Share

Bab 4 : Kejolak Hati

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-07 04:05:38

Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan yang campur aduk. Suasana villa yang damai membuatnya merasa nyaman, namun pikirannya terus memikirkan apa yang menunggunya di rumah. Teman-temannya masih tertidur, jadi Luna memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa, menikmati udara pagi yang segar.

Saat ia duduk di bawah pohon besar di dekat taman, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ardi masuk.

“Luna, kamu sudah bangun? Jangan lupa, jangan terlalu lama di sana. Pulanglah sebelum malam.”

Pesan itu membuat Luna merasa seperti sedang diingatkan bahwa kebebasannya hanyalah sementara. Ia membalas pesan itu dengan singkat.

“Iya, Mas. Aku nggak akan lama.”

Setelah sarapan bersama teman-temannya, Luna membantu membereskan villa. Ia merasa bersyukur memiliki momen ini, meskipun singkat. Sebelum berpisah, Rina mendekatinya.

“Luna, aku senang kamu bisa datang. Tapi aku harap ini bukan terakhir kalinya kita kumpul. Kamu harus lebih sering keluar dari rutinitasmu,” kata Rina sambil memeluknya.

Luna tersenyum, meskipun hatinya berat. “Aku akan coba, Rin. Terima kasih sudah selalu ada untukku.”

Perjalanan pulang terasa lebih sunyi bagi Luna. Ia memikirkan percakapan dengan Rina, tentang bagaimana ia harus mulai memikirkan dirinya sendiri. Tapi bagaimana caranya?

Ketika ia tiba di rumah, Ardi sudah menunggunya di ruang tamu. Luna mencoba tersenyum dan menyapanya.

“Mas, aku sudah pulang,” katanya pelan.

Ardi menatapnya dari atas ke bawah, seolah memeriksa apakah Luna benar-benar menepati janjinya. “Kamu nggak bawa apa-apa dari sana, kan?” tanyanya.

Luna mengerutkan kening. “Nggak, Mas. Aku cuma pergi untuk bersenang-senang, bukan belanja.”

Ardi mengangguk pelan, lalu kembali fokus pada laptopnya. “Bagus kalau begitu. Aku harap kamu ingat, Luna, hidup kita ini harus hemat. Jangan sampai kebiasaan seperti ini jadi sering.”

Kata-kata itu menghantam Luna seperti tamparan. Ia merasa seolah kebahagiaannya adalah sebuah kesalahan.

Malam itu, saat mereka berdua duduk di meja makan, Luna mencoba membuka percakapan.

“Mas, apa Mas pernah merasa bahagia dengan hidup kita sekarang?” tanyanya hati-hati.

Ardi mengerutkan dahi. “Apa maksudmu? Tentu saja aku bahagia. Aku punya pekerjaan yang stabil, istri yang baik, dan masa depan yang terjamin.”

“Tapi Mas, apa itu cukup? Apa Mas nggak merasa ada yang kurang?” tanya Luna lagi, suaranya bergetar.

Ardi terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Luna, aku nggak tahu apa yang kamu maksud. Tapi kalau kamu merasa ada yang kurang, mungkin kamu perlu melihat lagi apa yang sudah kita miliki. Jangan terlalu banyak menuntut.”

Luna terdiam. Ia merasa tidak didengar, tidak dipahami.

Malam itu, ia duduk di kamar sendirian, merenungkan kata-kata Ardi. Ia mencintai suaminya, tapi ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Ia butuh lebih dari sekadar stabilitas—ia butuh kebahagiaan, kebebasan, dan pengakuan atas dirinya sebagai individu.

Di dalam hati, Luna tahu bahwa ia harus membuat keputusan besar. Tapi ia juga tahu bahwa keputusan itu akan mengubah segalanya.

Malam semakin larut, tetapi Luna tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus berputar-putar, memikirkan percakapannya dengan Ardi. Kata-kata suaminya tadi begitu dingin, seolah perasaan Luna tidak penting.

Luna menghela napas panjang. Ia mengambil buku catatannya yang sudah lama tidak ia sentuh. Buku itu biasanya menjadi tempat ia menuangkan segala keresahan hatinya. Dengan pena di tangan, ia mulai menulis:

“Aku mencintainya, tapi aku merasa terkekang. Aku ingin bebas, tapi aku takut melukainya. Apakah ini yang disebut cinta? Atau hanya sebuah kewajiban yang harus aku jalani?”

