya, pria tampan yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan wajah yang seperti aktor film dan sikapnya yang tenang, Ardi adalah impian banyak wanita. Namun, Luna-lah yang berhasil memenangkan hatinya. Mereka menikah dua tahun lalu, dan sejak itu, kehidupan Luna berubah drastis. Ardi adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki segalanya: rumah mewah, mobil mahal, dan karisma yang sulit dilawan. Namun, ada satu hal yang tidak dimiliki Ardi: kelapangan hati untuk berbagi. Luna mulai menyadari sifat pelit suaminya beberapa bulan setelah mereka menikah. Awalnya, ia menganggap itu sebagai kebiasaan Ardi yang hemat dan bijak. Namun, semakin lama, kebiasaan itu berubah menjadi sesuatu yang membuat Luna merasa terkungkung. Hari ini, Luna memutuskan untuk mencoba berbicara dengan Ardi tentang perasaannya. Ia ingin membahas sesuatu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07

Bab terbaru

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 10 : Langkah yang Berat

    ***** Pagi itu, Luna berdiri di depan apartemennya, koper besar di sisi kanan dan tas ransel di punggungnya. Tak ada keraguan lagi, hari ini ia akan meninggalkan kota yang menyimpan begitu banyak kenangan—baik dan buruk. Rina datang untuk mengantarnya ke stasiun. "Aku bangga sama kamu, Lu. Kamu berani mengambil keputusan besar ini." Luna tersenyum, meski hatinya terasa berat. "Aku cuma berharap aku nggak salah langkah, Rin. Kadang aku masih merasa takut." Rina menggenggam tangan Luna. "Ketakutan itu wajar, tapi kamu sudah memilih jalan yang benar. Kamu nggak lagi terjebak di masa lalu. Ini hidupmu, Luna. Jalani dengan bangga." --- Di perjalanan menuju stasiun, ponsel Luna bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ardi. "Luna, aku dengar kamu mau pindah. Aku nggak tahu apakah aku punya hak untuk bicara, tapi aku cuma mau bilang... aku bangga sama kamu. Aku harap kamu bahagia di sana. Terima kasih sudah jadi bagian penting dalam hidupku." Mata Luna berkaca-kaca membaca pesan itu. Ia tah

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 9 : Jalan Berbeda

    ***** Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Ardi. Usahanya untuk berubah terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Ia mulai menghadiri sesi konseling daring tentang hubungan dan introspeksi diri. Setiap kali ia mendengar cerita orang lain, ia merasa semakin sadar betapa banyak kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Luna. Namun, di tengah usaha itu, rasa ragu terus menghantuinya. Ia bertanya-tanya apakah Luna akan pernah memaafkannya atau bahkan mau memberinya kesempatan kedua. --- Suatu sore, Ardi memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Ia butuh udara segar untuk meredakan pikirannya yang penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan. Saat ia sedang duduk di bangku taman, ia melihat sosok yang familiar. Luna. Luna sedang duduk di bawah pohon besar, membaca buku sambil menikmati angin sore. Ardi merasa jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka akan bertemu Luna di tempat ini. Tanpa berpikir panjang, ia mendekatinya. Namun, langkahnya terhenti beberapa meter sebelum

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 8 : Cahaya di Tengah Gelap

    *****Hari-hari Luna kini penuh dengan rutinitas baru. Bangun pagi, menyelesaikan artikel untuk klien, mengirimkan email, dan sesekali berdiskusi dengan editor lewat panggilan video. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritme baru. Namun, di sela-sela kesibukannya, rasa sepi kerap menghampiri.Sore itu, Luna duduk di teras rumah Rina, menatap langit yang mulai memerah. Di tangannya, ada secangkir teh hangat. Rina keluar membawakan sepiring kue."Kamu kelihatan capek, Lu," kata Rina sambil duduk di sampingnya.Luna tersenyum tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku senang. Akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri lagi."Rina mengangguk. "Aku bangga sama kamu. Tapi ingat, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Kamu juga butuh waktu untuk istirahat."Luna menghela napas. "Kadang aku merasa takut, Rin. Takut kalau semua ini nggak cukup. Takut kalau aku nggak bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Ardi."Rina menggenggam tangan Luna. "Kamu sudah melangkah sejauh ini, Lu. Jangan biarkan rasa t

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 7 : Menjemput Harapan Baru

    **** Luna menghabiskan malam itu dengan pikiran yang tidak tenang. Ia duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar laptop. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: Haruskah aku bertahan atau pergi? Keesokan paginya, Luna bangun dengan mata sembab. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari konfrontasi ini lebih lama lagi. Ketika ia keluar dari kamar, Ardi sudah duduk di meja makan bersama Bu Ratna. "Luna, kenapa wajahmu seperti itu? Jangan-jangan kamu habis menangis semalaman? Istri kok lemah begitu," komentar Bu Ratna dengan nada menyindir. Luna tidak menjawab. Ia hanya duduk diam sambil menuangkan teh ke cangkirnya. "Luna," panggil Ardi pelan, mencoba mengajaknya bicara. Namun sebelum Ardi bisa melanjutkan, Luna memotong. "Mas, aku ingin bicara empat mata. Sekarang." Bu Ratna langsung menatap mereka dengan curiga. "Ada apa ini? Kalau ada masalah, aku juga berhak tahu. Aku ibunya Ardi." Luna