Air mata mengalir perlahan di pipinya. Ia menyeka matanya dengan cepat, tidak ingin tenggelam dalam kesedihan. Ia tahu, menangis tidak akan menyelesaikan apa pun.

Keesokan paginya, Luna bangun lebih awal dari biasanya. Ia menyiapkan sarapan seperti biasa, berharap suasana pagi ini lebih baik. Namun, saat Ardi duduk di meja makan, ia langsung membuka pembicaraan yang membuat hati Luna kembali berat.

“Luna, aku lihat laporan keuangan kita bulan ini. Kamu harus lebih hati-hati dengan pengeluaran. Aku nggak mau ada yang sia-sia,” kata Ardi tanpa basa-basi.

Luna menatap suaminya dengan hati-hati. “Mas, aku nggak merasa sudah boros. Aku selalu berusaha hemat.”

Ardi meletakkan sendoknya dan menatap Luna tajam. “Tapi kamu pergi ke villa itu, kan? Itu sudah cukup membuang-buang uang.”

Luna menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi. “Mas, aku hanya pergi sekali, dan itu pun aku sudah sangat berhati-hati. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri.”

Ardi menghela napas panjang. “Luna, kamu nggak mengerti. Kita harus fokus pada masa depan. Aku nggak mau nanti kita menyesal karena nggak cukup hemat sekarang.”

Luna merasa dadanya sesak. “Mas, apa Mas nggak pernah berpikir bahwa aku juga punya kebutuhan? Aku nggak cuma istri yang mengurus rumah dan keuangan. Aku juga manusia yang butuh merasa dihargai dan bahagia.”

Ardi terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada datar, “Luna, aku nggak tahu apa lagi yang kamu inginkan. Kalau kamu merasa aku nggak cukup baik, mungkin kamu yang harus belajar bersyukur.”

Kata-kata itu menusuk hati Luna seperti belati. Ia merasa tidak dihargai, seolah-olah semua yang ia lakukan selama ini tidak berarti apa-apa.

Setelah sarapan, Ardi pergi ke kantor tanpa banyak bicara. Luna duduk di ruang tamu, memandangi meja makan yang kosong. Air matanya kembali mengalir.

Dalam hati, Luna tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Ia mencintai Ardi, tapi cinta itu semakin terasa seperti beban daripada kebahagiaan.

Hari itu, Luna mengambil keputusan. Ia akan mencari cara untuk membangun kembali dirinya, untuk menemukan kebahagiaan yang telah lama hilang. Ia tahu ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang suaminya.

Luna menatap dirinya di cermin. Ia berbisik pelan, “Aku harus berubah. Demi diriku sendiri.”

Hari-hari setelah percakapan itu terasa semakin berat bagi Luna. Ia mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah, tetapi perasaan hampa tetap menghantui. Setiap kali ia mencoba berbicara dengan Ardi tentang perasaannya, suaminya selalu menutup pembicaraan dengan alasan sibuk atau tidak penting.

Suatu sore, Luna memutuskan untuk mengunjungi ibunya. Ia merasa butuh tempat untuk berbagi cerita, tempat di mana ia bisa merasa dimengerti.

"Ibu, aku nggak tahu harus gimana lagi," kata Luna setelah menceritakan semuanya. "Aku mencintai Ardi, tapi aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri. Dia selalu mengatur semuanya, bahkan hal-hal kecil sekalipun."

Ibunya menatap Luna dengan penuh kasih. "Nak, pernikahan itu memang penuh tantangan. Tapi kamu harus ingat, pernikahan bukan berarti kamu harus kehilangan dirimu. Kalau kamu merasa tidak bahagia, kamu harus bicarakan itu dengan suamimu. Jangan hanya diam dan memendam."

"Aku sudah mencoba, Bu," jawab Luna dengan suara bergetar. "Tapi setiap kali aku bicara, dia selalu merasa aku yang salah. Seolah-olah semua ini hanya tentang aku yang kurang bersyukur."

Ibunya menggenggam tangan Luna dengan erat. "Kamu adalah anak yang kuat, Luna. Kalau kamu merasa Ardi tidak mendengarkan, mungkin kamu harus menunjukkan bahwa kamu serius. Kadang, tindakan lebih kuat daripada kata-kata."

Kata-kata ibunya itu terus terngiang di kepala Luna saat ia pulang ke rumah. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus membiarkan dirinya terjebak dalam situasi ini. Ia harus melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan, meskipun itu berarti mengambil risiko besar.

Malam itu, setelah Ardi pulang kerja, Luna memutuskan untuk berbicara lagi dengannya.

"Mas, aku ingin kita bicara serius," katanya dengan nada tegas.

Ardi, yang sedang membuka laptopnya, mengangkat alis. "Bicara apa lagi, Luna? Aku capek habis kerja."

"Mas, ini penting," kata Luna, menahan emosinya. "Aku nggak bisa terus hidup seperti ini. Aku merasa kita semakin jauh. Aku butuh lebih dari sekadar stabilitas finansial. Aku butuh kebahagiaan, dan aku butuh Mas untuk mendengarkan aku."

Ardi menutup laptopnya perlahan, menatap Luna dengan ekspresi datar. "Kamu selalu bilang butuh ini, butuh itu. Tapi apa kamu pernah pikirkan apa yang aku butuhkan? Aku bekerja keras setiap hari untuk kita. Apa itu nggak cukup?"

Luna menggeleng, air mata mulai mengalir di pipinya. "Mas, aku menghargai semua yang Mas lakukan. Tapi apa artinya semua itu kalau aku merasa sendirian dalam pernikahan ini? Aku nggak minta banyak, Mas. Aku hanya ingin merasa dihargai dan didengar."

Ardi terdiam, wajahnya terlihat tegang. "Luna, aku nggak tahu apa yang kamu mau. Kalau kamu merasa nggak bahagia, aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap di sini."

Kata-kata itu membuat hati Luna terasa hancur. Ia tidak pernah membayangkan bahwa Ardi akan mengatakan sesuatu seperti itu.

Malam itu, Luna tidur dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa percakapan ini mungkin awal dari perubahan besar dalam hidupnya. Tapi ia juga tahu bahwa perubahan itu tidak akan mudah.

Di dalam hati, Luna berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan memperjuangkan kebahagiaannya, apa pun yang terjadi. Karena ia sadar, kebahagiaan adalah haknya, dan ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang rasa takut dan ketidakpastian.

Bab terkait

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 5 : Awal dari Perubahan

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan yang berbeda. Percakapannya dengan Ardi semalam terus terngiang di pikirannya. Kata-kata suaminya, "Kalau kamu merasa nggak bahagia, aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap di sini," terdengar seperti ancaman sekaligus tantangan. Luna menghela napas panjang. Ia tahu ia harus mulai mengambil langkah untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpedulian suaminya. Hari itu, Luna memutuskan untuk mengunjungi temannya, Rina. Rina adalah salah satu dari sedikit orang yang selalu mendukungnya tanpa syarat. "Rin, aku butuh bantuanmu," kata Luna begitu ia tiba di rumah Rina. Rina yang sedang membuat teh di dapur menoleh dengan wajah khawatir. "Luna, kamu kelihatan capek. Ada apa? Cerita aja." Luna duduk di kursi dapur dan mulai menceritakan semuanya—dari sikap Ardi yang pelit hingga perasaannya yang semakin tertekan. Rina mendengarkan dengan serius, tanpa menyela sedikit pun. "Luna," kata Rina akhirnya, "kamu nggak bis

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 6 : Rahasia yang terungkap

    Kata-kata Ardi membuat Luna terdiam. Ia menatap suaminya dengan rasa kecewa yang sulit disembunyikan. "Mas, ini bukan soal menghormati. Aku tetap istri Mas, aku tetap melakukan tugasku di rumah. Tapi aku juga punya hak untuk berkembang," jawab Luna dengan suara bergetar. Ardi menggeleng pelan. "Aku nggak mau ribut, Luna. Tapi coba pikirkan lagi, apa yang lebih penting: pekerjaanmu atau keharmonisan keluarga kita?" Luna merasa seolah ia ditikam dari belakang. Ia tahu bahwa keharmonisan yang dimaksud Ardi hanyalah tentang memenuhi ekspektasi Bu Ratna, bukan tentang kebahagiaan mereka sebagai pasangan. Hari itu, Luna menjalani aktivitasnya dengan hati yang berat. Kehadiran Bu Ratna di rumah membuatnya merasa seperti berada di bawah pengawasan ketat. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan kecil yang ia buat, selalu dikomentari oleh ibu mertuanya. "Luna, kenapa lampu di ruang tamu masih nyala siang-siang begini? Listrik itu mahal, tahu!" tegur Bu Ratna saat Luna sedang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 7 : Menjemput Harapan Baru