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 6 : Rahasia yang terungkap

    Kata-kata Ardi membuat Luna terdiam. Ia menatap suaminya dengan rasa kecewa yang sulit disembunyikan. "Mas, ini bukan soal menghormati. Aku tetap istri Mas, aku tetap melakukan tugasku di rumah. Tapi aku juga punya hak untuk berkembang," jawab Luna dengan suara bergetar. Ardi menggeleng pelan. "Aku nggak mau ribut, Luna. Tapi coba pikirkan lagi, apa yang lebih penting: pekerjaanmu atau keharmonisan keluarga kita?" Luna merasa seolah ia ditikam dari belakang. Ia tahu bahwa keharmonisan yang dimaksud Ardi hanyalah tentang memenuhi ekspektasi Bu Ratna, bukan tentang kebahagiaan mereka sebagai pasangan. Hari itu, Luna menjalani aktivitasnya dengan hati yang berat. Kehadiran Bu Ratna di rumah membuatnya merasa seperti berada di bawah pengawasan ketat. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan kecil yang ia buat, selalu dikomentari oleh ibu mertuanya. "Luna, kenapa lampu di ruang tamu masih nyala siang-siang begini? Listrik itu mahal, tahu!" tegur Bu Ratna saat Luna sedang

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 5 : Awal dari Perubahan

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan yang berbeda. Percakapannya dengan Ardi semalam terus terngiang di pikirannya. Kata-kata suaminya, "Kalau kamu merasa nggak bahagia, aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap di sini," terdengar seperti ancaman sekaligus tantangan. Luna menghela napas panjang. Ia tahu ia harus mulai mengambil langkah untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpedulian suaminya. Hari itu, Luna memutuskan untuk mengunjungi temannya, Rina. Rina adalah salah satu dari sedikit orang yang selalu mendukungnya tanpa syarat. "Rin, aku butuh bantuanmu," kata Luna begitu ia tiba di rumah Rina. Rina yang sedang membuat teh di dapur menoleh dengan wajah khawatir. "Luna, kamu kelihatan capek. Ada apa? Cerita aja." Luna duduk di kursi dapur dan mulai menceritakan semuanya—dari sikap Ardi yang pelit hingga perasaannya yang semakin tertekan. Rina mendengarkan dengan serius, tanpa menyela sedikit pun. "Luna," kata Rina akhirnya, "kamu nggak bis

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 4 : Kejolak Hati

    Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan yang campur aduk. Suasana villa yang damai membuatnya merasa nyaman, namun pikirannya terus memikirkan apa yang menunggunya di rumah. Teman-temannya masih tertidur, jadi Luna memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa, menikmati udara pagi yang segar. Saat ia duduk di bawah pohon besar di dekat taman, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ardi masuk. “Luna, kamu sudah bangun? Jangan lupa, jangan terlalu lama di sana. Pulanglah sebelum malam.” Pesan itu membuat Luna merasa seperti sedang diingatkan bahwa kebebasannya hanyalah sementara. Ia membalas pesan itu dengan singkat. “Iya, Mas. Aku nggak akan lama.” Setelah sarapan bersama teman-temannya, Luna membantu membereskan villa. Ia merasa bersyukur memiliki momen ini, meskipun singkat. Sebelum berpisah, Rina mendekatinya. “Luna, aku senang kamu bisa datang. Tapi aku harap ini bukan terakhir kalinya kita kumpul. Kamu harus lebih sering keluar dari rutinitasmu,” kata Rina s

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 3 : Luka di Balik Cinta

    Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Luna tetap mencoba menjadi istri yang baik, memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, sambil sesekali menyisipkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, takut salah langkah yang bisa memicu pertengkaran dengan Ardi. Pagi itu, Luna sedang membereskan ruang tamu ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rina masuk. “Luna, aku ada kabar baik! Minggu depan kita mau adain reuni kecil-kecilan di villa salah satu teman kita. Kamu harus ikut, ya. Ini bakal seru banget!” Luna membaca pesan itu dengan campuran perasaan. Ia ingin sekali ikut, tapi ia tahu bahwa meminta izin pada Ardi untuk pergi selama akhir pekan akan menjadi tantangan besar. Ketika Ardi pulang malam itu, Luna memutuskan untuk membicarakannya. Ia menyajikan makan malam seperti biasa, berusaha menciptakan suasana yang nyaman sebelum mengutarakan keinginannya. “Mas, aku dapat kabar dari teman-teman. Mereka mau adain reuni kecil

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 2 : Kumpul bersama teman

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan campur aduk. Ia memutuskan untuk tetap pergi ke acara bersama teman-temannya, meski tahu Ardi mungkin akan keberatan. Sambil menyiapkan sarapan, ia mencoba mencari cara untuk membicarakannya lagi tanpa memicu pertengkaran. Ardi muncul di dapur dengan kemeja kerja yang rapi. Ia tampak tenang, seperti biasa, dan Luna merasa sedikit lega karena suasana tidak seburuk yang ia bayangkan setelah percakapan mereka semalam. “Mas, sarapannya sudah siap,” kata Luna sambil meletakkan sepiring nasi goreng di meja. Ardi duduk dan mulai makan tanpa banyak bicara. Luna menunggu beberapa saat sebelum mencoba membuka topik lagi. “Mas, soal acara teman-temanku malam ini... aku tetap mau pergi. Aku butuh waktu untuk bersosialisasi juga,” kata Luna dengan suara lembut, namun tegas. Ardi meletakkan sendoknya, menatap Luna dengan serius. “Luna, aku sudah bilang, kan? Buat apa pergi ke kafe kalau itu hanya menghabiskan uang? Kalau mereka benar-benar temanmu, mereka

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status