    **** Luna menghabiskan malam itu dengan pikiran yang tidak tenang. Ia duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar laptop. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: Haruskah aku bertahan atau pergi? Keesokan paginya, Luna bangun dengan mata sembab. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari konfrontasi ini lebih lama lagi. Ketika ia keluar dari kamar, Ardi sudah duduk di meja makan bersama Bu Ratna. "Luna, kenapa wajahmu seperti itu? Jangan-jangan kamu habis menangis semalaman? Istri kok lemah begitu," komentar Bu Ratna dengan nada menyindir. Luna tidak menjawab. Ia hanya duduk diam sambil menuangkan teh ke cangkirnya. "Luna," panggil Ardi pelan, mencoba mengajaknya bicara. Namun sebelum Ardi bisa melanjutkan, Luna memotong. "Mas, aku ingin bicara empat mata. Sekarang." Bu Ratna langsung menatap mereka dengan curiga. "Ada apa ini? Kalau ada masalah, aku juga berhak tahu. Aku ibunya Ardi." Luna

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-24
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 8 : Cahaya di Tengah Gelap

    *****Hari-hari Luna kini penuh dengan rutinitas baru. Bangun pagi, menyelesaikan artikel untuk klien, mengirimkan email, dan sesekali berdiskusi dengan editor lewat panggilan video. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritme baru. Namun, di sela-sela kesibukannya, rasa sepi kerap menghampiri.Sore itu, Luna duduk di teras rumah Rina, menatap langit yang mulai memerah. Di tangannya, ada secangkir teh hangat. Rina keluar membawakan sepiring kue."Kamu kelihatan capek, Lu," kata Rina sambil duduk di sampingnya.Luna tersenyum tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku senang. Akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri lagi."Rina mengangguk. "Aku bangga sama kamu. Tapi ingat, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Kamu juga butuh waktu untuk istirahat."Luna menghela napas. "Kadang aku merasa takut, Rin. Takut kalau semua ini nggak cukup. Takut kalau aku nggak bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Ardi."Rina menggenggam tangan Luna. "Kamu sudah melangkah sejauh ini, Lu. Jangan biarkan rasa t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 9 : Jalan Berbeda

    ***** Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Ardi. Usahanya untuk berubah terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Ia mulai menghadiri sesi konseling daring tentang hubungan dan introspeksi diri. Setiap kali ia mendengar cerita orang lain, ia merasa semakin sadar betapa banyak kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Luna. Namun, di tengah usaha itu, rasa ragu terus menghantuinya. Ia bertanya-tanya apakah Luna akan pernah memaafkannya atau bahkan mau memberinya kesempatan kedua. --- Suatu sore, Ardi memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Ia butuh udara segar untuk meredakan pikirannya yang penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan. Saat ia sedang duduk di bangku taman, ia melihat sosok yang familiar. Luna. Luna sedang duduk di bawah pohon besar, membaca buku sambil menikmati angin sore. Ardi merasa jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka akan bertemu Luna di tempat ini. Tanpa berpikir panjang, ia mendekatinya. Namun, langkahnya terhenti beberapa meter sebelum

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 10 : Langkah yang Berat

    ***** Pagi itu, Luna berdiri di depan apartemennya, koper besar di sisi kanan dan tas ransel di punggungnya. Tak ada keraguan lagi, hari ini ia akan meninggalkan kota yang menyimpan begitu banyak kenangan—baik dan buruk. Rina datang untuk mengantarnya ke stasiun. "Aku bangga sama kamu, Lu. Kamu berani mengambil keputusan besar ini." Luna tersenyum, meski hatinya terasa berat. "Aku cuma berharap aku nggak salah langkah, Rin. Kadang aku masih merasa takut." Rina menggenggam tangan Luna. "Ketakutan itu wajar, tapi kamu sudah memilih jalan yang benar. Kamu nggak lagi terjebak di masa lalu. Ini hidupmu, Luna. Jalani dengan bangga." --- Di perjalanan menuju stasiun, ponsel Luna bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ardi. "Luna, aku dengar kamu mau pindah. Aku nggak tahu apakah aku punya hak untuk bicara, tapi aku cuma mau bilang... aku bangga sama kamu. Aku harap kamu bahagia di sana. Terima kasih sudah jadi bagian penting dalam hidupku." Mata Luna berkaca-kaca membaca pesan itu. Ia tah

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 11 : Langkah yang semakin jauh

    ******Di sisi lain, Ardi akhirnya memutuskan untuk menghadiri sesi konseling pribadi. Ia merasa bahwa meskipun ia telah banyak berubah, ada banyak hal yang masih belum tuntas dalam dirinya. Ia perlu memahami lebih dalam tentang mengapa ia melakukan kesalahan di masa lalu dan bagaimana cara memperbaiki dirinya.Selama beberapa bulan, Ardi menjalani sesi konseling dan mulai lebih terbuka dengan perasaannya. Ia belajar untuk melepaskan rasa bersalah yang selama ini membebani dirinya dan menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu.Pada suatu sesi, terapisnya berkata, "Ardi, kamu sudah melakukan banyak hal untuk memperbaiki dirimu. Tapi yang paling penting adalah bagaimana kamu menerima dirimu sendiri, dengan segala kesalahan dan kekurangan yang ada. Itu adalah langkah pertama menuju kedamaian."Ardi mulai menyadari bahwa untuk melangkah maju, ia harus berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Ia harus menerima bahwa hidupnya adalah hasil dari pilihan-pilihan yang telah ia buat

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 1 : Awal yang Manis

    Luna memandangi cermin di kamarnya, memastikan riasannya sempurna sebelum Ardi pulang dari kantor. Ia selalu ingin terlihat cantik di depan suaminya, pria tampan yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan wajah yang seperti aktor film dan sikapnya yang tenang, Ardi adalah impian banyak wanita. Namun, Luna-lah yang berhasil memenangkan hatinya. Mereka menikah dua tahun lalu, dan sejak itu, kehidupan Luna berubah drastis. Ardi adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki segalanya: rumah mewah, mobil mahal, dan karisma yang sulit dilawan. Namun, ada satu hal yang tidak dimiliki Ardi: kelapangan hati untuk berbagi. Luna mulai menyadari sifat pelit suaminya beberapa bulan setelah mereka menikah. Awalnya, ia menganggap itu sebagai kebiasaan Ardi yang hemat dan bijak. Namun, semakin lama, kebiasaan itu berubah menjadi sesuatu yang membuat Luna merasa terkungkung. Hari ini, Luna memutuskan untuk mencoba berbicara dengan Ardi tentang perasaannya. Ia ingin membahas sesuatu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07

Bab terbaru

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 11 : Langkah yang semakin jauh

    ******Di sisi lain, Ardi akhirnya memutuskan untuk menghadiri sesi konseling pribadi. Ia merasa bahwa meskipun ia telah banyak berubah, ada banyak hal yang masih belum tuntas dalam dirinya. Ia perlu memahami lebih dalam tentang mengapa ia melakukan kesalahan di masa lalu dan bagaimana cara memperbaiki dirinya.Selama beberapa bulan, Ardi menjalani sesi konseling dan mulai lebih terbuka dengan perasaannya. Ia belajar untuk melepaskan rasa bersalah yang selama ini membebani dirinya dan menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu.Pada suatu sesi, terapisnya berkata, "Ardi, kamu sudah melakukan banyak hal untuk memperbaiki dirimu. Tapi yang paling penting adalah bagaimana kamu menerima dirimu sendiri, dengan segala kesalahan dan kekurangan yang ada. Itu adalah langkah pertama menuju kedamaian."Ardi mulai menyadari bahwa untuk melangkah maju, ia harus berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Ia harus menerima bahwa hidupnya adalah hasil dari pilihan-pilihan yang telah ia buat

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 10 : Langkah yang Berat

    ***** Pagi itu, Luna berdiri di depan apartemennya, koper besar di sisi kanan dan tas ransel di punggungnya. Tak ada keraguan lagi, hari ini ia akan meninggalkan kota yang menyimpan begitu banyak kenangan—baik dan buruk. Rina datang untuk mengantarnya ke stasiun. "Aku bangga sama kamu, Lu. Kamu berani mengambil keputusan besar ini." Luna tersenyum, meski hatinya terasa berat. "Aku cuma berharap aku nggak salah langkah, Rin. Kadang aku masih merasa takut." Rina menggenggam tangan Luna. "Ketakutan itu wajar, tapi kamu sudah memilih jalan yang benar. Kamu nggak lagi terjebak di masa lalu. Ini hidupmu, Luna. Jalani dengan bangga." --- Di perjalanan menuju stasiun, ponsel Luna bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ardi. "Luna, aku dengar kamu mau pindah. Aku nggak tahu apakah aku punya hak untuk bicara, tapi aku cuma mau bilang... aku bangga sama kamu. Aku harap kamu bahagia di sana. Terima kasih sudah jadi bagian penting dalam hidupku." Mata Luna berkaca-kaca membaca pesan itu. Ia tah

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 9 : Jalan Berbeda

    ***** Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Ardi. Usahanya untuk berubah terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Ia mulai menghadiri sesi konseling daring tentang hubungan dan introspeksi diri. Setiap kali ia mendengar cerita orang lain, ia merasa semakin sadar betapa banyak kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Luna. Namun, di tengah usaha itu, rasa ragu terus menghantuinya. Ia bertanya-tanya apakah Luna akan pernah memaafkannya atau bahkan mau memberinya kesempatan kedua. --- Suatu sore, Ardi memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Ia butuh udara segar untuk meredakan pikirannya yang penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan. Saat ia sedang duduk di bangku taman, ia melihat sosok yang familiar. Luna. Luna sedang duduk di bawah pohon besar, membaca buku sambil menikmati angin sore. Ardi merasa jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka akan bertemu Luna di tempat ini. Tanpa berpikir panjang, ia mendekatinya. Namun, langkahnya terhenti beberapa meter sebelum

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 8 : Cahaya di Tengah Gelap

    *****Hari-hari Luna kini penuh dengan rutinitas baru. Bangun pagi, menyelesaikan artikel untuk klien, mengirimkan email, dan sesekali berdiskusi dengan editor lewat panggilan video. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritme baru. Namun, di sela-sela kesibukannya, rasa sepi kerap menghampiri.Sore itu, Luna duduk di teras rumah Rina, menatap langit yang mulai memerah. Di tangannya, ada secangkir teh hangat. Rina keluar membawakan sepiring kue."Kamu kelihatan capek, Lu," kata Rina sambil duduk di sampingnya.Luna tersenyum tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku senang. Akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri lagi."Rina mengangguk. "Aku bangga sama kamu. Tapi ingat, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Kamu juga butuh waktu untuk istirahat."Luna menghela napas. "Kadang aku merasa takut, Rin. Takut kalau semua ini nggak cukup. Takut kalau aku nggak bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Ardi."Rina menggenggam tangan Luna. "Kamu sudah melangkah sejauh ini, Lu. Jangan biarkan rasa t

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 7 : Menjemput Harapan Baru

    **** Luna menghabiskan malam itu dengan pikiran yang tidak tenang. Ia duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar laptop. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: Haruskah aku bertahan atau pergi? Keesokan paginya, Luna bangun dengan mata sembab. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari konfrontasi ini lebih lama lagi. Ketika ia keluar dari kamar, Ardi sudah duduk di meja makan bersama Bu Ratna. "Luna, kenapa wajahmu seperti itu? Jangan-jangan kamu habis menangis semalaman? Istri kok lemah begitu," komentar Bu Ratna dengan nada menyindir. Luna tidak menjawab. Ia hanya duduk diam sambil menuangkan teh ke cangkirnya. "Luna," panggil Ardi pelan, mencoba mengajaknya bicara. Namun sebelum Ardi bisa melanjutkan, Luna memotong. "Mas, aku ingin bicara empat mata. Sekarang." Bu Ratna langsung menatap mereka dengan curiga. "Ada apa ini? Kalau ada masalah, aku juga berhak tahu. Aku ibunya Ardi." Luna

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 6 : Rahasia yang terungkap

    Kata-kata Ardi membuat Luna terdiam. Ia menatap suaminya dengan rasa kecewa yang sulit disembunyikan. "Mas, ini bukan soal menghormati. Aku tetap istri Mas, aku tetap melakukan tugasku di rumah. Tapi aku juga punya hak untuk berkembang," jawab Luna dengan suara bergetar. Ardi menggeleng pelan. "Aku nggak mau ribut, Luna. Tapi coba pikirkan lagi, apa yang lebih penting: pekerjaanmu atau keharmonisan keluarga kita?" Luna merasa seolah ia ditikam dari belakang. Ia tahu bahwa keharmonisan yang dimaksud Ardi hanyalah tentang memenuhi ekspektasi Bu Ratna, bukan tentang kebahagiaan mereka sebagai pasangan. Hari itu, Luna menjalani aktivitasnya dengan hati yang berat. Kehadiran Bu Ratna di rumah membuatnya merasa seperti berada di bawah pengawasan ketat. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan kecil yang ia buat, selalu dikomentari oleh ibu mertuanya. "Luna, kenapa lampu di ruang tamu masih nyala siang-siang begini? Listrik itu mahal, tahu!" tegur Bu Ratna saat Luna sedang

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 5 : Awal dari Perubahan

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan yang berbeda. Percakapannya dengan Ardi semalam terus terngiang di pikirannya. Kata-kata suaminya, "Kalau kamu merasa nggak bahagia, aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap di sini," terdengar seperti ancaman sekaligus tantangan. Luna menghela napas panjang. Ia tahu ia harus mulai mengambil langkah untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpedulian suaminya. Hari itu, Luna memutuskan untuk mengunjungi temannya, Rina. Rina adalah salah satu dari sedikit orang yang selalu mendukungnya tanpa syarat. "Rin, aku butuh bantuanmu," kata Luna begitu ia tiba di rumah Rina. Rina yang sedang membuat teh di dapur menoleh dengan wajah khawatir. "Luna, kamu kelihatan capek. Ada apa? Cerita aja." Luna duduk di kursi dapur dan mulai menceritakan semuanya—dari sikap Ardi yang pelit hingga perasaannya yang semakin tertekan. Rina mendengarkan dengan serius, tanpa menyela sedikit pun. "Luna," kata Rina akhirnya, "kamu nggak bis

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 4 : Kejolak Hati

    Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan yang campur aduk. Suasana villa yang damai membuatnya merasa nyaman, namun pikirannya terus memikirkan apa yang menunggunya di rumah. Teman-temannya masih tertidur, jadi Luna memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa, menikmati udara pagi yang segar. Saat ia duduk di bawah pohon besar di dekat taman, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ardi masuk. “Luna, kamu sudah bangun? Jangan lupa, jangan terlalu lama di sana. Pulanglah sebelum malam.” Pesan itu membuat Luna merasa seperti sedang diingatkan bahwa kebebasannya hanyalah sementara. Ia membalas pesan itu dengan singkat. “Iya, Mas. Aku nggak akan lama.” Setelah sarapan bersama teman-temannya, Luna membantu membereskan villa. Ia merasa bersyukur memiliki momen ini, meskipun singkat. Sebelum berpisah, Rina mendekatinya. “Luna, aku senang kamu bisa datang. Tapi aku harap ini bukan terakhir kalinya kita kumpul. Kamu harus lebih sering keluar dari rutinitasmu,” kata Rina s

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 3 : Luka di Balik Cinta

    Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Luna tetap mencoba menjadi istri yang baik, memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, sambil sesekali menyisipkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, takut salah langkah yang bisa memicu pertengkaran dengan Ardi. Pagi itu, Luna sedang membereskan ruang tamu ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rina masuk. “Luna, aku ada kabar baik! Minggu depan kita mau adain reuni kecil-kecilan di villa salah satu teman kita. Kamu harus ikut, ya. Ini bakal seru banget!” Luna membaca pesan itu dengan campuran perasaan. Ia ingin sekali ikut, tapi ia tahu bahwa meminta izin pada Ardi untuk pergi selama akhir pekan akan menjadi tantangan besar. Ketika Ardi pulang malam itu, Luna memutuskan untuk membicarakannya. Ia menyajikan makan malam seperti biasa, berusaha menciptakan suasana yang nyaman sebelum mengutarakan keinginannya. “Mas, aku dapat kabar dari teman-teman. Mereka mau adain reuni kecil

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status